Categories
Uncategorized

Dari Ruang Siber hingga Teknologi Persuasif: Analisis Etika Digital kekinian

Sore ini saya diminta mengisi perkuliahan Etika Komunikasi Strategis untuk Batch 8 MIKOM UMN.

Perkuliahan dilakukan secara daring (via Zoom) selama dua setengah jam.

Minggu ini adalah week 10 perkuliahan bagi 16 orang mahasiswa Semester 2 MIKOM yang sebagian besar sudah bekerja menjadi praktisi profesional di bidang advertising, PR, jurnalis, marketing, dan stratcomm.

Topik yang saya bawakan selaku dosen rekanan internal dalam perkuliahan kali ini adalah Etika Komunikasi Digital yang menyoroti pergeseran paradigma dari conventional cyber ethics menuju pendekatan multidisiplin yang mencakup filsafat moral, regulasi, dan technology governance.

Acuan utama dari perkuliahan sore ini adalah gambar berikut ini, yang merupakan mapping dari buku Oxford Handbook of Digital Ethics (2023)

Diskusi berikut relevan bagi pemula yang sedang tertarik mendalami aspek spesifik dari etika komunikasi digital serta pakar yang melanjutkan angle pencarian dan diskusi yang lebih holistik berkenaan dengan persoalan-persoalan etika di era post-truth.

Kerangka Teoretis
Kritik terhadap Utilitarianisme Digital: Kasus self-driving car (Bab 15) menguji prinsip “kerugian minimal” dalam trolley problem. Jika mobil otonom memilih menabrak satu orang untuk menyelamatkan lima orang, apakah keputusan algoritma itu etis? Pertanyaan ini menyentuh moral agency mesin dan tanggung jawab desainer.

Deontologi vs. Konsekuensialisme: Iklan AdBlock (Bab 23) memicu debat antara hak pengguna atas kenyamanan (autonomy) dan hak kreator atas pendapatan (justice). Brave Browser, misalnya, secara default memblokir iklan; hal ini dapat ditafsirkan sebagai sebentuk resistance terhadap model bisnis Google yang “bermain dua kaki.”

Sesi tanya jawab kritis dengan mahasiswa peserta

Mbak R (jurnalis dan pemerhati AI):
“Bagaimana moral reasoning diimplementasikan dalam AI ethics assistant seperti ChatGPT?”
Hendar merujuk pada model value alignment (Bab 15) yang mensyaratkan transparansi algoritma. Namun, ia mengingatkan bahwa AI tidak memiliki intentionality, sehingga pertanggungjawaban moral tetap berada pada manusia.

Mas B (Analis Media):
“Apakah lowkey trolling terhadap kelompok rentan (misalnya Ahmadiyah) bisa dikategorikan sebagai epistemic injustice?”
Diskusi merujuk pada Bab 7 (Trolling) yang menyoroti silencing effect sebagai bentuk kekerasan simbolik. Anonimitas digital memperparah asymmetric power dalam diskursus publik.

Mas P (Digital Strategist):
“Bagaimana persuasive technology di iklan digital memanipulasi cognitive vulnerability pengguna?”
Hendar menjelaskan bahwa nudging (contoh: notifikasi “Diskon 90%” atau mention @ di IG Story) acapkali mengabaikan informed consent. Regulasi seperti GDPR belum sepenuhnya diadopsi di Indonesia, sehingga meninggalkan celah untuk eksploitasi data dan intrusi privasi.

Studi kasus yang lebih kompleks
Seni AI vs. Hak Cipta: Replikasi gaya Studio Ghibli oleh AI mengabaikan labor dignity seniman. Kasus ini memperkuat tesis Bab 19 tentang digital labor exploitation.

Weaponized AI: Penggunaan military drones berbasis AI (Bab 37) menimbulkan pertanyaan tentang accountability ketika mesin mengambil keputusan fatal (life and death situation).

Implikasi Akademik:
Hendar menyarankan pendekatan ethical by design, yaitu mengintegrasikan prinsip non-maleficence dan autonomy sejak tahap pengembangan teknologi. Para pakar AI juga diajak untuk lebih memberi ruang pada intercultural ethics, misalnya, bagaimana nilai gotong royong dan menjaga silaturahmi dapat diadaptasi dalam platform governance, misalnya, akses pengguna pada apps peduli lindungi waktu COVID-19 sedang ganas-ganasnya.

Pertanyaan kritis untuk diskusi soal tantangan etis dalam teknologi persuasif pada tingkat desain
1) Apakah boleh menggunakan cara persuasif yang nonrasional atau tidak disadari?
2) Apakah ada bagian rentan dari kognisi yang perlu dilindungi seperti bagian tubuh yang rentan?

Pada tataran faktor penentu desain:
1) Bagaimana mengubah model bisnis agar menghormati perhatian dan kehendak pengguna?

Pada tataran dimensi konseptual:
1) Bagaimana memperjelas batas antara pengaruh seperti manipulasi, sugesti, paksaan, dan anjuran?
2) Apa saja faktor-faktor moral yang membedakan bentuk-bentuk pengaruh tersebut dalam desain dan penggunaan teknologi persuasif?

Catatan Penutup
Perkuliahan kali ini menegaskan bahwa etika digital bukan hanya kajian filosofis, tetapi juga kerangka operasional dan komunikasi strategis guna mengatasi gap antara inovasi dan dampak sosio-moral, sosio-teknis, dan tekno-moral. Kolaborasi lintas bidang kepakaran (hukum, TI, komunikasi) dan multi stakeholder menjadi kunci untuk menjawab tantangan yang super kompleks dan sangat aktual ini.

References
Véliz, C. (ed.). (2023). Oxford Handbook of Digital Ethics. Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780198857815.001.0001 Diakses pada 8 Mei 2025.
Williams, J. (2023). Ethical Dimensions of Persuasive Technology. In Carissa Véliz (ed.) Oxford Handbook of Digital Ethics (pp. 281–291) Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780198857815.013.15 Diakses pada 13 Mei 2025.

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *