Categories
Uncategorized

Narasi Reflektif DosPem atas Sesi Bimbingan Magang Industri u/ mahasiswa SC (part 01 of 02)

Berdasarkan Transkrip Sesi Bimbingan Magang, Week 13,
KAMIS, 4 Des. 2025, pukul 10.00 – 11.20 WIB.

Direnungkan dan disusun oleh Dr. Hendar Putranto, M. Hum.

Pada minggu ke-13 sesi bimbingan magang, dinamika supervisi memasuki fase konsolidasi menuju penyelesaian laporan akhir. Pada tahap ini, fokus saya bergeser dari bimbingan teknis menuju penguatan kapasitas analitis, pengecekan kerapian catatan/laporan akademik, dan penyiapan (termasuk koreksi) sikap profesionalitas mahasiswa sebagai calon sarjana Ilmu Komunikasi. Meski latar belakang saya bukan praktisi komunikasi korporat, social media specialist, atau marketing communication expert, saya memanfaatkan pengalaman supervisi atas lebih dari sepuluh laporan magang sebelumnya serta pemahaman epistemik keilmuan komunikasi tingkat lanjut guna memastikan kualitas laporan mahasiswa tetap memenuhi standar akademik program studi Strategic Communication.

Pertama, Upaya Menata Ulang Kerangka Berpikir Mahasiswa. Pembimbingan di sesi week 13 memperlihatkan adanya respon DosPem atas kebutuhan mahasiswa untuk mengangkat pengalaman magang mereka dari sekadar deskripsi teknis menuju narasi yang lebih konseptual, bahkan reflektif. Pada SC, misalnya, saya membantu menggeser perspektifnya dari pengerjaan “web design sebagai tugas operasional” menjadi “kontribusi strategis terhadap development–maintenance–engagement website perusahaan.” Pergeseran ini penting agar laporan magang tidak bersifat inventaris pekerjaan, tetapi mampu menunjukkan pemahaman reflektif terhadap fungsi komunikasi korporat.

Sementara, untuk VF, saya mengarahkan penggunaan istilah yang lebih konseptual seperti social media engagement management, menggantikan istilah “membalas komentar” yang terlalu dangkal untuk standar isi sebuah laporan magang. Pendekatan ini saya tekankan guna memastikan bahwa mahasiswa ybs. memahami bahwa pengalaman magang harus dipetakan pada domain kompetensi komunikasi, bukan hanya berorientasi pada pencatatan atas kerja-kerja teknis-operasional-administratif.

Kedua, Menguatkan Disiplin Akademik dan Teknis Penulisan.
Sesi ini juga saya gunakan untuk memperbaiki aspek-aspek teknis penulisan yang sering kali menentukan kualitas akhir laporan. Saya menekankan beberapa guiding principles berikut kepada mahasiswa bimbingan magang:

(a) struktur abstrak magang agar memuat konteks organisasi, tugas pokok, mekanisme kerja, dan lesson to learn yang ringkas tapi spesifik,
(b) konsistensi penomoran ilmiah (3.1, 3.1.1) untuk menjaga presisi penomoran bab/sub-bab laporan akademik dibanding format ABCD yang rawan dipertanyakan dalam sesi ujian magang,
(c) prinsip paragraf efektif (sekitar 3 kalimat; 6–8 baris) untuk meningkatkan keterbacaan dan ketelitian narasi akademik mahasiswa,
(d) perlunya narasi deskriptif/eksplanatoris pada setiap image/visual atau bukti hasil kerja yang dicantumkan dalam laporan agar tidak menjadi “parade gambar” tanpa makna akademik atau profesional.

Keempat prinsip di atas konsisten dengan tujuan supervisi akademik penyusunan laporan magang yaitu memastikan mahasiswa tidak hanya “menyelesaikan laporan” (ini juga poin yang valid untuk dikejar), namun memahami makna kerja magang dengan menggunakan logika penalaran ilmiah (inferential logic) untuk mendialogkan pemahaman mereka atas materi perkuliahan yang pernah mereka ambil dalam empat semester foundation (first) and sophomore (second) years dengan pengalaman konkret di tempat kerja magang.

Ketiga, Penilaian Etis, Profesionalitas, dan Kesiapan Kerja.
Selain aspek akademik, saya juga menyoroti dan mengasah aspek etika profesional, seperti responsivitas dalam korespondensi email. Reminder ini saya tekankan sebagai bagian dari penilaian proses bimbingan sekaligus refleksi disposisi profesional mahasiswa magang dalam dunia kerja. Selain itu, saya juga menilai relevansi dan kontribusi nyata dari tugas tambahan, bukan sekadar memasukannya sebagai daftar pekerjaan (to do list). Pendekatan ini penting untuk menjaga integritas laporan magang sebagai dokumen evaluatif yang memiliki bobot akademik dan profesional. Pokok ketiga ini selaras dengan tujuan magang industri yang tercantum dalam pedoman magang industri pada beberapa kampus di Indonesia seperti Trunojoyo Madura, UM Malang, UNY Yogyakarta, UPMI, dll., yaitu mengasah hardskills (keterampilan teknis, problem solving) dan softskills (etika, komunikasi, kerja sama) agar nantinya lebih siap memasuki dunia kerja.

Lih misalnya https://peraturan.bpk.go.id/Download/366019/permendikbudristek-no-63-tahun-2024.pdf, https://feb.uny.ac.id/sites/feb.uny.ac.id/files/PANDUAN%20PKL%20PI%20MAGANG%20UNY%202024_.pdf, dan https://kplnondik.um.ac.id/wp-content/uploads/2023/12/Panduan-Magang-2023.pdf

Dalam sesi supervisi, saya juga menegaskan pentingnya apresiasi terhadap perusahaan ketika perusahaan memberikan ruang kerja yang mendukung proses bimbingan, termasuk bagaimana mereka menyediakan waktu khusus agar mahasiswa dapat mengikuti sesi bimbingan dengan internship advisor (dosen pembimbing magang) secara terfokus. Hal ini saya lakukan bukan hanya untuk menggarisbawahi etika komunikasi organisasi tetapi juga melatih mahasiswa terampil membaca dinamika relasi kerja dan bagaimana menempatkan diri secara proper dalam dinamika tersebut dengan lebih matang dan terukur.

(to be continued)

Categories
Uncategorized

Sweeping statement ini datangnya dari mana? (bagian 02 dari 02)

Catatan Dosen Pembimbing TA Track 02 tentang Laporan TA sebagai Naskah Akademik (lanjutan post sebelumnya)

Namun, supervisi tidak berhenti pada perumusan konsep. Secara sadar saya mendorong SC keluar dari jebakan ‘penyusunan TA sebagai laporan teknis kegiatan.’ Dalam satu momen, hal ini saya nyatakan secara eksplisit:

“Saya ada harapan bahwa SC, sebagai salah seorang bright student yang saya kenal, karena SC mahasiswa bimbingan akademik saya, sayang kalau (isi laporan TA) hanya membedakan apakah garisnya lurus atau bengkok, atau warna merah dengan merah jambu. Kan sayang ya? […] Minimal pada saat ujianlah. Minimal ketika nanti ada pertanyaan dari penguji yang perlu dicari rumusannya di dalam laporan TA, SC dapat menjelaskan semacam itu […] Tapi yang ditanya pertama oleh penguji kan SC duluan, bukan pembimbingnya. Makanya SC dulu yang harus berusaha menjelaskan apa sih maksudnya company profile di dalam rangka keilmuan komunikasi itu? Dia di mana tempatnya? […] Nah ini cara saya membimbing SC adalah bahwa SC nantinya dapat menjelaskan company profile itu bukan hanya sekedar pelaksanaan kerja teknis. Sebenarnya itu. That’s it. As simple as this (company profile) is not only about technical design. Bukan sekedar membedakan warna merah dengan merah jambu. Garis lurus dengan garis bengkok. Margin kanan kiri dua setengah atau tiga. Bukan hanya sekedar technical things yang dikerjakan SC. But more than that. You are going beyond that technical expertise.”

Mengacu pada verbatim di atas, dosen pembimbing menggarisbawahi disciplinary expertise minimum bagi seorang mahasiswa yang menyusun laporan TA tentang company profile. Yang diuji nanti bukan kecakapan desain atau kerapian dokumen, melainkan kemampuan reflektif untuk menjelaskan mengapa praktik komunikasi tersebut dilakukan dan apa implikasinya secara keilmuan. Inilah alasan mengapa laporan TA tidak boleh direduksi menjadi dokumentasi magang, meskipun acapkali berbasis pengalaman magang.

Aspek lain yang saya tekankan adalah disiplin akademik dalam penyajian data, khususnya terkait penggunaan verbatim quotes dari wawancara. Penekanan pada penggunaan verbatim dan parafrase ini tidak semata-mata bersifat teknis atau taat format (template) belaka, melainkan berakar pada persoalan etika representasi data. Sebagaimana ditegaskan dalam kajian sistematis Nii Laryeafio dan Ogbewe (2023), etika penelitian kualitatif tidak berhenti pada tahap pengumpulan data melalui wawancara, tetapi juga mencakup bagaimana data tersebut direpresentasikan, ditafsirkan, dan digunakan dalam laporan penelitian.

Penggunaan kutipan verbatim yang tidak proporsional, terlepas dari konteks, atau sekadar bersifat ornamental berpotensi mereduksi suara partisipan dan membuka ruang bagi misrepresentasi temuan. Dengan demikian, keputusan untuk menampilkan verbatim atau melakukan parafrase merupakan tindakan etis sekaligus analitis, yang menuntut tanggung jawab penulis terhadap integritas data dan posisi narasumber dalam teks akademik. Dalam sesi bimbingan, hal tersebut saya tegaskan sebagai berikut:

“Wawancara itu ada transkripnya. Transkrip itu yang disampaikan apa adanya oleh narasumber yang diwawancarai. Itu yang disebut sebagai verbatim quotes […] Keberadaan verbatim quotes yang ditaruh di dalam body text laporan itu justru menunjukkan authenticity (dari pernyataan narasumber). Jadi kalau hanya 1-2 baris, langsung parafrase saja. Nggak usah pakai verbatim quotes […] Wawancara itu kan data collection technique (atau) teknik pengumpulan data. Kalau verbatim quotes yang dikutip, dimasukkan ke dalam (body text laporan) ini, itu disebut sebagai data presentation (atau) teknik penyajian data. Beda ya? Data collection technique berbeda dengan data presentation technique.”

Pernyataan dosen pembimbing di atas menggarisbawahi pembedaan penting antara data collection techniques dan data presentation techniques. Busetto et al. (2020) membedakan antara tahap pengumpulan data kualitatif dan tahap analisis serta penyajiannya sekaligus menegaskan bahwa kutipan verbatim bukan sekadar salinan ucapan narasumber, melainkan hasil keputusan analitis yang mencerminkan posisi penulis dalam proses interpretasi data.

Seluruh proses supervisi ini bermuara pada satu tujuan utama: menjadikan laporan TA sebagai alat pertahanan epistemik bagi subjek pengetahuan saat menempuh ujian. Dalam konteks evaluasi dan ujian TA, epistemic agency inilah yang sesungguhnya sedang diuji. Jadi, bukan sekadar kepatuhan pada format atau kelengkapan teknis laporan, melainkan kemampuan mahasiswa mempertanggungjawabkan klaim, data, dan kerangka konseptualnya sebagai subjek pengetahuan. Kerangka konseptual bukan dekorasi standar untuk menebalkan bab II, melainkan fondasi argumentatif yang memungkinkan mahasiswa menjelaskan posisi karyanya dalam Ilmu Komunikasi. Tanpa fondasi ini, laporan TA akan tampak rapi secara teknis dan taat secara template, tetapi rapuh secara akademik.

Dengan demikian, sesi bimbingan penyusunan laporan TA sejatinya adalah proses pendewasaan epistemik. Mahasiswa didorong untuk melampaui kerja teknis dan memasuki wilayah refleksi konseptual. Meskipun mungkin jarang diartikulasikan secara eksplisit, laporan TA menemukan martabatnya: bukan hanya sebagai syarat kelulusan, tetapi sebagai naskah akademik versi panjang pertama yang menandai jejak kontribusi mahasiswa dalam komunitas keilmuan komunikasi pada jenjang Sarjana (S1).

Dalam konteks ini, supervisi Tugas Akhir tidak saya pahami sebagai relasi instruksional yang ‘memindahkan pengetahuan’ (knowledge transfer) dari dosen ke mahasiswa, melainkan sebagai relasi epistemik yang bersifat asimetris namun emansipatoris. Dosen pembimbing tidak mengambil posisi sebagai “pemilik kebenaran” yang harus dikutip atau direplikasi, melainkan sebagai epistemic scaffolding yang mendorong mahasiswa keluar dari zona nyaman laporan teknis menuju artikulasi akademik yang reflektif. Mahasiswa tetaplah subjek epistemik utama: ia yang menulis, ia yang menafsirkan, dan ia pula yang bertanggung jawab atas bangunan argumentasinya.

Dalam konteks pembelajaran akademik S1 semester lanjut (7 ke atas), stepping out of comfort zone justru menjadi indikator pedagogis yang sehat. Artinya, langkah ini menjadi penanda semantik bahwa mahasiswa sedang bergerak dari doing tasks menuju thinking academically. Dalam proses ini, laporan TA tidak lagi dipersepsi secara keliru sebagai comfort zone untuk bersembunyi di balik prosedur kerja, tetapi menjadi ruang latihan intelektual untuk mengambil posisi epistemik dan etis dalam keilmuan komunikasi secara sadar dan bertanggung jawab.

Referensi
Busetto, L., Wick, W., & Gumbinger, C. (2020). How to use and assess qualitative research methods. Neurological Research and Practice, 2, Article 14. https://doi.org/10.1186/s42466-020-00059-z
Cornelissen, J. (2020). Corporate communication: A guide to theory and practice (6th ed.). Sage.
Kotler, P., & Keller, K. L. (2016). Marketing management (15th ed.). Pearson Education.
Nieminen, J. H., & Ketonen, L. (2024). Epistemic agency: A link between assessment, knowledge and society. Higher Education, 88, 777–794. https://doi.org/10.1007/s10734-023-01142-5
Nii Laryeafio, M., & Ogbewe, O. C. (2023). Ethical consideration dilemma: Systematic review of ethics in qualitative data collection through interviews. Journal of Ethics in Entrepreneurship and Technology, 3(2), 94–110. https://doi.org/10.1108/JEET-09-2022-0014

Categories
Uncategorized

Sweeping statement ini datangnya dari mana? (bagian 01 dari 02)

Catatan Dosen Pembimbing TA Track 02 tentang Laporan TA sebagai Naskah Akademik

Salah satu persoalan epistemik yang paling sering muncul dalam penulisan laporan Tugas Akhir (TA) Ilmu Komunikasi, yang berakar pada jalur magang industri, adalah reduksi laporan TA menjadi laporan kerja teknis. Mahasiswa cenderung berhenti pada pertanyaan apa yang dikerjakan dan bagaimana prosesnya, tanpa bergerak lebih jauh ke pertanyaan di mana posisi kerja tersebut dalam keilmuan komunikasi. Dalam sesi bimbingan laporan TA untuk SC [sebut saja mahasiswa ybs dengan inisial ini], problem ini muncul secara eksplisit dan menjadi titik pijak reflektif atas proses bimbingan.

Sejak awal, saya menegaskan bahwa laporan TA bukanlah laporan teknis yang netral secara epistemik. Laporan TA adalah naskah akademik, sehingga setiap klaim, relasi konsep, dan keputusan analitis harus dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dalam konteks ini, relasi antara marketing communication, company profile, brand guideline, corporate identity, dan corporate image tidak cukup dipahami sebagai urutan kerja praktis dalam bingkai paradigma keilmuan yang melulu pragmatis (get things done). Relasi tersebut harus dibingkai sebagai bangunan konseptual.

Dalam sesi bimbingan TA tambahan untuk SC pada Sabtu, 6 Desember 2025 yang lalu, guna memenuhi syarat minimum 8 kali menempuh sesi bimbingan agar SC boleh mendaftar maju ujian, hal ini saya tegaskan sebagai berikut:

Penafsiran (SC) perlu diperkuat dengan rujukan, karena ini kan landasan konseptual (laporan TA), bab dua. Karena ini bab dua, tentu ada ekspektasi dan itu sudah menjadi sebuah tuntutan akademik yang wajar, perlu adanya rujukan […] Statement seperti itu kan statement yang sweeping ya. Sweeping itu artinya kayak nyapu ya. Nah ketika itu sebuah statement yang sifatnya sweeping, yang menyapu, maka perlu ada rujukan […] Jadi (statement) perlu memuat sitasi. Kalau tidak ada sitasi, malah justru diragukan ini datangnya dari mana. Di zaman sekarang, orang langsung menduga, oh ini datangnya dari AI.

Verbatim di atas menyoroti beberapa hal, salah satunya soal sweeping statement, yakni klaim konseptual yang merangkum hubungan antarkonsep. Sweeping statement bukan kesalahan metodologis selama ia ditopang oleh literatur yang relevan. Mahasiswa justru sedang melakukan kerja intelektual ketika merangkai berbagai rujukan menjadi satu kesatuan berpikir. Dalam posisi ini, mahasiswa bukan sekadar pelaksana teknis, melainkan subjek pengetahuan (epistemic agent), yakni subjek yang secara aktif mengevaluasi, memproduksi, menggunakan, dan mentransformasi pengetahuan.

Konsep epistemic agency, sebagaimana ditegaskan oleh Nieminen dan Ketonen (2024), tidak merujuk pada soft skill tambahan atau sekadar kemandirian belajar, melainkan pada relasi transformatif mahasiswa dengan pengetahuan itu sendiri. Mahasiswa diposisikan sebagai aktor yang bertanggung jawab secara epistemik atas klaim, rujukan, dan bangunan argumentasi yang ia susun. Dalam kerangka ini, penyusunan laporan TA bukanlah aktivitas administratif atau teknis, melainkan praktik awal pembentukan mahasiswa sebagai warga akademik yang mampu mempertanggungjawabkan pengetahuan di hadapan komunitas keilmuan dan masyarakat yang lebih luas.

Literatur seperti Kotler dan Keller (2016) memberikan dasar tentang fungsi komunikasi pemasaran dalam membangun persepsi dan nilai merek (brand), sementara Cornelissen (2020) menegaskan bahwa corporate identity merupakan prasyarat komunikatif bagi terbentuknya corporate image. Dengan kerangka ini, company profile tidak lagi dipahami sebagai produk desain visual semata, melainkan sebagai artefak komunikasi korporat, yaitu medium yang menjembatani identitas korporasi dengan persepsi publik tentangnya.

[to be continued with part 02]

Categories
Uncategorized

“Pak, yang ini boleh ditulis nggak?”

Refleksi Fenomenologis Dosen Pembimbing atas Proses Bimbingan Mahasiswa SC Peserta Program Social Initiatives Impact (SII), Gasal 2025-2026

“Pak, selain data engagement, hambatan selama ngerjain proyek itu perlu dimasukin nggak ke bagian evaluasi?” Pertanyaan semacam ini muncul di awal sesi bimbingan terakhir untuk mahasiswa peserta program Social Initiatives Impact (SII) pada semester Gasal 2025-2026, Kamis, 11 Des. 2025, 10.00-11.00 WIB. Sepintas pertanyaannya terdengar teknis. Tapi, secara fenomenologis, pertanyaan ini mengandung kegelisahan yang lebih dalam: apakah pengalaman menjumpai kesulitan di lapangan sah secara akademik, atau harus disembunyikan demi laporan yang terlihat lebih rapi? Dari titik inilah pedagogi pembimbingan SII bekerja: bukan sebagai koreksi administratif, melainkan sebagai proses menuntun dan membimbing mahasiswa untuk berani membaca dan menafsirkan pengalaman mereka sendiri.

Ada tiga mahasiswa Ilmu Komunikasi peserta SII yang saya bimbing pada semester ini: Keycia, Gabby dan Cheryl. Mereka bertugas di tiga loci sosial dengan karakter demografis dan isu ‘besar’ yang sangat berbeda: Kampung Gardu Timur, desa Situregen, Panggarangan, Bayah, Lebak Selatan dengan isu mitigasi bencana, disaster reduction, dan community resilience; Pasar Papringan di dusun Ngadiprono, desa Ngadimulyo, Kec. Kandangan, Kab. Temanggung dengan isu revitalisasi desa dan cultural resilience; serta kampung Sukagalih, desa Cipeuteuy, Kec. Kabandungan, Kab. Sukabumi yang masuk zona/kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), dengan isu social forestry dan eco tourism. Untuk locus pertama di Bayah, sudah masuk batch 7; locus kedua masuk batch kedua, dan locus terakhir, batch perdana.

Pada masing-masing locus (loci, bentuk jamaknya; pemilihan term locus memang disengaja; locus tidak identik dengan ‘tempat’ atau place, tapi lebih dari itu karena ada interaksi sosio-kultural-komunikatif multi pihak di dalamnya), mahasiswa tidak hanya “melaksanakan program KKN” (istilah yang pernah populer di zaman Orde Baru doeloe), tetapi MENGALAMI-nya secara langsung. Mereka tinggal bersama warga, belajar mengobservasi kehidupan di dusun yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota besar, serta terlibat dalam perikehidupan yang slow living and rich in meaning. Pada ketiga loci inilah bahasa lokal lebih mendominasi, tubuh urban yang tadinya canggung menjadi teremansipasi dalam lanskap sosio-demografis yang sparse sekaligus nguwongke, dan mereka pun masuk terlibat dalam relasi kuasa yang cair nuansa instrumental-transaksionalnya.

Seorang mahasiswa menceritakan bagaimana komunikasinya sering terhambat karena percakapan spontan warga berlangsung dalam bahasa Sunda yang tidak sepenuhnya ia kuasai (Keycia berasal dari Tegal). Kendala berbahasa ini tidak disebutnya sebagai “masalah besar”, tetapi ia “kadang bingung harus merespons bagaimana” obrolan yang tidak dimengertinya itu. Dalam perspektif dosen pembimbing, Keycia mengalami bahasa lebih dari sekadar alat transaksi informasi, tapi jembatan penghubung antar dunia kehidupan yang dialami dan dihidupi oleh multi spesies dengan keragaman moda komunikasinya (pengertian Umwelt dalam fenomenologi; lih. Brentari & Tønnessen, 2024)

Di sinilah intervensi pedagogis menjadi penting. Alih-alih mengafirmasi pengalaman itu sebagai sekadar “kendala” (Yunani: problēma, dari kata proballein ~ dilemparkan di depan), pembimbing menggeser kerangka berpikir mahasiswa: ini bukan keluhan personal, tetapi data komunikasi. Code-switching, peran supervisor lapangan sebagai mediator bahasa & worldview, dan frekuensi berkomunikasi dengan warga bukan aksesoris tambahan untuk mempercantik laporan. Ini semua inti evaluasi strategis dalam kerangka keilmuan komunikasi. Seorang ahli bahasa pernah mengatakan bahwa “batas bahasaku adalah batas duniaku [Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt (proposisi 5.6. dalam Tractatus Logico-Philosophicus karya filsuf analitik, Ludwig Wittgenstein, tahun 1921/1922)]. Pengalaman keterasingan bahasa yang semula dirasakan si mahasiswa sebagai aspek kekurangan diri perlahan digeser menjadi objek refleksi akademik yang presisi dan bahan evaluasi.

Di Pasar Papringan, Ngadiprono, Gabby menghadapi konteks yang berbeda: ruang sosial yang sarat interaksi, simbol dan nilai keberlanjutan ekologis. Salah satu mahasiswa menulis evaluasi yang panjang, penuh tabel, dan poin-poin bertanda strip. Saat ditanya, ia berkata dengan jujur, “Soalnya poinnya banyak, Pak. Takut kelewat.” Kekhawatiran ini menjadi simtom atas ketakutan gagal menjelaskan pengalaman secara utuh. Di sini, pembimbingan mengambil bentuk yang sangat konkret: penomoran ilmiah, keterlacakan argumen, dan kesiapan acuan teks untuk “ditunjuk” secara persis lokasinya di mana saat ujian nanti. Bukan demi aspek estetika semata ‘bulit’ ini diangkat, tetapi agar pengalaman lapangan tidak larut menjadi narasi yang nglantur atau sekadar check-list.

Di Kampung Sukagalih, Sukabumi, refleksi Cheryl bergerak ke wilayah yang lebih embodied. Mahasiswa ybs berasal dari kota Duri, Kab. Bengkalis, Prov. Riau dan dia sedikit merasa canggung ketika harus berinteraksi secara intensif dengan komunitas warga kampung yang notabene berbahasa Sunda, dalam rentang waktu yang amat terbatas. Bahkan, masa observasi awal yang seharusnya 10 hari terpotong jadi hanya enam hari karena gempa cukup besar terjadi di hari kelima (21 Sept. 2025; lih. https://content.bmkg.go.id/wp-content/uploads/Ulasan-Guncangan-Gempa-Sukabumi_21september2025.pdf) sehingga di hari berikutnya mereka terpaksa dievakuasi kembali ke kampus.

Proyeknya dimulai dengan masa induksi awal untuk membangun rapport dengan warga yang cut short. Ketika ditanya apakah perasaan itu relevan untuk ditulis, muncul keraguan: apakah ini terlalu subjektif? Jawaban pedagogisnya justru membuka ruang inklusi: jika pengalaman dialami, diamati, dan direfleksikan, ia sah sebagai temuan. Pengalaman cemas, kikuk, atau merasa “canggung” bukanlah materi curhat biasa; ia dapat menjadi pintu masuk untuk membahas cultural barriers dan relasi gender dalam komunikasi berskala komunitas.

Pendekatan fenomenologis mencapai artikulasi yang lebih eksplisit ketika Keycia menggunakan kerangka evaluasi berbasis teori (Bennett model). Ia menjelaskan dengan hati-hati, seolah meminta izin, bahwa ia tidak ingin evaluasinya sekadar opini. Respons pembimbing tidak hanya mengoreksi penempatan metodologis—bahwa metode evaluasi harus berada di bab metode, dan bukan kerangka teori—tetapi juga memberi legitimasi: ini bukan overthinking, ini justru kerja akademik yang matang. Pada simpul masukan ini, mahasiswa dibebaskan: ia belajar bahwa teori bukan dekorasi intelektual pemanis ruangan, melainkan alat untuk menata dan membaca pengalaman agar koheren.

Benang merah dari seluruh sesi ini kira-kira dapat dirumuskan demikian: mahasiswa belajar bahwa pengalaman tidak otomatis menjadi pengetahuan. Pengalaman harus diolah, dipilah, dan ditempatkan dalam kerangka yang tepat, atau, menggunakan model yang saya kembangkan dalam disertasi (Putranto, 2025), tiga momen sikap: alamiah, fenomenologis, dan etis. Dari hal-ihwal yang tadinya taken for granted, setelah diabstraksikan dan dikonsepkan (fenomenologis) lewat pelbagai saringan (epoché), kemudian dicari dan ditemukan nilai-nilai etisnya atau direfleksikan secara empatik (double hermeneutics). Dalam proses itu, saya berperan sebagai dosen pembimbing yang hadir bukan sebagai juru catat atau penyelesai sengketa, melainkan pendamping refleksi—authorized person untuk sesekali menahan, sesekali mendorong, sesekali ngegas, agar mahasiswa tidak terjebak dalam kelindan kubangan romantisasi pengalaman, overthinking, dan kabut realisme naif.

Dalam klaster makna yang sudah saya tuturkan di atas, pedagogi pembimbingan mahasiswa peserta SII adalah pedagogy in motion: bukan hanya mahasiswa bergerak dari tidak tahu menjadi tahu dan cukup tahu menjadi lebih tahu (cognitive aspect dari Benjamin Bloom), tapi lebih dari itu. Pedagogy in motion mendorong mahasiswa bergerak dari melihat menuju bertindak, dari mengalami menuju memahami, dari melakukan menuju merefleksikan. Acap kali, proses menulis pengalaman dan hasil observasi dimulai bukan dari konsep yang njlimet dengan dipandu grand theory, tapi dari pertanyaan sederhana: “Pak, yang ini boleh ditulis nggak di bab 4?”

References
Brentari, C. & Tønnessen, M. (2024). Introduction to the Special Issue ‘Umwelt Theory and Phenomenology’. Biosemiotics 17, 265–272. https://doi.org/10.1007/s12304-024-09583-w
Patton, M. Q. (2011). Developmental evaluation: Applying complexity concepts to enhance innovation and use. The Guilford Press.
Putranto, H. (2025, 27 Juni). [Disertasi FISIP UI] Etika Komunikasi dalam Produksi Pengetahuan. Retrieved from https://fisip.ui.ac.id/doktor-ilmu-komunikasi-ui-meneliti-etika-komunikasi-dalam-produksi-pengetahuan/
Rockwell, K., & Bennett, C. (2004). Targeting Outcomes of Programs: A Hierarchy for Targeting Outcomes and Evaluating Their Achievement. DigitalCommons@University of Nebraska – Lincoln. Retrieved from https://digitalcommons.unl.edu/aglecfacpub/48

Categories
Uncategorized

“Pak, Saya Layak Maju Ujian Nggak?”

Refleksi fenomenologis dosen pembimbing atas sesi akhir bimbingan skripsi periode Gasal 2025-2026

“Ini saya sudah delapan kali bimbingan, Pak… berarti saya bisa maju sidang ya?” Pertanyaan semacam ini muncul hampir bersamaan ketika sesi bimbingan Social Initiatives Impact ditutup dan sesi bimbingan skripsi dimulai, sekitar pukul sebelas siang. Nada pertanyaannya terdengar administratif, bahkan prosedural. Namun secara fenomenologis, ia menyimpan kegelisahan yang jauh lebih eksistensial: apakah kehadiran formal cukup untuk menjamin kelayakan akademik? Apakah “sudah delapan kali bimbingan” identik dengan siap diuji?

Pada sesi ini hadir empat mahasiswa skripsi: Gaga, Ganang, Dino, dan Matthew. Penyebutan nama satu per satu bukan sekadar pencatatan kehadiran. Ia menandai perubahan rezim relasi pedagogis. Tidak lagi ada pembicaraan tentang “mengembangkan ide” atau “mengeksplorasi kemungkinan”. Yang dipertaruhkan kini adalah kelayakan—bukan kelayakan personal, melainkan kelayakan epistemik dan institusional untuk maju ujian.

Pada nexus inilah sebuah kalimat, yang mungkin terdengar keras jika dipotong dari konteksnya, muncul: “Saya tidak bisa menolong orang yang tidak menolong dirinya sendiri.” Kalimat ini bukan ekspresi emosi, apalagi frustrasi. Ia adalah batas pedagogis. Sebuah penanda bahwa peran pembimbing telah bergeser: bukan lagi fasilitator kemungkinan, melainkan penjaga agar proses akademik tetap sah, adil, dan tidak memanipulasi standar. Humor ringan sesekali diselipkan, bukan untuk melunakkan pesan, melainkan agar pesan dapat diterima tanpa defensif berlebihan.

Fase paling intens dari sesi ini terjadi ketika membahas skripsi Gaga. Pada draf skripsinya muncul nama-nama pemikir kaliber kelas dunia seperti Luciano Floridi, Rosi Braidotti, dan Shoshana Zuboff. Di permukaan, penyebutan nama-nama ini tampak keren sebagai ambisi intelektual. Tapi, ketika Gaga ditanya lebih lanjut, apakah teks-teks primer itu sungguh kamu baca dan pahami? jawaban ragunya membuka lapisan persoalan lain: ketegangan antara klaim akademik dan pengalaman intelektual yang sebenarnya.

Di sinilah pedagogi bimbingan berubah secara kualitatif menjadi epistemic gatekeeping. Kritik tidak diarahkan pada niat, melainkan pada klaim pengetahuan. Mahasiswa diarahkan untuk belajar epistemic humility: mengakui batas bacaan, menyederhanakan kerangka teori, dan menyesuaikan kedalaman konseptual dengan level skripsi S1. Semiotika Barthes, misalnya, ditegaskan DosPem sebagai metode, bukan teori; teori cukup satu payung representasi yang kokoh: representasi dari Stuart Hall. Kesalahan di titik ini bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan epistemic loophole yang dapat mengganjal tahap kelulusan.

Dalam alur pengertian ini, epistemic gatekeeping bukanlah mekanisme eksklusi sewenang-wenang, melainkan praktik normatif untuk menjaga kualitas klaim ilmiah. Akan tetapi, praktik ini selalu berada dalam ketegangan: jika dilakukan tanpa refleksi, ia berisiko berubah menjadi bias epistemik atau bahkan epistemic injustice—sebagaimana ditunjukkan dalam studi tentang editorial bias (Ajani et al., 2025) dan kegagalan relasi mentoring (Fackler, 2025). Di sinilah gatekeeping menuntut bukan hanya ketegasan (being assertive), tetapi lebih condong pada tumbuhnya kesadaran etis (Brooks, 2025).

Berbeda dengan dinamika yang dialami Gaga, bimbingan untuk Ganang berlangsung singkat dan nyaris tanpa elaborasi. Fokusnya satu: hasil kuesioner dan analisisnya. Tidak ada ruang untuk diskusi panjang. Justru dalam keringnya percakapan ini, pesan pedagogisnya jelas: pada fase akhir skripsi, niat dan rencana tidak lagi relevan. Yang dinilai adalah data yang sudah terkunci dan kemampuan membaca data tersebut. Absennya kritik yang panjang menjadi tanda bahwa waktu eksplorasi telah lewat.

Pada titik ini perlu diberikan klarifikasi penting terkait Dino, karena pengalamannya tidak berhenti pada sesi kolektif tersebut. Memang benar bahwa pada sesi ke-7 ia masih berada di ambang pemenuhan syarat formal. Namun dua hari kemudian, Dino secara mandiri meminta sesi tambahan (sesi ke-8) pada Sabtu siang. Pertemuan kedelapan justru mengubah secara signifikan makna pedagogis dari kasusnya.

Berbeda dari kesan awal yang muncul pada sesi kolektif, pengalaman Dino dalam sesi tambahan ini memperlihatkan dinamika yang lain sama sekali. Ia datang bukan dengan permintaan dispensasi, melainkan dengan naskah yang sudah diolah, transkrip wawancara yang siap dibedah, serta kerangka pemikiran yang terbuka untuk dikritisi dan dimaknai ulang. Diskusi berlangsung intens dan sepenuhnya berorientasi pada substansi. Pembahasan bergerak dari prinsip data-driven phenomenology—bahwa pengalaman hidup narasumber adalah inti teori—hingga pemetaan berlapis mikro–meso–makro, sebuah capaian yang jarang muncul pada level skripsi S1.

Yang paling menonjol dari sesi ini adalah kesediaan Dino untuk belajar dari koreksi secara langsung: menata ulang kerangka pemikiran agar benar-benar berangkat dari lived experience, mengaitkan kompetensi komunikasi interpersonal (trust, appropriateness, effectiveness) secara konseptual tanpa berlebihan, serta memusatkan kontribusi teoretisnya pada level meso melalui dinamika small group communication (Linabary, 2019). Usaha ini tidak hanya tampak pada respons verbalnya, tetapi juga pada kesiapan teknis berupa penataan bab, proporsi halaman, hingga visualisasi konseptual. Ini semua menunjukkan bahwa sesi bimbingan tidak berhenti sebagai ajang pemberian nasihat-nasihat saleh, melainkan diterjemahkan menjadi kerja akademik konkret.

Dalam konteks ini, kepuasan pembimbing tidak muncul karena kerapian administratif-prosedural semata, melainkan karena terlihat jelas korespondensi antara usaha mahasiswa dan intensitas bimbingan yang diberikan. Ketika mahasiswa memilih untuk mengejar ketertinggalan secara serius, dosen secara etis berkewajiban merespons dengan memberi lebih. Bukan dalam bentuk kelonggaran standar, tetapi dalam bentuk pendampingan intelektual yang sungguh-sungguh. Kasus Dino memperlihatkan bahwa keterlambatan tidak selalu identik dengan kegagalan; yang menentukan justru apakah mahasiswa ybs memilih berhenti, atau berusaha mengejar ketertinggalannya dengan penuh tanggung jawab.

Sementara itu, bimbingan untuk Matthew bergerak dalam mode yang berbeda: damage control. Dengan progres sekitar lima puluh persen, target tidak lagi diarahkan pada kualitas ideal, melainkan kelulusan minimal. Pernyataan bahwa nilai C tetap lulus bukan ajakan untuk berpuas diri dengan hasil seadanya (mediocre), melainkan pengakuan jujur atas keterlambatan pace penyerapan materi dan pengolahan data yang dilakukan mahasiswa dan sudah telanjur terjadi. Di sini, pembimbing hadir sebagai buffer terakhir antara mahasiswa dan gatot, alias gagal total.

Sesi bimbingan terakhir ditutup dengan pengalihan tanggung jawab yang tegas: catatan tertulis akan diberikan sejauh waktu memungkinkan, tetapi kesalahan yang tersisa di ruang ujian bukan lagi tanggung jawab pembimbing. Momen ini sering disalahpahami sebagai ketidaksediaan membantu. Padahal, secara pedagogis, inilah bentuk let them (Baca: The Let Them Theory karya Mel Robbins, 2024) yang perlu, yaitu saat mahasiswa harus berdiri sendiri di hadapan argumen, pilihan dan konsekuensi atas pilihan-pilihannya menjelang (penjadwalan) sidang pertanggungjawaban skripsinya.

Jika pada sesi bimbingan mahasiswa peserta SII sebelumnya pedagogi diperlihatkan sebagai movement—dari mengalami menuju merefleksikan—, dalam sesi bimbingan skripsi ini pedagogi diperlihatkan sebagai ambang batas moral akademis (academic moral threshold). Di ambang ini, pembimbing tidak lagi sibuk nyuruh ini itu, atau memfasilitasi sejumlah skenario kemungkinan triangulasi, melainkan menjaga legitimasi akademik. Ketegasan, yang mewujud dalam penggunaan assertive tone, bukan pertanda runtuhnya pedagogi, melainkan ekspresi tanggung jawab moral dan etis pembimbing terhadap integritas disiplin keilmuan maupun ‘nasib’ mahasiswa itu sendiri. Pembimbing yang baik dan bertanggungjawab tidak akan membiarkan mahasiswanya terkatung-katung pada decisive moment dalam tahap studinya.

Dalam arti ini, bimbingan skripsi bukan sekadar proses akademik, melainkan latihan kedewasaan intelektual: belajar bahwa tidak semua yang ingin ditulis layak dipertahankan, dan tidak semua ambisi konseptual relevan (penggunaan kerangka konseptual yang ndakik-ndakik) untuk tahap yang sedang dijalani. Mungkin pada simpul refleksi inilah pendidikan tinggi bekerja paling jujur: ketika dosen tidak lagi menyamarkan peran gatekeeping sebagai kegagalan empati, melainkan mengakuinya secara terbuka sebagai tanggung jawab etis yang harus terus diseimbangkan dengan langkah pendampingan dan pembelajaran.

“Gatekeeping is part of what instructors do”, tapi ia bukan prinsip utama penilaian, melainkan “a contrary force to be balanced with pedagogical approaches that enable learning” (Sonnenmoser, 2009). Di sinilah pendulumnya berayun: ketika disadari, dampak tegangan dari gatekeeping justru menjaga integritas akademik sekaligus denyut kemanusiaan dari proses pendidikan di perguruan tinggi, khususnya dalam sesi bimbingan skripsi yang intens.

Epistemic gatekeeping berbeda secara prinsipil dari epistemic violence: yang pertama bertujuan menjaga validitas klaim pengetahuan melalui koreksi yang dapat dipertanggungjawabkan (misalnya: ada bukti rekaman dan transkripnya), sementara yang kedua terjadi ketika koreksi tersebut berubah menjadi penyangkalan terhadap kapasitas subjek sebagai know-er, sehingga menghasilkan epistemic injustice—baik dalam bentuk testimonial injustice yaitu ketika suara mahasiswa tidak dipercaya secara apriori maupun hermeneutical injustice yaitu ketika pengalaman belajarnya tidak diberi kerangka makna yang adil. Pokok seperti ini mirip dengan yang diingatkan Fricker (2007).

Reference
Ajani, Y. A., Akin-Fakorede, O. O., Ama-Abasi, R. D., Onanuga, A. O., Ilori, O. O., Egbe, I. M., Oladokun, B. D., & Otun, M. O. (2025). A phenomenological study of acclaimed editorial bias in academic publishing among library and information science scholars. Performance Measurement and Metrics, 26(4), 268–284. https://doi.org/10.1108/PMM-06-2025-0036
Brooks, P. (2025). How bad gatekeepers undermine good science. Synthese, 206, 267. https://doi.org/10.1007/s11229-025-05346-3
Fackler, A. K. (2025). Mentoring that fell apart: Using an epistemic injustice lens to (re)construct a doctoral mentoring dyad in science education. Journal of Diversity in Higher Education. Advance online publication. https://doi.org/10.1037/dhe0000678
Fricker, M. (2007). Epistemic injustice: Power and the ethics of knowing. Oxford University Press.
Sonnenmoser, R. (2009). The gatekeeping impulse and Professor X: An exploration. Assessing Writing, 14(2), 76–87. https://doi.org/10.1016/j.asw.2009.04.003

Categories
Uncategorized

Ketika ruang percakapan yang tadinya ramai eh mendadak sunyi

Digital Silence dan Inhibisi Komunikasi di WA Grup Profesional

Dalam sebuah asosiasi profesional tempat saya bergiat, terdapat cukup banyak grup WhatsApp yang menjadi arena kolaborasi lintas generasi. Kalau saya tidak salah hitung, ada 45 grup WA yang saya masuki/dimasukin (di-add). Salah satu grup WA tersebut terdiri dari para anggota senior dengan jam terbang panjang serta anggota muda yang sedang menapaki jalur awal profesi. Grup ini memfasilitasi koordinasi kegiatan, pertukaran informasi, dan penguatan jaringan. Namun ada pola yang menarik: ketika pesan yang muncul terlalu panjang, reflektif, atau filosofis, percakapan kerap berhenti seketika. Sebuah “hening digital” muncul, bukan karena ketidaksetujuan, tetapi karena dinamika ruang itu sendiri.

Fenomena ini mendorong saya menelaahnya melalui lensa dua riset media kontemporer: studi “inhibition in digital public spaces” oleh Sakariassen & Meijer (2021) dan gagasan “digital silence” dari Thomas & Manalil (2025). Keduanya memberi kerangka analitis yang sangat relevan untuk memahami mengapa ruang digital yang tampak cair dan egaliter justru sering menjadi tempat diam kolektif.

Inhibition sebagai Mekanisme Sunyi di Ruang Digital

Studi Sakariassen & Meijer (2021) menunjukkan bahwa mayoritas pengguna media sosial mengalami apa yang mereka sebut sebagai inhibition: dorongan untuk ikut bersuara yang terhambat oleh kekhawatiran sosial dan dinamika platform. Menariknya, hampir 90% responden dalam studi mereka menyatakan pernah merasa terhambat untuk berkomentar, berbagi, atau bersuara, meski ingin melakukannya. Fenomena ini mereka sebut sebagai “in-between concept” antara partisipasi dan non-partisipasi: orang hadir, membaca, memperhatikan, tetapi memilih tidak tampil.

Jika kita terapkan pada WA grup profesional, terlihat jelas bahwa:

Pengguna muda merasa perlu menjaga citra diri di hadapan anggota senior, sebagaimana temuan bahwa identitas digital sangat memengaruhi kecenderungan untuk bersuara (Goffmanian identity management dalam Sakariassen & Meijer). Akibatnya, pesan panjang yang berbobot sering menciptakan tekanan: bagaimana merespons tanpa tampak kurang cerdas atau kurang relevan?

Kekhawatiran akan salah tafsir dan kritik (faktor social discomfort dalam studi tersebut) membuat orang memilih diam daripada berisiko.

Dalam grup beranggotakan lintas usia dan hierarki profesional, efek ini semakin kuat.

WA bukan ruang diskursif, melainkan ruang phatic—berfungsi menjaga ritme relasional secara ringan. Ketika seseorang tiba-tiba mengirim refleksi filosofis panjang, sebagian anggota cenderung berhenti, bukan menolak, tetapi tidak siap berpindah register wacana secara tiba-tiba.

Dengan demikian, “diam” bukan berarti tak peduli; ia adalah bentuk inhibition yang lahir dari kalkulasi sosial digital.

Digital Silence sebagai Pengalaman Afektif

Artikel Thomas & Manalil (2025) menawarkan konsep yang lebih psikologis: digital silence. Mereka membahasnya dalam konteks shadow banning, tetapi gagasannya relevan untuk memahami dinamika respons dalam grup profesional. Intinya, digital silence merupakan “sebuah pengalaman subjektif ketika pesan kita tidak mendapatkan pantulan sosial dari lingkungan digital.” (Thomas & Manalil, 2025)

Meski WA grup bukan platform berbasis algoritma yang menyembunyikan konten, dampak afektif “pesan tanpa balasan” mirip dengan mekanisme digital silence. Misalnya, tidak adanya feedback sosial memunculkan perasaan ragu: apakah pesan saya terlalu berat? tidak tepat? mengganggu suasana? Cuatan ini selaras dengan temuan bahwa ketiadaan respons memicu cognitive dissonance dan refleksi negatif terhadap diri. Pengirim merasa ‘berbicara ke ruang hampa’, padahal sesungguhnya orang membaca tetapi tidak menjawab.

Sakariassen & Meijer menyebut ini sebagai non-participation yang aktif—listening in yang tidak tampak. Ruang digital seperti grup WA memproduksi “invisible audience”, sehingga batas antara perhatian, apresiasi, dan keengganan merespons menjadi kabur.

Keduanya menunjukkan bahwa kesunyian digital adalah fenomena sosial yang kompleks, bukan sekadar ketiadaan minat.

Ketika Pesan Mendalam “Membekukan” Grup

Jika digabungkan, kedua studi ini menunjukkan bahwa (a) Pesan berat atau reflektif mengubah “mode komunikasi” grup, (b) anggota berpindah dari phatic mode ke evaluative mode, (c) lalu mayoritas memilih diam, bukan karena kontennya salah, tetapi karena ruang digital itu sendiri tidak mendukung kedalaman spontan.

Dengan demikian, bukan pesannya yang keliru, tetapi arenanya yang kurang tepat.

WA grup profesional bekerja lebih baik dengan respon singkat, emoji, stiker, atau apresiasi ringan, karena jenis respons itu menjaga ritme relasional dan menghindari beban kognitif tak perlu.

Belajar Mengeja Ritme Ruang Digital

Diam di ruang digital bukan berarti abai. Dalam banyak kasus, diam justru menjadi tanda perhatian, bentuk self-restraint, atau strategi menjaga identitas dan harmoni sosial.

Dengan membaca fenomena ini melalui riset mutakhir tentang inhibition dan digital silence, kami dapat memahami bahwa komunikasi digital menuntut kecerdasan kontekstual: kedalaman tetap penting, tetapi harus ditempatkan di medium yang tepat. Blog, catatan refleksi, atau forum diskusi formal adalah tempat ideal untuk wacana filosofis yang bernas—bukan WA grup yang dirancang untuk ritme cepat dan interaksi ringan.

Daftar Pustaka

Sakariassen, H., & Costera Meijer, I. (2021). Why so quiet? Exploring inhibition in digital public spaces. European Journal of Communication, 36(5), 494–510.

Thomas, S., & Manalil, P. (2025). Digital silence: The psychological impact of being shadow banned on mental health and self-perception. Frontiers in Psychology, 16, Article 1659272.

Categories
Uncategorized

Disiplin psikologis individu dan batas etisnya dalam komunikasi organisasi

Sebuah pembacaan kritis atas “Let Them” karya Mel Robbins (2024)

The Let Them Theory karya Mel Robbins (2024) mendapat perhatian besar dari sidang pembaca yang meminati psikologi self-help maupun pembaca teori interpersonal dalam organisasi mikro (keluarga) dan meso (bisnis) karena buku ini menawarkan jalan keluar sederhana dari interpersonal reactivity yang melelahkan. Dalam sesi podcast bersama Anne Ghesquière (Métamorphose, 2025), dan ringkasan buku dalam Blinkist (2024), Robbins menggarisbawahi akar persoalan psikologis yang dialami banyak orang: kita terlalu sering mengatur, menafsir, dan memperbaiki perilaku orang lain, seolah kedamaian diri bergantung pada stabilitas emosi orang lain.

Respon naluriah semacam ini muncul dalam bentuk spiralisasi mental—berpikir berlebihan (overthinking) ketika tidak diajak dalam rencana, merasa bersalah ketika seseorang marah, atau merasa bertanggung jawab atas mood orang lain. Robbins berpandangan bahwa ada kalanya orang lain berubah menjadi “emergencies you think you must manage,” padahal mereka tidak pernah berada dalam kendali kita.

Robbins merumuskan respons sederhana namun transformatif: “Let Them.” Ketika seseorang bertindak di luar preferensi kita—tidak membalas pesan, mengacuhkan kehadiran kita, mengambil keputusan yang tak kita setujui—Let Them mengajarkan untuk menghentikan impuls kontrol tersebut. Let them ignore your text. Let them go on the trip. Let them think what they think. Let Them bukanlah sikap cuek-bebek (indifference); melainkan reclamation—merebut kembali energi psikis yang sebelumnya tercecer untuk mengatur hal-hal yang memang tidak dapat diatur. Seperti disinggung Blinkist, teori ini beresonansi dengan Stoisisme (fokus pada apa yang dapat dikendalikan), Buddhisme (non-resistance to reality), dan teori detachment dalam psikologi.

Namun Robbins menekankan bahwa Let Them adalah langkah pertama. Langkah kedua lebih menentukan: “Let Me.” Let Me menegaskan bahwa setelah berhenti mengatur orang lain, individu perlu kembali ke ranah agensi: memilih respons yang bermartabat, mengelola napas, menentukan batasan, atau mengalihkan fokus pada tujuan hidup yang bermakna. Resume Blinkist (2025) menyebut ini sebagai putting yourself back in the driver’s seat—not to control others, but to lead yourself with intention.

Robbins memberi ilustrasi konkret: di bandara, seseorang batuk tanpa menutup mulut; di kantor, kolega mengirim pesan pasif-agresif; dalam relasi, seseorang ghosting lalu kembali menjalin hubungan seakan tidak terjadi apa-apa. Reaksi spontan kita umumnya: kesal, ingin menegur, ingin memperbaiki. Tetapi Robbins menunjukkan bahwa respons reaktif ini membuat sistem saraf tersandera oleh perilaku orang lain.

Let Me menggeser locus kontrol kembali ke diri: memperbaiki CV, meninggalkan relasi disfungsional, meminta bantuan, atau sekadar memakai masker ketika orang lain batuk di pesawat. Robbins menggambarkan situasi ini dengan pola A-B-C:
(1) Apologize (menghentikan siklus kontrol),
(2) Back Off (memberi ruang bagi otonomi),
(3) Celebrate small improvements (reinforcement tanpa dominasi).

Secara psikologis, langkah ini mencerminkan prinsip non-directive influence (Miller & Rollnick, 2012) yang menekankan bahwa perubahan otentik tidak muncul dari tekanan eksternal, tetapi dari otonomi internal seseorang.

Dr. Aditi Nerurkar (Harvard), yang dikutip Robbins dalam bukunya, menjelaskan bahwa stres kronis merampas kendali prefrontal cortex, membuat kita reaktif dan kehilangan kapasitas untuk memilih tanggapan yang matang. Let Them berfungsi sebagai pattern break bagi loop reaktivitas itu, sementara Let Me memulihkan agency melalui tindakan kecil seperti bernapas teratur, menunda respons, dan memfokuskan energi pada diri.

Let Them juga membantu menghadapi perilaku emosional yang tidak dewasa. Robbins menggambarkan bagaimana banyak orang dewasa masih menggunakan strategi regulasi emosi anak-anak seperti merajuk, marah (tantrum), juga silent treatment. Kita lalu menyangka bahwa tugas kitalah memperbaiki emosi itu. Let Them memutus siklus enabling tersebut. Dengan membayangkan orang dewasa yang tantrum sebagai “anak kecil tanpa alat regulasi emosi,” Robbins menggeser fokus dari rasa bersalah menjadi belas kasih—tanpa menyusutkan batasan.

Selain mengelola stres interpersonal, Robbins menggunakan Let Them–Let Me untuk membedah dinamika self-judgment, ketakutan akan evaluasi sosial, dan spiral perbandingan. Ada contoh kuat yang diberikan si penulis: Robbins sendiri menunda mempublikasikan dirinya secara daring selama bertahun-tahun karena takut (akan) reaksi orang. Let Them mengajak kita membebaskan diri dari “traffic lights of imagined approval,” sedangkan Let Me membantu menegaskan apa yang benar-benar ingin dilakukan dalam hidup sendiri.

Let Them juga digunakan Robbins untuk memahami siklus persahabatan dewasa, yang sering terhenti bukan karena konflik melainkan karena perubahan fase hidup (the great scattering). Robbins menganjurkan kelegaan ketika relasi menjauh (“Let them drift”) tetapi juga proaktif membangun relasi baru (“Let me join the class, start the group, say hello first”). Pada hubungan percintaan, Let Them membantu mengidentifikasi kompatibilitas tanpa ilusi kontrol; Let Me menuntun pada keputusan sulit seperti mengakhiri relasi yang tidak memajukan nilai hidup (misalnya, toxic relationship).

Akhirnya, Let Them membantu membedakan antara mencintai dan menyelamatkan. Banyak orang terjebak dalam upaya menyelamatkan orang lain yang belum siap berubah. Robbins menegaskan bahwa “kompleks mesianisme” (enabling) memperpanjang derita kedua belah pihak. Let Them membebaskan kita dari beban penyelamatan; Let Me mengarahkan pada batasan yang sehat (“You can live here if you stay sober”).

Singkatnya, Let Them memberikan disiplin batin; Let Me memberikan arah hidup.

Kritik atas dan pengayaan untuk Let Them dari perspektif etika komunikasi organisasi

1.Perspektif Fenomenologi Waldenfels
Perspektif fenomenologi responsif dari Bernhard Waldenfels dapat menyumbangkan lapis pembacaan Let Them secara lebih kritis. Dalam Phenomenology of the Alien (2011), Waldenfels menjelaskan bahwa relasi manusia tidak dimulai dari kontrol, tetapi dari pathos—keterpaparan terhadap panggilan yang datang dari yang lain. Orang lain selalu muncul sebagai “yang asing” (das Fremde) yang menuntut respons, bukan sekadar stimulus yang boleh diabaikan.

Jika Let Them dipahami secara literal sebagai pembiaran universal, ia berisiko mereduksi panggilan etis ini menjadi noise interpersonal yang harus dihindari demi ketenangan diri. Dari sudut fenomenologi komunikasi, hal ini problematis: responsivitas etis tidak boleh digantikan oleh mekanisme distansi emosional. Dalam organisasi—ruang yang relasionalnya tak simetris—pemimpin tidak bisa semata “let them” ketika menghadapi pelanggaran etika, ketidakadilan, atau perilaku yang merusak kultur (misalnya, bermalas-malasan, senangnya nggosip dan nggosok tapi capaian kerja dan kinerja tidak tuntas secara memuaskan). Tanggung jawab struktural justru mengharuskan intervensi yang bermakna.

Kedua, organisasi bekerja berdasarkan accountability structures. Let Them sebagai prinsip tunggal dapat disalahgunakan sebagai justifikasi conflict avoidance, menghindarkan pemimpin dari tindakan korektif yang seharusnya dilakukan. Ini tidak hanya melemahkan integritas organisasi, tetapi juga mengabaikan intersubjektivitas sebagai dasar etika profesional.

Ketiga, fenomenologi Waldenfels menekankan bahwa relasi profesional pun adalah ruang panggilan etis. Dalam konteks ini, Let Them berguna hanya sebagai internal psychological discipline—membantu pemimpin menjaga kejernihan, menahan reaktivitas, dan menghindari micromanagement yang berangkat dari kecemasan. Namun efektivitasnya berhenti di sana. Ia tidak dapat menggantikan penegakan norma, pembinaan, koreksi, dan pembentukan kultur komunal.

Dengan demikian, Let Them Theory adalah alat psikologis berharga bagi individu, tetapi bukan model atau kerangka etis-organisasional yang memadai. Let Them harus dipadukan dengan tanggung jawab responsif dan relational ethics (dalam model etika Levinasian yang dikembangkan Ronald C. Arnett, 2006) guna mengelola jejaring kompleksitas relasi individu dalam organisasi yang memerlukan akuntabilitas, kultur, dan kejelasan peran.

2. Arnett: Etika sebagai Pembelajaran, Bukan Penghindaran
Perspektif Ronald C. Arnett memperluas kritik Waldenfels secara signifikan. Dalam wawancaranya (hal. 54–67), Arnett menekankan bahwa communication ethics adalah tentang pilihan untuk melindungi dan memajukan sebuah “good” tertentu. Ia menolak pendekatan etika yang hanya berorientasi pada teknik atau psikologi individual. Ada tiga kontribusi Arnett yang sangat relevan untuk menilai Let Them:

(a) Learning as the first ethical principle
Arnett menekankan bahwa etika komunikasi di era postmodern bukan tentang “bagaimana mengimplementasikan teknik,” melainkan mengapa kita harus peduli, dan apa yang harus kita pelajari dari perbedaan. Ia menyebut ini sebagai learning as an ethical first principle. Let Them, sebaliknya, berisiko menutup kesempatan belajar dari yang lain jika dipahami sebagai pembiaran total terhadap perilaku yang tidak menyenangkan.

(b) Ground & narrative differences
Arnett menegaskan bahwa komunikasi etis bukan sekadar relasi antar-individu, tetapi perjumpaan antar-ground: latar naratif, historis, dan nilai yang membentuk seseorang. Let Them bekerja pada level respons emosional, tetapi tidak memadai untuk mengelola perjumpaan antara ground yang berbeda, yang sering menjadi inti konflik organisasi.

(c) The responsive I (Levinasian)
Arnett—mengikuti Levinas—menggambarkan etika sebagai respons, bukan sebagai otonomi individual. “The responsive ‘I’,” tulis Arnett, bukan agen yang menetapkan batas agar tetap nyaman, tetapi agen yang terpanggil oleh kehadiran yang lain (hal. 59–60). Dalam horison ini, Let Them tidak dapat menjadi fondasi etika kepemimpinan karena ia memusatkan perhatian pada perlindungan energi individu, bukan pada pemenuhan panggilan tanggung jawab.

3. Implikasi bagi kepemimpinan dan organisasi
Dalam organisasi, pemimpin tidak hanya mengelola diri; mereka mengelola relational accountability yang menegakkan standar (perilaku organisasi), menyelesaikan konflik bernilai tinggi, membangun kultur organisasi yang sehat dan berkelanjutan, menjaga keselamatan dan keadilan bagi karyawan, serta merawat organizational ground bersama.

Let Them hanya efektif sampai batas ketika masalah masih dalam kategori low-stakes interpersonal noise. Begitu persoalan menyentuh kepentingan kolektif, nilai, atau struktur organisasi, etika Arnett dan responsivitas Waldenfels menuntut keterlibatan aktif—bukan pembiaran. Dengan demikian, Let Them Theory berguna sebagai disiplin batin bagi pemimpin agar tidak reaktif dan tidak terseret micromanagement berbasis kecemasan; tetapi teori ini tidak boleh dibaca “melulu” sebagai strategi etis atau taktik manajerial. Dalam ranah organisasi, pemimpin harus mengombinasikan kejernihan Let Them dengan keberanian etis Arnett dan responsivitas Waldenfels.

Referensi
Arnett, R. C. (2006). A Conversation about Communication Ethics. In Exploring Communication Ethics (pp. 54–67). Peter Lang.
Blinkist. (2024). Summary of The Let Them Theory. https://www.blinkist.com/en/reader/books/the-let-them-theory-en
Miller, W. & Rollnick, S. (2012). Motivational Interviewing: Helping People Change. Guilford Press.
Robbins, M. & Robbins, S. (2024). The Let Them Theory: A Life-Changing Tool That Millions of People Can’t Stop Talking About. Hay House.
Robbins, M. & Ghesquière, A. (2025, Nov. 24). Mel Robbins : The Let Them Theory ! A Life Changing Tool. Métamorphose, éveille ta conscience, episode #643. Retrieved from https://youtu.be/p226kH11zX8?si=q03xicXO14s8JPCY
Waldenfels, B. (2011). Phenomenology of the Alien: Basic Concepts. Northwestern University Press.

Categories
Uncategorized

Mengironikan “Ruang Aman”: rente komunikasi kelembagaan pasca-Restrukturisasi melalui lensa memetika (Shifman, 2013)

Belum lama ini beredar secara terbatas di ruang2 ganjil penjaprian chit-chat_apps sebuah transkrip rekaman monolog pembukaan rapat internal yang menyajikan studi kasus menarik tentang bagaimana komunikasi institusional berinteraksi dengan kebutuhan akan ruang aman (safe space) pada era digital. Monolog yang sarat dengan ironi dan humor ini terlihat seperti sebuah ritual pembukaan rapat yang secara cerdik (cunning) menavigasi ketegangan antara formalitas dan kebebasan berekspresi.

Untuk mendedah fenomena rekaman monolog ini, saya akan menggunakan kerangka kerja Memes in Digital Culture (2013) karya Prof. Limor Shifman. Shifman mendefinisikan meme tidak hanya sebagai konten yang menyebar, tetapi sebagai sebuah kelompok item digital yang memiliki ciri khas: (1) konten umum (ide), (2) bentuk (struktur), dan (3) sikap/strategi (emosi/partisipasi). Dalam konteks ini, monolog pembuka adalah performa yang mengadopsi struktur “protokol pertemuan resmi” tetapi mengelindankan ide, sikap dan tuturan performatif yang justru bertentangan (kontradiktoris).

Analisis Kontradiksi dan Ironi

Rekaman monolog yang sudah kadung beredar merupakan potret mikrokosmos dari sebuah institusi yang, kita sebut saja, Tautan Institusi Pendidikan Unggul atau TIPU yang sedang membahas isu keberlanjutan pasca-restrukturisasi atau, dalam tikungan paradoksal satiristik lainnya, pasca reformasi.

1. Kontradiksi peran (prinsip non-identitas)
Pembicara, ditabik sebagai speaker 01, membuka dengan kontradiksi peran yang jelas-jelas disengaja, sebuah taktik untuk langsung mencairkan suasana: “sore ini kami panitia dan bukan panitia…coba bingung kan”
Frasa di atas didaulat menjadi strategi retoris yang berfungsi sebagai hentakan awal meruntuhkan hierarki formal. Dalam konteks memetika, frasa ini merupakan variasi (variation) atas ide “siapa yang berkuasa” atau “siapa yang bertanggung jawab”, dan, dengan sedikit modifikasi, mengubahnya menjadi jokes yang katarsis. Pembicara lalu menegaskan kembali: panitia dulu. Ini bukan terma temporal yang menggoyang kaidah liminal taksa-makna, tapi justru disengaja untuk mengundang tawa. Yang diharapkan pembicara dari kontradiksi ini adalah lambaian kepada audiens untuk berpartisipasi dalam ironi tersebut.

2. Membangun ruang aman melalui ironi (prinsip irony in diversity)
Bagian paling menarik dan sesuai dengan analisis Shifman adalah penciptaan “safe space” yang justru diumumkan di depan rekaman.
“Ini maksud tujuan direkam adalah untuk segera dimatikan rekamannya

Pun ini menjadi katalisator partisipasi yang ekstrem. Tujuannya untuk menarik garis tegas antara “konten publik” (pengantar yang direkam) dan “diskusi tertutup” (setelah rekaman mati). Tindakan mematikan rekaman berfungsi sebagai pra-ritual komunal untuk menciptakan emosi kolektif berupa rerasa nyaman dan bebas berekspresi meskipun mungkin mati impresi, seperti tersebut berikut ini, “sehingga kami merasa nyaman” … “dalam sebuah safe space ya, ruang aman ya.”
Pertanyaan yang menggelitik, aman dari apa? Apakah aman dari bahaya penyebaran dan kontekstualisasi ulang di perancah media digital—ancaman yang selalu melekat pada budaya partisipatif (Web 2.0)?

3. De-identifikasi subjek sensitif (prinsip non-rekognisi)

Topik inti yang dibahas bermuatan sensitif karena menyangkut nasib institusi.
“Ruang aman membahas keberlanjutan TIPU dengan pasca restrukturisasi,”
Speaker 01 bahkan secara eksplisit menyamakan istilah-istilah ini, menyiratkan bahwa mereka sadar istilah resmi mungkin terlalu kaku:
“atau kalau pakai bahasa bangsa kita, pasca reformasi.”

Diskusi juga tak luput mengkritik agenda sumir pertemuan yang diselenggarakan badan perkhidmatan acara besar institusi bertajuk Konferensi Internasional Cara Kampus atau, lugasnya, KICK.
Seperti tersebut dalam rekaman, “dalam agenda kepanitiaan KICK ini…”

Pembicara bahkan mengakui bahwa diskusi tersebut melampaui batas-batas formalitas yang ditentukan.
> “hal-hal yang termasuk maupun yang tidak termasuk dalam agenda kepanitiaan”

Monolog ini lebih terlihat sebagai upaya performatif untuk menunjukkan kepada audiens bahwa kepemimpinan/kepanitiaan berada di pihak mereka, siap untuk berdiskusi jujur di luar naskah.

Penutup: Ritual menuju kelugasan

Sebagai penutup, monolog tersebut menggarisbawahi fungsinya sebagai ritual peralihan:

> “Jadi dengan demikian pengantar ini adalah cukup sebagai sebuah pengantar, berikutnya tidak akan direkam.”

Menurut Shifman, meme seringkali berfungsi sebagai komentar sosial-politik. Dalam hal ini, si monologis menggunakan performa rekaman yang viral tapi terbatas ini untuk berkomentar tentang realitas kerja-kerja-kerja (tiga kali ya!) institusional: bahwa diskusi yang paling penting JUSTRU acap kali terjadi di luar protokol resmi, di dalam “ruang aman” yang dijamin oleh matinya rekaman. Ironi dari sebuah pembukaan adalah harga yang harus dibayar (mahal?) untuk kelugasan yang menjelang.

Categories
Uncategorized

Sustainability for Whom? Re-reading Han Kang’s The Vegetarian through a Posthuman Lens

By Hendar Putranto


The Dissolution of the Human: From Ego to Awareness

Han Kang’s The Vegetarian (2016) continues to reverberate as one of the most radical literary articulations of what
Rosi Braidotti (2019) calls
posthuman knowledge—a transversal mode of thinking that decenters the human as the measure of meaning.

Young-Hye’s metamorphosis into vegetal being is not merely psychological defection; it is an ontological experiment, a phenomenological rupture
in which the self dissolves into the vibratory continuum of matter. Han’s novel dramatizes what
Christof Koch (2024) has recently described as
“the burning furnace of being,” a consciousness stripped of ego yet still luminous in awareness.

“I ceased to exist in any recognizable way… yet awareness persisted as a blazing, icy light.”
Christof Koch, Then I Am Myself the World (2024)

Both Han and Koch ask the same fundamental question: What remains of the human once selfhood and mastery are gone?


Consciousness Beyond the Self

In Koch’s neurophenomenological reflection, the collapse of ego near a black-hole singularity produces pure experience—timeless, spaceless,
unqualified existence. For him, consciousness is intrinsic to the fabric of the universe; not a by-product of human cognition,
but a property of being itself.

Han imagines a similar dissolution: Young-Hye abandons anthropocentric vitality and becomes an organism of absorption rather than consumption.
The vegetal body and the luminous mind converge as parallel metaphors for de-anthropocentrized being—existence without the architecture of self.


Braidotti’s Posthuman Ethics and the Zoe-Centered Turn

Braidotti’s Posthuman Knowledge (2019) provides the philosophical grammar for interpreting this convergence. She argues that posthuman thought
is both epistemological and ethical: it challenges the Anthropos as the central figure of knowledge and re-situates thought within networks
of human and non-human agencies.

“The posthuman is a cartography of the present, mapping our entanglement with the technological, the ecological, and the affective.”
Rosi Braidotti, Posthuman Knowledge (2019)

Young-Hye’s refusal to eat, her need for water, and her desire to “stand with hands in the soil” embody this cartography in literary form.
Her transformation is not regression but transversal becoming—a leap across species, matter, and meaning.
She inhabits what Braidotti calls zoe-centered egalitarianism, an ethics of immanence where all life shares ontological dignity.


When Koch Meets Braidotti: From Identity to Intensity

Bridging Braidotti and Koch reveals a deep philosophical synthesis. Koch’s “remnant of shattered mind” parallels Braidotti’s
affirmative ethics: both move from identity to intensity, from cognition to connection.
Young-Hye’s vegetal metamorphosis becomes a literary enactment of posthuman consciousness—an awareness in which self and soil, body and cosmos, intertwine.

This convergence recalls Latour’s (2017)
critique of the modern Constitution, where humans assume managerial oversight of nature. Han’s fiction dismantles this cosmology.
Instead of stewardship, she enacts eco-phenomenological surrender: a posture of humility before the earth.

“To live like a tree is to participate in reciprocity, not domination.”

This ethic resonates with Val Plumwood’s (2002)
call for an ecological self grounded in dependency and mutuality.


Kenosis as Sustainability

Donna Haraway’s (2016) invitation to
stay with the trouble finds narrative embodiment in Han’s protagonist. Young-Hye refuses transcendence,
choosing instead to empty herself into the vegetal. Sustainability here ceases to be optimization and becomes kenosis—a self-emptying of anthropocentric desire.

Han’s The Vegetarian thus functions as a metaphysical experiment that unites Koch’s cosmic phenomenology with Braidotti’s posthuman epistemology.
It reminds us that consciousness, like the planet, demands humility rather than mastery. Sustainability begins not by counting what we save,
but by unlearning who we think we are.


References

  • Braidotti, R. (2013). The Posthuman. Polity Press.
  • Braidotti, R. (2019). Posthuman Knowledge. Polity Press.
  • Haraway, D. (2016). Staying with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene. Duke University Press.
  • Han, K. (2016). The Vegetarian. Hogarth.
  • Koch, C. (2024). Then I Am Myself the World. Basic Books.
  • Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight Lectures on the New Climatic Regime. Polity Press.
  • Marder, M. (2013). Plant-Thinking: A Philosophy of Vegetal Life. Columbia University Press.
  • Plumwood, V. (2002). Environmental Culture: The Ecological Crisis of Reason. Routledge.
Categories
Uncategorized

Sustainability for who? Han Kang’s critique towards anthropomorphic-based SDGs

Saat membaca buku The Vegetarian (2016) karya Han Kang, pemenang Nobel Sastra tahun 2024, saya terantuk pada halaman ini dan mengambil keputusan untuk merefleksikannya sesuai dengan minat akademis saya semenjak dua tahun terakhir ini (2024-2025), yaitu kajian Sustainability Communication. Saya bertanya, benarkah kisah Young-Hye, tokoh utama dalam The Vegetarian, terutama setelah membaca halaman ini, dapat dibaca sebagai kritik sosial terhadap obsesi dunia modern pada segala sesuatu yang serba terukur—pandangan mekanistik yang bahkan menjangkiti konsep keberlanjutan seperti SDGs? Kritik Han Kang terasa lebih radikal karena ia memperlihatkan bahwa SDGs masih berpusat pada capaian yang bersifat antropomorfik, bukan ecomorfik. Dalam salah satu adegan, Young-Hye berkata bahwa manusia seharusnya “berdiri dengan tangan di bawah seperti pohon” dan bahwa yang ia butuhkan bukan lagi makanan, melainkan air. Bagaimana sebetulnya adegan ini bisa dibaca sebagai kritik Han Kang terhadap gagasan sustainability sebagai tujuan luhur kolektif guna mengatasi persoalan climate crisis itu sendiri?

Adegan yang saya kutip di atas menurut saya menjadi salah satu momen paling simbolik dalam novel: transformasi Young-Hye menjadi “pohon” bukanlah sekadar delusi psikotik, tetapi justru mengarah pada tindakan etis dan ekologis yang menolak paradigma keberadaan manusia modern yang antroposentris dan mekanistik. Berikut uraian konseptualnya:

1. Dari tubuh yang terukur ke tubuh yang merasakan
Dalam dunia modern (termasuk paradigma SDGs), tubuh manusia dipahami melalui logika pengukuran: kalori, indeks massa tubuh, nutrisi, produktivitas, lifespan. Semua itu menunjukkan bahwa tubuh adalah objek mekanis yang dioptimalkan demi “keberlanjutan” versi manusia—yakni keberlanjutan spesies yang mendominasi. Young-Hye menolak semua itu. Ketika ia berkata, “Kak, aku tidak butuh makanan seperti ini. Aku perlu air,” ia memutus kontrak sosial yang mendasari modernitas: bahwa untuk “hidup” seseorang harus mengonsumsi. Ia memilih untuk menyerap, bukan mengonsumsi—seperti pohon menyerap air dan cahaya tanpa menghabisi makhluk lain.
Di sini Han Kang menggeser paradigma consumption-based being menuju absorption-based being, sebuah dalil etika ekologis yang lebih mendekati ecomorphic consciousness ketimbang anthropomorphic rationality.

2. Metafora pohon sebagai suatu radikalisme ekologis
Kalimat yang dituliskan Han Kang lewat mulut Young Hye, “Kupikir pohon-pohon berdiri tegak. Sekarang aku baru tahu mereka berdiri dengan tangan di tanah” mengguncang epistemologi manusia modern. Dalam pandangan mekanistik, akar adalah “alat” untuk mengambil nutrisi. Namun bagi Young-Hye, akar adalah ethical gesture— sebuah bentuk pertautan (relationality), bukan instrumen. Ia ingin “berdiri dengan tangan di tanah” artinya menyatukan kesadaran tubuhnya dengan bumi, bukan menguasainya. Pada adegan ini, Han Kang memberi tubuh pada metafora becoming-plant (Deleuze & Guattari in Stark, 2015, in Kim, 2020; Marder, 2013). Proses ini menolak hierarki kehidupan yang menempatkan manusia di atas organisme lain. Young-Hye menolak bahkan kategori “manusia” itu sendiri, sebagai bentuk protes terhadap sistem keberlanjutan yang masih bertumpu pada subjek manusia rasional sebagai pengukur dan penentu nilai.

3. Kritik terhadap “sustainability” yang terukur
SDGs, meski mengandung cita-cita etis, tetap kurang radikal karena berpijak pada prinsip pengukuran yang antroposentris: mengukur kemiskinan, pendidikan, kelestarian—semuanya dalam kerangka manusia. Han Kang seakan bertanya: Sustainability bagi siapa? Jika keberlanjutan diukur hanya sejauh ia bermanfaat bagi manusia, itu bukan keberlanjutan ekologis, melainkan ekspansi moral purba dalam façade modern. Kritik fenomenologi atas dalil-dalil etika berhaluan instrumentalis dan utilitarianis langsung bekerja di sini.

Transformasi Young-Hye dapat diperiksa sebagai anti-measurement act: ia menolak segala bentuk kuantifikasi atas tubuh dan hidup. Ia menolak makan, menolak fungsi sosial, menolak bahasa logis. Dalam kerangka fenomenologi, ia menjadi badan yang tak terukur (unquantifiable body)—bentuk perlawanan terhadap kolonisasi tubuh oleh logika produktivitas.

4. Sisi etis dan spiritual
Young-Hye tidak sedang “gila” atau “menghindari realitas,” melainkan mempraktikkan penyucian etis—upaya untuk menebus kekerasan laten dalam eksistensi manusia yang terus “memakan” (dalam arti metaforik maupun realistik) makhluk lain. Ia menjadi pohon agar berhenti menyakiti. Pembalikan tubuh Young-Hye sehingga wajahnya “memerah” dan pipinya menggembung bukan romantisasi penderitaan, melainkan radikalisasi empati ekologis: manusia yang berhenti menjadi pusat moral, dan mulai menjadi bagian dari lingkar kehidupan yang menyerap dan memberi tanpa mendaku kepemilikan.

5. Kesimpulan
Secara metaforik, Han Kang dengan halus tapi tajam mengkritik dunia yang mengukur segalanya kecuali kesunyian dan penderitaan bumi.
Young-Hye adalah semacam alegori post-human ethics:
Ia menghapus batas tubuh sebagai individu,
Ia menolak prinsip konsumsi sebagai dasar hidup,
Ia mempraktikkan solidaritas radikal dengan non-manusia.

Dalam bahasa fenomenologis, kritik Young-Hye terhadap ‘subjek modern’ yang sibuk mengejar capaian SDGs bukan lagi obsesi pada subjek yang mengetahui, melainkan dasein yang menyatu—pengada yang berakar, bukan berdiri di atas tanah, melainkan hadir-bersama tanah.

References
Kim, M. (2020). A Deleuzian Reading of “Becoming-plant” in Han Kang’s Writing: “The Fruit of My Woman” and The Vegetarian. Critique: Studies in Contemporary Fiction, 61(3), 327–340. https://doi.org/10.1080/00111619.2020.1713716
Marder, M. (2013). Plant-Thinking: A Philosophy of Vegetal Life. Columbia University Press.
Stark, H. (2015). Deleuze and Critical Plant Studies. In: Roffe, J., Stark, H. (eds) Deleuze and the Non/Human. Palgrave Macmillan. https://doi.org/10.1057/9781137453693_11