oleh: Hendar Putranto
Buku yang ditulis Limor Shifman (2014) berjudul Memes in Digital Culture (diterbitkan oleh penerbit terkemuka dunia, MIT Press) menarik untuk dibaca, dibahas & ‘diviralkan’ karena tiga hal berikut ini:
1) memes dilihat bukan hanya sebagai teks budaya tapi juga gugus praktik sosio-budaya yang terkait dengan penciptaan (kreasi) dan berbagi (sharing),
2) memes juga cocok untuk dimasukkan sebagai contoh artefak dari budaya viral: memes itu unik karena tidak sama dengan sekadar berbagi konten begitu saja yang lalu jadi viral (viral content), memes juga berfungsi sebagai bagian penting dari budaya partisipatoris dan daur-ulang (remix). Di dalam budaya ini, para pengguna “add-to, appropriate, mimic, parody, remix, editorialize, and transform the original content in some way.” (Vickery, 2015). Di sinilah letak kreativitas produksi yang melebur dengan aktivitas konsumsi.
3) memes dianggap sebagai contoh terbaik dari Internet (secara umum) dan budaya Web 2.0 (secara khusus). Mengapa? Meskipun secara peristilahan meme bukan hal baru—ahli Ethologi dari Inggris, Richard Dawkins, mencetuskan dan memopulerkan istilah ini dalam bukunya The Selfish Gene, terbit perdana tahun 1976. Dalam bukunya ini, meme dipandang sebagai unit terkecil dari evolusi budaya yang berupa (atau “berwujud”) ide, perilaku, atau gaya (style) yang menyebar (seperti virus) dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya, atau lintas budaya—namun dengan munculnya Internet dan berkembangnya komunikasi serta informasi digital, penyebaran meme menjadi sedemikian “ubiquitous and highly visible routine” (Shifman, 2014, 17).
Menurut analisis Dawkins dalam The Selfish Gene, kesuksesan memes untuk menyebar/tersebar/viral ditentukan kemampuannya menyertakan tiga fitur berikut ini sekaligus: longevity (awetnya), fecundity (kemampuannya untuk bertambah atau berkembang-biak secara cepat), dan copy fidelity (kemiripan kopinya). Nah, ketiga fitur ini semakin “menggila” karena adanya internet. Pertama, Digitisasi membuat transfer informasi (bahan dasar memes) menjadi semakin persis sama dengan aslinya. Fekunditas juga meningkat dengan pesat karena Internet memfasilitasi penyebaran pesan secara cepat ke sejumlah simpul jaringannya (nodes). Keawetannya juga meningkat pesat karena informasi dapat disimpan sampai batas waktu tak berhingga dalam beragam jenis penyimpanan (archives).
Shifman mencermati ada tiga atribut penting yang membuat memes menjadi ‘mainan kekinian’ yang layak dianalisis dalam kerangka budaya digital kontemporer (2014, 18). Pertama, adanya perambatan secara gradual dari unit analisis individu menjadi masyarakat. Kedua, semakin dimudahkannya reproduksi dengan cara kopi dan imitasi, dan Ketiga, difusi lewat kompetisi dan seleksi.
Buku ini amat menarik dan menghibur, sarat dengan anekdot dan contoh-contoh konkret (visual) memes yang jenaka (lih. misalnya gambar yang ada di h. 21, 25, 27, 29, 52, 115, dan 116), juga catch-phrase yang didesain satu halaman penuh sehingga memorable, seperti “In an era marked by “network individualism,” people use memes to simultaneously express both their uniqueness and their connectivity.” (h. 31) dan “While all parody includes some kind of imitation, it is important to note that not all imitations are parodies.” (h. 47), juga menyebutkan contoh-contoh video yang viral dan menjadi trend-setter memes yang sukses (seperti lagu “Chocolate Rain” yang dibawakan Tay Zonday pada April 2007, lagu anak the “Peanut Butter Jelly Time” yang menggambarkan pisang yang melompat naik dan turun, dan selebriti internet Chris Crocker yang dengan heboh menghiba pemirsa videonya agar “Leave Britney Alone.” (h. 82).
Saya ternganga-cum-terpesona dengan cara Shifman bertutur dengan jenaka dan (tetap) mencerahkan dalam bukunya. Namun, disayangkan bahwa si penulis kurang/tidak menyertakan pembahasan tentang:
1) Bagaimana memes menantang perdebatan terkini soal hak cipta, ekonomi berbagi, kepengarangan /anonimitas, dan terma penggunaan yang adil.
2) Pembahasan soal literasi digital dan, secara lebih khusus, ‘literasi meme.’ Meskipun pada bab 7 (Meme genres) hal ini sudah disinggungnya (h. 99-118), tetapi Shifman kurang melengkapi analisisnya dengan detil soal ‘keterampilan digital, budaya dan sosial’ apa saja yang diperlukan agar pengguna dapat berpartisipasi secara lebih penuh di dalam menciptakan & mereproduksi budaya meme. (Vickery,2015)
3) Dalam konteks sosio-budaya pengguna yang berbahasa Indonesia atau mereka yang bermukim di ruang hidup berbahasa Indonesia, penggunaan istilah ‘meme’ dengan mudah dapat diplesetkan menjadi meme* (sebutan kasar untuk alat kelamin perempuan) dan sebutan (yang diplesetkan tentu saja!) ini berpotensi besar menimbulkan olok-olok tersendiri yang derogatif terhadap subjek yang diolok-olok. Meskipun olok-olok tidak jarang menjadi bahan untuk di-meme-kan (tuh kan!), tapi jika olok-olok ini dipraktikkan secara luas dan dilepaskan dari konteks humornya, maka pemlesetan meme* dalam arti tertentu melecehkan martabat kaum perempuan—sesuatu yang kontradiktif dan bahkan, kontra-produktif(!) dengan misi awal meme sebagai artefak emansipatoris yang resisten terhadap kekakuan kuasa birokratis dan kemuakan terhadap politik sebagai bancakan dan perebutan kekuasaan (formal).
Sebagai penutup, akan lebih kaya bagi imajinasi kita jika memahami memes dalam pengertian contagious media seperti dipikirkan dan dituliskan Peretti (2007, 160). Jika “meme” dipahami sebagai sebuah ide yang mereplikasi dirinya sendiri (Dawkins, 1990), media yang menular (contagious media) adalah “meme” yang berdarah-daging: sebuah ide yang menubuh dalam media yang orang dapat bagikan.
Rujukan Utama:
Shifman, L. (2014). Memes in digital culture. Cambridge, MA: The MIT Press.
Rujukan Penyerta:
Peretti, J. (2007). Notes on Contagious Media. Dalam Karaganis, J. Penyunting. (2007). Structures of Participation in Digital Culture (h. 158-163). New York: Social Science Research Council.
Vickery, J. R. (2015). Book review of Memes in digital culture. Information, Communication & Society, 18(12), 1450-1451. DOI: 10.1080/1369118X.2014.979217
Biografi singkat tentang penulis buku ini, yang dikutip dari situs webnya (https://limorshifman.huji.ac.il/):
Limor Shifman adalah seorang Dosen Senior ‘Lektor Kepala’ (Associate Professor) di Departemen Komunikasi dan Jurnalisme, The Hebrew University yang ada di kota Yerusalem, Israel sekaligus Wakil Dekan di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial. Minat risetnya meletak pada media digital dan budaya populer, dan secara lebih khusus lagi, ia tertarik meneliti dua ranah yang (dianggapnya) saling bersinggungan yaitu memahami makna besar di balik teks yang kecil (seperti humor, anekdot, lelucon) dan sekaligus mengidentifikasi adanya pola-pola yang beraturan dan bermakna di semesta konten-produksi-pengguna yang kelihatan serba kacau ini. Tulisan-tulisannya dimuat di sejumlah jurnal bergengsi (Q1 terindeks Scopus) seperti Journal of Communication, American Sociological Review, New Media and Society dan Journal of Computer-Mediated Communication.