Jika ada yg mau versi lengkapnya, tunggu terpublikasi dulu ya. 🙂
Menurut Vivien Burr dalam An Introduction to Social Constructionism (1995), selama periode 1980-1995 muncul sejumlah pendekatan alternatif untuk mempelajari manusia sebagai makhluk sosial. Ada yang menyebut pendekatan ini dengan istilah ‘psikologi kritis’, ‘analisis wacana’, ‘dekonstruksi’ dan ‘pasca-strukturalisme.’ Kesamaan dari sejumlah pendekatan dengan label yang bervariasi ini adalah payung teoritis bernama konstruksionisme sosial (KonSos).
Secara sederhana, KonSos dipahami sebagai “sebuah orientasi teoritis yang mewadahi semua pendekatan baru untuk mempelajari manusia sbg makhluk sosial, yang menawarkan alternatif radikal juga kritis dalam bidang psikologi dan psikologi sosial, sebagaimana dalam bidang2 ilmu lainnya di bawah payung besar ilmu2 Sosial-Humaniora.” (a theoretical orientation which to a greater or lesser degree underpins all of these newer approaches, which are currently offering radical and critical alternatives in psychology and social psychology, as well as in other disciplines in the social sciences and humanities).
Hibberd (2005) menggarisbawahi pengertian Burr tentang KonSos ini. Menurutnya, “KonSos memberikan tekanan pada karakter historisitas, kontekstualitas, dan sosio-linguistik dari semua hal yang melibatkan kegiatan manusia…dengan mengambil posisi bahwa semua fakta psiko-sosial itu dikonstruksi, artinya, dibentuk oleh tindakan2 manusia, misalnya: lewat sejumlah kegiatan sosio-linguistik seperti negosiasi dan retorika. Proses-proses sosial ini dipercaya memproduksi fakta dari sains sosial, dan, pada gilirannya, kesemua fakta ini dianggap fakta dari proses2 sosial dan lingkungan sosial.”
Burr menggunakan istilah ‘social constructionism’ alih-alih ‘constructivism’ dalam bukunya karena ia mengikuti rekomendasi Gergen (1985): konstruktivisme cukup sering merujuk ke teori perseptual dari Jean Piaget [Tokoh besar Ilmu Psikologi yang mengusulkan Teori Perkembangan Kognitif]. Hal ini dapat membingungkan jika tidak dibuat & digunakan istilah yang berbeda. Burr juga lebih menerapkan pendekatan KonSos ini untuk bidang ilmu Psikologi Sosial, meskipun diakuinya bahwa KonSos itu pendekatan yang multidisipliner, yang perkembangannya dipengaruhi kajian filsafat, sosiologi, dan linguistik. Burr mendefinisikan pendekatan KonSos dengan menggunakan model ‘kemiripan sebagai satu keluarga’ (family resemblance), dikarenakan tidak ada satu pun fitur yang sama dan ajeg untuk mengidentifikasi posisi KonSos.
Burr menjabarkan lima tipologi kemiripan keluarga dari pendekatan KonSos (mengikuti Gergen, 1985):
1. A critical stance towards taken-for-granted knowledge, termasuk positivisme dan empirisme dari sains tradisional, yang bertumpu pada asumsi bahwa kodrat dunia itu dapat diketahui dengan pengamatan; yang ada/nyata itu hasil dari persepsi kita. Contoh: apa yang membedakan musik pop dengan musik klasik? Dangdut dengan metal? Gender: lelaki dan perempuan? dst
2. Historical and cultural specificity, artinya, pengetahuan dan pembedaan kita tentang musik klasik dan pop, gender lelaki dan perempuan, dst tadi, tergantung pada waktu dan tempat, kapan dan di bagian mana dari dunia ini kita hidup dan bermukim. Contoh: gagasan tentang kanak-kanak (childhood) benar-benar sudah mengalami pergeseran dalam beberapa abad terakhir ini.
3. Knowledge is sustained by social processes: pengetahuan dan kebenaran merupakan hasil konstruksi banyak orang dalam interaksi sosial sehari-hari di antara mereka
4. Knowledge and social action go together: dengan keragaman pemahaman yang diusung pendekatan ini, maka ada numerous possible ‘social constructions’ of the world. Setiap konstruksi pengetahuan yang berbeda akan membawa atau menyertakan gugus tindakan atau perilaku yang berbeda pula. Contoh: ALKOHOLISME dulu dilihat sebagai kejahatan maka pelakunya perlu dihukum (dipenjara). Tapi, seiring perubahan waktu dan pemahaman orang, Alkoholisme sekarang lebih dilihat sebagai gejala kecanduan, suatu simtom penyakit, maka pelakunya (yang lalu dilihat sebagai korban) perlu diobati atau direhabilitasi.
5. Ringkasnya, dibandingkan pendekatan psikologi tradisional, KonSos menawarkan lima gugus semangat berikut ini: a) Anti-esensialisme, b) Anti-realisme, c) Pengetahuan itu tumbuh dan meletak secara spesifik dalam ruang waktu dan tradisi budaya yang berbeda, d) Memberi perhatian besar pada bahasa (sebagai pra-kondisi dari berpikir dan juga sebuah bentuk tindakan sosial), dan e) Elaborasi konseptual yang berfokus pada proses interaksi, apa yang orang lakukan bersama-sama, juga pada praktik sosial yang ada. Penjelasan atas pola perilaku tidak ditemukan dalam jiwa si individu atau dalam struktur2 sosial, tapi lebih pada proses interaktif antar orang yang berlangsung secara rutin.
Dilihat secara Epistemologis, akar dari pendekatan KonSos terletak dalam bingkai besar Epistemologi Pascamodern karena KonSos tertarik menggali kisah2 pribadi meskipun tetap menyadari bahwa kisah2 dominan dalam masyarakat yang lebih luas dapat jadi mendominasi pengalaman2 individu tsb. Selain itu, KonSos berbagi kepercayaan dengan pendekatan konstruktivis bahwa ada lebih dari satu realitas atau lebih dari satu penjelasan tentang realitas yang eksis. Meski demikian, KonSos berpegangan pada premis pascamodern bahwa semua penjelasan tentang realitas itu tidak sama nilainya (validitasnya) (Lih. Bab 3, Epistemologi dari Konstruksionisme Sosial, h. 71 dst).
Ada sejumlah tokoh yang dirujuk Burr sebagai pionir dalam pengembangan pendekatan KonSos. Di antaranya Gergen dan Gergen (1984, 1986), Sarbin (1986) dan Shotter (1993a, 1993b). Gergen dan Sarbin menaruh perhatian khusus pada bagaimana orang berupaya menjelaskan diri mereka sebagai hasil konstruksi ‘cerita atau kisah’, sementara Shotter lebih berfokus pada proses konstruksi antar-pribadi yang dinamis yang disebutnya dengan istilah ‘joint action’ (Shotter, 1993a, 1993b).
ISU2 YANG DIGULATI PARA PENGGIAT KONSOS (Burr, 1995, h. 10-11)
Pada bab 1, Burr menanggapi penolakan terhadap esensialisme dan pertanyaan awam tentang cara-cara memahami manusia dengan menggunakan sarana (menjawab) yaitu ide ‘kepribadian’. Mempertanyakan cara2 psikologi tradisional memahami manusia berarti membuka ruang untuk penjelasan alternatif, yaitu KonSos. Jika esensialisme ditolak, lantas bagaimana kita dapat menjelaskan perilaku dan pengalaman manusia? Para penggiat KonSos mengalihkan perhatiannya pada isu bahasa. Ini pembahasan Burr pada bab 2, bahwa bahasa berperan penting dalam (mengatur) cara kita berpikir dan melihat diri sendiri sebagai ‘pribadi.’ Burr lalu melanjutkan telusur soal bahasa ini pada bab 3 ketika ia membahas gagasan tentang ‘wacana’ (bentuk jamak) dan perannya dalam mengkonstruksi kehidupan sosial. Wacana yg berbeda mengkonstruksi fenomena sosial yang berbeda pula dan membuka ruang kemungkinan yang beragam untuk tindakan manusia. Pertanyaan kritisnya lalu: mengapa sejumlah wacana (sebagai ‘cara merepresentasikan dunia’) tampaknya mendapatkan label ‘kebenaran’ atau ‘masuk akal’? Pertanyaan ini mengangkat isu soal relasi kekuasaan, karena sejumlah cara merepresentasikan dunia tampaknya memiliki dampak yang represif atau membatasi sejumlah kelompok dalam masyarakat. Jadi, pada bab 4 dibahas hubungan antara wacana dan kekuasaan serta masalah2 yang muncul dari hubungan ini bagi KonSos.
Persoalannya, jika KonSos melupakan ide ‘kebenaran’ & realitas yang dapat secara langsung ‘ditangkap’ manusia, bagaimana membenarkan pernyataan bahwa sejumlah orang dalam suatu masyarakat itu ‘benar2’ ditindas? Tidakkah ‘penindasan’ sebuah wacana saja, suatu cara lain melihat dunia? Rongak antara realitas dan pemahaman orang biasa sehari2 dan tempat/letak mereka di dalamnya seringkali dibincang dalam istilah ‘ideologi.’ Gagasan tentang ‘status realitas dan peranan yg mungkin dari konsep ideologi dalam KonSos’ merupakan pokok bahasan bab 5. Tidak sedikit orang percaya bahwa tujuan akhir dari sains sosial adalah, atau seharusnya, mendorong perubahan sosial. Dalam kerangka pikir KonSos, kemungkinan2 perubahan sosial seperti apa? Dapatkah seorang individu membuat perubahan (dalam masyarakat) atau si individu tersebut harus terlebih dulu mengubah struktur masyarakat? Sebuah model menjawab pertanyaan ini tergantung pada bagaimana Anda mengkonsepkan hubungan antara individu dengan masyarakat, yang merupakan gagasan sentral bab 6. Juga dibhas gagasan ‘individu’ seperti apa yang masih tersisa? Apakah individu masih memiliki ‘agensi’? Pertanyaan2 ini dimasuki KonSos karena pandangan psikologi tradisional tidak lagi memadai untuk menjelaskan konsep kedirian atau ‘subjektivitas’. Pada bab 7, 8 dan 9, Burr melihat tiga konsep diri (pribadi) yang berbeda2 dalam pendekatan KonSos. Akhirnya, para peneliti sains sosial harus bertanya seperti apa mempraktikkan sains sosial dalam kerangka KonSos? Pada bab 10, Burr melihat bahwa teori memberikan input (atau should inform) praktik riset dan juga memberikan contoh2 jenis riset yang sudah pernah dipraktekkan dalam kerangka KonSos (misalnya, analisis wacana), juga panduan praktis bagaimana melakukan Analisis Wacana.
Contoh Riset Aplikatif yang menggunakan Pendekatan KonSos: Isu Seksualitas
Klostermann dan Forstadt (2016) menggunakan pendekatan KonSos untuk mengeksplorasi konstruksi sosial dari isu seksualitas. Telaahnya dimulai dari Abad Pertengahan yang memandang ekspresi seksualitas melulu dari kacamata agama (Katolik Roma & Protestan) sehingga muncullah label ‘hasrat seksual’ sebagai “dosa kedagingan.” Pada Abad ke-20, terjadi pergeseran cara pandang (KonSos) terhadap isu seksualitas, dari yang tadinya didominasi agama & moralitas menjadi deskripsi seksualitas yang lebih empiris-ilmiah. Seksualitas misalnya dipahami sebagai “kekuatan alamiah yang berseberangan dengan peradaban, budaya, atau masyarakat.” Selama 1960-an, paradigma ilmiah yang berlaku belum berhasil secara penuh mendeskripsikan aspek2 seksualitas sehingga hal ini justru memicu sejumlah pakar riset sosial dan para aktivis gay dan lesbian untuk mengoreksi arah paradigma seksual. Hasilnya, selama 1970-an dan 1980-an, muncul dan berkembang perspektif tentang seksualitas sebagai konstruksi sosial, budaya dan historis (Plummer 1984; Parker 2009). Secara khusus, seorang ahli isu seksualitas mengatakan bahwa seksualitas itu dipahami “bukan sebagai hasil dari perilaku manusia yang irreversible, namun produk dari kelindan proses sosial, budaya dan historis.” (Parker 2009). Perspektif baru tentang seksualitas semacam ini berfokus pada pengalaman antarpribadi yang mendefinisikan makna seksual dan pengintegrasian dari makna ini pada keseluruhan kolektif masyarakat. Salah satu akibatnya adalah bahwa “memahami perilaku individu tidak lebih penting daripada memahami konteks interaksi seksual manusia” (Parker 2009). Lebih jauh lagi, Parker menunjukkan dua hal penting berikut ini: “Pertama, kategori2 seksualitas seperti homoseksualitas, prostitusi, maskulinitas, dan femininitas bisa jadi bervariasi dalam sejumlah setting sosial dan budaya yang berbeda-beda dan tidak semuanya masuk (cocok) dalam kategori yang didesain alam berpikir dan praktik Sains Barat, dan kedua, pengertian tentang lelaki, perempuan maskulin atau feminin, dalam konteks sosio-budaya yang berbeda bisa jadi amat bervariasi dan identitas gender tidak bisa direduksi begitu saja pada dikotomi biologis yang (selama ini kerap dianggap) mendasarinya” (Parker, 2009).
Pertanyaan pendalaman sekaligus aplikasi pendekatan KonSos untuk peristiwa aktual, relevan, dan sehari2:
Berilah contoh penggunaan pendekatan KonSos dalam riset Ilmu Komunikasi untuk ‘melihat’ (menganalisis) kasus global Wabah Penyakit Covid-19 pada tahun 2020 ini!
Bibliography
Burr, V. (1995). An Introduction to Social Constructionism. London dan New York: Routledge.
Hibberd, F. J. (2005). Unfolding Social Constructionism. Springer.
Klostermann, K. dan Forstadt, D. (2016). Dalam Naples, N. A., Editor. The Wiley Blackwell Encyclopedia of Gender and Sexuality Studies, Edisi Pertama. John Wiley & Sons, Ltd. DOI: 10.1002/9781118663219.wbegss567
Parker, R. G. (2009). Sexuality, Culture and Society: Shifting Paradigms in Sexuality Research. Culture, Health & Sexuality, Vol. 11(3), pp. 251–266. DOI: 10.1080/13691050701606941
Selamat pagi sidang pembaca.
Kemarin pagi, sambil berjemur saya merenung dan mengingat kembali gelontoran informasi tentang Pandemic Covid-19 yang semakin menghebohkan hari-hari ini.
Dalam perenungan tersebut, saya dibimbing pada kesadaran bahwasanya inti dari nilai kemanusiaan adalah home bagi majunya peradaban.
Ketika home sebagai jangkar peradaban digulung oleh logika kerja dan ekonomi, pertarungan dan kompetisi, terjadilah reduksi makna kemanusiaan itu sendiri pada instrumentalisasi: alat dan nilai guna, cost and benefit analysis, yang kemudian memotong bagian lain yang seharusnya ada dan dijaga dalam home, yaitu trust & intimacy.
Sayangnya, dua nilai ini cukup sering dianggap sebagai redundant factors dalam logika kerja dan ekonomi.
Meskipun di luar sana sedang digalakkan social distancing, dan saya pribadi mendukung himbauan pemerintah dan para ahli kesehatan untuk melakukan ini guna mengurangi potensi penularan virus Covid-19 pada orang lain, tapi saya menemukan (mengalami) proses personal intensifying dalam home dengan keluarga.
Beberapa hari terakhir ini, semenjak dianjurkan WFH/SFH, saya menikmati bermain bersama anak dan istri. Saya mengalami kembali arti homo ludens, yang meneguhkan pentingnya nilai-nilai kebebasan, kepercayaan, dan keintiman untuk maju dan tumbuh bersama dalam tindak kerjasama (cooperation bukan cooptation atau competition) guna mewujudkan cita-cita dan keluhuran martabat manusia.
Sidang pembaca, percayalah bahwa kita dapat keluar dari musibah ini bersama-sama lewat disiplin social distancing sekaligus personal intensifying yang terukur karena kita tidak mau mencederai hak atas “kebebasan, kepercayaan, dan keintiman” diri sendiri dan orang lain yang justru akan terkorosi ketika (sebagian dari) kita abai dan acuh pada protokol kesehatan yang sudah disampaikan pemerintah dan para ahli kesehatan global untuk melawan Pandemic Covid-19 ini.
Semoga!
Tulisan ini merupakan saduran dan penafsiran kembali tulisan dari Downing, L. (2008). The Cambridge Introduction to Michel Foucault. Cambridge University Press, h. vii-x; kemudian didialogkan dengan tulisan Romo Haryatmoko tentang Foucault dan dilengkapi penjelasan tentang Foucault dalam kuliah daring “Seminar Media dan Pascamodernisme,” sesi ketujuh, Kamis, 19 Maret 2020
Refleksi dibuat oleh Hendar Putranto
1) Inti argumen Foucault tentang pengetahuan: Semua bentuk pengetahuan itu sifatnya relatif dan kontingen secara historis dan tidak dapat dipisahkan dari kerja-kerja (pengaturan) kekuasaan.
2) Dengan gugus karyanya, Foucault menggoyang kemapanan berpikir dan klaim-klaim pengetahuan (Epistemologi) Dunia Barat. Secara efektif, Foucault menelanjangi fungsi-fungsi relasi kekuasaan yang tersembunyi di balik beragam klaim pengetahuan dan body of knowledge.
3) Metode ‘demistifikasi’ yang dipakai Foucault dalam karya-karyanya ini menyibak suatu cara melihat dan memahami yang berbeda tentang bahasa, struktur sosial dan lembaga medis/kedokteran, disiplin keilmuan yang terlembaga dalam universitas-universitas, juga tindakan-tindakan seksual dan identitas.
4) Yang dilakukan Foucault—yang juga dikenal sebagai ahli sejarah yang handal—dengan ‘menggoyang kemapanan berpikir Dunia Barat” ini bukan hanya sekadar menawarkan teori alternatif tentang pokok-pokok di atas (nomor 3), namun lebih dari itu. Foucault mengajak pembacanya untuk menyadari medan magnet kekuasaan dan pengaruh yang membuat masing-masing domain kekuasaan ini eksis dan menghasilkan gugus makna yang khas, yang menjadi ciri penanda mereka masing-masing, dalam konteks sejarah dan budaya yang berbeda-beda.
5) Cara memahami pengetahuan & kekuasaan yang ditawarkan Foucault ini sedemikian berbeda (dibanding para pemikir sebelumnya) sehingga sidang pembaca yang tidak akrab dengan [secara umum] pemikiran pasca-strukturalis kontinental, apalagi dengan [secara khusus] konteks muncul dan lahirnya pemikiran Foucault, akan bersusah-payah memahami metode arkeologi dan genealogi-nya yang rigor.
dst (1011 kata), you may ask me the complete version of this reflection by sending me request via email
Seorang teman mahasiswa, sebut saja inisialnya FA, bertanya pertanyaan umum demikian: “Dalam hal apa saja fenomenologi dapat diterapkan?”
Jawab:
Pendekatan Fenomenologi untuk riset ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan (Ilmu Komunikasi termasuk di dalamnya) dapat diterapkan untuk cukup banyak bidang, sub-bidang dan kasus konkret. Misalnya, pendekatan Fenomenologi dalam bidang Pendidikan dapat digunakan untuk riset seputar keilmuan/praktik pedagogi, untuk pengembangan kompetensi belajar siswa ‘normal’ atau difabel (lih. Thurston, M. (2014). “They Think They Know What’s Best for Me”: An Interpretative Phenomenological Analysis of the Experience of Inclusion and Support in High School for Vision-impaired Students with Albinism. International Journal of Disability, Development and Education, Vol. 61(2), h. 108-118. DOI:10.1080/1034912X.2014.905054), bisa juga untuk pengembangan kurikulum pembelajaran yang berbasis pengalaman konkret [Sloan, A. & Bowe, B. (2014). Phenomenology and hermeneutic phenomenology: the philosophy, the methodologies, and using hermeneutic phenomenology to investigate lecturers’ experiences of curriculum design. Quality & Quantity, Vol. 48(3), h. 1291–1303. DOI:10.1007/s11135-013-9835-3; lih. juga Garcia, J. A. & Lewis, T. E. (2014). Getting a Grip on the Classroom: From Psychological to Phenomenological Curriculum Development in Teacher Education Programs. Curriculum Inquiry, Vol. 44(2), h. 141-168. DOI: 10.1111/curi.12042] atau kebutuhan khusus para siswa/peserta didik [Connolly, M. (2008). The Remarkable Logic of Autism: Developing and Describing an Embedded Curriculum Based in Semiotic Phenomenology. Sport, Ethics and Philosophy, Vol. 2(2), h. 234-256. DOI: 10.1080/17511320802223824; lih. juga Leach, D. P.(2015). A Phenomenological Study of the Experiences of Parents of a Child or Children Diagnosed with Deafness. (Doctoral dissertation submitted to College of Education, University of South Carolina, USA). Retrieved from https://scholarcommons.sc.edu/etd/3264].
Dalam konteks yang lebih informal, pendekatan fenomenologi dapat dijadikan materi pembahasan saat parenting workshop, dan masih banyak lagi bidang-bidang terkait langsung maupun tidak langsung dengan bidang pendidikan (formal, informal, non-formal) lainnya.
Sementara, pendekatan Fenomenologi dalam bidang psikologi dapat diterapkan pada bidang psikologi terapan, psikoterapi, keperluan HRD (Human Resource Development), atau untuk mengetahui lebih jauh kedalaman dimensi pengalaman manusia dengan aspek ketubuhannya (embodied experience), misalnya tentang rasa sedih karena kehilangan (grief) atau kecemasan (angst/anxiety) warga di tengah situasi Pandemik, juga dalam hal pencegahan kasus bunuh diri [Jacobs, J. (1967). A Phenomenological Study of Suicide Notes. Social Problems, Vol. 15(1), h. 60-72. DOI:10.2307/798870; lih. juga Gajwani, R., Larkin, M., Jackson, C. (2017). “What is the point of life?”: An interpretative phenomenological analysis of suicide in young men with first-episode psychosis. Early Intervention in Psychiatry, 2017/4, DOI: 0.1111/eip.12425], atau membantu dalam terapi untuk pecandu drugs [Shinebourne, P. & Smith, J. A. (2011). Images of addiction and recovery: An interpretative phenomenological analysis of the experience of addiction and recovery as expressed in visual images. Drugs Education, Prevention, and Policy, Vol. 18(5), h. 313-322; lih. Juga Moskalewicz, M. (2016). Lived Time Disturbances of Drug Addiction Therapy Newcomers. A Qualitative, Field Phenomenology Case Study at Monar-Markot Center in Poland. International Journal of Mental Health and Addiction, Vol. 14(6), h. 1023-1038.], dalam kasus-kasus kejahatan yang diperiksa/dianalisis dengan bantuan ilmu Kriminologi.
Teman mahasiswa yg lain lagi, inisialnya AS bertanya: “Adakah pengetahuan timbul dalam diri manusia ketika manusia tidak mengalami fenomena?”
Jawab:
Fenomena berasal dari bahasa Yunani: φαινόμενον, phainómenon, artinya (sederhananya): gejala atau hal yang tampak oleh indera manusia (bahasa Inggrisnya: observable fact or event). Pada dasarnya, hubungan antara Fenomena dengan Pengetahuan merupakan problem yang menarik sejak munculnya Epistemologi Modern yang “dirintis” filsuf René Descartes (1596-1650) dengan Cogito-nya. Kemudian oleh Immanuel Kant gagasan filosofis tentang fenomena (dan noumena) ini diangkat ke tataran pemikiran yang baru, lewat karyanya Die Kritik der reinen Vernunft (terbit 1781).
Kemudian, setelah filsuf Edmund Husserl menuliskan karyanya berjudul Ideen zu einer reinen Phänomenologie und phänomenologischen Philosophie. Erstes Buch: Allgemeine Einführung in die reine Phänomenologie (Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology) (terbit 1913) dan salah satu muridnya, Martin Heidegger, dengan karyanya Sein und Zeit (terbit 1927), fenomenologi sebagai gagasan kunci filosofis post-Hegel naik ke permukaan dan menjadi diskursus serius lintas keilmuan selama lebih dari seratus tahun terakhir ini.
Sejauh manusia mendapatkan pengetahuan lewat indera fisiknya (physical senses), maka sejauh itu juga fenomena adalah bahan dasar pengetahuan manusia [pengetahuan dalam arti empirisme, bukan rasionalisme: pandangan yang mengandaikan adanya pengetahuan apriori, innate ideas, yang terlepas dari penginderaan]. Jadi, manusia tidak pernah terlepas dari fenomena atau hal yang menampakkan diri padanya sejauh ia memiliki indera fisik (penglihatan, pendengaran, dst.) dan indera-indera fisik tersebut berfungsi normal.
[Mekanisme Pembelajaran Jarak Jauh alias online class yah ini gegara Pandemic Covid-19]
Setelah menyimak paparan presentasi di atas, seorang teman kuliah bertanya, sebut saja inisialnya NT, sebagai berikut: “Dalam paparan tertulis keterbatasan studi pendekatan fenomenologi versi van Manen dengan Moustakas salah satunya adalah belum terlihat mengakomodasi bahasa non-text seperti sign-language dan body-language dalam tahap analisis data dan refleksi fenomenologis. Ini maksudnya bagaimana ya? Apakah jika kita menggunakan pendekatan salah satu dari mereka saat melakukan penelitian fenomenologi, kita tidak perlu menganalisa bahasa non-text nya?”
Jawab:
Sejauh terpantau dalam buku van Manen (1990) dan Moustakas (1994), analisis data dalam pendekatan Fenomenologis bertumpu pada hasil transkrip wawancara mendalam dengan partisipan atau co-researcher(s). Dari transkrip itulah, yang didominasi oleh bahasa verbal (verbalized language), peneliti pengguna pendekatan fenomenologi membuat refleksi pedagogis (van Manen) atau deskripsi tekstural dan struktural (Moustakas).
Berikut contohnya:
The experience of “really feeling understood” is a perceptual-emotional Gestalt: A subject, perceiving that a person co-experiences what things mean to the subject and accepts him, feels, initially, relief from experiential loneliness, and, gradually, safe experiential communion with that person and with that which the subject perceives this person to represent, (Van Kaam, 1966, h. 325–326 dalam Moustakas, 1994, h. 12)
Tidak tampak dalam tutur refleksi atas data fenomenologis yang dilakukan Van Kaam di atas disebutkan secara eksplisit bahasa tubuh atau sign-language yang muncul dari partisipan penelitiannya.
Pada van Manen, memang disarankan langkah-langkah verbal untuk mendeskripsikan lived experience (van Manen, 1990, h. 64-65), sebagai berikut:
(1) You need to describe the experience as you live(d) through it. Avoid as much as possible causal explanations, generalizations, or abstract interpretations. For example, it does not help to state what caused your illness, why you like swimming so much, or why you feel that children tend to like to play outdoors more than indoors.
(2) Describe the experience from the inside, as it were; almost like a state of mind: the feelings, the mood, the emotions, etc.
(3) Focus on a particular example or incident of the object of experience: describe specific events, an adventure, a happening, a particular experience.
(4) Try to focus on an example of the experience which stands out for its vividness, or as it was the first time.
(5) Attend to how the body feels, how things smell( ed), how they sound( ed), etc.
(6) Avoid trying to beautify your account with fancy phrases or flowery terminology.
Van Manen bahkan menambahkan/menandaskan bahwasanya the primacy of (descriptive) writing di atas non-textual atau body-language/sign-language dengan mengatakan bahwa “It is important to realize that it is not of great concern whether a certain experience actually happened in exactly that way. We are less concerned with the factual accuracy of an account than with the plausibility of an account-whether it is true to our living sense of it. Once we know what a lived-experience description looks like, we can go about obtaining such descriptions of individuals who have the experiences that we wish to study. To gain access to other people’s experiences, we request them to write about a personal experience. We ask: Please write a direct account of a personal experience as you lived through it. [cetak miring dari van Manen sendiri]
Akan tetapi, penelitian terbaru (tesis di Universitas Lancashire, UK) tentang “A PHENOMENOLOGICAL STUDY INTO BRITISH SIGN LANGUAGE USERS’ EXPERIENCES OF PSYCHOLOGICAL THERAPIES: yang menginvestigasi hubungan para pengguna BSL dengan terapis mereka dengan cara mengeksplorasi pengalaman mereka therapy alliance dalam sesi Deaf/Deaf therapy dan Hearing/Deaf/Interpreter therapy.” (Hulme, 2016) [lihat: BRITISH SIGN LANGUAGE USERS’ EXPERIENCES OF PSYCHO-THERAPY] menemukan hasil temuan yang menarik yaitu bahwa para pengguna BSL mengalami sejumlah problem yaitu ‘problem terjemahan dan mereka melihat pihak penerjemah kurang memiliki kompetensi budaya yang cukup akan bahasa tanda yang mereka gunakan sehingga para penerjemah tersebut tidak menangkap esensi penyingkapan makna diri mereka.”
Dengan demikian, melampaui hal yang mungkin belum disampaikan secara eksplisit oleh van Manen (1990) dan Moustakas (1994), sangat dimungkinkan menggunakan pendekatan Fenomenologi dalam penelitian tentang sign-language atau body language karena 1) sejauh memang ada pengalaman yang dihayati (lived experience) tentang defisiensi inderawi, dan ini memang banyak kita temukan dalam ruang kehidupan kita, dan 2) sejauh ada literatur pembanding yang memadai sebagai bahan komparasi (dan sudah cukup banyak buku yang ditulis yang membahas tentang sign-language atau body-language). Bukankah komunikasi verbal dan non-verbal (anekdotnya) lebih menyingkapkan intensi si penutur lebih besar pada bahasa yang non-verbal (30%:70%)? Pada titik ini, ada harapan bahwa para ahli Fenomenologi yang menekuni bidang Ilmu Komunikasi dapat masuk mengisi kekosongan celah penelitian 🙂
Selamat belajar Fenomenologi!
Tabik!
Fenomenologi Kepanikan (01)
Ketika hampir semua sekolah dan Perguruan Tinggi di beberapa daerah terdampak Covid-19 diliburkan dan kemudian diganti dengan cara belajar “non-tatap muka”, semua hidup dan mengada para pembelajar dan pendidik ‘diarahkan’ pada orientasi futuristik yang sudah diantisipasi sejak beberapa tahun yang lalu yaitu distant learning.
Semoga model distant learning ini memang darurat dan situasional saja, tidak menjadi state of permanency karena bagaimanapun juga efektivitas pembentukan nilai dan karakter para peserta didik masih perlu diupayakan dan diperjuangkan dalam kerangka perjumpaan yang menubuh, juga lewat beragam cara pendisiplinan tubuh dengan segala pertimbangan dan konsekuensinya?
Menanti Phaenomenon
Puisi Fenomenologi (01)
Ketika Fenomenologi memanggilmu, enyah sudah keumuman hal yang mengerumunimu.
Sibak unik relung pengalaman dirimu rendam-makna.
Kelirulah kuantifikasi data coba gapai esensi ada,
karena hanya aletheia singkap misteri nya di sana, lampaui indera, tambatkan arti diri-dalam-semesta-makna-bahasa.
Biografi Singkat Richard Sennett[i]
Richard Sennett lahir pada 1 Januari 1943 di Cabrini-Green Homes, Chicago, perumahan untuk kalangan menengah ke bawah yang menyimpan segudang masalah sosial seperti kekerasan antar gang, kejahatan, dan kemiskinan. Pada 2011, kawasan perumahan ini sudah tuntas digusur pemerintah. Sejak usia dini, Sennett tertarik bermain alat musik, khususnya cello. Ia sempat mendaftar dan diterima masuk sekolah musik bergengsi the Juilliard School di New York, dan berlatih di bawah bimbingan Claus Adam, cellist dari grup musik Juilliard Quartet. Sayang bahwa cedera tangan mengakhiri karirnya di bidang musik ini sehingga ia lalu meneruskan studinya di the University of Chicago, kemudian Harvard University. Minat keilmuannya multi-disipliner: ia mempelajari ilmu sejarah dari Oscar Handlin, sosiologi di bawah bimbingan David Riesman, dan filsafat dari John Rawls.
Selama lima dekade terakhir, Sennet produktif menulis tentang isu-isu sosial kemasyarakatan seperti hidup sosial di kota besar, perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia kerja, dan tentu saja teori-teori sosial. Sejumlah buku yang ditulisnya adalah Families Against the City: Middle Class Homes of Industrial Chicago, 1872-1890 (1970), The Uses of Disorder: Personal Identity and City Life (1970), The Hidden Injuries of Class (1972) yang ditulisnya bersama Jonathan Cobb, The Fall of Public Man (1977), Authority (1980, 1993), Flesh and Stone: The Body and The City in Western Civilization (1996), The Corrosion of Character: The Personal Consequences of Work in the New Capitalism (1998), Respect in A World of Inequality (2002), The Culture of the New Capitalism (2006), Practicing Culture (2007) kumpulan tulisan yang disuntingnya bersama Craig Calhoun, The Craftsman (2008), The Foreigner (2011), Together: The Rituals, Pleasures, and Politics of Cooperation (2012), dan Building and Dwelling: Ethics for The City (2018). Sennet juga menulis beberapa karya fiksi (novel) seperti The Frog who Dare to Croak (1982), An evening of Brahms (1984) dan Palais-Royal (1987). Semua karya tulisnya ini, baik yang fiksi maupun non-fiksi, terinspirasi dari passion-nya yang besar pada warisan pemikiran Marx bagi ilmu-ilmu sosial (pendekatan Marxis), lika-liku kehidupan orang biasa di kota besar, nasib pekerja (Labor) di tengah perubahan sosial dan ideologi politik nasional dan global, juga tentang musisi dan musik klasik.
Karir Sennett sebagai cendekiawan publik dimulai dengan ikut mendirikan the New York Institute for the Humanities (1976) bersama Susan Sontag dan Joseph Brodsky. Kemudian pada tahun 1980-an, Sennett diangkat sebagai President of the American Council on Work. Jabatan publik akademis yang pernah disandangnya antara lain Profesor Ilmu-ilmu Kemanusiaan di NYU, Profesor Sosiologi di LSE, dan sekarang masih menjabat sebagai Senior Fellow di Pusat Kajian Kapitalisme dan Masyarakat, Columbia University. Selama tiga dekade terakhir, Sennett banyak dipercaya sebagai konsultan untuk sejumlah badan yang bernaung di bawah PBB; yang paling baru, dia dipercaya menuliskan mission statement untuk Habitat III: UN Conference on Housing and Sustainable Urban Development, yang berlangsung pada 17-20 Oktober 2016. Pada 2012, Sennett membangun Theatrum Mundi (TM) di Somerset House, Inggris. TM awalnya sebuah lembaga riset (belakangan menjadi lembaga charity mandiri) yang berfokus pada kajian budaya dan ruang urban sekaligus ruang perjumpaan untuk diskusi antara para pemerhati tata kota, akademisi urban, dan seniman. Di TM, Sennett dipercaya menjadi salah satu pimpinan yayasannya (board of trustees).
Sebagai seorang akademisi sarat prestasi, Sennett mendapatkan banyak penghargaan. Di antaranya ia menerima the Hegel Prize, the Spinoza Prize, Doctor Honoris Causa dari the University of Cambridge, dan Medali Penghargaan (the Centennial Medal) dari Harvard University. Ritme akademis Sennett di kancah publik ternyata didukung penuh oleh istrinya, Saskia Sassen, yang dinikahinya pada 1987. Sassen seorang akademisi terpandang & sosiolog terkemuka dalam kajian Globalisasi dan teori sosiologi perkotaan.
Letak Pemikiran Sennett dalam Teori Sosial Kontemporer (Barat)
Dalam pengamatan Beilharz (1992, h. 4), fakta terpenting dalam teori sosial mutakhir dan itu membayang jelas pada sejumlah teori pascamodern adalah ’the turn away from grand theory to the celebration of contingency.’ Jika teori sosial besar (klasik) yang dimaksud adalah teori Durkheim, Marx, dan Weber, maka secara karikatural dapat dikatakan bahwa teori-teori sosial yang lahir setelah era Weber adalah ’setumpukan catatan kaki’ atas Durkheim, Marx dan Weber. Dalam arti sempit ini, kajian sosiologi pascamodern (yang masuk dalam teori pascamodern) juga memperkaya tumpukan catatan kaki tersebut dengan lebih memberi perhatian yang besar pada empat aspek berikut ini: (a) semua pengetahuan bersifat kontekstual dan lokal, (b) klaim validitas dari sembarang teori ilmiah tidak ditemukan pada kriteria yang abstrak dan universal melainkan hasil dari negotiated consensus or power struggles, (c) sebagai akibat dari poin (a) dan (b) tersebut, subjek penahu juga tidak bergantung pada kriteria universal untuk memastikan validitas dan kebenaran dari pengetahuannya; ia juga tidak ’otonom’ (dalam pengertian ’berada secara objektif dalam dunia yang terberi’) dikarenakan dirinya adalah ’produk dari gugus sirkumstansi sosial’ yang ikut membentuk sejarah keberadaan dirinya. (Preda, 2011, h. 11865)
Dalam peta teori sosial kontemporer (1980-2020), posisi pemikiran dan concern sosiologis Sennett dapat dikatakan sehaluan dengan jejak pemikiran para sosiolog ternama dari daratan Eropa seperti Anthony Giddens, Ulrich Beck, Zygmunt Baumann, Scott Lash, John Urry, Cornelius Castoriadis, Pierre Bourdieu, Manuel Castells, Norbert Elias, Nico Stehr, Niklas Luhmann, dan Jürgen Habermas. Bersama dengan Zygmunt Bauman—yang bukunya Liquid Modernity (2000) cukup sering dikutip dalam tulisan-tulisannya—Sennett dapat dikategorikan sebagai seorang sosiolog yang mempunyai perhatian khusus pada isu modernitas, kapitalisme, urban life character, dan kerja/pekerja (labor), dengan segala varian dan ambiguitas teoritis, juga implikasi-implikasi praktisnya. Pandangan Sennett tentang kegelisahan (anxiety) yang dialami para pekerja ’lawas’ di era Kapitalisme Luwes, juga hidup banyak orang yang terfragmentasi, senafas dengan pandangan Bauman dalam Liquid Modernity (2000) tentang risiko dan ketidakpastian. Bauman mengatakan bahwa, “sementara kepercayaan dan confidence adalah faktor konstitutif dalam modernitas awal, risiko dan ketidakpastian adalah penanda paling jelas dari modernitas cair (liquid modernity)…ketidakpastian masa sekarang adalah kekuatan individualisasi yang hebat. Ia memecah-belah dan bukan menyatukan.”[ii]
Yang membedakan pemikiran Sennett dengan pemikiran para sosiolog kontemporer lainnya adalah genealogi, kembara intelektual, dan perkembangan serta pematangan ide-idenya yang memadukan secara kreatif sejumlah gagasan besar tentang diri dan masyarakat, dilihat dari perspektif sosiologi, psikologi, psikoanalisis, ekonomi, dan filsafat. Paduan pemikiran kreatif yang dihasilkan Sennett berangkat dari gagasan besar tentang ’keadilan sosial’ (insight yang diperolehnya dari Rawls), karakter manusia modern (yang kesepian dan senantiasa berjuang mencari pegangan hidup yang pasti; insight dari Riesman terutama lewat karyanya The Lonely Crowd, 1950), sekaligus dualitas kerinduan kodratiah manusia yaitu pertama, kerinduan untuk bergerak melampaui diri-yang-terbatas guna menghasilkan objek yang berkualitas for its own sake (pengaruh ide tentang Craftsman yang digalinya dari studi sejarah sejak Abad Pertengahan) serta kedua, kerinduan untuk berakar dalam komunitas dan ruang hidup yang manusiawi di tengah segala perpindahan dan perubahan yang sangat mungkin dialami manusia-manusia modern (ide ’kerjasama’ dan ’solidaritas’ yang menjadi topik pembahasan Sennett dalam beberapa bukunya kental dipengaruhi oleh studi-studi tentang Imigran di Amerika dari gurunya, sejarawan Oscar Handlin). Kelindan gagasan-gagasan besar yang dipadukan secara kreatif ini lalu dikokohkan (grounded) pengalaman hidupnya sendiri yang lahir dan besar di lingkungan pemukiman kelas menengah ke bawah Chicago, dalam interaksinya dengan orang-orang sederhana, blue-collar workers & immigrants, yang menjadi living co-researchers-nya untuk penelitian etnografis isu Labor.
Sebelum masuk ke dalam kajian atas pemikiran Sennett, yang secara terbatas tecermin dalam bukunya The Culture of The New Capitalism (selanjutnya disingkat menjadi CNC), penulis mengajukan tiga pertanyaan yang akan dijawab dalam makalah singkat ini, yaitu: (menurut Sennet)
(the rest of the paper could be requested to me personally at my email hendarputranto@gmail.com)
[i] Bagian ini merupakan saduran bebas dari https://www.richardsennett.com/site/senn/templates/general.aspx?pageid=8&cc=gb
[ii] Sebagaimana dikutip oleh Abrahamson, P. (2001). Review Essay Liquid Modernity: Bauman on Contemporary Welfare Society. Acta Sociologica, Vol. 47(2), h. 172.