Semoga bermanfaat dan mencerahkan!
Sejumlah pertanyaan pemandu yang tidak semua tersedia jawabannya di sini (rumusan akan di-update minggu depan, awal Mei 2020):
1) Kapan ANT lahir? Dalam konteks sosio-budaya-akademis yang seperti apa âkelahiranâ ANT? (menyusul, minggu depan)
2) Siapa saja tokoh-tokoh pemikir yang mengembangkan pendekatan ini? (di sana dan di sini akan muncul dalam jawaban di bawah ini)
3) Apa saja seminal case studies yang membuat ANT jadi semakin solid sebagai “teori” sosial baru? (lihat dalam penjelasan di bawah ini, khususnya sebagai jawaban atas pertanyaan No. 8)
4) Pandangan atau asumsi teoritis apa yg dilawan atau dikritik ANT? (menyusul, minggu depan)
5) Siapa saja tokoh-tokoh yang biasanya dirujuk pada fase awal perkembangan ANT? (lihat dalam penjelasan di bawah ini, khususnya sebagai jawaban atas pertanyaan No. 9)
6) Adakah sejumlah definisi operasional yang memadai untuk ANT?
6.1) âActor-network theory declares that the world is full of hybrid entities (Latour, 1993) containing both human and non-human elements, and was developed to analyse situations where separation of these elements is difficult (Callon, 1997, 3)â
6.2) “an approach to the processes of social ordering that focuses on how associations between entities are created and sustained (âsociology of associationsâ) whose distinguishing feature is that it takes into account the roles of nonhuman as well as human entities in the production of social orders.â (Michael, 2017)
6.3) “ANT studies look for ways of revealing the generative intricacies that constitute and stabilize technical and social reality. One common strategy, for instance, is to focus on moments of sociotechnical controversy, when networks are interrupted and when their composition becomes problematic again.” (Bencherki, 2017)
7) Sebutkan dan jelaskan 3-5 ‘konsep kunci’ atau prinsip utama dari ANT!
ANT didasarkan pada tiga prinsip utama berikut ini (Callon, 1986b):
1) agnosticism (bukan ‘agama’)
2) generalised symmetry (between human and non-human agency): ANT operates through symmetrical accounts of reality by employing the same analytical terms to describe human and nonhuman agency. (Holmes, 2014, h. 422)
3) free association.
Selain tiga prinsip di atas, ANT juga didasarkan pada asumsi teoritis-cum-metodologis berikut ini:
1) The use of heterogeneous entities (Bijker, Hughes et al. 1987) avoiding questions of: âis it social?â or âis it technical?â as missing the point, which should be: âis this association stronger or weaker than that one?â (Latour 1988b :27).
2) Socio-technical account of phenomenon: ANT tidak terjebak dalam salah satu dari dua determinisme berikut ini: determinisme sosial <-- --> determinisme technical. âANT proposes instead a socio-technical account (Latour 1986; Law and Callon 1988) in which neither social nor technical positions are privileged.â
3) Metode: bukan positivistik. âANT is not a âpositiveâ method that produces explanatory frameworks but an anti- or ânegativeâ method that teaches students and scholars âhow not to study [things]â (Latour, 1993, 142).â
8) Tuliskan sejumlah kutipan/case-studies yang menguatkan “betapa konkretnya actant” dalam jejaring benda-dan-barang (artefak teknologi) dan gugus subjek pelaku:
8.1) Trans-fat yg ada dalam kripik kentang merk Lay: âFood is an actant in an agentic assemblage that includes among its members my metabolism, cognition, and moral sensibility. Human intentionality is surely an important element of the public that is emerging around the idea of diet, obesity, and food security, but it is not the only actor or necessarily the key operator in itâ (Bennett, 2010, h. 51). [Lih. Bennett, J. (2010). Vibrant Matter: A Political Ecology of Things. Durham, NC: Duke UP.]
8.2) door-closer (Johnson, 1988)
8.3) drawing pencil: âLatour illustrates the process of descriptionâwriting a networkâby differentiating the act of drawing with a pencil from drawing the shape of a pencil (Reassembling 142). He means that we cannot confuse the object of description (the pencil) with the method of explanation (the drawing of the shape of the pencil). Much in writing pedagogy seeks to explain and interpret or, in Latourâs terms, to offer one drawing of the shape of a pencil (poststructuralism) to classify the singular networks constructed by many different actual pencils (cultural texts) across time and space. Simply stated, it is one thing to provide students with a drawing of a pencil (for example, an assignment prompt directing them to document nonhuman actors in a certain fashion) that becomes their own pencil (descriptive tool). It is a different point of emphasis entirely to help them understand the difference between the pencil and the drawing of the pencil, and negotiating this gap even at a basic level is a necessary and crucial step if we are to think of applying ANT as a way to raise studentsâ political consciousness.â (Holmes, 2014)
8.4) germs and yeasts: the case of L. Pasteur (Latour, 1994)
8.5) actant-pedagogy: “ANT is a tool that I can only use after the activity of teaching to describe my efforts to employ actant-pedagogy within a contingent set of alliances, mediators, students, technologies, and networks of associations through which my intentional (and unintentional) pedagogical aims unfold. I suggest that actant-pedagogy is better understood as a strategic pedagogical effort to simulate ANTâs descriptive antimethodology to teach them how not to represent rhetorical situations through explanation and heuristic-driven critique alone.” (Holmes, 2014, 423)
9) Sebutkan duabelas karya yang paling sering dirujuk sebagai “kanon”-nya ANT?
1. Latour, Bruno. 2005. Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network Theory. Oxford: Clarendon Press.
2. Latour, Bruno. 1993. We Have Never Been Modern. Hemel Hempstead, UK: Harvester Wheatsheaf.
3. Latour, Bruno. 1987. Science in action: How to follow scientists and engineers through society. Cambridge, MA: Harvard University Press.
4. Latour, Bruno dan Woolgar, Steve. 1979. Laboratory Life: The Social Construction of Scientific Facts. London: SAGE.
5. Law, John. 2004. After Method: Mess in Social Science Research. London: Routledge.
6. Law, John dan Hassard, John. Tim Penyunting. 1999. Actor Network Theory and After. Oxford: Blackwell.
7. Callon, Michel. 1986a. Some Elements in a Sociology of Translation: Domestication of the Scallops and Fishermen of St. Brieuc Bay. Dalam Power, Action and Belief, John Law, Penyunting, 196â233. London: Routledge and Kegan Paul.
8. Callon, Michel. 1986b. The Sociology of an Actor-Network:The Case of the Electric Vehicle. Dalam Mapping the Dynamics of Science and Technology, disunting oleh Michel Callon, John Law, dan Arie Rip, 19â34. London: Macmillan.
9. Callon, Michel. Penyunting. 1998. Laws of the Markets. Malden, MA: Blackwell.
10. Law, J. (1987). âTechnology and Heterogeneous Engineering: The Case of Portuguese Expansionâ. The Social Construction of Technological Systems: New Directions in the Sociology and History of Technology. Bijker, W. E., Hughes, T. P. dan Pinch, T. J. Tim Penyunting. MIT Press, Cambridge, Ma: 111-134.
11. Law, J. (1991). âIntroduction: monsters, machines and sociotechnical relationsâ. A Sociology of Monsters: Essays on Power, Technology and Domination. Law, J. Penyunting. Routledge, London.
12. Law, J. (1992). âNotes on the Theory of the Actor-Network: Ordering, Strategy and Heterogeneityâ. Systems Practice 5(4): 379-393
Rujukan Pustaka
Cole, K. L. & Littlejohn, S. W. (2018). Translating moral orders: putting moral conflict theory in conversation with actorânetwork theory. Review of Communication, 1-18. DOI: 10.1080/15358593.2018.1516798
Holmes, S. (2014). Multiple Bodies, Actants, and a Composition Classroom: Actor-Network Theory in Practice. Rhetoric Review, 33(4), 421â438. DOI: 10.1080/07350198.2014.947232
Sheehan, R. (2011). Actor-network theory as a reflexive tool: (inter)personal relations and relationships in the research process. Area, 43(3), 336â342. doi: 10.1111/j.1475-4762.2011.01000.x
Tatnall, A. dan Gilding, A. (1999). Actor-Network Theory and Information Systems Research. Proceeding 10th Australasian Conference on Information Systems, h. 955-966.
Dalam tulisannya, Havers (2003) membangun argumen untuk menegaskan ‘pemahaman yang tidak biasa’ tentang haluan politik dari tokoh besar Teori Media dan Komunikasi, Marshall McLuhan. Meskipun McLuhan dalam tulisan2nya tidak terang-terangan menunjukkan posisi dan keberpihakan politiknya, namun Havers berhasil menyingkapkan letak sikap dan pandangan politik dari McLuhan. Tulisan Havers menyoroti pentingnya memahami makna pascamodern dalam pandangan politik McLuhan yang implisit. Berbeda dengan sebagian besar kritikus Kiri yang menganggap kritik McLuhan terhadap Kapitalisme sebagai ciri haluan-Kiri dalam politiknya, Havers justru melihat (dan menamai) politik McLuhan sebagai pasca-modern sayap kanan (right-wing postmodern).
Apa metode yang digunakan Havers untuk sampai pada kesimpulan ini?
Hermeneutika teks (“a close hermeneutical reading of McLuhanâs major writings reveals a type of conservatism“, dst)
Penjelasannya:
Sudah cukup luas diketahui (lih. Cooper, 2006; Wolfe, 2014; Feuerherd, 2017) bahwa dalam hidup pribadinya McLuhan, seorang cendekia Komunikasi beragama Katolik, cenderung pro pandangan politik yg sangat konservatif bahkan, dalam arti tertentu, Katolik versi pra-Vatican II. Tentu saja kekatolikan McLuhan ini tidak secara eksplisit ia nyatakan (integrasikan) dalam tulisan-tulisan akademisnya, tentang komunikasi dan media.
Pembacaan hermeneutis yg cermat atas karya-karya besar McLuhan menyingkapkan sebuah tipe konservatisme yang mengantisipasi munculnya sebuah era (postmodern) yang lebih tribalistik, berhaluan moralistik ketat dan canggih secara teknologi yang menggantikan era modernitas yang bercirikan liberal, modernis, dan individualis. Inilah yg disebut Havers sebagai “mitologi pasca-modernis sayap kanan.”
Jika McLuhan bukan seorang pemikir kiri, lalu apa peran dari pandangan politik sayap-kanannya dalam karya2nya?
Sudah sejak 1960-an McLuhan mengantisipasi berkembangnya masyarakat konservatif baru (sayap-kanan) yang dibangun di atas puing2 era cetak dan individualisme modern. Disebut dengan istilah konservatisme sayap-kanan karena pandangan ini bertumpu pada kekuatan paguyuban (tribalis), yang dikonstruksi secara teknologi, mengingatkan pada model Eropa lama atau rasa Amerika Serikat bagian Selatan karena pandangan ini menolak atau berupaya melampaui nilai2 individualistik-liberal lama yang, misalnya, hadir dalam bentuk era cetak.
Jika dibaca secara cermat tulisan2 McLuhan, ia mengasosiasikan mentalitas budaya cetak dengan keberjarakan dan objektivitas; hasil (budaya) cetak tidak mendorong orang untuk terlibat mendekat seperti pada ‘menonton TV.’ Budaya cetak mendorong majunya pikiran objektif yang lalu menggiring orang pada perilaku yang lebih privat dan terfragmentasi. Inilah topik yang dibahas McLuhan dalam bukunya The Gutenberg Galaxy (1962) yaitu bahwa budaya cetak (ditudingnya) menghancurkan rasa-dan-ikatan komunitas pra-modern dengan memuja keberjarakan dan ketidakterlibatan (pembaca pada dunia sekitarnya). Tidak heran bahwa McLuhan menyamakan pikiran-cetak (the print mind) dengan liberalisme.
Seperti dibela Holmes (1994: 190â7), yang dilakukan McLuhan ini tipikal strategi anti-liberalisme sayap-kanan untuk mengambinghitamkan liberalisme sebagai penyebab matinya keterlibatan psikis dan politis dari individu di dalam dan bersama komunitasnya (Havers, 2003, h. 517-518)
Kesimpulan (Havers, 2003, h. 523-524):
Menurut salah satu pendukungnya, McLuhan senang menegaskan pandangannya bahwa âdampak paling ultim dari media baru adalah membuat kita semua jadi konservatif’ (Nevitt dan McLuhan, 1994: 196).
Namun, letak paradoks dari pandangan politik sayap-kanannya justru karena (pandangan politik) ‘konservatif’-nya itu bukan dipahami dalam pengertian teori politik klasik. Konservatisme yang diusung McLuhan justru menjangkau jauh ke depan, bukan nostalgia, tapi antisipatif terhadap datangnya era kemajuan teknologi berbasis listrik yang pertama-tama akan menggoyang kemapanan era cetak bersendikan nilai liberal-individualis, kemudian menggantikan itu dengan komunitas yang retribalized.
McLuhan sadar bahwa tradisi lawas anti-liberal (seperti diwakili pandangan Lewis dan Selatan) harus diperbarui (reinvented) supaya tetap bertahan. Keyakinannya bersandarkan pada perubahan zaman di tahun 1960-an yaitu radikalisme perubahan teknologi sebagai proses yang menghidupkan ruang ini. Teknologi dipandang sebagai kekuatan yang paling kurang konservatif untuk mewujudkan mitologi lawas ‘sayap-kanan.’
Entah valid atau tidaknya mitologisasi ini, yang jelas visi semacam ini bukan pertama-tama untuk mengemansipasi manusia dari ‘Pencerahan sebagai Penipuan Massal’ (seperti yang dilakukan para pemikir dari Mazhab Frankfurt), tetapi seruan untuk berduyun-duyun membela panji-panji moralitas tribalistik yang ketat dan jejak individualisme.
Karena alasan-alasan di ataslah Havers menyebut McLuhan sebagai pemikir pascamodernis sayap-kanan.
Acuan Utama
Havers, G. (2003). The right-wing postmodernism of Marshall McLuhan. Media, Culture & Society, 25(4), 511â525. [0163-4437(200307)25:4;511â525;033787]
Acuan tambahan:
Cooper, T. W. (2006). The Medium Is the Mass: Marshall McLuhan’s Catholicism and catholicism. Journal of Media and Religion, 5(3), 161-173. Dipublikasi daring pada 13 November 2009 di https://doi.org/10.1207/s15328415jmr0503_3
Feuerherd, P. (2017, 15 Juni). The Mystical Side of Marshall McLuhan. JSTOR Daily. Diakses pada 25 April 2020, dari https://daily.jstor.org/the-mystical-side-of-marshall-mcluhan/
Wolfe, T. (2014). McLuhan’s New World. The Wilson Quarterly (1976-), 28(2), 18-25.
Menurut Armando (2020), ada âEmpat Faktor Yang Membatalkan Pemiskinan dalam Industri Budaya.â Empat faktor tersebut saling terkait-menopang dan terdiri dari:
1. Faktor kekuatan Pemodal (terutama mereka, para pemilik studio film majors di USA, yang sebagian besarnya merupakan para pedagang keturunan Yahudi)
2. Faktor kekuatan Sutradara sebagai kreator (sehingga dari tangan mereka lahirlah karya-karya artistik yang sebagian melandaskan diri pada karya-karya sastra bermutu yang membahas isu-isu sosial. Para sutradara, atau biasa disebut The Intellectuals ini tidak âtundukâ pada selera pasar dan resep film yang standardized dengan pesan yang homogen. Contohnya adalah film-film besutan sutradara Elia Kazan, Frank Capra, Stanley Kubrick, Oliver Stone, Martin Scorsese, dll.)
3. Faktor Taste Culture sebagai diversifikasi selera berbasis kelas sosio-ekonomi (yang merupakan inti dari kritik Gans terhadap gagasan Adorno tentang Industri Budaya)
4. Faktor kekuatan Teknologi (logika Long Tail, industri film berbasis Digital, layanan Streaming seperti Netflix, dst.)
Armando (2020, menit 34, detik 10) mengatakan bahwa âkombinasi dari berbagai faktor di atas itu menyebabkan kondisi industri perfilman (dan juga industri budaya lainnya) di AS tidak se-gloomy seperti yang dibayangkan Adorno.â Lantas, pertanyaan Armando (2020, menit 34, detik 25): âApakah hal serupa bisa terjadi di Indonesia?â menarik dan mendesak untuk dijawab.
Berikut tanggapan singkat saya untuk poin faktor nomor 1 dan 2 di atas. Untuk poin faktor no. 1, jika di Hollywood kekuatan pemodal diwakili/direpresentasikan oleh para pedagang Yahudi, maka di dalam industri perfilman Indonesia kekuatan pemodal ini didominasi siapa? Keturunan Tionghoa (Barker, 2010), juga India (Raam Punjabi, dkk). Untuk poin faktor No. 2: kekuatan sutradara asli Indonesia yang membuat film-film dengan tidak âmeluluâ mengikuti logika pasar itu dieksemplifikasikan siapa saja? Data yang berhasil dihimpun dari sejumlah sumber menunjukkan bahwa pertama-tama, tentu saja nama Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail, tokoh sineas kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat (dengan film-film seperti Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Djogja (1951), Dosa Tak Berampun (1951), Lewat Djam Malam (1954), Tiga Dara (1956), Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962)), kemudian Sjumandjaja (Lewat Tengah Malam, Pengantin Remadja, Flambojan, Si Doel Anak Betawi Si Mamad, Pinangan, Laila Majenun, Yang Muda Yang Bercinta, dst.), lalu Misbach Jusa Biran [Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1966)], Nya’ Abbas Acub, Asrul Sani, Teguh Karya, MT Risyaf [(Naga Bonar, 1986)], Chaerul Umam dan N. Riantiarno. Merekalah sosok sutradara yang bukan hanya menghasilkan karya-karya film artistik (estetis), yang berhasil menuai penghargaan piala Citra dalam ajang FFI, misalnya, tetapi juga karena sebagian besar film yang mereka ciptakan mendapat respon pasar yang positif (dalam arti ditonton banyak pemirsa) serta lolos dari gunting sensor Badan Sensor Film (BSF).
Saya juga mau menambahkan empat faktor penting yang menurut hemat saya perlu dimasukkan sebagai konsideran tambahan dari âPembatal Pemiskinan dalam Industri Budaya.â
Pertama, peran pemerintah sebagai regulator industri perfilman (dan secara lebih luas lagi: Industri Budaya, Media dan Informasi). Perlu dibedakan antara peran pemerintah USA yang cenderung lebih liberal tapi tetap fair mendukung tumbuh-kembangnya industri film dengan pemerintah Indonesia, terutama pemerintah era Orde Baru yang cenderung lebih otoriter membatasi kebebasan berekspresi para sineas. Contoh film Si Mamad (1973) yang awalnya berjudul Matinya Seorang Pagawai Negeri, film Nyoman dan Presiden (1989), yang akhirnya bersalin judul menjadi Nyoman Cinta Merah Putih, dan film genre komedi yang awalnya berjudul Kiri Kanan OK (1989) pun terpaksa mengubah judulnya menjadi Kanan Kiri OK.
Kedua, analisis ekonomi-politik terhadap industri perfilman menunjukkan adanya logika luwes kapitalisme berbasis industri budaya yang tidak hanya terbatas spasio-temporal pada Hollywood (USA) tapi juga sudah berkembang di dan diikuti negara-negara lain. Penelitian Crane (2014) menunjukkan bahwa wajah pasar film global merupakan situs strategis untuk memeriksa pengaruh global dari budaya media Amerika (USA). Industri film merupakan bagian dari budaya media yang lebih besar (bdk. Wasko, 2005). Untuk menghasilkan analisis sosiologis yang berbasis data empiris yang kredibel, Crane menggunakan database yang dikompilasi lembaga bernama the European Audiovisual Observatory . Data menunjukkan bahwa pasar film global terdiri dari 34 negara yang memproduksi lebih dari 25 film per tahunnya, yang dikategorikan menjadi empat kriteria: Super Producers (empat negara), Major Producers (tujuh negara), Medium Producers (11 negara), dan Minor Producers (12 negara). Dari sejumlah daftar top 10 films yang ada di 34 negara ini, tampak bahwa film-film Amerika mendominasi, kemudian baru diikuti film-film produksi lokal. Meskipun ada sejumlah kebijakan budaya nasional yang diambil terkait dengan kebijakan perfilman, yang berkontribusi pada majunya industri film nasional (masing-masing negara), namun hal ini belum mampu membendung (mengimbangi) dominasi film-film produksi USA. Kebutuhan Hollywood agar filmnya sukses diterima (ditonton) di banyak negara (jadi, increasing revenues) telah mengubah resep box office global yang pada gilirannya mendorong sejumlah perubahan dalam konten film Hollywood menjadi lebih deculturized dan transnational, sebuah tren yang juga diikuti konten film produksi negara lain yang masuk daftar 34 negara produsen >25 film per tahun.
Ketiga, jika salah satu tolok ukur suksesnya industri film adalah pemasukan (revenue, profit), kita tentu perlu memberi perhatian pada seberapa berpengaruh faktor lingkungan finansial ekonomi berskala nasional, regional dan global terhadap sukses tidaknya (flop) suatu film. Dalam buku yang ditulis De Vany (2014), dimunculkan pertanyaan berikut: Bagaimana sebaiknya para investor dan pembuat film berbisnis dalam lingkungan yang sedemikian penuh dengan ketidakpastian dan dinamika yang rumit yang dapat berujung pada sukses dan/atau kegagalan yang ekstrem? De Vany menjawab pertanyaan ini dengan menunjukkan bukti bahwa distribusi keuntungan dengan menggunakan hukum Pareto menggambarkan bukan hanya ârevenue distributions, but profit distributions as well.â Selain itu, De Vany menyingkapkan fakta penelitian yang menarik tentang nilai finansial dari bintang film. Meskipun kehadiran seorang bintang film tidak selalu menjamin kesuksesan finansial sebuah film, tetapi kehadirannya dapat menjadi tiang pancang (prop) pada âthe lower end of revenues and shift mass from the lower tail to the upper tail of the profit probability distributionâ (De Vany dalam Chisholm, 2005, h. 235-236).
Keempat, kekuatan pemodal itu tidak seragam satu-wajah, artinya hanya terbatas pada satu golongan (etnis) pedagang tertentu, atau klas sosio-ekonomis tertentu saja, melainkan aglomerasi atau usaha patungan dari berbagai sumber pendanaan, bahkan, lintas negara. Ada peneliti yang menyebutnya dengan istilah Co-financing arrangements (Hofmann, 2013) . Tulisan Barker (2018) menyoroti aspek ini secara lebih mendetil.
Menurutnya, âBaik Marlina dan Aruna juga menandai tumbuhnya bentuk kolaborasi antarnegara yang bertujuan memasarkan film Indonesia ke luar negeri. Marlina adalah film yang diproduksi melibatkan banyak negara termasuk AstroShaw (Malaysia), HOOQ (Singapore), Purin Pictures (Thailand) dan Shasha & Co Production (France). Sementara itu, Aruna adalah film keenam yang diproduksi oleh perusahaan Korea Selatan, CJ Entertainment. Investasi tahap pertama CJ Entertainment di industri film nasional muncul dalam bentuk hibah sebesar US$10.000 yang diberikan kepada Joko Anwar untuk memproduksi A Copy of My Mind pada 2015. Lalu pada 2017, film horor Pengabdi Setan diproduksi oleh CJ bekerja sama dengan rumah produksi lokal Rapi Film. Melalui kerja sama tersebut, Pengabdi Setan yang tergolong sukses telah didistribusikan ke 40 negara.â
Bibliografi
Armando, A. (2020). Empat Faktor Yang Membatalkan Pemiskinan dalam Industri Budaya. Materi Kuliah PJJ Seminar Industri Budaya yang disampaikan pada Senin, 20 April 2020.
Barker, T. (2010). Historical Inheritance and Film Nasional in Post-Reformasi Indonesian Cinema. Asian Cinema, 21(2), 7-24. DOI: https://doi.org/10.1386/ac.21.2.7_1
Barker, T. (2018). “Mengukur potensi perfilman Indonesia setelah FFI 2018.” The Conversation. Diakses pada 22 April 2020, dari https://theconversation.com/mengukur-potensi-perfilman-indonesia-setelah-ffi-2018-108676
Chisholm, D. C. (2005). Book Review. Arthur De Vany: 2004, Hollywood Economics: How Extreme Uncertainty Shapes the Film Industry, Routledge, London, 448 pp., ISBN 0415312612. Journal of Cultural Economics, 29, 233â237.
Crane, D. (2014). Cultural globalization and the dominance of the American film industry: cultural policies, national film industries, and transnational film. International Journal of Cultural Policy, 20(4), 365-382. https://doi.org/10.1080/10286632.2013.832233
De Vany, A. (2004). Hollywood Economics: How Extreme Uncertainty Shapes the Film Industry, London: Routledge.
Hofmann, K. H. (2013). Co-Financing Hollywood Film Productions with Outside Investors: An Economic Analysis of Principal Agent Relationships in the U.S. Motion Picture Industry. Springer.
Wasko, J. (2005). Critiquing Hollywood: The Political Economy of Motion Pictures. Dalam C. Moul (Ed.), A Concise Handbook of Movie Industry Economics (h. 5-31). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9780511614422.002
Hegel pernah menulis bahwa hal satu-satunya yang dapat kita pelajari dari sejarah adalah kita tidak belajar apa-apa darinya, jadi saya, Ĺ˝izek, ragu bahwa epidemi yang ada sekarang ini akan membuat kita jadi lebih bijaksana. Satu-satunya hal yang jelas terjadi sekarang adalah bahwa virus ini akan menghancurkan bongkah-bongkah pondasi hidup kita, menyebabkan bukan hanya penderitaan tak terperi namun juga kehancuran ekonomi yang lebih buruk daripada era Resesi Besar (1930-an). Tidak ada lagi namanya kembali ke hidup yang normal, ‘kenormalan’ yang baru haruslah dibangun dari reruntuhan dari hidup kita yang lawas, atau kita akan menemukan diri kita berada di dalam epos barbarisme baru yang tanda-tandanya sudah sedemikian mencolok mata.
Dikutip dari buku terbaru ŽIŽEK (2020). PAN(DEM)IC! COVID-19 Shakes the World. New York dan London: O/R Books, h. 3.
Menurut Vivien Burr dalam An Introduction to Social Constructionism (1995), selama periode 1980-1995 muncul sejumlah pendekatan alternatif untuk mempelajari manusia sebagai makhluk sosial. Ada yang menyebut pendekatan ini dengan istilah âpsikologi kritisâ, âanalisis wacanaâ, âdekonstruksiâ dan âpasca-strukturalisme.â Kesamaan dari sejumlah pendekatan dengan label yang bervariasi ini adalah payung teoritis bernama konstruksionisme sosial (KonSos).
Secara sederhana, KonSos dipahami sebagai âsebuah orientasi teoritis yang mewadahi semua pendekatan baru untuk mempelajari manusia sbg makhluk sosial, yang menawarkan alternatif radikal juga kritis dalam bidang psikologi dan psikologi sosial, sebagaimana dalam bidang2 ilmu lainnya di bawah payung besar ilmu2 Sosial-Humaniora.â (a theoretical orientation which to a greater or lesser degree underpins all of these newer approaches, which are currently offering radical and critical alternatives in psychology and social psychology, as well as in other disciplines in the social sciences and humanities).
Hibberd (2005) menggarisbawahi pengertian Burr tentang KonSos ini. Menurutnya, âKonSos memberikan tekanan pada karakter historisitas, kontekstualitas, dan sosio-linguistik dari semua hal yang melibatkan kegiatan manusiaâŚdengan mengambil posisi bahwa semua fakta psiko-sosial itu dikonstruksi, artinya, dibentuk oleh tindakan2 manusia, misalnya: lewat sejumlah kegiatan sosio-linguistik seperti negosiasi dan retorika. Proses-proses sosial ini dipercaya memproduksi fakta dari sains sosial, dan, pada gilirannya, kesemua fakta ini dianggap fakta dari proses2 sosial dan lingkungan sosial.â
Burr menggunakan istilah âsocial constructionismâ alih-alih âconstructivismâ dalam bukunya karena ia mengikuti rekomendasi Gergen (1985): konstruktivisme cukup sering merujuk ke teori perseptual dari Jean Piaget [Tokoh besar Ilmu Psikologi yang mengusulkan Teori Perkembangan Kognitif]. Hal ini dapat membingungkan jika tidak dibuat & digunakan istilah yang berbeda. Burr juga lebih menerapkan pendekatan KonSos ini untuk bidang ilmu Psikologi Sosial, meskipun diakuinya bahwa KonSos itu pendekatan yang multidisipliner, yang perkembangannya dipengaruhi kajian filsafat, sosiologi, dan linguistik. Burr mendefinisikan pendekatan KonSos dengan menggunakan model âkemiripan sebagai satu keluargaâ (family resemblance), dikarenakan tidak ada satu pun fitur yang sama dan ajeg untuk mengidentifikasi posisi KonSos.
Burr menjabarkan lima tipologi kemiripan keluarga dari pendekatan KonSos (mengikuti Gergen, 1985):
1. A critical stance towards taken-for-granted knowledge, termasuk positivisme dan empirisme dari sains tradisional, yang bertumpu pada asumsi bahwa kodrat dunia itu dapat diketahui dengan pengamatan; yang ada/nyata itu hasil dari persepsi kita. Contoh: apa yang membedakan musik pop dengan musik klasik? Dangdut dengan metal? Gender: lelaki dan perempuan? dst
2. Historical and cultural specificity, artinya, pengetahuan dan pembedaan kita tentang musik klasik dan pop, gender lelaki dan perempuan, dst tadi, tergantung pada waktu dan tempat, kapan dan di bagian mana dari dunia ini kita hidup dan bermukim. Contoh: gagasan tentang kanak-kanak (childhood) benar-benar sudah mengalami pergeseran dalam beberapa abad terakhir ini.
3. Knowledge is sustained by social processes: pengetahuan dan kebenaran merupakan hasil konstruksi banyak orang dalam interaksi sosial sehari-hari di antara mereka
4. Knowledge and social action go together: dengan keragaman pemahaman yang diusung pendekatan ini, maka ada numerous possible âsocial constructionsâ of the world. Setiap konstruksi pengetahuan yang berbeda akan membawa atau menyertakan gugus tindakan atau perilaku yang berbeda pula. Contoh: ALKOHOLISME dulu dilihat sebagai kejahatan maka pelakunya perlu dihukum (dipenjara). Tapi, seiring perubahan waktu dan pemahaman orang, Alkoholisme sekarang lebih dilihat sebagai gejala kecanduan, suatu simtom penyakit, maka pelakunya (yang lalu dilihat sebagai korban) perlu diobati atau direhabilitasi.
5. Ringkasnya, dibandingkan pendekatan psikologi tradisional, KonSos menawarkan lima gugus semangat berikut ini: a) Anti-esensialisme, b) Anti-realisme, c) Pengetahuan itu tumbuh dan meletak secara spesifik dalam ruang waktu dan tradisi budaya yang berbeda, d) Memberi perhatian besar pada bahasa (sebagai pra-kondisi dari berpikir dan juga sebuah bentuk tindakan sosial), dan e) Elaborasi konseptual yang berfokus pada proses interaksi, apa yang orang lakukan bersama-sama, juga pada praktik sosial yang ada. Penjelasan atas pola perilaku tidak ditemukan dalam jiwa si individu atau dalam struktur2 sosial, tapi lebih pada proses interaktif antar orang yang berlangsung secara rutin.
Dilihat secara Epistemologis, akar dari pendekatan KonSos terletak dalam bingkai besar Epistemologi Pascamodern karena KonSos tertarik menggali kisah2 pribadi meskipun tetap menyadari bahwa kisah2 dominan dalam masyarakat yang lebih luas dapat jadi mendominasi pengalaman2 individu tsb. Selain itu, KonSos berbagi kepercayaan dengan pendekatan konstruktivis bahwa ada lebih dari satu realitas atau lebih dari satu penjelasan tentang realitas yang eksis. Meski demikian, KonSos berpegangan pada premis pascamodern bahwa semua penjelasan tentang realitas itu tidak sama nilainya (validitasnya) (Lih. Bab 3, Epistemologi dari Konstruksionisme Sosial, h. 71 dst).
Ada sejumlah tokoh yang dirujuk Burr sebagai pionir dalam pengembangan pendekatan KonSos. Di antaranya Gergen dan Gergen (1984, 1986), Sarbin (1986) dan Shotter (1993a, 1993b). Gergen dan Sarbin menaruh perhatian khusus pada bagaimana orang berupaya menjelaskan diri mereka sebagai hasil konstruksi âcerita atau kisahâ, sementara Shotter lebih berfokus pada proses konstruksi antar-pribadi yang dinamis yang disebutnya dengan istilah âjoint actionâ (Shotter, 1993a, 1993b).
ISU2 YANG DIGULATI PARA PENGGIAT KONSOS (Burr, 1995, h. 10-11)
Pada bab 1, Burr menanggapi penolakan terhadap esensialisme dan pertanyaan awam tentang cara-cara memahami manusia dengan menggunakan sarana (menjawab) yaitu ide âkepribadianâ. Mempertanyakan cara2 psikologi tradisional memahami manusia berarti membuka ruang untuk penjelasan alternatif, yaitu KonSos. Jika esensialisme ditolak, lantas bagaimana kita dapat menjelaskan perilaku dan pengalaman manusia? Para penggiat KonSos mengalihkan perhatiannya pada isu bahasa. Ini pembahasan Burr pada bab 2, bahwa bahasa berperan penting dalam (mengatur) cara kita berpikir dan melihat diri sendiri sebagai âpribadi.â Burr lalu melanjutkan telusur soal bahasa ini pada bab 3 ketika ia membahas gagasan tentang âwacanaâ (bentuk jamak) dan perannya dalam mengkonstruksi kehidupan sosial. Wacana yg berbeda mengkonstruksi fenomena sosial yang berbeda pula dan membuka ruang kemungkinan yang beragam untuk tindakan manusia. Pertanyaan kritisnya lalu: mengapa sejumlah wacana (sebagai âcara merepresentasikan duniaâ) tampaknya mendapatkan label âkebenaranâ atau âmasuk akalâ? Pertanyaan ini mengangkat isu soal relasi kekuasaan, karena sejumlah cara merepresentasikan dunia tampaknya memiliki dampak yang represif atau membatasi sejumlah kelompok dalam masyarakat. Jadi, pada bab 4 dibahas hubungan antara wacana dan kekuasaan serta masalah2 yang muncul dari hubungan ini bagi KonSos.
Persoalannya, jika KonSos melupakan ide âkebenaranâ & realitas yang dapat secara langsung âditangkapâ manusia, bagaimana membenarkan pernyataan bahwa sejumlah orang dalam suatu masyarakat itu âbenar2â ditindas? Tidakkah âpenindasanâ sebuah wacana saja, suatu cara lain melihat dunia? Rongak antara realitas dan pemahaman orang biasa sehari2 dan tempat/letak mereka di dalamnya seringkali dibincang dalam istilah âideologi.â Gagasan tentang âstatus realitas dan peranan yg mungkin dari konsep ideologi dalam KonSosâ merupakan pokok bahasan bab 5. Tidak sedikit orang percaya bahwa tujuan akhir dari sains sosial adalah, atau seharusnya, mendorong perubahan sosial. Dalam kerangka pikir KonSos, kemungkinan2 perubahan sosial seperti apa? Dapatkah seorang individu membuat perubahan (dalam masyarakat) atau si individu tersebut harus terlebih dulu mengubah struktur masyarakat? Sebuah model menjawab pertanyaan ini tergantung pada bagaimana Anda mengkonsepkan hubungan antara individu dengan masyarakat, yang merupakan gagasan sentral bab 6. Juga dibhas gagasan âindividuâ seperti apa yang masih tersisa? Apakah individu masih memiliki âagensiâ? Pertanyaan2 ini dimasuki KonSos karena pandangan psikologi tradisional tidak lagi memadai untuk menjelaskan konsep kedirian atau âsubjektivitasâ. Pada bab 7, 8 dan 9, Burr melihat tiga konsep diri (pribadi) yang berbeda2 dalam pendekatan KonSos. Akhirnya, para peneliti sains sosial harus bertanya seperti apa mempraktikkan sains sosial dalam kerangka KonSos? Pada bab 10, Burr melihat bahwa teori memberikan input (atau should inform) praktik riset dan juga memberikan contoh2 jenis riset yang sudah pernah dipraktekkan dalam kerangka KonSos (misalnya, analisis wacana), juga panduan praktis bagaimana melakukan Analisis Wacana.
Contoh Riset Aplikatif yang menggunakan Pendekatan KonSos: Isu Seksualitas
Klostermann dan Forstadt (2016) menggunakan pendekatan KonSos untuk mengeksplorasi konstruksi sosial dari isu seksualitas. Telaahnya dimulai dari Abad Pertengahan yang memandang ekspresi seksualitas melulu dari kacamata agama (Katolik Roma & Protestan) sehingga muncullah label âhasrat seksualâ sebagai âdosa kedagingan.â Pada Abad ke-20, terjadi pergeseran cara pandang (KonSos) terhadap isu seksualitas, dari yang tadinya didominasi agama & moralitas menjadi deskripsi seksualitas yang lebih empiris-ilmiah. Seksualitas misalnya dipahami sebagai âkekuatan alamiah yang berseberangan dengan peradaban, budaya, atau masyarakat.â Selama 1960-an, paradigma ilmiah yang berlaku belum berhasil secara penuh mendeskripsikan aspek2 seksualitas sehingga hal ini justru memicu sejumlah pakar riset sosial dan para aktivis gay dan lesbian untuk mengoreksi arah paradigma seksual. Hasilnya, selama 1970-an dan 1980-an, muncul dan berkembang perspektif tentang seksualitas sebagai konstruksi sosial, budaya dan historis (Plummer 1984; Parker 2009). Secara khusus, seorang ahli isu seksualitas mengatakan bahwa seksualitas itu dipahami âbukan sebagai hasil dari perilaku manusia yang irreversible, namun produk dari kelindan proses sosial, budaya dan historis.â (Parker 2009). Perspektif baru tentang seksualitas semacam ini berfokus pada pengalaman antarpribadi yang mendefinisikan makna seksual dan pengintegrasian dari makna ini pada keseluruhan kolektif masyarakat. Salah satu akibatnya adalah bahwa âmemahami perilaku individu tidak lebih penting daripada memahami konteks interaksi seksual manusiaâ (Parker 2009). Lebih jauh lagi, Parker menunjukkan dua hal penting berikut ini: âPertama, kategori2 seksualitas seperti homoseksualitas, prostitusi, maskulinitas, dan femininitas bisa jadi bervariasi dalam sejumlah setting sosial dan budaya yang berbeda-beda dan tidak semuanya masuk (cocok) dalam kategori yang didesain alam berpikir dan praktik Sains Barat, dan kedua, pengertian tentang lelaki, perempuan maskulin atau feminin, dalam konteks sosio-budaya yang berbeda bisa jadi amat bervariasi dan identitas gender tidak bisa direduksi begitu saja pada dikotomi biologis yang (selama ini kerap dianggap) mendasarinyaâ (Parker, 2009).
Pertanyaan pendalaman sekaligus aplikasi pendekatan KonSos untuk peristiwa aktual, relevan, dan sehari2:
Berilah contoh penggunaan pendekatan KonSos dalam riset Ilmu Komunikasi untuk âmelihatâ (menganalisis) kasus global Wabah Penyakit Covid-19 pada tahun 2020 ini!
Bibliography
Burr, V. (1995). An Introduction to Social Constructionism. London dan New York: Routledge.
Hibberd, F. J. (2005). Unfolding Social Constructionism. Springer.
Klostermann, K. dan Forstadt, D. (2016). Dalam Naples, N. A., Editor. The Wiley Blackwell Encyclopedia of Gender and Sexuality Studies, Edisi Pertama. John Wiley & Sons, Ltd. DOI: 10.1002/9781118663219.wbegss567
Parker, R. G. (2009). Sexuality, Culture and Society: Shifting Paradigms in Sexuality Research. Culture, Health & Sexuality, Vol. 11(3), pp. 251â266. DOI: 10.1080/13691050701606941
Selamat pagi sidang pembaca.
Kemarin pagi, sambil berjemur saya merenung dan mengingat kembali gelontoran informasi tentang Pandemic Covid-19 yang semakin menghebohkan hari-hari ini.
Dalam perenungan tersebut, saya dibimbing pada kesadaran bahwasanya inti dari nilai kemanusiaan adalah home bagi majunya peradaban.
Ketika home sebagai jangkar peradaban digulung oleh logika kerja dan ekonomi, pertarungan dan kompetisi, terjadilah reduksi makna kemanusiaan itu sendiri pada instrumentalisasi: alat dan nilai guna, cost and benefit analysis, yang kemudian memotong bagian lain yang seharusnya ada dan dijaga dalam home, yaitu trust & intimacy.
Sayangnya, dua nilai ini cukup sering dianggap sebagai redundant factors dalam logika kerja dan ekonomi.
Meskipun di luar sana sedang digalakkan social distancing, dan saya pribadi mendukung himbauan pemerintah dan para ahli kesehatan untuk melakukan ini guna mengurangi potensi penularan virus Covid-19 pada orang lain, tapi saya menemukan (mengalami) proses personal intensifying dalam home dengan keluarga.
Beberapa hari terakhir ini, semenjak dianjurkan WFH/SFH, saya menikmati bermain bersama anak dan istri. Saya mengalami kembali arti homo ludens, yang meneguhkan pentingnya nilai-nilai kebebasan, kepercayaan, dan keintiman untuk maju dan tumbuh bersama dalam tindak kerjasama (cooperation bukan cooptation atau competition) guna mewujudkan cita-cita dan keluhuran martabat manusia.
Sidang pembaca, percayalah bahwa kita dapat keluar dari musibah ini bersama-sama lewat disiplin social distancing sekaligus personal intensifying yang terukur karena kita tidak mau mencederai hak atas “kebebasan, kepercayaan, dan keintiman” diri sendiri dan orang lain yang justru akan terkorosi ketika (sebagian dari) kita abai dan acuh pada protokol kesehatan yang sudah disampaikan pemerintah dan para ahli kesehatan global untuk melawan Pandemic Covid-19 ini.
Semoga!
Tulisan ini merupakan saduran dan penafsiran kembali tulisan dari Downing, L. (2008). The Cambridge Introduction to Michel Foucault. Cambridge University Press, h. vii-x; kemudian didialogkan dengan tulisan Romo Haryatmoko tentang Foucault dan dilengkapi penjelasan tentang Foucault dalam kuliah daring âSeminar Media dan Pascamodernisme,â sesi ketujuh, Kamis, 19 Maret 2020
Refleksi dibuat oleh Hendar Putranto
1) Inti argumen Foucault tentang pengetahuan: Semua bentuk pengetahuan itu sifatnya relatif dan kontingen secara historis dan tidak dapat dipisahkan dari kerja-kerja (pengaturan) kekuasaan.
2) Dengan gugus karyanya, Foucault menggoyang kemapanan berpikir dan klaim-klaim pengetahuan (Epistemologi) Dunia Barat. Secara efektif, Foucault menelanjangi fungsi-fungsi relasi kekuasaan yang tersembunyi di balik beragam klaim pengetahuan dan body of knowledge.
3) Metode âdemistifikasiâ yang dipakai Foucault dalam karya-karyanya ini menyibak suatu cara melihat dan memahami yang berbeda tentang bahasa, struktur sosial dan lembaga medis/kedokteran, disiplin keilmuan yang terlembaga dalam universitas-universitas, juga tindakan-tindakan seksual dan identitas.
4) Yang dilakukan Foucault—yang juga dikenal sebagai ahli sejarah yang handal—dengan âmenggoyang kemapanan berpikir Dunia Baratâ ini bukan hanya sekadar menawarkan teori alternatif tentang pokok-pokok di atas (nomor 3), namun lebih dari itu. Foucault mengajak pembacanya untuk menyadari medan magnet kekuasaan dan pengaruh yang membuat masing-masing domain kekuasaan ini eksis dan menghasilkan gugus makna yang khas, yang menjadi ciri penanda mereka masing-masing, dalam konteks sejarah dan budaya yang berbeda-beda.
5) Cara memahami pengetahuan & kekuasaan yang ditawarkan Foucault ini sedemikian berbeda (dibanding para pemikir sebelumnya) sehingga sidang pembaca yang tidak akrab dengan [secara umum] pemikiran pasca-strukturalis kontinental, apalagi dengan [secara khusus] konteks muncul dan lahirnya pemikiran Foucault, akan bersusah-payah memahami metode arkeologi dan genealogi-nya yang rigor.
dst (1011 kata), you may ask me the complete version of this reflection by sending me request via email
Seorang teman mahasiswa, sebut saja inisialnya FA, bertanya pertanyaan umum demikian: “Dalam hal apa saja fenomenologi dapat diterapkan?”
Jawab:
Pendekatan Fenomenologi untuk riset ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan (Ilmu Komunikasi termasuk di dalamnya) dapat diterapkan untuk cukup banyak bidang, sub-bidang dan kasus konkret. Misalnya, pendekatan Fenomenologi dalam bidang Pendidikan dapat digunakan untuk riset seputar keilmuan/praktik pedagogi, untuk pengembangan kompetensi belajar siswa ânormalâ atau difabel (lih. Thurston, M. (2014). âThey Think They Know Whatâs Best for Meâ: An Interpretative Phenomenological Analysis of the Experience of Inclusion and Support in High School for Vision-impaired Students with Albinism. International Journal of Disability, Development and Education, Vol. 61(2), h. 108-118. DOI:10.1080/1034912X.2014.905054), bisa juga untuk pengembangan kurikulum pembelajaran yang berbasis pengalaman konkret [Sloan, A. & Bowe, B. (2014). Phenomenology and hermeneutic phenomenology: the philosophy, the methodologies, and using hermeneutic phenomenology to investigate lecturersâ experiences of curriculum design. Quality & Quantity, Vol. 48(3), h. 1291â1303. DOI:10.1007/s11135-013-9835-3; lih. juga Garcia, J. A. & Lewis, T. E. (2014). Getting a Grip on the Classroom: From Psychological to Phenomenological Curriculum Development in Teacher Education Programs. Curriculum Inquiry, Vol. 44(2), h. 141-168. DOI: 10.1111/curi.12042] atau kebutuhan khusus para siswa/peserta didik [Connolly, M. (2008). The Remarkable Logic of Autism: Developing and Describing an Embedded Curriculum Based in Semiotic Phenomenology. Sport, Ethics and Philosophy, Vol. 2(2), h. 234-256. DOI: 10.1080/17511320802223824; lih. juga Leach, D. P.(2015). A Phenomenological Study of the Experiences of Parents of a Child or Children Diagnosed with Deafness. (Doctoral dissertation submitted to College of Education, University of South Carolina, USA). Retrieved from https://scholarcommons.sc.edu/etd/3264].
Dalam konteks yang lebih informal, pendekatan fenomenologi dapat dijadikan materi pembahasan saat parenting workshop, dan masih banyak lagi bidang-bidang terkait langsung maupun tidak langsung dengan bidang pendidikan (formal, informal, non-formal) lainnya.
Sementara, pendekatan Fenomenologi dalam bidang psikologi dapat diterapkan pada bidang psikologi terapan, psikoterapi, keperluan HRD (Human Resource Development), atau untuk mengetahui lebih jauh kedalaman dimensi pengalaman manusia dengan aspek ketubuhannya (embodied experience), misalnya tentang rasa sedih karena kehilangan (grief) atau kecemasan (angst/anxiety) warga di tengah situasi Pandemik, juga dalam hal pencegahan kasus bunuh diri [Jacobs, J. (1967). A Phenomenological Study of Suicide Notes. Social Problems, Vol. 15(1), h. 60-72. DOI:10.2307/798870; lih. juga Gajwani, R., Larkin, M., Jackson, C. (2017). âWhat is the point of life?â: An interpretative phenomenological analysis of suicide in young men with first-episode psychosis. Early Intervention in Psychiatry, 2017/4, DOI: 0.1111/eip.12425], atau membantu dalam terapi untuk pecandu drugs [Shinebourne, P. & Smith, J. A. (2011). Images of addiction and recovery: An interpretative phenomenological analysis of the experience of addiction and recovery as expressed in visual images. Drugs Education, Prevention, and Policy, Vol. 18(5), h. 313-322; lih. Juga Moskalewicz, M. (2016). Lived Time Disturbances of Drug Addiction Therapy Newcomers. A Qualitative, Field Phenomenology Case Study at Monar-Markot Center in Poland. International Journal of Mental Health and Addiction, Vol. 14(6), h. 1023-1038.], dalam kasus-kasus kejahatan yang diperiksa/dianalisis dengan bantuan ilmu Kriminologi.
Teman mahasiswa yg lain lagi, inisialnya AS bertanya: “Adakah pengetahuan timbul dalam diri manusia ketika manusia tidak mengalami fenomena?”
Jawab:
Fenomena berasal dari bahasa Yunani: ĎιΚνĎΟξνον, phainĂłmenon, artinya (sederhananya): gejala atau hal yang tampak oleh indera manusia (bahasa Inggrisnya: observable fact or event). Pada dasarnya, hubungan antara Fenomena dengan Pengetahuan merupakan problem yang menarik sejak munculnya Epistemologi Modern yang âdirintisâ filsuf RenĂŠ Descartes (1596-1650) dengan Cogito-nya. Kemudian oleh Immanuel Kant gagasan filosofis tentang fenomena (dan noumena) ini diangkat ke tataran pemikiran yang baru, lewat karyanya Die Kritik der reinen Vernunft (terbit 1781).
Kemudian, setelah filsuf Edmund Husserl menuliskan karyanya berjudul Ideen zu einer reinen Phänomenologie und phänomenologischen Philosophie. Erstes Buch: Allgemeine Einfßhrung in die reine Phänomenologie (Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology) (terbit 1913) dan salah satu muridnya, Martin Heidegger, dengan karyanya Sein und Zeit (terbit 1927), fenomenologi sebagai gagasan kunci filosofis post-Hegel naik ke permukaan dan menjadi diskursus serius lintas keilmuan selama lebih dari seratus tahun terakhir ini.
Sejauh manusia mendapatkan pengetahuan lewat indera fisiknya (physical senses), maka sejauh itu juga fenomena adalah bahan dasar pengetahuan manusia [pengetahuan dalam arti empirisme, bukan rasionalisme: pandangan yang mengandaikan adanya pengetahuan apriori, innate ideas, yang terlepas dari penginderaan]. Jadi, manusia tidak pernah terlepas dari fenomena atau hal yang menampakkan diri padanya sejauh ia memiliki indera fisik (penglihatan, pendengaran, dst.) dan indera-indera fisik tersebut berfungsi normal.