Categories
Uncategorized

[Diskusi IKAD] Menggugat Antroposentrisme dalam Epos Anthropocene/Capitalocene

Dalam makalah berjudul “Ethics and Politics in the Anthropocene” yang dimuat di jurnal Philosophy and Social Criticism, Maeve Cooke (2020) menyatakan bahwa tantangan paling fundamental yang dihadapi manusia sekarang adalah “kehancuran yang akan segera terjadi pada ekosistem yang menghasilkan kehidupan dan menopang kehidupan yang membentuk planet Bumi.”

Dampak buruk dari tindakan kolektif manusia selama 100 tahun terakhir ini mewujud dalam gejala pemanasan atmosfir, kumulasi gas CO2 dan emisi lainnya, polusi tanah, udara, dan laut, punahnya aneka sumberdaya alami, degradasi tanah dan hilangnya biodiversitas.

Mentasnya epos ketidakstabilan eko-sistem yang menunjang Bumi ini biasa didiskursuskan dengan istilah Anthropocene, sementara sebagian pakar lain menyebutnya Capitalocene, juga Neganthropocene.

Klaim besar yang diusung diskursus tematis ini adalah bahwa Anthropocene merupakan ancaman eksistensial bagi eksistensi manusia dan biosfir (Stiegler, 2018).

Karenanya, perubahan iklim yang antropogenik menuntut perubahan kategori berpikir kita pada dua tataran.

Pertama, tentang peran manusia dan ide kemanusiaan dalam sistem Bumi (Dryzek & Pickering, 2019).

Kedua, redefinisi kategori etis dan politis yang dapat menjawab tantangan ini (Cooke, 2020).

Cooke mengajukan postulat etis yang non-antroposentris (“an ethically non-anthropocentric ethics”) dengan bertolak dari kajian para pemikir Mazhab Frankfurt, juga Habermas, sekaligus melampaui pemikiran mereka.

Terkait topik ini, ada sejumlah GUGUS pertanyaan menarik untuk didiskusikan bersama sidang pembaca/pemirsa:

Pertama, apa itu epistemological anthropocentrism dan epistemological ignorance yang biasanya dilekatkan pada diskursus soal antroposentrisme dan Anthropocene? Bagaimana cara kita memitigasi epistemological anthropocentrism ini? Paralel dengan pertanyaan tersebut, apa itu ethical anthropocentrism dan bagaimana cara memitigasinya? Tidakkah selama ini manusia dan peradaban yang dikembangkannya tidak kekurangan kerangka berpikir konseptual yang cukup luwes untuk membingkai integritas hal yang dihancurkan(-nya) dengan menggunakan penalaran instrumental (kritik Habermas terhadap kritik Adorno dan Horkheimer terkait penalaran instrumental), lalu mengapa epos Anthropocene sebagai gugus percepatan kerusakan lingkungan berskala global, runtuhnya peradaban, dan merosotnya kelestarian bumi ini malah semakin menjadi-jadi? Apakah kita sedang mengalami defisit akut konsep ontologis relasional yang dapat secara memadai menjembatani paham manusia-teknologi-alam ciptaan & alam semesta?

Kedua, dalam arti apa diskursus seputar Anthropocene/Capitalocene dapat menjembatani perbedaan metode keilmuan natural/social science, sehingga sidang pembaca/permirsa yang masuk dan berinteraksi tentang topik ini dapat memahami bukan hanya genealogi peristiwa dan terms acuannya tapi juga status questionis dan quo vadis-nya secara lebih holistik sekaligus heuristic? Apa syarat-syarat kemungkinan yang harus dimajukan, dan sebagiannya mungkin ditangguhkan, agar perbincangan kita tentang topik ini menjadi produktif dan transformatif alih-alih katalismik dan chaotic?

Ketiga, sudahkah kita sungguh-sungguh merdeka atau justru sekarang kita sedang jinjit di tepi jurang kehancuran yang lebih dalam? Dalam arti apa kita dapat memahami status batas/limitasi kemerdekaan sebuah bangsa di tengah kepungan kerusakan/perusakan lingkungan yang tak terelakkan pada tataran global yang mengondisikan Ibu Bumi bersenandung balada “sedang bersusah-hati & airmatanya berlinang”? Bagaimana kita, Anda dan saya, yang bermukim di bumi Indonesia ini, memberi makna pada 77 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, dalam gelimang tantangan dan raupan keprihatinan yang meruap di tengah arus kegalauan laku hidup post-Pandemic new normal?

Daftar Rujukan

Berikut flyer kegiatan diskusinya [designed by Gabriel Abdi Susanto (c) 2022]

Sampai jumpa di ruang diskusi virtual nanti!

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *