Categories
Uncategorized

adakah Pengantar Ilmu Komunikasi yang ‘sederhana’?

Salah satu tantangan menjadi seorang Doktor dalam disiplin keilmuan tertentu adalah MAMPU menyederhanakan persoalan-persoalan yang rumit, juga problematika yang kompleks dalam disiplin keilmuan yang dipelajari, menjadi “sesuatu” yang lebih SIMPLE untuk dipahami pembaca awam.

Hal ini berulang-ulang disampaikan oleh para dosen saya dalam kuliah-kuliah pengantar Ilmu Komunikasi yang saya tempuh pada 3 semester pertama perkuliahan tatap muka (2019-2021) dan kemudian ditegaskan lagi oleh para pembimbing (Tim Promotor) maupun tim penguji dari laporan hasil penelitian disertasi yang sudah saya pertahankan pada Jumat, 30 November 2023 yang lalu.

Saking seringnya “adagium” ini saya dengar, tidak jarang saya lalu menerima ‘kebenaran’ yang dikandung dalam pernyataan ini secara begitu saja, taken-for-granted.

Maksudnya, saya tidak lagi ‘mencari tahu lebih jauh’ (menggali) apa yang sesungguhnya dimaksud dengan “merumuskan persoalan yang COMPLEX menjadi SIMPLE” atau ‘menyederhanakan hasil temuan penelitian sehingga jadi lebih mudah dipahami pembaca awam’ di dalam disiplin keilmuan yang sekarang sedang saya tekuni, yaitu Communication Science.

Dalam masa pencarian akan pengertian yang sederhana dan less complex tentang keilmuan Komunikasi, ‘kebetulan’ saya menemukan buku In Search of a Simple Introduction to Communication (Penerbit Springer, 2016) yang ditulis oleh Nimrod Bar-Am, seorang ahli Komunikasi dari Sapir Academic College, School of Communication, Israel.

Ketika pertama kali membaca ToC buku tersebut—yang terdiri dari 3 bagian, yaitu Bagian I: Getting Acquainted (4 bab); Bagian II: Toward a Philosophy of Communication (11 bab) dan Bagian III Toward the Simple Introduction to Communication (3 bab)—juga paragraf-paragraf awal dari bab I buku tersebut (h. 1-2), saya terhenyak. Kok begini ya bahasanya? Terasa sederhana tapi menyimpan daya laten kerumitan; terasa to the point tapi kok sepertinya “ngawang-awang.” Saya merasa terusik untuk menuliskan kesan-kesan tersebut di blog ini.

Kesan pribadi tersebut menjadi semakin dikuatkan setelah saya membaca resensi panjang dan mendalam untuk buku ini yang dituliskan Dr. Itay Shani dari Departmen Filsafat, Kyung Hee University, Seoul, Korea Selatan bertajuk “A Far from Simple Introduction to Communication” (free access at https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0048393116677705).

Anehnya, resensi atas buku In Search of (2016) justru memberi kesan bahwa buku ini jauh dari ‘sederhana’ artinya ada yang tidak selaras antara janji yang tercantum dalam judul buku yang diresensi, yaitu “Simple Introduction to Communication” dengan realisasinya (ketika sudah dibaca). How come?

Sebagai seorang penekun keilmuan Komunikasi yang tumbuh dari dan berkembang pemikirannya dalam tradisi Filsafat mazhab Jembatan Serong, saya terpesona dengan tesis yang diajukan Nimrod Bar-Am dlm buku ini, yang secara sederhana dapat dirumuskan dengan ringkas sebagai berikut:
“dorongan paling dasar untuk berkomunikasi adalah kemampuan untuk mengarahkan atau ‘orientasi diri’ pada lingkungan dan memiliki semangat untuk berbagi lingkungan.”

Persisnya, dituliskan oleh Bar-Am (2016: 1-2) sebagai berikut: “this wondrous ability—to orient ourselves in the environment—is the most basic phenomenon that communication researchers seek to understand (and) how this orientation successfully occurs is the vital element of the many varied attempts to understand communication in the conventional sense of this term—that is, our ability to share narratives and challenges with individuals who are similar to us biologically, culturally, biographically and so on. To use terms that we will gradually come to apply here in a highly specific sense, my claim is that communication scholars study the ability of various systems to share environments.”

Membaca kata-kata di atas, saya jadi keinget masa-masa OMB (Orientasi Mahasiswa Baru) yang pernah saya ikuti doeloe di STF Driyarkara (tahun 2000), dan ketika dipercaya menjadi Ketua Pelaksana OMB di UMN (2009). Masa OMB merupakan masa singkat (biasanya dalam kurun 3-5 hari) untuk mengorientasi diri di dalam sebuah lingkungan baru yang dimasuki. ‘Lingkungan’ di sini bukan hanya dimengerti secara fisik/jasmaniah dan teritorial/geografis , tapi juga lingkungan dalam arti ‘kebiasaan, praktik, dan manifestasi2 mentalitas yang dianggap normal berlaku serta dapat diterima secara sosial.’

Kembali ke buku, pertanyaan dasar yang diajukan Bar-Am dalam bukunya adalah sbb.:
“Is there a theoretical basis distinctive of communication studies as such?”
Atau, jika dirumuskan secara lebih ontologis, pertanyaan tersebut berbunyi sbb.:
“Is there a (non-trivial) common denominator to all communication phenomena, and, if so, could it serve as the ground for a conceptually unified field of study?”

(to be continued)

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *