Categories
Uncategorized

Membangun Empati Lintas Batas: Antara Damba dan Realitas

Belakangan ini, khususnya selama tahun 2023 —untuk membatasi time frame melihat dan menganalisis situasi dan peristiwa— ruang virtual kepublikan kita disesaki macam2 pemberitaan yang mengarah pada bukan hanya mewartakan kasus2 kekerasan (seksual di antaranya) terhadap anak tapi juga reviktimisasi anak pelaku kekerasan dan anak korban kekerasan, seperti (menggunakan inisial) AG dan DO di Jakarta, NA di Ende, ABK di Semarang, dan masih banyak lainnya.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bahkan mencatat ada 10 kekerasan seksual terhadap anak di sekolah [ini data hanya di lingkungan sekolah lho, belum terhitung tindak kekerasan seksual yg dilakukan di luar lingkungan sekolah!] sepanjang awal Januari sampai 18 Februari 2023. Dari kejadian itu membuat 86 anak jadi korban kekerasan seksual, baik laki-laki maupun perempuan.
(https://nasional.tempo.co/read/1693308/fsgi-catat-ada-10-kasus-kekerasan-seksual-di-satuan-pendidikan-di-awal-2023)

Yang terbaru, kemarin (Selasa, 30 Mei 2023) terungkap kasus pemerkosaan yg mengerikan dan amat biadab terhadap RI, gadis berumur 15 tahun, oleh 11 pria dewasa (!) di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Dilaporkan bahwa kondisi kesehatan si anak korban kekerasan seksual ini terus memburuk lantaran alat reproduksinya mengalami infeksi akut dan rahimnya terancam diangkat (https://www.bbc.com/indonesia/articles/cw8lw5nq0d0o)

Kalau kita agak mundur ke belakang 5 tahun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat (bahwa) selama periode 2016-2020 ada 655 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan fisik dan psikis
(lih: https://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-pengaduan-anak-2016-2020)

Data tinggal beku sebagai data jika kita sebagai pengguna tidak memberi makna dan mengancang sapa untuk memahaminya (syukur2 dapat bertindak konkret yang menunjukkan belarasa).

Kita mulai dari bertanya:
Mengapa ini semua bisa terjadi?
Salah siapa?
Apakah lemahnya pengawasan para ortu yg super sibuk mencari nafkah sampai abai thd safety dan well-being anak2nyakah?
Apakah krn digitalitas dalam bentuk2 negatifnya merangsek terlalu jauh nyungsep ke ruang2 intim kerentanan anak dan remaja digital natives?
Atau mungkin karena kepedulian dekat dan melekat antarwarga dari hidup bertetangga dan hidup bermasyarakat semakin terkikis, untuk tidak menyebut, HABIS?
Juga, bagaimana kita dapat ikut berempati terhadap korban dan ikut berkontribusi mengurangi potensi terulangnya kasus2 serupa di lingkungan sekitar kita?

Pertanyaan2 di atas diajukan agar kita mau berpikir dan peduli utk melangkah lebih jauh dan bukan hanya menjadi penonton (moralitas bystander) saja.

Ada beragam cara utk ikut berempati selain mengawal penegakan hukum terhadap kasus2 kekerasan yg sudah dilaporkan ke polisi dgn tidak pandang bulu siapapun pelakunya [semacam motto yg belakangan jadi buah bibir: no viral no justice, atau, secara peyoratif juga ada yg menyebutnya sebagai Slacktivism atau clicktivism]

Satu simpul yg dapat saya sumbangkan utk ikut mendiskursuskan isu di atas adalah dengan merujuk pada paparan Dr. Haryatmoko, SJ dalam Seri Webinar AIPI, “Membangun Empati Lintas Batas,” yang dilangsungkan pada Jumat, 26 Mei 2023 kemarin. [Tayangan ulang berupa rekaman Webinar ini dapat diakses pada Kanal YouTube Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) berikut: https://www.youtube.com/watch?v=YXYos6h5W_s]

Beliau menggarisbawahi pentingnya Etika Komunikasi di era digital yang responsif dan berbela rasa pada korban.

Romo Moko, demikian beliau biasa dipanggil, mengajukan paparan bertajuk “Membangun Empati, Mencegah Impersonalisasi.”

Pada salah satu salindia inti dari paparannya [lihat skrinsyut berikut],

Romo Haryatmoko menawarkan 6 model pembelajaran guna mengatasi impersonalisasi korban di media sosial. Yang menjadi tugas dan tanggungjawab ‘kita’ (netizen in general, para dosen dan peneliti Media dan Komunikasi serta ethical scholar in particular) sekarang adalah memikirkan secara kritis dan menemukan sejumlah cara yg kreatif untuk membumikan poin2 penting yg digariskan Romo Moko berikut ini:

Bagaimana cara2 kreatif yang dapat kita temukan dan rumuskan untuk:

1) mengembangkan keterampilan berpikir kritis para netizen?,

2) menumbuhkan budaya empati dlm komunitas daring?,

3) mendesain platform bertanggungjawab?,

4) mempertanyakan & menuntut akuntabilitas algoritmik?,

5) mendorong platform dan pengguna utk berdialog membangun pemahaman dan empati?,

6) mendorong intervensi pengamat?

Semoga pada beberapa hari ke depan ini kita dapat ikut memikirkan jawaban atas gugus pertanyaan di atas dan membagikan kepedulian serta membangun empati lintas batas demi pemulihan harkat dan martabat (para) korban.

Alangkah bagusnya jika kasus2 kekerasan seksual terhadap anak di atas (serta langkah2 mengantisipasinya agar jangan sampai terjadi pada anak Anda dan anak saya, anak2 kita) diangkat dan didiskusikan secara terbuka di ruang2 kelas PAUD sampai Pendidikan Tinggi supaya semakin meningkatlah kesadaran anak2 kita (juga para orangtua) terhadap para predator dan calon2 predator yg gentayangan di sekeliling kita, mencari mangsa dan menunggu saat yg tepat utk menerkam mangsanya. Duuuuh …

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *