Categories
Uncategorized

Sustainability for who? Han Kang’s critique towards anthropomorphic-based SDGs

Saat membaca buku The Vegetarian (2016) karya Han Kang, pemenang Nobel Sastra tahun 2024, saya terantuk pada halaman ini dan mengambil keputusan untuk merefleksikannya sesuai dengan minat akademis saya semenjak dua tahun terakhir ini (2024-2025), yaitu kajian Sustainability Communication. Saya bertanya, benarkah kisah Young-Hye, tokoh utama dalam The Vegetarian, terutama setelah membaca halaman ini, dapat dibaca sebagai kritik sosial terhadap obsesi dunia modern pada segala sesuatu yang serba terukur—pandangan mekanistik yang bahkan menjangkiti konsep keberlanjutan seperti SDGs? Kritik Han Kang terasa lebih radikal karena ia memperlihatkan bahwa SDGs masih berpusat pada capaian yang bersifat antropomorfik, bukan ecomorfik. Dalam salah satu adegan, Young-Hye berkata bahwa manusia seharusnya “berdiri dengan tangan di bawah seperti pohon” dan bahwa yang ia butuhkan bukan lagi makanan, melainkan air. Bagaimana sebetulnya adegan ini bisa dibaca sebagai kritik Han Kang terhadap gagasan sustainability sebagai tujuan luhur kolektif guna mengatasi persoalan climate crisis itu sendiri?

Adegan yang saya kutip di atas menurut saya menjadi salah satu momen paling simbolik dalam novel: transformasi Young-Hye menjadi “pohon” bukanlah sekadar delusi psikotik, tetapi justru mengarah pada tindakan etis dan ekologis yang menolak paradigma keberadaan manusia modern yang antroposentris dan mekanistik. Berikut uraian konseptualnya:

1. Dari tubuh yang terukur ke tubuh yang merasakan
Dalam dunia modern (termasuk paradigma SDGs), tubuh manusia dipahami melalui logika pengukuran: kalori, indeks massa tubuh, nutrisi, produktivitas, lifespan. Semua itu menunjukkan bahwa tubuh adalah objek mekanis yang dioptimalkan demi “keberlanjutan” versi manusia—yakni keberlanjutan spesies yang mendominasi. Young-Hye menolak semua itu. Ketika ia berkata, “Kak, aku tidak butuh makanan seperti ini. Aku perlu air,” ia memutus kontrak sosial yang mendasari modernitas: bahwa untuk “hidup” seseorang harus mengonsumsi. Ia memilih untuk menyerap, bukan mengonsumsi—seperti pohon menyerap air dan cahaya tanpa menghabisi makhluk lain.
Di sini Han Kang menggeser paradigma consumption-based being menuju absorption-based being, sebuah dalil etika ekologis yang lebih mendekati ecomorphic consciousness ketimbang anthropomorphic rationality.

2. Metafora pohon sebagai suatu radikalisme ekologis
Kalimat yang dituliskan Han Kang lewat mulut Young Hye, “Kupikir pohon-pohon berdiri tegak. Sekarang aku baru tahu mereka berdiri dengan tangan di tanah” mengguncang epistemologi manusia modern. Dalam pandangan mekanistik, akar adalah “alat” untuk mengambil nutrisi. Namun bagi Young-Hye, akar adalah ethical gesture— sebuah bentuk pertautan (relationality), bukan instrumen. Ia ingin “berdiri dengan tangan di tanah” artinya menyatukan kesadaran tubuhnya dengan bumi, bukan menguasainya. Pada adegan ini, Han Kang memberi tubuh pada metafora becoming-plant (Deleuze & Guattari in Stark, 2015, in Kim, 2020; Marder, 2013). Proses ini menolak hierarki kehidupan yang menempatkan manusia di atas organisme lain. Young-Hye menolak bahkan kategori “manusia” itu sendiri, sebagai bentuk protes terhadap sistem keberlanjutan yang masih bertumpu pada subjek manusia rasional sebagai pengukur dan penentu nilai.

3. Kritik terhadap “sustainability” yang terukur
SDGs, meski mengandung cita-cita etis, tetap kurang radikal karena berpijak pada prinsip pengukuran yang antroposentris: mengukur kemiskinan, pendidikan, kelestarian—semuanya dalam kerangka manusia. Han Kang seakan bertanya: Sustainability bagi siapa? Jika keberlanjutan diukur hanya sejauh ia bermanfaat bagi manusia, itu bukan keberlanjutan ekologis, melainkan ekspansi moral purba dalam façade modern. Kritik fenomenologi atas dalil-dalil etika berhaluan instrumentalis dan utilitarianis langsung bekerja di sini.

Transformasi Young-Hye dapat diperiksa sebagai anti-measurement act: ia menolak segala bentuk kuantifikasi atas tubuh dan hidup. Ia menolak makan, menolak fungsi sosial, menolak bahasa logis. Dalam kerangka fenomenologi, ia menjadi badan yang tak terukur (unquantifiable body)—bentuk perlawanan terhadap kolonisasi tubuh oleh logika produktivitas.

4. Sisi etis dan spiritual
Young-Hye tidak sedang “gila” atau “menghindari realitas,” melainkan mempraktikkan penyucian etis—upaya untuk menebus kekerasan laten dalam eksistensi manusia yang terus “memakan” (dalam arti metaforik maupun realistik) makhluk lain. Ia menjadi pohon agar berhenti menyakiti. Pembalikan tubuh Young-Hye sehingga wajahnya “memerah” dan pipinya menggembung bukan romantisasi penderitaan, melainkan radikalisasi empati ekologis: manusia yang berhenti menjadi pusat moral, dan mulai menjadi bagian dari lingkar kehidupan yang menyerap dan memberi tanpa mendaku kepemilikan.

5. Kesimpulan
Secara metaforik, Han Kang dengan halus tapi tajam mengkritik dunia yang mengukur segalanya kecuali kesunyian dan penderitaan bumi.
Young-Hye adalah semacam alegori post-human ethics:
Ia menghapus batas tubuh sebagai individu,
Ia menolak prinsip konsumsi sebagai dasar hidup,
Ia mempraktikkan solidaritas radikal dengan non-manusia.

Dalam bahasa fenomenologis, kritik Young-Hye terhadap ‘subjek modern’ yang sibuk mengejar capaian SDGs bukan lagi obsesi pada subjek yang mengetahui, melainkan dasein yang menyatu—pengada yang berakar, bukan berdiri di atas tanah, melainkan hadir-bersama tanah.

References
Kim, M. (2020). A Deleuzian Reading of “Becoming-plant” in Han Kang’s Writing: “The Fruit of My Woman” and The Vegetarian. Critique: Studies in Contemporary Fiction, 61(3), 327–340. https://doi.org/10.1080/00111619.2020.1713716
Marder, M. (2013). Plant-Thinking: A Philosophy of Vegetal Life. Columbia University Press.
Stark, H. (2015). Deleuze and Critical Plant Studies. In: Roffe, J., Stark, H. (eds) Deleuze and the Non/Human. Palgrave Macmillan. https://doi.org/10.1057/9781137453693_11

By Hendar Putranto

Just recently, I completed my doctoral pursuit in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia. I stand for hope that this blog fulfills my studious passion to communicate, even when someone from the past whispered "one cannot not communicate"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *