Categories
Uncategorized

Perkembangan Konsep Etis dari Etika Komputer dan Siber menuju Etika Informasi dan AI: Sebuah Ancangan Awal

Disarikan dari Kuliah Tamu tentang Dimensi Etis dalam Etika Siber, atau yang juga dikenal dengan istilah lain seperti Etika Komputer, Etika Virtual, dan Etika Informasi, pada Selasa, 23 April 2024.
Peserta: Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara, batch 6

Dosen Pengampu: Dr. (Cand.) Hendar Putranto, M. Hum.
Alumnus Program Magister STF Driyarkara & Kandidat Doktor dalam Ilmu Komunikasi, Program Pascasrjana Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia

Sekarang kita masuk ya ke materinya. Itu tadi baru pengantar saja.

Sekarang saya akan mulai sedikit dengan semacam kilas balik sejarah ya, supaya teman-teman dapat memahami hal yang tadi saya singgung di muka, yaitu kenapa pada judul salindia saya tulisnya ada etika cyber/virtual/informasi.

Setelah Perang Dunia Kedua, ada seorang ahli komputer dan pemikir teknologi bernama Norbert Wiener (1894 – 1964), yang menulis buku berjudul The Human Use of Human Being (terbit perdana tahun 1950, versi revisi tahun 1954).

Dalam bukunya ini, Norbert Wiener sudah menengarai dan mengantisipasi adanya sejumlah isu etis di dalam penggunaan komputer. Yang perlu kita pahami di sini mungkin beberapa teman sudah ada yang nonton film The Imitation Game (2014) yang diperankan Benedict Cumberbatch, tentang Turing Machine.

Jadi dalam film itu digambarkan bagaimana penggunaan mesin ciptaan Alan Turing pada tahun 1936, yang disebut dengan a-machine atau automatic machine pada waktu pecah Perang Dunia II (1942) guna memecahkan sandi yang dibuat oleh Nazi Jerman, supaya (Inggris) bisa tahu dan mengantisipasi pergerakan armada perang NAZI Jerman, khususnya pesawat-pesawat pengebom Heinkel He 111 bombers dalam The Battle of Britain (1940), akan meluncurkan bom-bomnya di titik mana.

Setelah lahirnya mesin Turing itulah perkembangan komputer bermula, dan ternyata memunculkan atau ditengarai memunculkan masalah etis, yaitu tentang automation, automata yang terkait dengan mesin. Jadi automation itu terkait dengan fungsi atau kerja mesin dan otonomi, jadi semacam diperlawankan begitu ya. Kalau otonomi besar artinya mesin tidak bisa semakin otomatis, harus tergantung pada manusia operatornya. Tetapi kalau automation semakin besar, mesin mempunyai daya kendali yang makin besar, maka otonomi manusia sebagai, misalnya operatornya, makin mengecil. Jadi ada semacam tegangan etis (ethical dilemma) di dalam penggunaan komputer.

Yang kedua, Wiener juga membahas tentang komunikasi yang produktif antara mesin dengan manusia yang berbentuk kooperasi, atau kerjasama. Dalam bukunya, Wiener mengatakan bahwa “It is my thesis that the operation of the living individual and the operation of some of the newer communication machines are precisely parallel […] This is true whether we consider human beings alone, or in conjunction with types of automata which participate in a two-way relation with the world about them” (Wiener, 1950, p. 15).

Tetapi, Wiener juga mengenali potensi risiko dari meluasnya penggunaan komputer atau masalah etis dari automation, yaitu slavery atau dehumanisasi, ketika manusia menjadi subordinat atau berada di bawah kendali mesin. Berikut verbatim dari Wiener terkait hal ini: “I wish to devote this book to a protest against this inhuman use of human beings; for in my mind, any use of a human being in which less is demanded of him and less is attributed to him than his full status is a degradation and a waste […] it is an almost equal degradation to assign him a purely repetitive task in a factory, which demands less than a millionth of his brain capacity. It is simpler to organize a factory or galley which uses individual human beings for a trivial fraction of their worth than it is to provide a world in which they can grow to their full stature. Those who suffer from a power complex find the mechanization of man a simple way to realize their ambitions” (Wiener, 1950, p. 16).

Dengan kata lain, performa mesin semakin terlepas dari kendali manusia jika tidak disupervisi dengan baik. Nah, jadi ini saat di mana mesin itu semacam punya intelligence-nya sendiri. Jadi dia bergerak sendiri begitu.

Belum lama saya nonton film Mission Impossible yang terbaru, Death Reckoning (2023). Di situ kan ada AI yang seperti berpikir sendiri, bergerak sendiri, mengendalikan begitu ya [disebutnya sebagai The Entity: an advanced, self-aware rogue AI].
Yang lalu istilahnya adu pinter gitu ya dengan si Tom Cruise yang menjadi tokoh utama film itu. Jadi ketika mesin atau intelligence yang ada di balik mesin, dia bisa berkembang dengan sedemikian rupa sehingga tidak lagi dapat dikendalikan oleh manusia.

Terus yang terakhir dalam tulisan ini, Wiener juga memperkenalkan istilah entropi dan negentropi dalam kajian sibernetika, ini yang kemudian menjadi salah satu tradisi di dalam ilmu komunikasi, sibernetika. Kedua istilah ini merujuk pada hukum kedua termodinamika, yang berbunyi “a system may lose order and regularity spontaneously, but that it practically never gains it […] The notion of information has proved to be subject to a similar law – that is, a message can lose order spontaneously in the act of transmission, but cannot gain it” (Wiener, 1950, p. 7). Hal ini nanti akan saya jelaskan lebih jauh pada slide berikutnya ketika Luciano Floridi meminjam istilah entropy ini untuk merumuskan ‘prinsip-prinsip Etika Informasi’ (the basic principles of IE).

Tokoh yang kedua adalah Walter Maner, guru dan peneliti medis dari Amerika Serikat yang memberi perhatian pada pentingnya pengajaran etika komputer dalam kurikulum pendidikan. Jadi, ini di Amerika Serikat, Maner adalah salah satu tokoh yang memperkenalkan tentang etika komputer di dalam kurikulum pendidikan waktu itu ya, mungkin masih di Departemen Teknik atau Mesin ada yang namanya Computer Science, pada pertengahan tahun 1970, 1975 atau 1976 begitu. Etika komputer kemudian masuk dalam kurikulum. Walter Maner juga menulis satu buku yang disebut Starter Kit for Teaching Computer Ethics (Bynum, 2000). Maner melihat dan mengevaluasi bahwa sejumlah isu etis sudah sedemikian berubah (transformed) karena penggunaan komputer sehingga isu-isu etis ini layak untuk dipelajari secara khusus, in their radically altered form. Karena itu, Maner mendefinisikan etika komputer sebagai “cabang dari etika terapan yang memelajari masalah-masalah etis yang dibuat jadi lebih serius, ditransformasi, atau diciptakan oleh teknologi komputer” (Bynum, 2000).

Inilah buku yang pertama kali, di dalam kurikulum pendidikan di Amerika waktu itu, memperkenalkan istilah Computer Ethics walaupun buku ini memang disebutnya sebagai starter kit , bukan sebuah pendahuluan atau introduction yang cukup lengkap dan menyeluruh. Ternyata istilah computer ethics masih terus digunakan selama 10-15 tahun sejak diperkenalkan di dalam kurikulum itu, yang kemudian oleh Deborah G. Johnson (1985) dalam bukunya Computer Ethics dan James H. Moor (1985) dalam artikelnya “What is Computer Ethics,” diangkat ke tataran yang lebih filosofis dan dimuat dalam jurnal yang memang membahas tentang filsafat, yaitu Metaphilosophy.

Jadi inilah tahapan yang dalam etika kita sebut sebagai ‘bertolak dari yang praktikal, dari subjek yang cukup praktis kalau komputer etik yang tadi diperkenalkan oleh Walter Maner, kemudian diangkat ke tataran yang lebih normatif,’ sebagaimana di awal tadi saya sebutkan ada tiga tataran dalam mempelajari Etika secara menyeluruh, yaitu metaethics, normative ethics & applied ethics.

Dengan demikian, baik Johnson maupun Moor termasuk pionir yang pertama kali mendefinisikan etika komputer sebagai cabang kajian etika terapan. Bahkan Moor mencetuskan satu istilah yang khas, yaitu Logical Malleability dari komputer. Jadi, malleability itu kemampuan untuk dapat dibentuk-bentuk seperti tanah liat. Artinya, struktur komputer memungkinkan komputer itu untuk melakukan sembarang kegiatan dan secara kuat menunjukkan hubungan logis antara inputs dengan outputs, sehingga komputer dapat melakukan beragam fungsi sekaligus. Fungsi-fungsi yang dapat dilakukan oleh komputer secara sekaligus itu mulai dari pengolahan data, piranti, gawai, komunikasi, platform belanja, main game, dan manajemen keuangan.

Jadi sudah dari tahun 1985, kita melihat bahwa ada yang namanya platform belanja yang dijalankan komputer. Tentu bukan platform belanja berbasis digital apps seperti yang sekarang kita kenal, misalnya Shopee atau Tokopedia, Blibli, dan seterusnya. Bukan seperti itu. Tetapi istilah platform belanja dan bahkan main game ternyata sudah ada/dicetuskan sejak tahun 1985.

Itulah konteks khusus munculnya istilah logical malleability dalam kajian etika komputer pada tahun 1985, ketika naskah what is computer ethics ini pertama kali terbit.

Nah, sekarang kita masuk ke yang namanya information ethics, yang diperkenalkan oleh seorang tokoh bernama Luciano Floridi. Pemikiran Floridi tentang Information ethics ini saya jadikan salah satu backbone teori dalam disertasi saya. Floridi lahir di kota Roma, Italia pada 1964, dan menempuh pendidikan sarjananya di jurusan Filsafat Rome University La Sapienza. Tidak lama setelah lulus sarjana, Floridi pindah ke Inggris dan berkiprah merintis karir akademisnya di sana pada awal 1990-an.

Floridi sudah mulai menulis tentang prekursor Etika Informasi sejak tahun 1994-95, tetapi baru pada tahun 1999 Floridi mengeksplisitkan information ethics ini dalam judul artikel ilmiah yang ditulisnya, yang pertama kali muncul dalam jurnal Ethics and Information Technology. Pada tahun 2006, ide dasar tentang Etika Informasi ini dikembangkannya lagi menjadi artikel bertajuk Information Ethics: Its Nature and Scope yang dimuat dalam jurnal Acm Sigcas Computers and Society 36(2). Pada tahun 2013, beliau menulis buku yang sebenarnya merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan sebelumnya yang bicara tentang information ethics, tapi kemudian ia kembangkan dengan tambahkan beberapa bab baru, sehingga menjadi buku utuh bertajuk The Ethics of Information.

Kemudian, pada tahun 2023, buku yang keempat dari tetralogi karya filosofisnya seputar INFORMASI, mulai dari Philosophy of Information (2011), The Ethics of Information (2013), The Logic of Information (2019), dan yang terakhir, baru terbit bulan November 2023 kemarin, The Ethics of Artificial Intelligence: Principle, Challenges, and Opportunities. Tentu pada kesempatan kuliah tamu sekarang ini saya tidak mungkin memperkenalkan satu persatu karya Floridi yang saya sebutkan tadi. Tetapi cukuplah di sini saya akan menunjukkan bagaimana etika informasi yang digagas dan dikembangkan Floridi selama lebih dari 20 tahun (1995-sekarang), ternyata memiliki backdrop atau latar belakang teoritis dari dua strand. Strand yang pertama disebut computer ethics yang lebih banyak berurusan dengan aspek teknikal dari komputer. Sementara strand yang satunya lagi, information ethic yang juga mulai beragam penyebutannya, ada ahli yang menyebutnya sebagai cyber ethics , internet ethics, juga Intercultural Information Ethics (Capurro, 2003).

Pada salindia di bawah ini, saya menuliskan beberapa tokoh pencetus serta tahun-tahun rujukan karyanya.

dua strand dari Etika Informasinya Floridi

REFERENCES:

Bynum, T. W. (2000). A Very Short History of Computer Ethics. Newsletter on Philosophy and Computing. Diakses dari https://www.cs.utexas.edu/~ear/cs349/Bynum_Short_History.html

Capurro, R. (2008). Intercultural Information Ethics. Dalam Himma, K. E. & Tavani, H. T. (Tim Penyunting). The Handbook of Information and Computer Ethics (pp. 639-665). New Jersey: Wiley. https://doi.org/10.1002/9780470281819.ch27

Floridi, L. (1995). Internet: which future for organized knowledge, Frankenstein or Pygmalion? International Journal of Human-Computer Studies, 43(2), 261–274. https://doi.org/10.1006/ijhc.1995.1044

Floridi, L. (1999). Information ethics: On the philosophical foundation of computer ethics. Ethics and Information Technology 1, 33–52. https://doi.org/10.1023/A:1010018611096

Floridi, L. (2002). Information Ethics: An Environmental Approach to the Digital Divide. Philosophy in the Contemporary World. 9(1), 39-45. UNESCO World Commission on the Ethics of Scientific Knowledge and Technology (COMEST). Paris: UNESCO, 18-19 Juni 2001.

Floridi, L. (2006). Information ethics, its nature and scope. ACM SIGCAS Computers and Society, 36(3), 21–36. https://doi.org/10.1145/1195716.1195719

Floridi, L. (2008). Foundations of Information Ethics. Dalam Himma, K. E. & Tavani, H. T. (Tim Penyunting). The Handbook of Information and Computer Ethics (pp. 1-23). New Jersey: Wiley. https://doi.org/10.1002/9780470281819.ch1

Floridi, L. (2011). The Philosophy of Information. Oxford, UK: Oxford University Press.

Floridi, L. (2013). The Ethics of Information. Oxford, UK: Oxford University Press.

Floridi, L. (2019). The Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design. Oxford, UK: Oxford University Press.

Floridi, L. (2023). The Ethics of Artificial Intelligence: Principles, Challenges, and Opportunities. Oxford, UK: Oxford University Press.

Johnson, D. G. (1985). Computer ethics. Prentice-Hall.

Maner, W. (1996). Unique ethical problems in information technology. Science & Engineering Ethics 2, 137–154. https://doi.org/10.1007/BF02583549

Moor, J. H. (1985). What is computer ethics? Metaphilosophy 16(4), 266-275.

Wiener, N. (1950). The Human Use of Human Beings. Houghton Mifflin (US) & Eyre & Spottiswoode (UK).
Diakses dari https://monoskop.org/images/9/90/Wiener_Norbert_The_Human_Use_of_Human_Beings_1950.pdf

Cover buku The Human Use of Human Beings:
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/8/80/Humanusecover.jpg

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *