Categories
Uncategorized

[Day_SEVEN] Dalam Masyarakat Pengetahuan, apakah Dosen itu Academic Labor?

Menyoal Risiko dan Kontingensi Pengetahuan dalam Masyarakat Pengetahuan Kontemporer

Abstract

“Guru (dosen) adalah pengabdi masyarakat tanpa tanda jasa”, maka tidak perlu berharap terlalu banyak bahwa ada pihak lain yang akan memerhatikan, apalagi memperjuangkannya secara konkret, dalam bentuk pelbagai kebijakan (politis, ekonomis) yang tujuannya untuk mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan para guru dan dosen. Selain itu, sebenarnyalah dosen merupakan sumber daya manusia yang diadakan untuk menjalankan sistem kerja lembaga pendidikan tinggi, yang meliputi universitas, institut, akademi dan sekolah tinggi.

Dosen merupakan pelaksana kerja yang harus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas kerjanya, moralitas, kedisiplinan serta tingkat kesejahteraannya, yang kelak menciptakan kondisi dan situasi yang nyaman dalam bekerja, sehingga pada gilirannya setiap dosen mempunyai rasa memiliki, menyayangi dan persaudaraan yang kuat antar sesama dosen, dengan menyadari betapa pentingnya proses produksi pengetahuan yang diharapkan mampu mewujudkan lembaga pendidikan tinggi tingkat dunia (world-class university) berdasarkan kebijakan kualitas (quality policy) sebagai salah satu pendukung pencerdasan kehidupan bangsa.

Section of the published paper

“Nasib” Agen Pengetahuan dalam Tatanan Masyarakat Pengetahuan: Kontekstualisasi Gagasan

Di manakah kontribusi guru dan dosen sebagai agen pengetahuan dalam konstelasi masyarakat pengetahuan sebagaimana digagas Nico Stehr?

Apakah secara umum pasca rezim otoriter Orde Baru 1998, terjadi penguatan dan perluasan kapasitas serta kapabilitas mereka atau justru para guru dan dosen malah terhisap dalam hegemoni kekuasaan (baru) dan domestifikasi kekuatan?

Jika diletakkan dalam konteks sosial politik ke-Indonesiaan pasca Gerakan Reformasi, maka apakah dosen-dosen di Indonesia sudah menubuhkan prinsip-prinsip masyarakat pengetahuan seperti diuraikan oleh Stehr di atas? Atau justru sebaliknya, semakin tergilas dan terlibas oleh kapitalisasi dan privatisasi pengetahuan?

Pertama-tama perlu dipahami bahwa pembentukan Serikat Dosen Indonesia (SDI) merupakan bagian dari Gerakan Sosial Baru (GSB) yang tidak ketat terafiliasi pada entitas kolektif Marxis seperti kelas, ataupun nasionalisme.

Meskipun secara objektif profesi guru dan dosen sudah selalu meletak dalam ‘posisi kelas’ (class position) tertentu, tegasnya, kelas menengah ke bawah, akan tetapi tidak serta merta kehadiran dalam posisi kelas itu bereskalasi menjadi “kesadaran kelas” yang merupakan jalan penting bagi terwujudnya solidaritas kelas.

Kesadaran palsu (false consciousness) tentang guru dan dosen yang diproduksi, direproduksi, dan dilembagakan oleh the ruling class yaitu negara dengan aparatnya selama era Orde Baru.

Adagium “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” sudah sedemikian mengakar dalam lubuk kesadaran para guru
dan (calon) guru di seluruh negeri, sehingga penguasaan pengetahuan yang dianggap dimiliki oleh para guru dan dosen tidak serta merta selaras dengan terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, peningkatan kesejahteraan secara bertahap, apalagi kemakmuran material.

Jika bukan guru dan dosen itu sendiri yang berjuang untuk mengafirmasi relasi pengetahuan dan kekuasaan, untuk mengemansipasi diri dari situasi ketertindasan yang sistematis, dari bentuk-bentuk ketidaksetaraan sosial yang berlindung di balik alasan saleh nan manipulatif, lantas siapa yang akan memperjuangkan mereka?

“Guru (dosen) adalah pengabdi masyarakat tanpa tanda jasa”, maka tidak perlu berharap terlalu banyak bahwa ada pihak lain yang akan memerhatikan, apalagi memperjuangkannya secara konkret, dalam bentuk pelbagai kebijakan (politis, ekonomis) yang tujuannya
untuk mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan para guru dan dosen.

Oleh karena itu, dalam Pembukaan Anggaran Dasar Serikat Dosen Indonesia *) yang sudah disahkan oleh Notaris pada 28 Oktober 2014 yang lalu, kristalisasi dari kesadaran kelas dan solidaritas kelas para dosen yang sudah ‘tercerahkan’ ini dinyatakan sebagai berikut: “Bahwa sesungguhnya dosen merupakan salah satu pilar utama eksistensi lembaga pendidikan tinggi dalam menjalankan proses penciptaan, penyebaran, dan pembaruan pengetahuan yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi terkait dengan amanah UUD 1945
yaitu ‘pencerdasan kehidupan bangsa.’ Serikat Dosen Indonesia, disingkat SDI, merupakan bagian integral dari civitas academica nasional yang mendukung terlaksananya pembangunan nasional serta tercapainya kesejahteraan sosial yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Selain itu, sebenarnyalah dosen merupakan sumber daya manusia yang diadakan untuk menjalankan sistem kerja lembaga pendidikan tinggi, yang meliputi universitas, institut, akademi dan sekolah tinggi.

