Semoga bermanfaat tulisan 900 kata ini!
Rujukan Utama:
Celia Lury dan Nina Wakeford. Tim Penyunting. (2012). Inventive Methods: The Happening of the Social. Abingdon: Routledge.
Rujukan Penyerta:
[Socio_Res_Online_bookrev]Inventive_Methods_D.Happening_ofD_Social_by_Lury&Wakeford,Eds,2014(Lulle,2018)
[Sociology,V48_bookrev]Inventive_Methods_D.Happening_ofD_Social_by_Lury&Wakeford,Eds,2014(Crow,2016)
Harms dan Dickens (1996) menyampaikan tiga buah kritik terhadap kritik para pemikir post-mo terhadap media:
1) Masihkah analisis media berperspektif Marxis (dengan tokohnya seperti, untuk menyebut beberapa saja yang cukup terkenal, Douglas Kellner, Fredric Jameson, Herbert Schiller, dan, to a lesser degree than those three figures already mentioned, Colin Sparks, lihat di Dapus) relevan untuk memeriksa bias-bias media? Bagaimana dengan perspektif post-modern, sanggupkah ia membongkar bias-bias media juga? Altheide dan Snow (1991, h. 11) menunjukkan bahwa baik perspektif Marxis maupun post-mo yang terlalu “mediacentric” sama-sama “cupet” (one-sided) untuk mengkritik bias media. Mengapa demikian? Teknologi informasi yang meletak di jantung kondisi pasca-modern ternyata sami mawon. Ia BU (butuh uang), ia berkembang (dan dapat dikembangkan) dalam kerangka logika kapitalisme, dan ia diproduksi oleh perusahaan2 yang kepentingan utamanya ya akumulasi kapital. Jadi, sami mawon tho?
2) Betul diakui bahwa kaum post-mo menyediakan sejumlah pencerahan yang penting menyangkut gugus format, kode, dan struktur dari media-massa dan komunikasi kontemporer. Tapi disadari bahwa komunikasi itu melibatkan lebih dari sekadar bentuk atau format belaka. Konten dan intensi serta kepentingan yang ada di balik konten itu juga tidak kalah penting dibandingkan unsur-unsur proses komunikasi. Dalam arti ini, kritik ekonomi-politik, entah yang berparadigmakan Marxis/Neo-Marxis maupun post-strukturalis, sudah paling pas untuk menyingkapkan borok2 intensi dan kepentingan kapitalistik di balik pilihan produksi dan distribusi konten media, betapapun dari luar “tampak” beragam.
3) Kombinasi palsu dari idealisme linguistik dan determinisme teknologi membuat kajian media beraliran post-mo keteteran karena tidak lagi ada basis yang kokoh dan memadai untuk mengkritik juga mengevaluasi bentuk+konten media kontemporer sekaligus praktik-praktik komunikasi.
Tambahan kritik dari Hendar dengan melihat historisitas kondisi maupun power interplay dari media pada waktu itu:
Perlu disadari bahwa pada tahun 1996, meskipun Internet sudah mulai digunakan secara massal oleh pelaku bisnis, akademisi dan pelaku media, namun media sosial belum ada bentuknya. Jadi, kritik post-mo berhaluan Foucauldian, katakanlah, yang mengatakan (kurang lebih) bahwa “power is dispersed, thus, critique of power should also be dispersed,” belum sangat berlaku, karena kekuasaan media (baik media massa jurnalistik maupun media entertainment) masih terlalu memusat pada beberapa nama media companies saja (sebagai misal: Time, CNN, Walt Disney, Viacom, Gannett, ITV, JCDecaux, Hearst, Warner). Waktu itu belum dikenal yang namanya kekuasaan selebgram atau selebriti internet yang dapat “sway the public opinion on certain things/issues,” sehingga belum begitu kentara resistensi dari budaya populer ‘arus bawah’ (user-centric) terhadap ‘budaya populer’ yang dikampanyekan media massa maupun media entertainment arus (modal) utama.
Rujukan utama:
Harms, J. B. dan Dickens, D. R. (1996). Postmodern media studies: Analysis or symptom? Critical Studies in Mass Communication, 13(3), 210-227. DOI: 10.1080/15295039609366976
Rujukan penyerta:
Altheide, D. L. dan Snow, R. P. (1991). Media Worlds in the Postjournalism Era. Aldine de Gruyter.
Sparks, C., Scannell, P., Schlesinger, P. dan Garnham, N. (1992). Culture and Power: A Second Critical Reader from Media, Culture and Society. London: Sage.
Dahlgren, P. dan Sparks, C. (1993). Communication and Citizenship: Journalism and the Public Sphere (Communication and Society). London dan New York: Routledge.
Sparks, C. dan Reading, A. (1997). Communism, Capitalism and the Media in Eastern Europe. London: Sage.
Menyoal Risiko dan Kontingensi Pengetahuan dalam Masyarakat Pengetahuan Kontemporer
Abstract
“Guru (dosen) adalah pengabdi masyarakat tanpa tanda jasa”, maka tidak perlu berharap terlalu banyak bahwa ada pihak lain yang akan memerhatikan, apalagi memperjuangkannya secara konkret, dalam bentuk pelbagai kebijakan (politis, ekonomis) yang tujuannya untuk mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan para guru dan dosen. Selain itu, sebenarnyalah dosen merupakan sumber daya manusia yang diadakan untuk menjalankan sistem kerja lembaga pendidikan tinggi, yang meliputi universitas, institut, akademi dan sekolah tinggi.
Dosen merupakan pelaksana kerja yang harus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas kerjanya, moralitas, kedisiplinan serta tingkat kesejahteraannya, yang kelak menciptakan kondisi dan situasi yang nyaman dalam bekerja, sehingga pada gilirannya setiap dosen mempunyai rasa memiliki, menyayangi dan persaudaraan yang kuat antar sesama dosen, dengan menyadari betapa pentingnya proses produksi pengetahuan yang diharapkan mampu mewujudkan lembaga pendidikan tinggi tingkat dunia (world-class university) berdasarkan kebijakan kualitas (quality policy) sebagai salah satu pendukung pencerdasan kehidupan bangsa.
Section of the published paper
“Nasib” Agen Pengetahuan dalam Tatanan Masyarakat Pengetahuan: Kontekstualisasi Gagasan
Di manakah kontribusi guru dan dosen sebagai agen pengetahuan dalam konstelasi masyarakat pengetahuan sebagaimana digagas Nico Stehr?
Apakah secara umum pasca rezim otoriter Orde Baru 1998, terjadi penguatan dan perluasan kapasitas serta kapabilitas mereka atau justru para guru dan dosen malah terhisap dalam hegemoni kekuasaan (baru) dan domestifikasi kekuatan?
Jika diletakkan dalam konteks sosial politik ke-Indonesiaan pasca Gerakan Reformasi, maka apakah dosen-dosen di Indonesia sudah menubuhkan prinsip-prinsip masyarakat pengetahuan seperti diuraikan oleh Stehr di atas? Atau justru sebaliknya, semakin tergilas dan terlibas oleh kapitalisasi dan privatisasi pengetahuan?
Pertama-tama perlu dipahami bahwa pembentukan Serikat Dosen Indonesia (SDI) merupakan bagian dari Gerakan Sosial Baru (GSB) yang tidak ketat terafiliasi pada entitas kolektif Marxis seperti kelas, ataupun nasionalisme.
Meskipun secara objektif profesi guru dan dosen sudah selalu meletak dalam ‘posisi kelas’ (class position) tertentu, tegasnya, kelas menengah ke bawah, akan tetapi tidak serta merta kehadiran dalam posisi kelas itu bereskalasi menjadi “kesadaran kelas” yang merupakan jalan penting bagi terwujudnya solidaritas kelas.
Kesadaran palsu (false consciousness) tentang guru dan dosen yang diproduksi, direproduksi, dan dilembagakan oleh the ruling class yaitu negara dengan aparatnya selama era Orde Baru.
Adagium “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” sudah sedemikian mengakar dalam lubuk kesadaran para guru
dan (calon) guru di seluruh negeri, sehingga penguasaan pengetahuan yang dianggap dimiliki oleh para guru dan dosen tidak serta merta selaras dengan terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, peningkatan kesejahteraan secara bertahap, apalagi kemakmuran material.
Jika bukan guru dan dosen itu sendiri yang berjuang untuk mengafirmasi relasi pengetahuan dan kekuasaan, untuk mengemansipasi diri dari situasi ketertindasan yang sistematis, dari bentuk-bentuk ketidaksetaraan sosial yang berlindung di balik alasan saleh nan manipulatif, lantas siapa yang akan memperjuangkan mereka?
“Guru (dosen) adalah pengabdi masyarakat tanpa tanda jasa”, maka tidak perlu berharap terlalu banyak bahwa ada pihak lain yang akan memerhatikan, apalagi memperjuangkannya secara konkret, dalam bentuk pelbagai kebijakan (politis, ekonomis) yang tujuannya
untuk mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan para guru dan dosen.
Oleh karena itu, dalam Pembukaan Anggaran Dasar Serikat Dosen Indonesia *) yang sudah disahkan oleh Notaris pada 28 Oktober 2014 yang lalu, kristalisasi dari kesadaran kelas dan solidaritas kelas para dosen yang sudah ‘tercerahkan’ ini dinyatakan sebagai berikut: “Bahwa sesungguhnya dosen merupakan salah satu pilar utama eksistensi lembaga pendidikan tinggi dalam menjalankan proses penciptaan, penyebaran, dan pembaruan pengetahuan yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi terkait dengan amanah UUD 1945
yaitu ‘pencerdasan kehidupan bangsa.’ Serikat Dosen Indonesia, disingkat SDI, merupakan bagian integral dari civitas academica nasional yang mendukung terlaksananya pembangunan nasional serta tercapainya kesejahteraan sosial yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selain itu, sebenarnyalah dosen merupakan sumber daya manusia yang diadakan untuk menjalankan sistem kerja lembaga pendidikan tinggi, yang meliputi universitas, institut, akademi dan sekolah tinggi.
Dosen merupakan pelaksana kerja yang harus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas kerjanya, moralitas, kedisiplinan serta tingkat kesejahteraannya, yang kelak menciptakan kondisi dan situasi yang nyaman dalam bekerja, sehingga pada gilirannya setiap dosen mempunyai rasa memiliki, menyayangi dan persaudaraan antar sesama dosen, dengan menyadari betapa pentingnya proses produksi pengetahuan yang diharapkan mampu mewujudkan lembaga pendidikan tinggi tingkat dunia (world-class university) berdasarkan kebijakan kualitas (quality policy) sebagai salah satu pendukung pencerdasan kehidupan bangsa.
Bahwa untuk menerapkan kebijakan kualitas dan meningkatkan produktivitas pengetahuan yang dihasilkan lembaga pendidikan tinggi secara optimal, para dosen memerlukan wadah perkumpulan berupa serikat pekerja, beserta sarana dan prasarana yang memadai sebagai media untuk berkomunikasi, berperan serta, juga menggalang solidaritas agar mampu melindungi, mendidik dan meningkatkan harkat dan penghidupan yang layak dari dosen.
Keberadaan wadah tersebut ikut mendorong terciptanya kondisi dan situasi bekerja yang harmonis dan seimbang antara manajemen (direksi) perguruan tinggi dan himpunan dosen. Wadah yang dibentuk para dosen ini bercirikan mandiri, kuat, berwibawa, dibangun dan didirikan oleh, dari, dan untuk dosen secara kolektif, bebas dan demokratis.
Selain itu, keberadaan SDI diharapkan mampu berperan aktif mengelola aspirasi dan keluhan yang berangkat dari persoalan nyata yang dihadapi para dosen, yang timbul dalam situasi dan kondisi saat ini dan masa depan, dengan berpegang pada ketentuan Undang-undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21/2000, Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13/2003, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, Undang-undang Guru dan Dosen No. 14/2005, Undang-undang Pendidikan Tinggi No. 12/2012, dan Undang-Undang lainnya yang
relevan serta prinsip keadilan sosial dan kepentingan nasional.
Maka dengan rahmat Yang Mahakuasa, kami para dosen yang mengabdikan diri sesuai keilmuan kami dalam batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menyatakan diri untuk bersatu dalam SDI dengan Anggaran Dasar sebagai berikut…”
Nasib para agen pengetahuan (di antaranya: para guru dan dosen) dalam masyarakat pengetahuan tidak boleh berhenti pada pepatah ‘bak tikus mati di lumbung padi’. Karakter emansipatoris pengetahuan yang dianggap dimiliki secara cukup oleh para guru dan dosen, sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing dan jenjang pengajaran spesifik yang diampunya, perlu memberdayakan bukan hanya para peserta didik yang dipercayakan kepadanya, melainkan juga untuk menguasakan dirinya (guru dan dosen) dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari tanpa harus mengemis dan hutang sana-sini.
Dalam arti inilah karakter sosiologis pengetahuan yang emansipatoris bertemu dengan nilai etis self-respect
(kemanusiaan dalam arti yang konkret) dan self-empowerment.
*) Serikat Dosen Indonesia. (2014). Anggaran Dasar Serikat Dosen Indonesia.
SEKIAN
Untuk makalah lengkapnya, dapat dibaca di link berikut ini:
Putranto, H. (2017, January 2). Menyoal Risiko dan Kontingensi Pengetahuan dalam Masyarakat Pengetahuan Kontemporer. An1mage Jurnal Studi Kultural, 2(1), 55-69. Retrieved from https://journals.an1mage.net/index.php/ajsk/article/view/79
Catatan tambahan:
Makalah yang sudah terpublikasi di atas akan saya lengkapi dengan update pembacaan berperspektif Ekonomi Politik soal Labor dari sejumlah rujukan berikut ini [sabaaaar ditunggu yaaah, lagi bener2 rempong nih:)]
Allmer, T. (2017). Academic Labour, Digital Media and Capitalism. Critical Sociology, 1–17. DOI: 10.1177/0896920517735669
Brundage, L., Gregory, K. dan Sherwood, E. (2018). Working Nine to Five: What a Way to Make an Academic Living? Dalam Losh, E. dan Wernimont, J. Tim Penyunting. Bodies of Information: Intersectional Feminism and the Digital Humanities (h. 305-319). Minnesota: University of Minnesota Press. https://www.jstor.org/stable/10.5749/j.ctv9hj9r9.20
Glaros, M. (2004). The Academy in the Age of Digital Labor. Academe, 90(1), 42-46. https://www.jstor.org/stable/40252589
Scholz, T. (2013). Why Does Digital Labor Matter Now? Dalam Scholz, T. Editor. Digital Labor: The Internet as Playground and Factory (h. 1-9). New York dan London: Routledge.
oleh: Hendar Putranto
Buku yang ditulis Limor Shifman (2014) berjudul Memes in Digital Culture (diterbitkan oleh penerbit terkemuka dunia, MIT Press) menarik untuk dibaca, dibahas & ‘diviralkan’ karena tiga hal berikut ini:
1) memes dilihat bukan hanya sebagai teks budaya tapi juga gugus praktik sosio-budaya yang terkait dengan penciptaan (kreasi) dan berbagi (sharing),
2) memes juga cocok untuk dimasukkan sebagai contoh artefak dari budaya viral: memes itu unik karena tidak sama dengan sekadar berbagi konten begitu saja yang lalu jadi viral (viral content), memes juga berfungsi sebagai bagian penting dari budaya partisipatoris dan daur-ulang (remix). Di dalam budaya ini, para pengguna “add-to, appropriate, mimic, parody, remix, editorialize, and transform the original content in some way.” (Vickery, 2015). Di sinilah letak kreativitas produksi yang melebur dengan aktivitas konsumsi.
3) memes dianggap sebagai contoh terbaik dari Internet (secara umum) dan budaya Web 2.0 (secara khusus). Mengapa? Meskipun secara peristilahan meme bukan hal baru—ahli Ethologi dari Inggris, Richard Dawkins, mencetuskan dan memopulerkan istilah ini dalam bukunya The Selfish Gene, terbit perdana tahun 1976. Dalam bukunya ini, meme dipandang sebagai unit terkecil dari evolusi budaya yang berupa (atau “berwujud”) ide, perilaku, atau gaya (style) yang menyebar (seperti virus) dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya, atau lintas budaya—namun dengan munculnya Internet dan berkembangnya komunikasi serta informasi digital, penyebaran meme menjadi sedemikian “ubiquitous and highly visible routine” (Shifman, 2014, 17).
Menurut analisis Dawkins dalam The Selfish Gene, kesuksesan memes untuk menyebar/tersebar/viral ditentukan kemampuannya menyertakan tiga fitur berikut ini sekaligus: longevity (awetnya), fecundity (kemampuannya untuk bertambah atau berkembang-biak secara cepat), dan copy fidelity (kemiripan kopinya). Nah, ketiga fitur ini semakin “menggila” karena adanya internet. Pertama, Digitisasi membuat transfer informasi (bahan dasar memes) menjadi semakin persis sama dengan aslinya. Fekunditas juga meningkat dengan pesat karena Internet memfasilitasi penyebaran pesan secara cepat ke sejumlah simpul jaringannya (nodes). Keawetannya juga meningkat pesat karena informasi dapat disimpan sampai batas waktu tak berhingga dalam beragam jenis penyimpanan (archives).
Shifman mencermati ada tiga atribut penting yang membuat memes menjadi ‘mainan kekinian’ yang layak dianalisis dalam kerangka budaya digital kontemporer (2014, 18). Pertama, adanya perambatan secara gradual dari unit analisis individu menjadi masyarakat. Kedua, semakin dimudahkannya reproduksi dengan cara kopi dan imitasi, dan Ketiga, difusi lewat kompetisi dan seleksi.
Buku ini amat menarik dan menghibur, sarat dengan anekdot dan contoh-contoh konkret (visual) memes yang jenaka (lih. misalnya gambar yang ada di h. 21, 25, 27, 29, 52, 115, dan 116), juga catch-phrase yang didesain satu halaman penuh sehingga memorable, seperti “In an era marked by “network individualism,” people use memes to simultaneously express both their uniqueness and their connectivity.” (h. 31) dan “While all parody includes some kind of imitation, it is important to note that not all imitations are parodies.” (h. 47), juga menyebutkan contoh-contoh video yang viral dan menjadi trend-setter memes yang sukses (seperti lagu “Chocolate Rain” yang dibawakan Tay Zonday pada April 2007, lagu anak the “Peanut Butter Jelly Time” yang menggambarkan pisang yang melompat naik dan turun, dan selebriti internet Chris Crocker yang dengan heboh menghiba pemirsa videonya agar “Leave Britney Alone.” (h. 82).
Saya ternganga-cum-terpesona dengan cara Shifman bertutur dengan jenaka dan (tetap) mencerahkan dalam bukunya. Namun, disayangkan bahwa si penulis kurang/tidak menyertakan pembahasan tentang:
1) Bagaimana memes menantang perdebatan terkini soal hak cipta, ekonomi berbagi, kepengarangan /anonimitas, dan terma penggunaan yang adil.
2) Pembahasan soal literasi digital dan, secara lebih khusus, ‘literasi meme.’ Meskipun pada bab 7 (Meme genres) hal ini sudah disinggungnya (h. 99-118), tetapi Shifman kurang melengkapi analisisnya dengan detil soal ‘keterampilan digital, budaya dan sosial’ apa saja yang diperlukan agar pengguna dapat berpartisipasi secara lebih penuh di dalam menciptakan & mereproduksi budaya meme. (Vickery,2015)
3) Dalam konteks sosio-budaya pengguna yang berbahasa Indonesia atau mereka yang bermukim di ruang hidup berbahasa Indonesia, penggunaan istilah ‘meme’ dengan mudah dapat diplesetkan menjadi meme* (sebutan kasar untuk alat kelamin perempuan) dan sebutan (yang diplesetkan tentu saja!) ini berpotensi besar menimbulkan olok-olok tersendiri yang derogatif terhadap subjek yang diolok-olok. Meskipun olok-olok tidak jarang menjadi bahan untuk di-meme-kan (tuh kan!), tapi jika olok-olok ini dipraktikkan secara luas dan dilepaskan dari konteks humornya, maka pemlesetan meme* dalam arti tertentu melecehkan martabat kaum perempuan—sesuatu yang kontradiktif dan bahkan, kontra-produktif(!) dengan misi awal meme sebagai artefak emansipatoris yang resisten terhadap kekakuan kuasa birokratis dan kemuakan terhadap politik sebagai bancakan dan perebutan kekuasaan (formal).
Sebagai penutup, akan lebih kaya bagi imajinasi kita jika memahami memes dalam pengertian contagious media seperti dipikirkan dan dituliskan Peretti (2007, 160). Jika “meme” dipahami sebagai sebuah ide yang mereplikasi dirinya sendiri (Dawkins, 1990), media yang menular (contagious media) adalah “meme” yang berdarah-daging: sebuah ide yang menubuh dalam media yang orang dapat bagikan.
Rujukan Utama:
Shifman, L. (2014). Memes in digital culture. Cambridge, MA: The MIT Press.
Rujukan Penyerta:
Peretti, J. (2007). Notes on Contagious Media. Dalam Karaganis, J. Penyunting. (2007). Structures of Participation in Digital Culture (h. 158-163). New York: Social Science Research Council.
Vickery, J. R. (2015). Book review of Memes in digital culture. Information, Communication & Society, 18(12), 1450-1451. DOI: 10.1080/1369118X.2014.979217
Biografi singkat tentang penulis buku ini, yang dikutip dari situs webnya (https://limorshifman.huji.ac.il/):
Limor Shifman adalah seorang Dosen Senior ‘Lektor Kepala’ (Associate Professor) di Departemen Komunikasi dan Jurnalisme, The Hebrew University yang ada di kota Yerusalem, Israel sekaligus Wakil Dekan di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial. Minat risetnya meletak pada media digital dan budaya populer, dan secara lebih khusus lagi, ia tertarik meneliti dua ranah yang (dianggapnya) saling bersinggungan yaitu memahami makna besar di balik teks yang kecil (seperti humor, anekdot, lelucon) dan sekaligus mengidentifikasi adanya pola-pola yang beraturan dan bermakna di semesta konten-produksi-pengguna yang kelihatan serba kacau ini. Tulisan-tulisannya dimuat di sejumlah jurnal bergengsi (Q1 terindeks Scopus) seperti Journal of Communication, American Sociological Review, New Media and Society dan Journal of Computer-Mediated Communication.