Categories
Uncategorized

Refleksi Personal atas Sesi 03 Perkuliahan Metode Penelitian Kualitatif: Ethnography

Sesi 03 perkuliahan Metopelkul berlangsung secara on-site pada Kamis, 22 Februari 2024, pukul 11.00 – 13.45 WIB, di ruang D0805.

Pre-teaching quotes:

1) Semakin jauh dan dalam memasuki ‘rimba belantara’ Metode Penelitian Kualitatif (dengan beragam variannya), semakin saya disadarkan untuk mengecek kembali tiga aspek berikut: (a) kesiapan mental (disposition); (b) necessary tools to bring and use along the exploration; dan (c) exit strategy kalau sampai stuck di tengah jalan. Aspek yang pertama berurusan dengan uji mental dan ketangguhannya, sementara aspek kedua dan ketiga lebih berurusan dengan research design(s): seberapa solid dan komplit.

Seorang teman baik saya yang baru saja menyelesaikan Studi Doktoralnya pada STF Driyarkara tahun 2023 lalu dan sering diundang menjadi penguji ahli untuk memeriksa laporan riset para peneliti keilmuan sosial dan kajian feminis di kampus tempat saya mengambil studi Doktoral sekarang (Universitas Indonesia), sebut saja namanya mbak RI-01 [tapi dia gak nyaleg lho ya!], chat saya dan mengatakan bahwa “saya melihat penyakit-penyakit ini di kalangan akademisi kita: pertama, fenomena direduksi jadi kasus; kedua, mereka pada umumnya tidak bisa membedakan pendekatan holistik, eklektik dan totality; ketiga, semua analisis sosial direduksi menjadi analisis kebijakan sehingga yang dipentingkan dan diberi prioritas untuk digolkan adalah rekomendasi teknokratis, dan bukan ditarik ke akarnya yaitu filsafat ilmu.”

Saran ‘praktis’ darinya adalah untuk memahami desain riset kualitatif dalam rumpun ilmu-ilmu sosial secara mumpuni, seorang peneliti wajib membaca dan memahami Filsafat Ilmu (Philosophy of Knowledge), khususnya filsafat ilmu-ilmu sosial (philosophy of social sciences). Metode penelitian ilmu sosial yang begitu beragam itu perlu dirujukkan pada Filsafat Ilmu yang mendasarinya agar si peneliti tidak mudah terombang-ambing gelombang lautan keragaman entitas pendekatan atau varian metode yang ujung-ujungnya dapat menghasilkan bongkah keraguan yang akut bahkan disorientasi.

Kabar baiknya, ya, [monologue starts] sebaiknya memang jangan pernah berhenti berharap dan berikhtiar untuk masalah sepelik ini [monologue ends], saya sudah mengumpulkan (tepatnya: mengunduh) delapan belas (ya, 18!) buku-buku yang membahas tentang filsafat ilmu-ilmu sosial yang terbit sejak 1995-1996, yaitu Philosophical Foundations of the Social Sciences: Analyzing Controversies in Social Research (Harold Kincaid, 1995) dan An Introduction To The Philosophy Of Social Research (Malcolm William, 1996) sampai yang baru saja terbit tahun lalu (2023), yaitu Philosophy of Social Science: Philosophical Foundations of Social Thought, 3E. (Ted Benton & Ian Craib, 2023), Perspectivism: A Contribution to the Philosophy of the Social Sciences (Kenneth Smith, 2023) dan Philosophy of Social Science A Contemporary Introduction, 2nd Ed. (Mark Risjord, 2023).

Semoga buku-buku yang sudah saya unduh ini (tapi dibaca lho ya, jangan cuman terpapar the thrill of book downloading aja!), dapat membantu saya untuk menjelajahi keluasan dan kedalaman akar-akar dari keragaman metode kualitatif yang ada dan digunakan sekarang, menemukan signposts yang bermakna untuk diterjemahkan menjadi practical insights and guidelines bagi para mahasiswa di kelas yang saya ajar semester ini, serta tentu saja menjadi constructive inputs untuk revisi Bab Kerangka Teori Disertasi yang sedang coba saya rumuskan ‘secara baru’ pada bulan Februari dan Maret 2024 ini. Gitu ya!

2) Salah satu isu yang mengemuka dalam perkembangan metode Etnografi dalam Riset Kualitatif adalah bagaimana mengakomodasi munculnya atau mentasnya “Yang Virtual / Yang Digital” berkat adanya infrastruktur teknologi baru (abad XXI) bernama Internet. Sejumlah ahli menyebut perkembangan dalam metode Etnografi terbaru ini dengan beragam sebutan, di antaranya virtual ethnography (Christine Hine, 2000), Netnography (Robert V. Kozinets, 2010), ethnography and virtual worlds (Tom Boellstorff, 2012), dan digital ethnography (John Postill, Jo Tacchi, Heather Horst, Tania Lewis, Larissa Hjorth, & Sarah Pink, 2015).

Sosiolog kontemporer bernama Peter Forberg & Kristen Schilt (2023) mengajukan definisi yang khas tentang pendekatan ‘etnografi digital’ dengan cara membandingkannya dengan ‘etnografi analog,’ sbb.: “Digital ethnographic approaches could include participant observation in virtual or online communities, as well as interactions that bridge on- and offline worlds, such as hack-a-thons, esports tournaments, or workplace information systems…we see value in considering digital ethnography as a distinct mode of ethnographic research that could be used alongside or in lieu of ethnography conducted solely in physical, in-person settings—what we will call “analog ethnography.” Digital ethnography also offered hope of faster and more efficient data collection for researchers worried about the slower tempo of in-person research.

Uniknya, alih-alih memuji kekhasan Etnografi analog/tradisional yang penelitinya memang menginvestasikan waktu secara khusus dan extended untuk tahap pengumpulan data (misalnya, dengan immersion, live-in, dll.) sehingga mereka mendapatkan deskripsi yang kaya dan mendalam (thick description) tentang perilaku ethnos atau kelompok sosial/budaya yang diamati, etnografi digital justru memberikan tekanan pada pengumpulan data yang lebih cepat dan efisien bagi etnografer yang mengambil pendekatan ini (dan yang risau dengan tempo lambat dari penelitian in-person). Pertanyaan kritisnya di sini: Apakah ‘pengumpulan data dalam waktu yang lebih cepat’ akan menjadi trend & hallmark dari etnografi masa depan yang meneliti lebih banyak kelompok sosial/budaya yang pola-pola komunikasi dan gugus interaksi intra- dan inter- anggotanya semakin terhubung lewat internet (mediatized)?

Rujukan:
Forberg, P., & Schilt, K. (2023). What is ethnographic about digital ethnography? A sociological perspective. Frontiers in sociology, 8, 1156776. https://doi.org/10.3389/fsoc.2023.1156776

3) Being listened to, appreciated and understood is a sure “path” [μέθοδος: μετά + ὁδός (in pursuit of a method, system, a way, or manner of doing, saying, etc.)] to strive for excellence and to understand how things work out the way they are.

Bonus:
bagan yang disusun Blaikie (2010, h. 33) ini sangat baik (lengkap dan solid) untuk memahami prosedur serta bagan alir dari desain riset kualitatif sejak hulu sampai ke hilir tanpa harus terjebak menjadi HILIRISASI!

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *