Feedback dari dosen pengampu (Dr. Hendar) dengan pola 3, 2, dan 1
(1) Umpan balik konstruktif untuk draf paparan etika komunikasi organisasi
Secara keseluruhan, kelompok 8 berhasil menampilkan sebuah presentasi yang solid dengan menyajikan dua studi kasus yang relevan dengan situasi dan tantangan sekarang disertai analisis awal yang sudah cukup baik. Kelompok 8 tampak percaya diri menunjukkan dampak nyata dari kegagalan etika komunikasi pada/dalam setting organisasi bisnis consumer goods yang memiliki brand yang cukup luas dikenal masyarakat. Berikut masukan konstruktif saya dalam format 3-2-1 agar paparan kelompok semakin solid.
(2) Ada tiga aspek yang patut diapresiasi (The Good)
Pertama, pemilihan studi kasus yang kontras dan relevan
Pengambilan kasus Holywings (konteks lokal-Indonesia yang sarat sensitivitas agama) dan Burger King (konteks global-Barat dengan isu gender) merupakan pilihan yang tepat. Kelompok menyajikan studi kasus yang mengundang audiens untuk melihat bagaimana kegagalan etika komunikasi dapat termanifestasi dalam bentuk dan isu yang berbeda tapi dengan dampak yang kurleb sama merusaknya (reputation-damaging). Pemilihan yang kontras secara implisit menunjukkan bahwa etika bukan sekadar soal klaim dan penilaian sesuatu itu “benar” atau “salah” secara universal, melainkan sangat terikat pada konteks budaya dan sosial (cultural-situatedness).
Kedua, landasan teoretis yang cukup kuat.
Kelompok tidak hanya mendeskripsikan kasus, tetapi juga berupaya mengaitkannya dengan sejumlah konsep akademis yang relevan, seperti moral muteness, iklim etis egoistis (egoistic ethical climate), kepemimpinan yang etis (ethical leadership), hingga Situational Crisis Communication Theory dari Timothy Coombs (2007). Pengaitan kasus secara holistik dan bergerak pada dua tataran (deskriptif dan konseptual) menunjukkan semangat riset yang sungguh-sungguh sekaligus upaya kelompok untuk mengangkat analisis dari level deskriptif ke level eksplanatif, pokok yang sangat penting dan dihargai dalam kajian akademis keilmuan Komunikasi dan ilmu2 sosial pada umumnya.
Ketiga, identifikasi pemangku kepentingan multi pihak serta dampak rimpang (rhizomatic) yang cukup komprehensif.
Kelompok berhasil memetakan dengan baik siapa saja yang terdampak oleh krisis komunikasi di kedua perusahaan (dari organisasi keagamaan, pemerintah, hingga netizen). Pemetaan ini secara efektif menggambarkan bahwa beragam pesan komunikasi organisasi (bisnis dan lainnya) tidak pernah meletak dalam ruang hampa. Pesan komunikasi dan eksistensi organisasi bisnis (dan lainnya) selalu berinteraksi dan bernegosiasi dengan jejaring pemangku kepentingan yang kompleks, masing-masing dengan nilai, tradisi, serta kepentingannya sendiri.
(3) Area untuk Refleksi dan Pengembangan (rooms for improvement)
Pertama, absennya refleksi etis-fenomenologis pada contoh dilema yang disajikan.
Presentasi kelompok berhasil mengidentifikasi adanya “dilema etis,” tapi analisisnya cenderung berhenti pada level eksternal dan lebih berat bernuansa konsekuensialis (apa akibatnya X bagi perusahaan?). Pendekatan fenomenologis justru mengajak kelompok (dan warga kelas) untuk masuk ke dalam “pengalaman hidup” (lived experience) dari para aktor yang terlibat.
Untuk kasus Holywings: Alih-alih hanya menyatakan (tell) bahwa promosi yang menyertakan nama “Muhammad” dan “Maria” itu “tidak etis,” refleksi fenomenologis justru akan bertanya hal ini: Bagaimana “dunia-kehidupan” (Lebenswelt) dari tim promosi Holywings yang memungkinkan mereka melihat secara “lugu” (perceptional level) nama “Muhammad” dan “Maria” hanya sebagai common names, terlepas dari signifikansi sakralnya bagi jutaan orang? Apa yang terjadi dalam kesadaran intersubjektif (attitudinal level: Momen Sikap Etis) mereka sehingga mereka mengalami blind spot etis yang begitu besar?
Jadi, refleksinya bukan hanya tentang “bahwa apa yang mereka lakukan salah karena ini dan itu,” tetapi “bagaimana pengalaman mereka tentang dunia memungkinkan kesalahan yang seperti ini terjadi?” (bisa juga karena pada communal and cultural level, kesalahan-kesalahan yang lebih kecil yang sudah terjadi selama ini dibiarkan berlalu begitu saja, taken for granted, tanpa adanya refleksi dan evaluasi kritis dari para petinggi Holywings).
Untuk kasus Burger King: Dilema antara “niat baik” (memberikan beasiswa untuk perempuan) dan “eksekusi yang buruk” (utas tweet yang terpisah) adalah pintu masuk yang genial untuk refleksi fenomenologis. Bagaimana pengalaman tim pemasar pada era digital yang terobsesi dengan virality dan shock value mengonstitusi pemahamannya tentang hal-ihwal yang “dapat dan tidak dapat diterima”? Fenomenologi akan mengeksplorasi ketegangan (ethical dilemma) antara intensi (makna yang dimaksudkan pengirim/tim penyusun) dan resepsi (makna yang dikonstruksikan penerima), dan bagaimana gap di antara keduanya justru memicu krisis etis yang sudah ‘lebih dulu’ terjadi pada level personal dan komunal (organisasional) naik ke permukaan dan menjadi konsumsi publik.
Kedua, njomplangnya bagian kesimpulan akibat hilangnya benang merah: Kesimpulan terasa tipis karena slide terakhir hanya mengulang poin-poin permukaan tanpa masuk ke dalam sintesis wawasan yang lebih kaya dan mendalam dari kedua studi kasus yang diangkat. Paparan kelompok sudah dengan baik mendeskripsikan masalah (kegagalan iklim dan budaya etis), tapi kelompok kurang berani (radikal) merumuskan solusi atau prinsip yang lebih mendasar atas masalah itu.
Ketiga, pendasaran dan elaborasi atas solusi yang pucat: Kesimpulan seharusnya menjadi puncak argumen. Setelah membedah dua kasus, bagian kesimpulan idealnya mampu menawarkan sebuah kerangka kerja atau model. Misalnya, bagaimana sebuah organisasi bisa secara proaktif membangun “kesadaran etis-komunikatif” sebagai kompetensi inti karyawan dan proses kerja (produksi)? Bagaimana timing, framing, dan context (seperti tersaji dalam kasus BK) bisa diintegrasikan ke dalam SOP komunikasi organisasional tanpa mematikan kreativitas personal/tim/divisi?
Kesimpulan yang ada sekarang hanya menyatakan apa yang penting (sensitivitas, integritas), tetapi tidak menjelaskan bagaimana hal itu bisa dicapai (achievable) berdasarkan jejak pelajaran dari kedua kasus yang sudah disajikan dan dianalisis.
(4) Pertanyaan kunci untuk didalami (the takeaway question) dan dapat dijadikan pemicu diskusi kelas
Berdasarkan pengamatan saya tentang “modalitas etis” (ethical modality) yang hilang, pertanyaan kunci untuk bahan refleksi lebih lanjut adalah: Mencermati serangkaian kegagalan Holywings dan Burger King,
(4.1.) bagaimana sebuah organisasi—secara konkret melalui peran CEO dan HRD—dapat mentransformasikan ‘etika’ dari sekadar sebuah dokumen kepatuhan (compliance document) menjadi sebuah ‘habitus’ atau kebiasaan yang terinternalisasi dalam setiap tindakan komunikasi dan sistem organisasi bisnis?
(4.2) Apa saja praktik-praktik organisasional (misalnya: ritual, pelatihan, sistem insentif, atau forum dialog) yang diperlukan untuk membangun ethical climates dan ethical culture secara berkelanjutan, sehingga setiap karyawan, dari level staf hingga manajer, memiliki ‘kompas moral’ yang terkonstruksi dengan seimbang, bahkan dapat mengantisipasi impending crises?
Dua pertanyaan reflektif di atas dapat mengasah sensitivitas kelompok untuk mempertajam analisis diagnostik (from “what went wrong?”) menuju cara berpikir yang lebih preskriptif dan arsitektural (“bagaimana kita mereformasi tata kelola organisasi dengan lebih proper setelah badai krisis menerpa, without jumping to sanctions and punishments?). Inilah esensi dari upaya bridging teori dengan praktik tata kelola organisasi yang morally responsible and ethically grounded.
Tabik!
Dr. Hendar Putranto, M. Hum.
Dosen Pengampu MatKul StratComm Ethics, Batch 9, Gasal 2025-2026