[Resume buku]
Elías, C. (2019). Science on the Ropes: Decline of Scientific Culture in the Era of Fake News. Springer-Nature.
Latar belakang penulis buku ini:
Carlos Elías adalah seorang Profesor Kajian Jurnalistik di Universidad Carlos III de Madrid (Getafe, Spanyol) yang sebelumnya berlatar keilmuan Kimia dan Ilmu Informasi dari the University of La Laguna, Spanyol, kemudian mendapatkan gelar Doktornya juga dari Universitas yang sama. Spesialisasi risetnya adalah soal Jurnalisme, Teknologi dan Ruang Publik dan beliau pernah menjadi dosen terbang di LSE (Inggris) dan Harvard (USA). Sebelum berfokus pada dunia Pendidikan Tinggi, beliau mempraktikkan kompetensi jurnalismenya di Agencia Efe dan El Mundo. Buku terbaru yang ditulisnya berjudul Science on the Ropes: Decline of Scientific Culture in the era of Fake News (Penerbit: Springer-Nature, 2019). Sekarang beliau dipercaya menjadi Direktur Program Magister Corporate Communication di UC3M. Peta perjalanan risetnya meliputi isu big data dan jurnalisme (2013-2017) dan sekarang soal isu Fake News dan algoritma deteksi kebohongan/hoax (2019-2021).
RESUME:
Di tengah ancaman merebaknya kabar bohong dan sains palsu (Pseudoscience), Carlos Elías menuliskan buku ini. Bertolak dari pertanyaan hipotetis kontroversial, “Benarkah cengkeraman Dunia Barat terhadap Sains yang didasarkan pada cara berpikir rasional dan berbasis bukti empiris mulai mengenderu? Jika ya, apa bukti2nya? Lalu, siapa/negara-negara mana yg menggantikan peran AS menjaga ‘rasionalitas’ Sains?” Elías mendaku bahwa Asia mengalami apa yang dialami Barat pada abad ke-16 dan 17, kemajuan saintifik dan teknologi yang pesat. Elías juga membahas dalam bukunya ini mengapa negara-negara Barat, utamanya Amerika, mulai kehilangan gairah pada subjek/kajian STEM dan lebih “menyukai” post-truths, alternative facts dan, tidak jarang, irrationality. (**)
Berikut kutipan langsung dari buku yang ditulisnya, “This book is the result of trying to answer two questions that, I believe, are related: why irrationality is emerging in the media and in society; and why there is a decrease in the number of vocations using the most rational degrees: science, technology, engineering and mathematics” (Elías, 2020: 3).
Dalam era yang lebih didominasi budaya media sosial, Elías mengamati bahwa lebih banyak mahasiswa Barat yang sekrang membanjiri studi-studi ilmu kemanusiaan dan meninggalkan obsesinya pada studi-studi STEM. Fenomena ini dibandingkannya dengan yang dialami Spanyol pada era Konter-Reformasi (abad ke-17), ketika para Yesuit dan Gereja Katolik memelopori “contempt and an intolerance of science and technological development” yang berdampak pada, salah satunya, merosotnya kekuasaan imperial (baca: hasrat kolonialisme/penjajahan) Spanyol.
Selain itu, juga terlihat jelas bahwa universitas dan pengaruhnya terhadap media justru malah menempatkan (memuja) emosi di atas kemampuan rasional sehingga menyuburkan berkembangnya (kultus) budaya selebritis.
[Pertanyaannya: apakah perbandingan ini valid atau tidak jika ditinjau dari aspek hermeneutika sejarah dan budaya? Ini pokok yang masih harus diuji lagi lintas negara dan dokumentasi rujukan]
Saya, Hendar Putranto, akan mengutip secara agak panjang dari buku Elías (2020: 174-175) kisah tentang “beberapa ilmuwan alam yang berhasil melucuti tembok-tembok jargon yang diusung jurnal sains sosial dan budaya” berikut ini.
Kejadiannya belum lama ya ini, baru tahun 2018 lalu.
Pada 2018, tiga orang ilmuwan bernama James Lindsay, Helen Pluckrose, dan Peter Boghossian (*) menulis duapuluh (ya, 20!) artikel ngawur dengan menggunakan jargon-jargon yang sedang ngetren dan menyusun argumen yang berujung pada sejumlah kesimpulan yang ngaco & menggelikan, kemudian berusaha memublikasikan artikel-artikel tersebut di jurnal bereputasi internasional, termasuk yang mengusung nama “cultural studies.” Meskipun kemudian mereka bertiga mengakui “eksperimen gila” mereka tersebut ke muka publik sebelum tuntas, dan ini sudah diinvestigasi media terkemuka, Wall Street Journal, tingkat kesuksesan artikel mereka untuk tembus di jurnal relatif tinggi. Pada Oktober 2018, tujuh dari belasan artikel yang sudah mereka kirimkan dinyatakan “DITERIMA” untuk dimuat di jurnal-jurnal serius (peer-reviewed journals). Padahal, mereka sendiri menyatakan bahwa artikel-artikel yang mereka tulis ini ‘shoddy, absurd, unethical and politically-biased’. Tujuh artikel lagi masih menempuh proses review dan hanya enam artikel yang ditolak.
“Dengan sengaja, untuk mengetes rigoritas akademis yang diberlakukan di kanon jurnal akademis, kami membuat ‘artikel-artikel palsu’ ini bukan dengan tujuan produksi pengetahuan tapi sophistry (mengecoh dengan menggunakan kata-kata yang terlihat canggih)”
Ada satu makalah yang ditulis yang membahas tentang budaya pemerkosaan yang terjadi di dog parks (penulis mengaku sudah memeriksa alat kelamin sekitar 10 ribu anjing sambil menanyai para pemilik anjing tentang jenis kelamin anjing-anjing mereka) mendapatkan penghargaan sebagai salah satu dari 12 karya tulis terbaik dalam kajian geografi feminis oleh jurnal terkemuka Gender, Place and Culture, yang memublikasikan makalah tersebut.
Pada sebuah artikel yang dimuat di Majalah Areo berjudul ‘Academic Grievance Studies and the Corruption of Scholarship,’ penulis menyatakan hal menarik berikut ini:
“Ada yang salah di universitas, khususnya di sejumlah disiplin keilmuan bernama Ilmu Kemanusiaan. Kesarjanaan (kepakaran) justru tidak lagi didasarkan pada upaya mencari dan menemukan kebenaran (ilmiah) melainkan pada memberi perhatian terhadap aspek-aspek yang disebut ketidakberesan sosial (social grievances), dan ini semakin menjadi cara-pandang yang dominan dalam bidang-bidang keilmuan tersebut, padahal cara pandang ini tidak ilmiah dan tidak rigor (dalam metodologi). Karena alasan inilah maka kami bertiga (Lindsay, Pluckrose & Boghossian) menghabiskan waktu satu tahun untuk melihat dari dalam apa penyebab dari masalah ini. Kami menulis sejumlah makalah ‘ilmiah’ yang lalu kami kirimkan ke sejumlah jurnal ilmiah bereputasi yang berlabel “cultural studies” atau “identity studies” (misalnya, kajian gender) atau “teori kritis” karena bidang-bidang kajian ini berakar pada ‘teori’ pascamodern yang mulai muncul di akhir tahun 1960-an. Kami menyebut bidang-bidang ilmu baru ini dengan nama “grievance studies” karena tujuan keberadaan ilmu-ilmu baru ini adalah memproblematisasi aspek-aspek budaya dengan sedetil-detilnya untuk menunjukkan (diagnosis) adanya ketimpangan kekuasaan dan penindasan yang berakar pada identitas.”
Menurut pandangan Elías, letak kurang seriusnya para peneliti ilmu2 sosial adalah ketika mereka memilih untuk memublikasikan hasil survey/penelitian mereka di media massa alih-alih di jurnal bergengsi, atau di buku yang mereka tulis, sunting, dan danai sendiri menggunakan dana penelitian mereka, alih-alih mengirimkan data dan temuan penelitian mereka untuk diperiksa (di-review) oleh para sejawat mereka dalam sistem yang “rigorous, blind evaluations.” Di sinilah letak kendornya keilmiahan dari temuan para ilmuwan sosial, selain pembuktian soal “kedodoran” rigoritas jurnal-jurnal ilmiah sosial yang sudah dibuktikan Lindsay, Pluckrose & Boghossian pada 2018 lalu.
Berikut saya kutipkan (dengan cara mengalih-bahasakan) bab per bab dari buku yang ditulis oleh Carlos Elías (sumber rujukan dari https://www.springer.com/gp/book/9783030129774)
Bab 1. Pengantar
Ada dua arus mengkhawatirkan yang sekarang menerpa Barat: muncul dan meruapnya kabar bohong (hoax) dan merosotnya ketertarikan para (maha-)siswa untuk mempelajari dan masuk kuliah ambil jurusan ilmu-ilmu STEM (science, technology, engineering and mathematics).
Bab 2. Sains pada Abad XXI
Paradoks yang mewarnai dunia akhir-akhir ini kira-kira dapat digambarkan sebagai berikut: Semakin hari itu kita semakin tergantung pada sains dan teknologi; setiap hari juga, sains mengetahui lebih banyak tentang hal-hal yang terjadi di dunia dan sains dapat menjelaskan dunia dengan lebih baik pada kita; tapi, anehnya, semakin hari orang semakin kurang percaya dan kurang menghargai (temuan dan penjelasan) sains tsb.
Sila lihat link di atas untuk lengkapnya resume setiap bab dalam buku ini.
Rujukan lain:
(*) What an Audacious Hoax Reveals About Academia: Three scholars wrote 20 fake papers using fashionable jargon to argue for ridiculous conclusions.
OCTOBER 5, 2018
Yascha Mounk (Contributing writer at The Atlantic)
Dikutip dari https://www.theatlantic.com/ideas/archive/2018/10/new-sokal-hoax/572212/
**) Is Western culture balancing on a tightrope between science and humanities?
oleh Springer
https://phys.org/news/2019-09-western-culture-tightrope-science-humanities.html