Categories
Uncategorized

Mengironikan “Ruang Aman”: rente komunikasi kelembagaan pasca-Restrukturisasi melalui lensa memetika (Shifman, 2013)

Belum lama ini beredar secara terbatas di ruang2 ganjil penjaprian chit-chat_apps sebuah transkrip rekaman monolog pembukaan rapat internal yang menyajikan studi kasus menarik tentang bagaimana komunikasi institusional berinteraksi dengan kebutuhan akan ruang aman (safe space) pada era digital. Monolog yang sarat dengan ironi dan humor ini terlihat seperti sebuah ritual pembukaan rapat yang secara cerdik (cunning) menavigasi ketegangan antara formalitas dan kebebasan berekspresi.

Untuk mendedah fenomena rekaman monolog ini, saya akan menggunakan kerangka kerja Memes in Digital Culture (2013) karya Prof. Limor Shifman. Shifman mendefinisikan meme tidak hanya sebagai konten yang menyebar, tetapi sebagai sebuah kelompok item digital yang memiliki ciri khas: (1) konten umum (ide), (2) bentuk (struktur), dan (3) sikap/strategi (emosi/partisipasi). Dalam konteks ini, monolog pembuka adalah performa yang mengadopsi struktur “protokol pertemuan resmi” tetapi mengelindankan ide, sikap dan tuturan performatif yang justru bertentangan (kontradiktoris).

Analisis Kontradiksi dan Ironi

Rekaman monolog yang sudah kadung beredar merupakan potret mikrokosmos dari sebuah institusi yang, kita sebut saja, Tautan Institusi Pendidikan Unggul atau TIPU yang sedang membahas isu keberlanjutan pasca-restrukturisasi atau, dalam tikungan paradoksal satiristik lainnya, pasca reformasi.

1. Kontradiksi peran (prinsip non-identitas)
Pembicara, ditabik sebagai speaker 01, membuka dengan kontradiksi peran yang jelas-jelas disengaja, sebuah taktik untuk langsung mencairkan suasana: “sore ini kami panitia dan bukan panitia…coba bingung kan”
Frasa di atas didaulat menjadi strategi retoris yang berfungsi sebagai hentakan awal meruntuhkan hierarki formal. Dalam konteks memetika, frasa ini merupakan variasi (variation) atas ide “siapa yang berkuasa” atau “siapa yang bertanggung jawab”, dan, dengan sedikit modifikasi, mengubahnya menjadi jokes yang katarsis. Pembicara lalu menegaskan kembali: panitia dulu. Ini bukan terma temporal yang menggoyang kaidah liminal taksa-makna, tapi justru disengaja untuk mengundang tawa. Yang diharapkan pembicara dari kontradiksi ini adalah lambaian kepada audiens untuk berpartisipasi dalam ironi tersebut.

2. Membangun ruang aman melalui ironi (prinsip irony in diversity)
Bagian paling menarik dan sesuai dengan analisis Shifman adalah penciptaan “safe space” yang justru diumumkan di depan rekaman.
“Ini maksud tujuan direkam adalah untuk segera dimatikan rekamannya

Pun ini menjadi katalisator partisipasi yang ekstrem. Tujuannya untuk menarik garis tegas antara “konten publik” (pengantar yang direkam) dan “diskusi tertutup” (setelah rekaman mati). Tindakan mematikan rekaman berfungsi sebagai pra-ritual komunal untuk menciptakan emosi kolektif berupa rerasa nyaman dan bebas berekspresi meskipun mungkin mati impresi, seperti tersebut berikut ini, “sehingga kami merasa nyaman” … “dalam sebuah safe space ya, ruang aman ya.”
Pertanyaan yang menggelitik, aman dari apa? Apakah aman dari bahaya penyebaran dan kontekstualisasi ulang di perancah media digital—ancaman yang selalu melekat pada budaya partisipatif (Web 2.0)?

3. De-identifikasi subjek sensitif (prinsip non-rekognisi)

Topik inti yang dibahas bermuatan sensitif karena menyangkut nasib institusi.
“Ruang aman membahas keberlanjutan TIPU dengan pasca restrukturisasi,”
Speaker 01 bahkan secara eksplisit menyamakan istilah-istilah ini, menyiratkan bahwa mereka sadar istilah resmi mungkin terlalu kaku:
“atau kalau pakai bahasa bangsa kita, pasca reformasi.”

Diskusi juga tak luput mengkritik agenda sumir pertemuan yang diselenggarakan badan perkhidmatan acara besar institusi bertajuk Konferensi Internasional Cara Kampus atau, lugasnya, KICK.
Seperti tersebut dalam rekaman, “dalam agenda kepanitiaan KICK ini…”

Pembicara bahkan mengakui bahwa diskusi tersebut melampaui batas-batas formalitas yang ditentukan.
> “hal-hal yang termasuk maupun yang tidak termasuk dalam agenda kepanitiaan”

Monolog ini lebih terlihat sebagai upaya performatif untuk menunjukkan kepada audiens bahwa kepemimpinan/kepanitiaan berada di pihak mereka, siap untuk berdiskusi jujur di luar naskah.

Penutup: Ritual menuju kelugasan

Sebagai penutup, monolog tersebut menggarisbawahi fungsinya sebagai ritual peralihan:

> “Jadi dengan demikian pengantar ini adalah cukup sebagai sebuah pengantar, berikutnya tidak akan direkam.”

Menurut Shifman, meme seringkali berfungsi sebagai komentar sosial-politik. Dalam hal ini, si monologis menggunakan performa rekaman yang viral tapi terbatas ini untuk berkomentar tentang realitas kerja-kerja-kerja (tiga kali ya!) institusional: bahwa diskusi yang paling penting JUSTRU acap kali terjadi di luar protokol resmi, di dalam “ruang aman” yang dijamin oleh matinya rekaman. Ironi dari sebuah pembukaan adalah harga yang harus dibayar (mahal?) untuk kelugasan yang menjelang.

By Hendar Putranto

Just recently, I completed my doctoral pursuit in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia. I stand for hope that this blog fulfills my studious passion to communicate, even when someone from the past whispered "one cannot not communicate"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *