Pertanyaan di atas (dan elaborasinya) sudah saya coba jawab dalam artikel ilmiah terbaru yang saya tulis beberapa waktu lalu dengan judul, Prahara Digital Labor dalam Bingkai Penafsiran Logika Waktu Pendek dan Kapitalisme Luwes.
Tulisan sepanjang 8,000 kata ++ tersebut akhirnya saya submit ke & berhasil dimuat dalam jurnal Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication (E-ISSN 2721-0162 & P-ISSN 2721-1495), Vol. 5(1), 41-62.
Tuturlogi adalah jurnal ilmiah yang mengkhususkan kajiannya pada studi Ilmu Komunikasi di Indonesia dan, secara lebih umum, kajian Komunikasi di Asia Tenggara.
Tuturlogi dikelola dan diterbitkan oleh Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya (Malang, Jawa Timur).
Berikut abstrak (231 kata) dan keywords-nya (in English):
When the COVID-19 pandemic gradually subsided, digital disruption was considered a game changer for today’s work, such as work from home (WFH).
The prevalence of digital disruption in contemporary work has triggered the birth of a digital labor class, which broadly impacts intra- and inter-organizational communication, especially in dealing with work-related risks in an increasingly insecure labor market.
In a macro context like this, digital labor within neoliberal higher education institutions became an interesting phenomenon, especially given the worsening
conditions of intellectual workers and changes in academic behavior and practices.
A recent study showed many practices violating academic integrity in Indonesian higher education institutions, such as plagiarism, data fabrication, improper claims of authorship, contract-cheating, and other violations of professional codes of ethics.
To address these problems, the author employed a critical method of the political economy of communication and the sociology of work to analyze ‘short-time logic’ as an operational mechanism in flexible capitalism, commoditizing workers’ time by blurring the boundaries between productive and leisure time and turning the
illusion of worker autonomy into a ‘sustained contestation.’
The ‘short time logic’ of flexible capitalism deformed intellectual workers in higher education in Indonesia into digital labor because they were constantly conditioned to produce intellectual products with highly competitive metrics but lacking reflection and meaningfulness, which sharpened the gaps in competency-based inequalities and created a new hierarchy of social classes in higher education.
Keywords: digital labor; political economy of communication; critical sociology of work; the culture of new capitalism (CNC); cutting-edge firms & worker’s talent
Adapun, dua paragraf pertama dari bagian Pendahuluan-nya tertulis sbg berikut:
Dua hantaman besar menerpa dunia kerja, disrupsi digital dan Pandemi COVID-19, tetapi ‘hanya’ satu yang diseka; sementara, yang satunya dianggap biasa saja, lumrah, dan normal. Ketika COVID-19 berangsur mulai reda dan tertangani—oleh PBB sudah dinyatakan bukan lagi ancaman kesehatan global (UN, 2023)— disrupsi digital justru dianggap sebagai game changer (Future Earth, 2020; Chang & Chang, 2023) bagi dunia kerja sekarang (Putranto, 2021; Shirmohammadi, dkk., 2022), misalnya lewat keluwesan aturan bahwa bekerja tidak harus berada di kantor (Work from Home). Salah satu konsekuensi besar dari pelaziman atau normalisasi disrupsi digital dalam dunia kerja kontemporer adalah munculnya strata kelas pekerja digital atau digital labor (Xia, 2021), mulai dari klas pekerja prekariat—yang oleh sebagian ahli dilihat sebagai “klas yang paling miskin secara ekonomi dan paling berkekurangan dari tujuh klas yang teridentifikasi,” (Savage, dkk., 2013), atau “a potentially transformative new mass class” (Standing, 2014)—, kaum pekerja migran di Global North (Lewis, dkk., 2015), student-workers (Campbell & Price, 2016), sampai dengan para pekerja teknologi yang berkecukupan (affluent tech workers) (Dorschel, 2022). Ringkasnya, semua pekerja yang job desk-nya difasilitasi oleh dan tergantung pada penggunaan teknologi digital kiwari, khususnya internet, media sosial, dan kecerdasan buatan, dalam lingkup kapitalisme digital, entah secara langsung maupun tidak langsung, dan berhadapan dengan risiko-risiko kerja dalam pasar tenaga kerja yang semakin tidak aman (Fuchs, 2014; Chun & Agarwala, 2016; Dorschel, 2022; Jarrett, 2022; Munn, 2024).
Perubahan teknologi, dulu dan sekarang, analog maupun digital, tentu saja membawa dampak-dampak tertentu yang perlu direspon oleh pasar tenaga kerja, baik pemberi kerja maupun pekerja, pada sektor formal maupun informal. Salah satu pokok perubahan terkait ‘dampak negatif’ (yang biasanya dipersepsi sebagai ancaman) dari digitalisasi atau disrupsi digital terhadap dunia kerja berbunyi sebagai berikut: “(ancaman yang dibawa oleh disrupsi digital) hadir dalam bentuk sejumlah tantangan baru yang dihadapi pemberi kerja dan pekerja. Teknologi digital dan layanan digital mengubah aturan bekerja serta sejumlah prasyarat yang dituntut dari pekerja seperti kompetensi, pengetahuan, kecakapan dan sikap” (Chinoracký & Čorejová, 2019). Selain itu, perusahaan yang digerakkan ‘roda’ kapitalisme platform dijital, contohnya perusahaan Über atau Lyft, berpotensi mengubah pekerjaan dan kondisi kerja bagi segmen pekerja tertentu, seperti kondisi pekerjaan yang rentan sekaligus merusak kesehatan (Muntaner, 2018).
Untuk paragraf lanjutan bagian Pendahuluan, Metode, Hasil dan Pembahasan, serta Kesimpulan dan Kritik/Tanggapan, silakan mengunduh dan membaca langsung artikelnya pada link berikut ini:
https://tuturlogi.ub.ac.id/index.php/tuturlogi/article/view/13606 atau kalau menggunakan DOI-nya, di sini: https://doi.org/10.21776/ub.tuturlogi.2024.005.01.5
Jangan lupa “Like, Comment, Share and Subscribe” yaaaah :p
salam buruh digital!
Hendar Putranto