Dr. (Cand.) Hendar Putranto, M. Hum.
disampaikan dalam kuliah Etika Komunikasi Strategis sesi ke-10
untuk mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM), FIKOM-UMN, Batch 7
Selasa, 26 November 2024, 18.30-21.00 WIB
via Zoom meeting
Pendahuluan
Semester pertama di program Magister Ilmu Komunikasi FIKOM UMN tentu menjadi momen penting untuk mengejar nilai yang baik. “Mengejar nilai” merupakan salah satu tujuan dari sebuah pengalaman akademis yang lumrah terjadi dalam lingkungan pendidikan tinggi, tidak hanya di tingkat S1, tapi juga di level S2 maupun S3. Hal ini wajar dan memang layak untuk diupayakan. Sebagaimana teman-teman dahulu sudah pernah mengalami studi pada jenjang S1, semester pertama pada jenjang S2 juga biasanya menjadi saat dan kesempatan untuk memahami model soal ujian sekaligus beradaptasi dengan dosen pengampu dan sistem perkuliahan. Mari kita mulai materi ini dengan lebih interaktif. Jika ada pertanyaan, silakan langsung disampaikan tanpa menunggu hingga saya menyelesaikan presentasi.
Struktur Materi
Materi perkuliahan hari ini akan saya bagi menjadi beberapa salindia. Kita akan mulai dengan titik tolak analisis etika, dilanjutkan dengan definisi awal tentang etika siber dan etika sosial media. Selanjutnya, saya akan membahas klaster refleksi etis terkait SNS (social networking sites) dan tiga faktor pembeda. Paparan akan diakhiri dengan resume atau rangkuman.
Titik Tolak Analisis Etika
Analisis etika dapat dimulai dari berbagai sumber, seperti pengalaman pribadi, literature review, tradisi akademis, atau fakta empiris seperti berita dan data. Tidak ada satu titik berangkat yang tetap dan dianggap mutlak untuk memulai sebuah kajian etika. Sebagai contoh, pengalaman sehari-hari, seperti percakapan saya dengan penjual nasi uduk tadi pagi, itu pun dapat menjadi bahan analisis etika.
Pengalaman perjumpaan dan percakapan secara langsung (face to face interaction) dengan orang-orang sederhana dalam ordinary and everyday setting justru kaya akan nilai, pertukaran makna, serta dapat digunakan sebagai titik berangkat untuk memahami etika komunikasi. Termasuk juga perjumpaan dan interaksi kita dalam ruang-ruang yang termediasi secara digital seperti WhatsApp, Zoom & IG.
Titik Tolak Analisis Etika: Percakapan dengan Tukang Nasi Uduk
Analisis etika tidak selalu harus dimulai dari teori atau literatur yang kompleks. Seringkali, pengalaman sehari-hari yang sederhana dapat menjadi titik tolak yang kaya untuk memahami nilai-nilai etis. Salah satu contoh yang saya alami adalah percakapan dengan seorang tukang nasi uduk pagi itu. Saat itu, saya sedang mengantre untuk membeli nasi uduk sebagai sarapan sebelum mengantar istri ke tempat kerjanya. Ketika istri saya bertanya, “Pinten sedoyo?” (Berapa semuanya?) dalam bahasa Jawa halus, si tukang nasi uduk menjawab dengan bahasa Jawa yang kasar, “Tigang doso, Bu.” (Tiga ribu, Bu). Namun, yang menarik adalah kalimat penyertanya: “Maaf ya, Bu, bahasa Jawa saya kasar. Saya asli Solo, tapi lama tinggal di Padang.”
Percakapan singkat ini sedikit banyak membuka wawasan tentang identitas, budaya, dan cara berkomunikasi. Tukang nasi uduk tersebut, meskipun berasal dari Solo (yang dikenal dengan tuturan menggunakan bahasa Jawa halus), telah lama tinggal di Padang, Sumatera Barat, yang mungkin memengaruhi cara bicaranya. Hal ini menunjukkan bagaimana latar belakang budaya dan pengalaman hidup seseorang dapat membentuk cara mereka berinteraksi dan berkomunikasi.
Pengalaman ini tidak hanya sekadar cerita biasa, tetapi juga dapat menjadi bahan refleksi etis. Misalnya, bagaimana kita memahami “kesopanan” dalam komunikasi? Apakah bahasa kasar selalu tidak etis, atau ada konteks tertentu yang membuatnya dapat diterima? Bagaimana kita menghargai perbedaan budaya dalam berkomunikasi, terutama di ruang virtual yang seringkali menghilangkan semantisasi dari unsur dan nuansa nonverbal communication?
Pendekatan Literatur Review
Yang dimaksud dengan pendekatan literatur review dalam kajian etika adalah bahwa analisis etika dimulai dari teks atau bacaan. Salah satu kerangka macro-ethics dalam khazanah Etika (dunia) Barat yang relevan dibahas pada hari ini adalah information ethics, yang diusung oleh Luciano Floridi sejak 1996 sampai sekarang. Information ethics dianggap mampu memayungi dan memiliki daya heuristik untuk menjelaskan sub-kajian etika yang sifatnya lebih terapan (applied ethics) seperti cyber ethics, social media ethics, computer ethics, virtual ethics, bahkan sampai AI ethics.
Information ethics, demikian klaim Floridi (2013), mampu mentransformasi empat paradigma etika makro sebelumnya, seperti virtue ethics dari Aristoteles, deontologi dari Immanuel Kant, utilitarianisme dari JS Mill, dan kontraktualisme dari John Rawls.
Analisis singkat tentang Etika Informasi dari Floridi
Dalam Ethics of Information (2013), Floridi mengkritik empat paradigma etika makro (virtue ethics, konsekuensialisme, kontraktualisme, dan deontologi) yang dianggap tidak cukup menjelaskan masalah yang muncul di era internet. Menurutnya, information ethics lebih fundamental karena memandang “being” (ada) sebagai informasi. Dalam konteks pemahaman Floridi, informasi cenderung menuju entropi atau kekacauan, sesuai dengan hukum termodinamika kedua.
Floridi berargumen bahwa pada era digital, informasi menjadi entitas sentral yang mendefinisikan realitas (disebutnya sebagai Infosphere). Ia menekankan bahwa etika informasi tidak hanya tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan informasi, tetapi juga bagaimana informasi itu sendiri membentuk keberadaan (being) dan realitas. Pokok ini menjadi relevan ketika kita membahas etika ruang siber dan virtual, yang di dalamnya informasi dianggap sebagai inti dari semua interaksi.
Mengapa etika informasi penting untuk memahami etika siber dan virtual?
Ketika membahas etika siber dan virtual, juga etika media sosial, kita tidak dapat melepaskan diri dari peran informasi sebagai pondasi utamanya. Ruang siber dan virtual adalah ruang yang dibangun oleh aliran informasi, dan media sosial adalah platform yang memfasilitasi produksi, distribusi, serta konsumsi informasi. Floridi menawarkan perspektif bahwa etika informasi adalah kerangka yang tepat untuk memahami kompleksitas ini.
Ia menggarisbawahi pandangan yang menyatakan bahwa informasi tidak hanya bersifat netral, tetapi juga memiliki dampak moral. Misalnya, penyebaran informasi palsu (hoax) di media sosial tidak hanya merugikan individu, tetapi juga mengganggu tatanan sosial. Dengan memahami etika informasi, kita dapat mengidentifikasi bagaimana informasi digunakan, disalahgunakan, atau dimanipulasi dalam ruang siber dan virtual.
Diskusi dan Pertanyaan
Sampai di sini, apakah teman-teman sekalian sudah memahami landasan etis mengapa information ethics dipilih sebagai paradigma macro-ethics terkini untuk menjelaskan fenomena digitalitas? Mari kita lanjutkan dengan diskusi dan pertanyaan sebelum bertolak ke bagian berikutnya.