Dosen merupakan pelaksana kerja yang harus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas kerjanya, moralitas, kedisiplinan serta tingkat kesejahteraannya, yang kelak menciptakan kondisi dan situasi yang nyaman dalam bekerja, sehingga pada gilirannya setiap dosen mempunyai rasa memiliki, menyayangi dan persaudaraan antar sesama dosen, dengan menyadari betapa pentingnya proses produksi pengetahuan yang diharapkan mampu mewujudkan lembaga pendidikan tinggi tingkat dunia (world-class university) berdasarkan kebijakan kualitas (quality policy) sebagai salah satu pendukung pencerdasan kehidupan bangsa.

Bahwa untuk menerapkan kebijakan kualitas dan meningkatkan produktivitas pengetahuan yang dihasilkan lembaga pendidikan tinggi secara optimal, para dosen memerlukan wadah perkumpulan berupa serikat pekerja, beserta sarana dan prasarana yang memadai sebagai media untuk berkomunikasi, berperan serta, juga menggalang solidaritas agar mampu melindungi, mendidik dan meningkatkan harkat dan penghidupan yang layak dari dosen.

Keberadaan wadah tersebut ikut mendorong terciptanya kondisi dan situasi bekerja yang harmonis dan seimbang antara manajemen (direksi) perguruan tinggi dan himpunan dosen. Wadah yang dibentuk para dosen ini bercirikan mandiri, kuat, berwibawa, dibangun dan didirikan oleh, dari, dan untuk dosen secara kolektif, bebas dan demokratis.

Selain itu, keberadaan SDI diharapkan mampu berperan aktif mengelola aspirasi dan keluhan yang berangkat dari persoalan nyata yang dihadapi para dosen, yang timbul dalam situasi dan kondisi saat ini dan masa depan, dengan berpegang pada ketentuan Undang-undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21/2000, Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13/2003, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, Undang-undang Guru dan Dosen No. 14/2005, Undang-undang Pendidikan Tinggi No. 12/2012, dan Undang-Undang lainnya yang
relevan serta prinsip keadilan sosial dan kepentingan nasional.

Maka dengan rahmat Yang Mahakuasa, kami para dosen yang mengabdikan diri sesuai keilmuan kami dalam batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menyatakan diri untuk bersatu dalam SDI dengan Anggaran Dasar sebagai berikut…”

Nasib para agen pengetahuan (di antaranya: para guru dan dosen) dalam masyarakat pengetahuan tidak boleh berhenti pada pepatah ‘bak tikus mati di lumbung padi’. Karakter emansipatoris pengetahuan yang dianggap dimiliki secara cukup oleh para guru dan dosen, sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing dan jenjang pengajaran spesifik yang diampunya, perlu memberdayakan bukan hanya para peserta didik yang dipercayakan kepadanya, melainkan juga untuk menguasakan dirinya (guru dan dosen) dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari tanpa harus mengemis dan hutang sana-sini.

Dalam arti inilah karakter sosiologis pengetahuan yang emansipatoris bertemu dengan nilai etis self-respect
(kemanusiaan dalam arti yang konkret) dan self-empowerment.

*) Serikat Dosen Indonesia. (2014). Anggaran Dasar Serikat Dosen Indonesia.

SEKIAN

Untuk makalah lengkapnya, dapat dibaca di link berikut ini:

Putranto, H. (2017, January 2). Menyoal Risiko dan Kontingensi Pengetahuan dalam Masyarakat Pengetahuan Kontemporer. An1mage Jurnal Studi Kultural, 2(1), 55-69. Retrieved from https://journals.an1mage.net/index.php/ajsk/article/view/79

Catatan tambahan:
Makalah yang sudah terpublikasi di atas akan saya lengkapi dengan update pembacaan berperspektif Ekonomi Politik soal Labor dari sejumlah rujukan berikut ini [sabaaaar ditunggu yaaah, lagi bener2 rempong nih:)]

Allmer, T. (2017). Academic Labour, Digital Media and Capitalism. Critical Sociology, 1–17. DOI: 10.1177/0896920517735669

Brundage, L., Gregory, K. dan Sherwood, E. (2018). Working Nine to Five: What a Way to Make an Academic Living? Dalam Losh, E. dan Wernimont, J. Tim Penyunting. Bodies of Information: Intersectional Feminism and the Digital Humanities (h. 305-319). Minnesota: University of Minnesota Press. https://www.jstor.org/stable/10.5749/j.ctv9hj9r9.20

Glaros, M. (2004). The Academy in the Age of Digital Labor. Academe, 90(1), 42-46. https://www.jstor.org/stable/40252589

Scholz, T. (2013). Why Does Digital Labor Matter Now? Dalam Scholz, T. Editor. Digital Labor: The Internet as Playground and Factory (h. 1-9). New York dan London: Routledge.

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *