Categories
Uncategorized

Ikhtiar Menempuh Jalan Sunyi Menjadi Reviewer Jurnal Internasional Terindeks Scopus Q1, Q2 dan Q3

Edisi curhat malam ini dipicu oleh dua hal:

Pertama, ketercatatan namaku di akun Publons yg sudah dibeli/diakuisisi oleh raksasa publikasi Web of Science (WoS) di sini https://www.webofscience.com/wos/author/record/3852158 menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Yes, why not be proud? Only a handful of communication/social science scholars in Indonesia are registered here because of their specific contributions to the world of global academe. Dampaknya apa dari “ketercatatan” ini? Sekalinya nama masuk ke bursa reviewer jurnal internasional (di Publons & Web of Science) langsung deh bertubi2 bisa seminggu dua kali naskah masuk ke emailkušŸ¤­

Kedua, rasa2nya selama tahun 2023 ini sudah beberapa kali ada email masuk ke Inbox ku yg meminta kesediaanku untuk menjadi reviewer dari jurnal A, B, dan C, yg notabene (ketika dicek datanya di Scimagojr) tercatat sebagai jurnal dengan reputasi internasional yang bagus, alias terindeks Scopus Q1, Q2 dan Q3. Tentu saja tidak semua email request yg meminta diriku menjadi reviewer itu kuiyakan begitu saja karena 1) kompetensi/expertise ku bukan di topik yg disodorkan naskah2 tersebut, 2) tight schedule utk membereskan bab 4 disertasiku sendiri. hix.

Ketika kukabari soal ini, seorang kolega di kampus bertanya demikian (japri WA) kepadaku:
“Asikk sekarang udah bs nolak ya Pak, tapi memang kalau di luar kompetensi memang sebaiknya tidak (diterima) agar tetap di jalurnya ya Pak?”

Jawabku: Iya. Tapi nolak yg elegan berarti ikut bantuin Editornya utk cari & mengusulkan nama reviewer yg kepakarannya cukup luas dikenal.

Misalnya, utk draf naskah perbandingan paradigma teologi dari filsuf Katolik Prancis Jacques Maritain dgn pandangan Mustafa Akyol, tokoh kontemporer teologi Islam sekaligus jurnalis dari Turki, aku mengusulkan nama [XYZ] yg aku yakin lebih paham soal subject matter-nya karena beliau dapat Masternya dalam bidang Teologi dari Austria & Doktornya dalam Ilmu Filsafat dari Jerman. Selain kenal pribadi sama [XYZ] ini, aku pun mengenali kualitas tulisan2 beliau yg kaya dan mendalam seputar topik Filsafat & Teologi.

Eniw, meskipun S1 & S2 ku dari jurusan Filsafat (Sosial) dan aku relatif open-minded terhadap perdebatan gagasan2 filsafat klasik maupun kontemporer, tapi utk saat ini aku memilih fokus pada 3 topik kajian saja yg kuanggap aku cukup memiliki kepakaran di situ: Intercultural Communication, Communication Ethics & Multiculturalism as Political Ideology/Pancasila as National Ideology.

Adapun Minor expertise yg aku masih sanggupi (utk mereview) meletak di kajian Teori2 Feminis, khususnya Standpoint & Teori2 Komunikasi yg lahir/bertolak dari dialektika philosophy & social sciences seperti Symbolic Interactionism, Hermeneutics & Phenomenology.

Di bawah strand tiga kepakaran major (& dua yg minor) ini acapkali ada konsep2 besar yg masuk sbg focal concepts kajian, misalnya isu Toleransi (Sosial & Religius), Konflik antar pemeluk/umat beragama yg berbeda2, dst. Secara terbatas, aku masih berani terima naskah2 yg bahas focal concepts yg sudah cukup kukenali ini. Itu pun menurutku udah agak kebanyakan ya “kategori naskah” yg bisa kupegang.

Pragmatically speaking, kualitas review juga akan bicara pada akhirnya, misalnya, seberapa jauh/mendalam tilikan reviewer atas hal2 yg msh bisa ditingkatkan dari draf naskah yg masuk ke meja Editor. Karena akhirnya kan penulis akan memberikan rebuttal/tanggapan atas masukan dari reviewer yg pegang naskahnya dan hal semacam ini juga akan menjadi perhatian Editor jurnal ybs.

All in all, refleksi singkat yg dapat kupetik dari edisi curhatan malam ini adalah bahwa pengakuan atas kapasitas agential dari seorang dosen-cum-reviewer bukan hanya “melulu” konstruksi sosial kompetensional belaka, tapi juga dimediasi oleh algoritma apps (Publons, WoS, website jurnal serta flow OJS-nya, dapur redaksional jurnal, dst.) sekaligus visibilitas dari kontribusi yang senyatanya sudah diberikan (baca: dituliskan) oleh si dosen-cum-reviewer tersebut lewat karya tulisnya (yg terpublikasi secara ajeg berkala, jadi bukan karena faktor one hit wonder, mind you).

Eh, senyampang membalas chat dari rekan kerja tersebut, ada kolega dosen lain yg bekerja di sebuah kampus dari sebuah Provinsi di Pulau Sulawesi yg ikut nyambung mengomentari update statusku tersebut dgn mengatakan: “Keren Ketua šŸ‘ Pak Hendar”

Saya lalu mengucapkan terimakasih padanya dan menekankan fakta miris 01 berikut ini: “Gengsinya gede, Kum nya juga lumayan, tapi gak ada duit yg masuk ke rekening nglakoni kerjaan jadi reviewer jurnal Q1 dan Q2 inišŸ¤£”

Kolega dosen ini tampaknya belum percaya dan bertanya, “Benarkah Pak? Masa ya? Pdhl kan kerjanya lumayan menyita wktu ya.”

Saya lalu menukas, “Hehe.. ya nggak ada Bu sama sekali. Inilah dunia “akademis” yg tanpa pamrih ya kalo kita mau ngomong. Kalau jd reviewer yg jurnal Sinta 4 dan 5 justru malah dapat honor meski gak seberapa besar rupiahnya, plus itu naskah harus sampai terbit ya baru dibayar. Mungkin kalo jurnal Scopus Q1 & Q2 reviewernya dianggap sudah mandiri secara finansial kali yašŸ¤£”

Kolega dosen dari Sulawesi ini lalu ikut “curhat” dengan mengatakan bahwa “Biasany klo di kampus sering dgr “upahmu besar di sorga”, “gpp, hitung2 nabung di akhirat”.
Kan Bgitu jg tugas tambahan di kampus kan ya pak Hendar šŸ¤£

Secara diplomatis tapi juga kritis, saya menjawab “curhatannya” berikut:
“Hehe… Iya Bu. Tapi kalo sering2 denger yg kayak gini eneg juga yašŸ¤­ artinya ada kegagalan sistemik memetakan persoalan profesionalism dan jalan keluarnya sperti apa. Kalau apa2 upahnya besar di surga yg menjamin tugas2 tambahan ini tercatat di Surga siapa ya? Mosok Dirjen DIKTI jugašŸ¤£šŸ¤£”

Kemudian dia melanjutkan curhatnya berikut:
“Makanya pak sy kalo tugas tambahan lbh srg mnolak. Krn mmg realitanya di kampus konsep profesionalism itu berbeda. dosen itu anggapanny harus serba mengabdi, mau dan mampu bekerja kn udh dibayar ama negara or yayasan šŸ¤£šŸ¤£. Sbnrnya menolak bukan krn sombongšŸ¤£šŸ¤£. Tp mmg mrasa ga mampu sejujurnya. Ga mampu membiayai aktivitas tugas tambahan itu. Moso iya besar psak dr tiang. Hahahha jadi curhat šŸ¤£šŸ¤£šŸ¤£šŸ™”

Saya menanggapi “curhatannya” sbb.:
“Tugas tambahan itu tidak jarang sebagai nama lain dari eksploitasi niat baik bu wkwkwk di mana ada relasi kekuasaan yg tidak seimbang (timpang), di situlah terjadi eksploitasi dlm berbagai bentuk, modus dan dampaknya. Ujung2nya ya sesal, getir dan prihatin di level individu dan interpersonal + lack of trust pada level organisasional.” (dst.)

Komentar singkat atas chat tsb:
Sejauh “tugas tambahan” tersebut masuk IKU/KPI, mungkin dosen masih “rela” dan “bersedia” utk menjalaninya, tapi kalau kontribusinya disunat dan di-simsalabim lalu ia dihibur secara palsu dan manipulatif dengan janji2 upahmu besar di surga, di situlah persis status profesionalisme sebagai Dosen dengan tugas mahasuci “menjalankan TriDharma” menjadi Oxymoron & dis-insentif atas etos berkarya.
Moga2 gak terus berulang yg kayak begini2. šŸ¤£

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *