Dimulai dari keingintahuan untuk mencoba sebuah aplikasi digital yang dapat membantu belajar secara mandiri lewat membaca buku secara teratur/ajeg setiap harinya, saya meng-install Blinkist (cek di Google Play) dan mulai mencari-cari buku apa yang bagus untuk mulai saya baca. Pada saat scroll acak, saya terantuk pada buku yang ditulis seorang ahli Psikologi bernama Carol Dweck berjudul Mindset: The New Psychology of Success (2006).
Yang dituliskannya merupakan kristalisasi dan penamaan lain dari skema tiga representasi sikap komunikatif yang saya sedang dalami dan kembangkan dalam disertasi saya: sikap alamiah, sikap fenomenologis dan sikap etis. Dweck menamainya skema “fixed vs. a growth mindset” yang kurang lebih berbunyi sbb. (terjemahan dari bahasa Inggris)
Pola pikir kita menentukan apakah kita yakin bisa belajar, berubah, dan bertumbuh – atau tidak. Dari bentuk tengkorak hingga ukuran kaki Anda, ciri-ciri fisik tubuh Anda sedikit banyak telah ditentukan sejak awal. Tentu saja Anda bisa menjalani operasi plastik atau mengalami patah tulang, tapi, sebagai manusia, pada umumnya kita hanya mempunyai sedikit kendali atas ciri-ciri tubuh kita. Namun bagaimana dengan kemampuan intelektual dan fisik seperti bermain basket, menggambar, atau memecahkan soal matematika? Apakah mereka turun temurun (hereditary) atau dipelajari (learned)?
Saat ini sebagian besar ilmuwan sepakat bahwa jika Anda ingin menjadi pemain biola handal (concert violinist), Anda tidak hanya perlu memiliki “bakat” musik tetapi juga harus mendedikasikan tahun-tahun hidup Anda untuk berlatih keras. Ringkasnya, pola pikir kita memainkan peran penting dalam cara kita memandang diri sendiri dan orang lain. Sederhananya, pola pikir kita membentuk keyakinan kita untuk mencapai sesuatu.
Kedua tonggak ekstrem ini menjadi dasar konsep pola pikir tetap vs pola pikir berkembang. Orang-orang dengan pola pikir tetap percaya bahwa mereka dilahirkan ‘secara alamiah berbakat’ dalam melakukan beberapa hal tetapi sama sekali tidak mampu melakukan hal-hal lain, sedangkan orang-orang dengan pola pikir berkembang percaya bahwa mereka bisa menjadi ahli dalam segala hal jika mereka berusaha cukup keras. Jadi orang-orang dalam kelompok terakhir terus berkembang sepanjang hidup mereka, memeroleh keterampilan baru tanpa syarat dan secara aktif terlibat dalam hubungan mereka. Bagi mereka, kehidupan dalam segala aspeknya selalu berubah. Sebaliknya, orang dengan pola pikir tetap seringkali membiarkan cara berpikirnya yang hitam-putih menghalangi perkembangannya. Jika mereka gagal dalam suatu hal, mereka akan mengubur kepala mereka di pasir atau menyalahkan orang lain. Mereka mengharapkan cinta abadi dalam hubungan mereka daripada memperbaiki hubungan itu sendiri.
Kemampuan seseorang sudah terpatri (ajeg) dalam pola pikir tetap. Orang dengan pola pikir tetap percaya bahwa bakat adalah raja. Dalam pandangan mereka, kemampuan seseorang ditentukan sejak awal. Seseorang, pada dasarnya, cerdas dan berbakat atau bodoh dan tidak kompeten, dan akan tetap seperti itu (sampai akhir zaman). Perusahaan-perusahaan besar seperti Enron dan McKinsey, yang departemen SDM-nya menginvestasikan banyak uang untuk mencari bakat-bakat alamiah di universitas, mewujudkan cara berpikir ini. Lulusan yang mereka rekrut diharapkan dapat langsung mendongkrak kinerja perusahaan dengan kemampuannya yang luar biasa.
Namun karena lulusannya sangat berbakat, mereka hanya menerima sedikit pelatihan dan tidak diharapkan untuk maju dalam pekerjaan mereka atau tumbuh dalam peran baru. Akibatnya, atasan mereka terus-menerus mengevaluasi mereka. Apakah para lulusan ini benar-benar secerdas yang kita kira atau apakah kesalahan mereka menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai bakat untuk menyelesaikan pekerjaan? Orang-orang dengan pola pikir tetap berpikir bahwa karyawan yang tidak sempurna sejak hari pertama tidak akan pernah sempurna, jadi yang terbaik adalah segera melepaskan mereka.
Selain itu, orang-orang dengan pola pikir tetap percaya bahwa mereka hanya dapat melakukan hal-hal yang mereka tunjukkan secara alami, dan praktik tersebut tidak akan menjadikan mereka sempurna. Karena mereka cepat menilai diri sendiri dan orang lain baik atau buruknya suatu hal, mereka menganggap orang lain juga selalu menilai mereka (seperti itu). Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk menunjukkan betapa berbakat dan pintarnya mereka setiap ada kesempatan. Mereka yakin seluruh kepribadian mereka dipertaruhkan. Satu kesalahan saja sudah cukup untuk mencap mereka sebagai orang bodoh yang tidak kompeten seumur hidup. Mereka terus-menerus mencari persetujuan orang lain untuk melindungi ego mereka dan memastikan bahwa mereka benar-benar hebat seperti yang mereka kira.
Hendar is writing his thoughts now, no longer Dweck’s:
(1) Masih ada banyak insight lain yang saya peroleh setelah membaca ringkasan buku Mindset karya Carol Dweck ini, termasuk bagaimana fixed mindset masih dapat diubah dengan sejumlah eksperimen dan exposure pada pengalaman/peristiwa tertentu yg sifatnya game changer;
(2) Dunia dan isinya (pengalaman manusia memberi makna pada hidupnya) tentu saja tidak dibagi secara dikotomis begitu rupa seperti digambarkan oleh Dweck dalam bukunya. Dari pemilihan kata dan konsep saja, Mindset, Dweck sudah membatasi kreativitas pemaknaan yang dapat diberikan. Alih-alih mengusulkan nama baru, misalnya Mindgrowth, Dweck tetap menggunakan istilah yg sama [Mindset] sepanjang bukunya, meskipun dengan elaborasi pemaknaan yg lebih advanced daripada yg diajukan rekan sejawatnya. [Cek di sini https://fs.blog/carol-dweck-growth/]
(3) Dalam analisis saya, fixed mindset dan growth mindset yang diajukan Dweck barulah mengupas bagian luar dari “sikap alamiah” (natural attitude) dan baru sedikit saja menyinggung “sikap fenomenologis” (phenomenological attitude) meskipun tentu saja Dweck tidak mengoperasionalisasikan analisisnya dgn menggunakan kerangka konseptual fenomenologis seperti “sikap reduktif” dan “mereka-bayangkan secara bebas dan variatif” (free imaginative variation) yang diusulkan dan digunakan Husserl dalam “fenomenologi sebagai metode”-nya [lih. sebagian penjelasan tentang konsep ini dalam Imagination et Phantasia chez Husserl (Marc Richir, 2017) atau The Phenomenological Method of Eidetic Intuition and Its Clarification as Eidetic Variation (Dieter Lohmar, 2019)]