Ada banyak cerita, canda, tangis, tawa, gusar, perih dan remuk-hati di balik terpublikasikannya sebuah karya tulis ilmiah di jurnal. Mulai dari memikirkan mau nulis apa, mau publish di mana, apakah naskah sudah sesuai template dan prasyarat (termasuk bahasa yang digunakan apakah bahasa Inggris atau bahasa Indonesia), ngubeg-ubeg literature review, sitasi dan Referensi, sampai ke tahap submit manuskrip, deg-degan menunggu kabar dari Editor apakah akan “desk rejection” atau berlanjut ke tahap review (mitra bebestari), dan seterusnya sampai pada tahap terpublikasi dan diseminasi karya (berupa link atau DOI) yang sudah terpublikasi di sejumlah outlet SNS maupun situsweb pribadi/organisasi.
Saya tidak akan mengulangi bagian2 yg pernah saya tulis sebelumnya di blog ini maupun penjelasan tentang tahapan2 jitu supaya bisa terbit di jurnal terindeks Scopus, yang dapat ditemukan di beberapa tautan YouTube, di sini misalnya https://youtu.be/SxdBLggeSnY
Saya hanya mau menyoroti aspek “gusar terbit” dari satu hal saja yaitu bahasa sebagai ekspresi gagasan, keterbatasan jelajah keterbacaan dan pemahaman, serta teknis prasyarat publikasi yang mendiskriminasi dalam arti “lingua franca academia” yang serba unequal footing.
Tulisan dan refleksi ini dipicu oleh curhat seorang teman di UI yang merasa gusar bahwasanya “nulis 2 paragrsf sj butuh 3 jam dan 10 jurnal, 10 disertasi minimal.” Kemudian dia sambung dgn mengatakan bahwa “Kata [seorang senior], baca dulu yg bnyk, (padahal) msh nulis Latar belakang.”
Lalu kutanggapi begini: “Baca yg banyak itu satu hal, dapat merumuskannya kembali secara bernas (succinct) itu hal yg lain yg tidak otomatis.” Lagian, tidak ada jaminan bahwa sudah baca banyak rujukan dan buat resume ini dan itu dari rujukan bacaan tersebut lalu manuskripnya sudah set-ready utk terbit (seperti yg pernah kualami ketika harus potong 5000 kata dari manuskripku tempo hari). State-of-the-art tidak serta merta tersaji dgn “baca banyak.” 😆
Selang beberapa hari kemudian, dia WA lagi mengatakan, “high kuality bgt ya jurnal Q1 ini. Amponn. salutlah liat mas hendar.”
Lalu kutanggapi, “Jangan cuman dilihat mbak, ditiru 😆 Ya begitulah. Ada standar yg cukup tinggi utk bisa tembus Q1. Capek kan nulis itu? Jadi kita lebih bisa menghargai mereka yg nulis dan tembus, prosesnya gak gampang lho. Bolak-balik editor & reviewer. Makan ati krn gak bisa di WA/video call buat nanya _lo pada maunya apa sih?_”
Kemudian, karena dia mau submit naskahnya ke jurnal bereputasi internasional buat syarat “maju sidang promosi” (sebagaimana kami juga mulai Angkatan 2017 ke sini kena semua syarat yg satu ini), aku memberikan beberapa masukan berikut:
“Ini urusan terjemahan satu perkara pelik tersendiri. Bisa makan waktu 2 minggu sampe sebulan sendiri itu udah versi profesional lho. Belum nanti proofreading stelah dikasih masukan reviewer. Sekalian ditanyain di lembaga XYZ apa terima jasa proofreading gak buat sbelum final acceptance + Tarifnya brp. Total jendral bisa dapet di kisaran 4-5 juta udah bagus utk urusan naskah ready to submit sampe acceptance di Q1. Minimalnya 4 juta lah translate sama proofreading kalo pake jasa orang Indo. Kalo pake jasa editing services berbayar seperti AJE [American Journal Experts di https://www.aje.com], apalagi Taylor&Francis editing service ya bisa 2-3 kali lipatnya itu. Setahuku XX pake ikatan kontrak sama Enago service kayak e, jadi bisa saja dapet harga translate & editing service lebih murah. Apakah udah dipikirin itu biaya 4-5 juta dari mana? Anggarannya udah dialokasiin blm? Klo aku kmaren pengalaman sekali doang pake jasa AJE pas yg manuskrip pertama tembus Q1 (2019). Stelah itu ‘Paket beres Otonom’ 🤣. AJE kemaren rate tahun 2019 aja sekitar 4.75 juta buat editing services, 12 ribu kata kalo gak salah waktu itu. Manuskrip yg 2021 sama 2022 udah gak pake jasa lembaga luar dan ternyata bahasa Inggrisnya toh “acceptable” ya standar nya RJIC Q1, Bahasa Inggris yg kupahami dan kupraktekkan tentu saja.”
Dia lalu menukas begini, “Duit semua ya. Duit.”
Tanggapanku, “Hmmm… Itu doang yg terlihat?”
Lalu katanya, “Ya gak lah. Tp emamg dunia intelektual bnyk proses uangnya. Kebayang gak klo dosen tiap thn harus bikin jurnal internasional tp ga disupport sm lembaga. YY cuma support 600rb. Mw jd apa dunia persilatan?”
Berikut refleksi cetekku atas curhatannya tersebut, “Mungkin bukan bahasa Inggrisku udah _keren_ ya tapi _acceptable_ utk standarnya jurnal RJIC itu. Mungkin kalo jurnal yg lain ya belum tentu. Artinya ini: pinter2lah mencari jurnal Q1 yg standar bahasa Inggrisnya gak _reseh_ krn mau sampe mati pun kita tdk akan pernah menjadi seorang _native speaker, writer & editor_ utk manuskrip kita . Comparatively speaking seperti ini kalo pembacaanku (ini sekalian refleksi pribadi yah): utk ukuran scholar yg TIDAK pernah studi lanjut S2 maupun S3 di luar negeri (beda sama dia dan nganu yg pernah S3 di Aussie atau di USA), bahasa Inggris yg kukuasai dan kugunakan dalam penulisan ilmiah _relatif dapat diterima_ wordingnya oleh sekurang2nya satu jurnal bereputasi internasional dan satu jurnal bereputasi nasional yg terindeks DOAJ. apakah ini sebuah achievement? in a sense, yes, in another sense, no. masih ada room to improve, kalo ndak aku akan berpuas diri dan lalu dying slowly … wkwkwkwkw”
Dus, ringkasnya, dalam model “paksaan” harus terbit di jurnal bereputasi tinggi atau sedang yg rata2 mempersyaratkan bahasa Inggris ilmiah sebagai persyaratan bahasa manuskrip yang di-submit, telah terjadi diskriminasi opsi yang tidak berprinsip equal opportunity in the same battlefield.
Itulah salah satu faktor utama yg membuat si scholar “gusar (sama urusan) terbit.” Dia (mereka/kami) tidak merasa cukup percaya diri dengan kualitas bahasa Inggris yang sudah dipelajari selama ini (sejak SD?), apalagi ketika bahasa Inggris itu dikonversi ke dalam “academic piece of writing”
Pun ketika minta bantuan pihak lain yg dianggap credible utk menerjemahkan manuskripnya ke dalam academic writing for journal purpose, ya si scholar harus siap2 merogoh kantong dgn alokasi dana yg tidak sedikit. Masih ditambah lagi dgn adanya rentetan prasyarat lainnya setelah “urusan menerjemahkan” itu beres. Proofreading misalnya. Dkl., Linguisticality and language use (native, L1, ESL, EFL, apapunlah nama atau peristilahannya) dalam koridor publikasi memang telah menciptakan bahasa Inggris (ilmiah) sebagai lingua franca academia yang ketika dilihat separo wajahnya tampak angker dan jauh dari kesan approachable.
Inilah PR besar yg (meskipun) sudah banyak dibahas para scholar dari berbagai disiplin ilmu tapi masih juga belum ketemu satu-dua jalan keluar yg jitu dan applicable apalagi acceptable utk para scholar di belahan dunia kolonial baru ini, to follow the rules of the game in this publish or perish world.
Moga2 aja nanti ada 🤣