Categories
Uncategorized

[DAY_SIXTEEN] Memori Sosial Pasca-Bencana (nonalam) Covid-19

Ini edisi preview 1106 kata. Untuk edisi lengkapnya sekitar 5000 kata, nunggu diterbitkan di jurnal aja yah Lur šŸ™‚

Tabik!

Hendar

Categories
Uncategorized

[DAY_FIFTEEN] Two questions for online journalism seen from Cultural Industry perspective

Semoga dua pertanyaan ini bermanfaat utk melanjutkan diskusi kita dari dalam ruang kelas ke luar ruang kelas (di dunia virtual) ini … (741 kata)

Tabik!

Categories
Uncategorized

[DAY_FOURTEEN] Kaum Cendekia Khalayak: Peran dan Tantangan di Era Digital (1 of 2)

Semoga bermanfaat tulisan 900 kata ini!

Categories
Uncategorized

[DAY_THIRTEENTH] TERHUBUNG dan TERPUTUS dalam RANAH KAJIAN SOSIO-POLITIK DIGITAL

Semoga kajian ringkas 1620 kata ini dapat membantu kita untuk memahami makna terhubung dan terputus dalam ranah kajian sosio-politik digital (mediatisasi). Terimakasih mbak Merlyna Lim untuk tulisannya!

Categories
Uncategorized

[DAY_TWELVE] Mosok dibuang aja alat perekamnya pas lagi wawancara?

Rujukan Utama:
Celia Lury dan Nina Wakeford. Tim Penyunting. (2012). Inventive Methods: The Happening of the Social. Abingdon: Routledge.

Rujukan Penyerta:
[Socio_Res_Online_bookrev]Inventive_Methods_D.Happening_ofD_Social_by_Lury&Wakeford,Eds,2014(Lulle,2018)
[Sociology,V48_bookrev]Inventive_Methods_D.Happening_ofD_Social_by_Lury&Wakeford,Eds,2014(Crow,2016)

Categories
Uncategorized

[DAY_ELEVEN] Fenomenologi TIK (bagian Kedua dari Tiga)

Semoga tulisan ini bermanfaat meskipun ini baru secuplik saja, belum masuk ke perdebatannya karena sudah terlampau malam, capek atiku … ambyar, RIP mas Didi Kempot (hix…)

Categories
Uncategorized

[DAY_TEN] Industri Musik (Global-Lokal) ditinjau dari Perspektif Industri Budaya

Semoga bermanfaat dan mencerahkan tulisan 2099 kata ini.
Tabik!

Categories
Uncategorized

[Day_NINE] Konsep emik dan etik dalam Penelitian Kualitatif

Semoga bermanfaat telaah 1500 kata ini!

Categories
Uncategorized

[Day_EIGHT] Kritik terhadap Kritik Pemikir Post-Mo terhadap (Kuasa) Media

Harms dan Dickens (1996) menyampaikan tiga buah kritik terhadap kritik para pemikir post-mo terhadap media:

1) Masihkah analisis media berperspektif Marxis (dengan tokohnya seperti, untuk menyebut beberapa saja yang cukup terkenal, Douglas Kellner, Fredric Jameson, Herbert Schiller, dan, to a lesser degree than those three figures already mentioned, Colin Sparks, lihat di Dapus) relevan untuk memeriksa bias-bias media? Bagaimana dengan perspektif post-modern, sanggupkah ia membongkar bias-bias media juga? Altheide dan Snow (1991, h. 11) menunjukkan bahwa baik perspektif Marxis maupun post-mo yang terlalu “mediacentric” sama-sama “cupet” (one-sided) untuk mengkritik bias media. Mengapa demikian? Teknologi informasi yang meletak di jantung kondisi pasca-modern ternyata sami mawon. Ia BU (butuh uang), ia berkembang (dan dapat dikembangkan) dalam kerangka logika kapitalisme, dan ia diproduksi oleh perusahaan2 yang kepentingan utamanya ya akumulasi kapital. Jadi, sami mawon tho?

2) Betul diakui bahwa kaum post-mo menyediakan sejumlah pencerahan yang penting menyangkut gugus format, kode, dan struktur dari media-massa dan komunikasi kontemporer. Tapi disadari bahwa komunikasi itu melibatkan lebih dari sekadar bentuk atau format belaka. Konten dan intensi serta kepentingan yang ada di balik konten itu juga tidak kalah penting dibandingkan unsur-unsur proses komunikasi. Dalam arti ini, kritik ekonomi-politik, entah yang berparadigmakan Marxis/Neo-Marxis maupun post-strukturalis, sudah paling pas untuk menyingkapkan borok2 intensi dan kepentingan kapitalistik di balik pilihan produksi dan distribusi konten media, betapapun dari luar “tampak” beragam.

3) Kombinasi palsu dari idealisme linguistik dan determinisme teknologi membuat kajian media beraliran post-mo keteteran karena tidak lagi ada basis yang kokoh dan memadai untuk mengkritik juga mengevaluasi bentuk+konten media kontemporer sekaligus praktik-praktik komunikasi.

Tambahan kritik dari Hendar dengan melihat historisitas kondisi maupun power interplay dari media pada waktu itu:
Perlu disadari bahwa pada tahun 1996, meskipun Internet sudah mulai digunakan secara massal oleh pelaku bisnis, akademisi dan pelaku media, namun media sosial belum ada bentuknya. Jadi, kritik post-mo berhaluan Foucauldian, katakanlah, yang mengatakan (kurang lebih) bahwa “power is dispersed, thus, critique of power should also be dispersed,” belum sangat berlaku, karena kekuasaan media (baik media massa jurnalistik maupun media entertainment) masih terlalu memusat pada beberapa nama media companies saja (sebagai misal: Time, CNN, Walt Disney, Viacom, Gannett, ITV, JCDecaux, Hearst, Warner). Waktu itu belum dikenal yang namanya kekuasaan selebgram atau selebriti internet yang dapat “sway the public opinion on certain things/issues,” sehingga belum begitu kentara resistensi dari budaya populer ‘arus bawah’ (user-centric) terhadap ‘budaya populer’ yang dikampanyekan media massa maupun media entertainment arus (modal) utama.

Rujukan utama:
Harms, J. B. dan Dickens, D. R. (1996). Postmodern media studies: Analysis or symptom? Critical Studies in Mass Communication, 13(3), 210-227. DOI: 10.1080/15295039609366976

Rujukan penyerta:
Altheide, D. L. dan Snow, R. P. (1991). Media Worlds in the Postjournalism Era. Aldine de Gruyter.
Sparks, C., Scannell, P., Schlesinger, P. dan Garnham, N. (1992). Culture and Power: A Second Critical Reader from Media, Culture and Society. London: Sage.
Dahlgren, P. dan Sparks, C. (1993). Communication and Citizenship: Journalism and the Public Sphere (Communication and Society). London dan New York: Routledge.
Sparks, C. dan Reading, A. (1997). Communism, Capitalism and the Media in Eastern Europe. London: Sage.

Categories
Uncategorized

[Day_SEVEN] Dalam Masyarakat Pengetahuan, apakah Dosen itu Academic Labor?

Menyoal Risiko dan Kontingensi Pengetahuan dalam Masyarakat Pengetahuan Kontemporer

Abstract

ā€œGuru (dosen) adalah pengabdi masyarakat tanpa tanda jasaā€, maka tidak perlu berharap terlalu banyak bahwa ada pihak lain yang akan memerhatikan, apalagi memperjuangkannya secara konkret, dalam bentuk pelbagai kebijakan (politis, ekonomis) yang tujuannya untuk mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan para guru dan dosen. Selain itu, sebenarnyalah dosen merupakan sumber daya manusia yang diadakan untuk menjalankan sistem kerja lembaga pendidikan tinggi, yang meliputi universitas, institut, akademi dan sekolah tinggi.

Dosen merupakan pelaksana kerja yang harus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas kerjanya, moralitas, kedisiplinan serta tingkat kesejahteraannya, yang kelak menciptakan kondisi dan situasi yang nyaman dalam bekerja, sehingga pada gilirannya setiap dosen mempunyai rasa memiliki, menyayangi dan persaudaraan yang kuat antar sesama dosen, dengan menyadari betapa pentingnya proses produksi pengetahuan yang diharapkan mampu mewujudkan lembaga pendidikan tinggi tingkat dunia (world-class university) berdasarkan kebijakan kualitas (quality policy) sebagai salah satu pendukung pencerdasan kehidupan bangsa.

Section of the published paper

ā€œNasibā€ Agen Pengetahuan dalam Tatanan Masyarakat Pengetahuan: Kontekstualisasi Gagasan

Di manakah kontribusi guru dan dosen sebagai agen pengetahuan dalam konstelasi masyarakat pengetahuan sebagaimana digagas Nico Stehr?

Apakah secara umum pasca rezim otoriter Orde Baru 1998, terjadi penguatan dan perluasan kapasitas serta kapabilitas mereka atau justru para guru dan dosen malah terhisap dalam hegemoni kekuasaan (baru) dan domestifikasi kekuatan?

Jika diletakkan dalam konteks sosial politik ke-Indonesiaan pasca Gerakan Reformasi, maka apakah dosen-dosen di Indonesia sudah menubuhkan prinsip-prinsip masyarakat pengetahuan seperti diuraikan oleh Stehr di atas? Atau justru sebaliknya, semakin tergilas dan terlibas oleh kapitalisasi dan privatisasi pengetahuan?

Pertama-tama perlu dipahami bahwa pembentukan Serikat Dosen Indonesia (SDI) merupakan bagian dari Gerakan Sosial Baru (GSB) yang tidak ketat terafiliasi pada entitas kolektif Marxis seperti kelas, ataupun nasionalisme.

Meskipun secara objektif profesi guru dan dosen sudah selalu meletak dalam ā€˜posisi kelasā€™ (class position) tertentu, tegasnya, kelas menengah ke bawah, akan tetapi tidak serta merta kehadiran dalam posisi kelas itu bereskalasi menjadi ā€œkesadaran kelasā€ yang merupakan jalan penting bagi terwujudnya solidaritas kelas.

Kesadaran palsu (false consciousness) tentang guru dan dosen yang diproduksi, direproduksi, dan dilembagakan oleh the ruling class yaitu negara dengan aparatnya selama era Orde Baru.

Adagium ā€œguru adalah pahlawan tanpa tanda jasaā€ sudah sedemikian mengakar dalam lubuk kesadaran para guru
dan (calon) guru di seluruh negeri, sehingga penguasaan pengetahuan yang dianggap dimiliki oleh para guru dan dosen tidak serta merta selaras dengan terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, peningkatan kesejahteraan secara bertahap, apalagi kemakmuran material.

Jika bukan guru dan dosen itu sendiri yang berjuang untuk mengafirmasi relasi pengetahuan dan kekuasaan, untuk mengemansipasi diri dari situasi ketertindasan yang sistematis, dari bentuk-bentuk ketidaksetaraan sosial yang berlindung di balik alasan saleh nan manipulatif, lantas siapa yang akan memperjuangkan mereka?

ā€œGuru (dosen) adalah pengabdi masyarakat tanpa tanda jasaā€, maka tidak perlu berharap terlalu banyak bahwa ada pihak lain yang akan memerhatikan, apalagi memperjuangkannya secara konkret, dalam bentuk pelbagai kebijakan (politis, ekonomis) yang tujuannya
untuk mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan para guru dan dosen.

Oleh karena itu, dalam Pembukaan Anggaran Dasar Serikat Dosen Indonesia *) yang sudah disahkan oleh Notaris pada 28 Oktober 2014 yang lalu, kristalisasi dari kesadaran kelas dan solidaritas kelas para dosen yang sudah ā€˜tercerahkanā€™ ini dinyatakan sebagai berikut: ā€œBahwa sesungguhnya dosen merupakan salah satu pilar utama eksistensi lembaga pendidikan tinggi dalam menjalankan proses penciptaan, penyebaran, dan pembaruan pengetahuan yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi terkait dengan amanah UUD 1945
yaitu ā€˜pencerdasan kehidupan bangsa.ā€™ Serikat Dosen Indonesia, disingkat SDI, merupakan bagian integral dari civitas academica nasional yang mendukung terlaksananya pembangunan nasional serta tercapainya kesejahteraan sosial yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Selain itu, sebenarnyalah dosen merupakan sumber daya manusia yang diadakan untuk menjalankan sistem kerja lembaga pendidikan tinggi, yang meliputi universitas, institut, akademi dan sekolah tinggi.

Dosen merupakan pelaksana kerja yang harus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas kerjanya, moralitas, kedisiplinan serta tingkat kesejahteraannya, yang kelak menciptakan kondisi dan situasi yang nyaman dalam bekerja, sehingga pada gilirannya setiap dosen mempunyai rasa memiliki, menyayangi dan persaudaraan antar sesama dosen, dengan menyadari betapa pentingnya proses produksi pengetahuan yang diharapkan mampu mewujudkan lembaga pendidikan tinggi tingkat dunia (world-class university) berdasarkan kebijakan kualitas (quality policy) sebagai salah satu pendukung pencerdasan kehidupan bangsa.

Bahwa untuk menerapkan kebijakan kualitas dan meningkatkan produktivitas pengetahuan yang dihasilkan lembaga pendidikan tinggi secara optimal, para dosen memerlukan wadah perkumpulan berupa serikat pekerja, beserta sarana dan prasarana yang memadai sebagai media untuk berkomunikasi, berperan serta, juga menggalang solidaritas agar mampu melindungi, mendidik dan meningkatkan harkat dan penghidupan yang layak dari dosen.

Keberadaan wadah tersebut ikut mendorong terciptanya kondisi dan situasi bekerja yang harmonis dan seimbang antara manajemen (direksi) perguruan tinggi dan himpunan dosen. Wadah yang dibentuk para dosen ini bercirikan mandiri, kuat, berwibawa, dibangun dan didirikan oleh, dari, dan untuk dosen secara kolektif, bebas dan demokratis.

Selain itu, keberadaan SDI diharapkan mampu berperan aktif mengelola aspirasi dan keluhan yang berangkat dari persoalan nyata yang dihadapi para dosen, yang timbul dalam situasi dan kondisi saat ini dan masa depan, dengan berpegang pada ketentuan Undang-undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21/2000, Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13/2003, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, Undang-undang Guru dan Dosen No. 14/2005, Undang-undang Pendidikan Tinggi No. 12/2012, dan Undang-Undang lainnya yang
relevan serta prinsip keadilan sosial dan kepentingan nasional.

Maka dengan rahmat Yang Mahakuasa, kami para dosen yang mengabdikan diri sesuai keilmuan kami dalam batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menyatakan diri untuk bersatu dalam SDI dengan Anggaran Dasar sebagai berikutā€¦ā€

Nasib para agen pengetahuan (di antaranya: para guru dan dosen) dalam masyarakat pengetahuan tidak boleh berhenti pada pepatah ā€˜bak tikus mati di lumbung padiā€™. Karakter emansipatoris pengetahuan yang dianggap dimiliki secara cukup oleh para guru dan dosen, sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing dan jenjang pengajaran spesifik yang diampunya, perlu memberdayakan bukan hanya para peserta didik yang dipercayakan kepadanya, melainkan juga untuk menguasakan dirinya (guru dan dosen) dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari tanpa harus mengemis dan hutang sana-sini.

Dalam arti inilah karakter sosiologis pengetahuan yang emansipatoris bertemu dengan nilai etis self-respect
(kemanusiaan dalam arti yang konkret) dan self-empowerment.

*) Serikat Dosen Indonesia. (2014). Anggaran Dasar Serikat Dosen Indonesia.

SEKIAN

Untuk makalah lengkapnya, dapat dibaca di link berikut ini:

Putranto, H. (2017, January 2). Menyoal Risiko dan Kontingensi Pengetahuan dalam Masyarakat Pengetahuan Kontemporer. An1mage Jurnal Studi Kultural, 2(1), 55-69. Retrieved from https://journals.an1mage.net/index.php/ajsk/article/view/79

Catatan tambahan:
Makalah yang sudah terpublikasi di atas akan saya lengkapi dengan update pembacaan berperspektif Ekonomi Politik soal Labor dari sejumlah rujukan berikut ini [sabaaaar ditunggu yaaah, lagi bener2 rempong nih:)]

Allmer, T. (2017). Academic Labour, Digital Media and Capitalism. Critical Sociology, 1ā€“17. DOI: 10.1177/0896920517735669

Brundage, L., Gregory, K. dan Sherwood, E. (2018). Working Nine to Five: What a Way to Make an Academic Living? Dalam Losh, E. dan Wernimont, J. Tim Penyunting. Bodies of Information: Intersectional Feminism and the Digital Humanities (h. 305-319). Minnesota: University of Minnesota Press. https://www.jstor.org/stable/10.5749/j.ctv9hj9r9.20

Glaros, M. (2004). The Academy in the Age of Digital Labor. Academe, 90(1), 42-46. https://www.jstor.org/stable/40252589

Scholz, T. (2013). Why Does Digital Labor Matter Now? Dalam Scholz, T. Editor. Digital Labor: The Internet as Playground and Factory (h. 1-9). New York dan London: Routledge.