Sebuah pembacaan kritis atas “Let Them” karya Mel Robbins (2024)
The Let Them Theory karya Mel Robbins (2024) mendapat perhatian besar dari sidang pembaca yang meminati psikologi self-help maupun pembaca teori interpersonal dalam organisasi mikro (keluarga) dan meso (bisnis) karena buku ini menawarkan jalan keluar sederhana dari interpersonal reactivity yang melelahkan. Dalam sesi podcast bersama Anne Ghesquière (Métamorphose, 2025), dan ringkasan buku dalam Blinkist (2024), Robbins menggarisbawahi akar persoalan psikologis yang dialami banyak orang: kita terlalu sering mengatur, menafsir, dan memperbaiki perilaku orang lain, seolah kedamaian diri bergantung pada stabilitas emosi orang lain.
Respon naluriah semacam ini muncul dalam bentuk spiralisasi mental—berpikir berlebihan (overthinking) ketika tidak diajak dalam rencana, merasa bersalah ketika seseorang marah, atau merasa bertanggung jawab atas mood orang lain. Robbins berpandangan bahwa ada kalanya orang lain berubah menjadi “emergencies you think you must manage,” padahal mereka tidak pernah berada dalam kendali kita.
Robbins merumuskan respons sederhana namun transformatif: “Let Them.” Ketika seseorang bertindak di luar preferensi kita—tidak membalas pesan, mengacuhkan kehadiran kita, mengambil keputusan yang tak kita setujui—Let Them mengajarkan untuk menghentikan impuls kontrol tersebut. Let them ignore your text. Let them go on the trip. Let them think what they think. Let Them bukanlah sikap cuek-bebek (indifference); melainkan reclamation—merebut kembali energi psikis yang sebelumnya tercecer untuk mengatur hal-hal yang memang tidak dapat diatur. Seperti disinggung Blinkist, teori ini beresonansi dengan Stoisisme (fokus pada apa yang dapat dikendalikan), Buddhisme (non-resistance to reality), dan teori detachment dalam psikologi.
Namun Robbins menekankan bahwa Let Them adalah langkah pertama. Langkah kedua lebih menentukan: “Let Me.” Let Me menegaskan bahwa setelah berhenti mengatur orang lain, individu perlu kembali ke ranah agensi: memilih respons yang bermartabat, mengelola napas, menentukan batasan, atau mengalihkan fokus pada tujuan hidup yang bermakna. Resume Blinkist (2025) menyebut ini sebagai putting yourself back in the driver’s seat—not to control others, but to lead yourself with intention.
Robbins memberi ilustrasi konkret: di bandara, seseorang batuk tanpa menutup mulut; di kantor, kolega mengirim pesan pasif-agresif; dalam relasi, seseorang ghosting lalu kembali menjalin hubungan seakan tidak terjadi apa-apa. Reaksi spontan kita umumnya: kesal, ingin menegur, ingin memperbaiki. Tetapi Robbins menunjukkan bahwa respons reaktif ini membuat sistem saraf tersandera oleh perilaku orang lain.
Let Me menggeser locus kontrol kembali ke diri: memperbaiki CV, meninggalkan relasi disfungsional, meminta bantuan, atau sekadar memakai masker ketika orang lain batuk di pesawat. Robbins menggambarkan situasi ini dengan pola A-B-C:
(1) Apologize (menghentikan siklus kontrol),
(2) Back Off (memberi ruang bagi otonomi),
(3) Celebrate small improvements (reinforcement tanpa dominasi).
Secara psikologis, langkah ini mencerminkan prinsip non-directive influence (Miller & Rollnick, 2012) yang menekankan bahwa perubahan otentik tidak muncul dari tekanan eksternal, tetapi dari otonomi internal seseorang.
Dr. Aditi Nerurkar (Harvard), yang dikutip Robbins dalam bukunya, menjelaskan bahwa stres kronis merampas kendali prefrontal cortex, membuat kita reaktif dan kehilangan kapasitas untuk memilih tanggapan yang matang. Let Them berfungsi sebagai pattern break bagi loop reaktivitas itu, sementara Let Me memulihkan agency melalui tindakan kecil seperti bernapas teratur, menunda respons, dan memfokuskan energi pada diri.
Let Them juga membantu menghadapi perilaku emosional yang tidak dewasa. Robbins menggambarkan bagaimana banyak orang dewasa masih menggunakan strategi regulasi emosi anak-anak seperti merajuk, marah (tantrum), juga silent treatment. Kita lalu menyangka bahwa tugas kitalah memperbaiki emosi itu. Let Them memutus siklus enabling tersebut. Dengan membayangkan orang dewasa yang tantrum sebagai “anak kecil tanpa alat regulasi emosi,” Robbins menggeser fokus dari rasa bersalah menjadi belas kasih—tanpa menyusutkan batasan.
Selain mengelola stres interpersonal, Robbins menggunakan Let Them–Let Me untuk membedah dinamika self-judgment, ketakutan akan evaluasi sosial, dan spiral perbandingan. Ada contoh kuat yang diberikan si penulis: Robbins sendiri menunda mempublikasikan dirinya secara daring selama bertahun-tahun karena takut (akan) reaksi orang. Let Them mengajak kita membebaskan diri dari “traffic lights of imagined approval,” sedangkan Let Me membantu menegaskan apa yang benar-benar ingin dilakukan dalam hidup sendiri.
Let Them juga digunakan Robbins untuk memahami siklus persahabatan dewasa, yang sering terhenti bukan karena konflik melainkan karena perubahan fase hidup (the great scattering). Robbins menganjurkan kelegaan ketika relasi menjauh (“Let them drift”) tetapi juga proaktif membangun relasi baru (“Let me join the class, start the group, say hello first”). Pada hubungan percintaan, Let Them membantu mengidentifikasi kompatibilitas tanpa ilusi kontrol; Let Me menuntun pada keputusan sulit seperti mengakhiri relasi yang tidak memajukan nilai hidup (misalnya, toxic relationship).
Akhirnya, Let Them membantu membedakan antara mencintai dan menyelamatkan. Banyak orang terjebak dalam upaya menyelamatkan orang lain yang belum siap berubah. Robbins menegaskan bahwa “kompleks mesianisme” (enabling) memperpanjang derita kedua belah pihak. Let Them membebaskan kita dari beban penyelamatan; Let Me mengarahkan pada batasan yang sehat (“You can live here if you stay sober”).
Singkatnya, Let Them memberikan disiplin batin; Let Me memberikan arah hidup.
Kritik atas dan pengayaan untuk Let Them dari perspektif etika komunikasi organisasi
1.Perspektif Fenomenologi Waldenfels
Perspektif fenomenologi responsif dari Bernhard Waldenfels dapat menyumbangkan lapis pembacaan Let Them secara lebih kritis. Dalam Phenomenology of the Alien (2011), Waldenfels menjelaskan bahwa relasi manusia tidak dimulai dari kontrol, tetapi dari pathos—keterpaparan terhadap panggilan yang datang dari yang lain. Orang lain selalu muncul sebagai “yang asing” (das Fremde) yang menuntut respons, bukan sekadar stimulus yang boleh diabaikan.
Jika Let Them dipahami secara literal sebagai pembiaran universal, ia berisiko mereduksi panggilan etis ini menjadi noise interpersonal yang harus dihindari demi ketenangan diri. Dari sudut fenomenologi komunikasi, hal ini problematis: responsivitas etis tidak boleh digantikan oleh mekanisme distansi emosional. Dalam organisasi—ruang yang relasionalnya tak simetris—pemimpin tidak bisa semata “let them” ketika menghadapi pelanggaran etika, ketidakadilan, atau perilaku yang merusak kultur (misalnya, bermalas-malasan, senangnya nggosip dan nggosok tapi capaian kerja dan kinerja tidak tuntas secara memuaskan). Tanggung jawab struktural justru mengharuskan intervensi yang bermakna.
Kedua, organisasi bekerja berdasarkan accountability structures. Let Them sebagai prinsip tunggal dapat disalahgunakan sebagai justifikasi conflict avoidance, menghindarkan pemimpin dari tindakan korektif yang seharusnya dilakukan. Ini tidak hanya melemahkan integritas organisasi, tetapi juga mengabaikan intersubjektivitas sebagai dasar etika profesional.
Ketiga, fenomenologi Waldenfels menekankan bahwa relasi profesional pun adalah ruang panggilan etis. Dalam konteks ini, Let Them berguna hanya sebagai internal psychological discipline—membantu pemimpin menjaga kejernihan, menahan reaktivitas, dan menghindari micromanagement yang berangkat dari kecemasan. Namun efektivitasnya berhenti di sana. Ia tidak dapat menggantikan penegakan norma, pembinaan, koreksi, dan pembentukan kultur komunal.
Dengan demikian, Let Them Theory adalah alat psikologis berharga bagi individu, tetapi bukan model atau kerangka etis-organisasional yang memadai. Let Them harus dipadukan dengan tanggung jawab responsif dan relational ethics (dalam model etika Levinasian yang dikembangkan Ronald C. Arnett, 2006) guna mengelola jejaring kompleksitas relasi individu dalam organisasi yang memerlukan akuntabilitas, kultur, dan kejelasan peran.
2. Arnett: Etika sebagai Pembelajaran, Bukan Penghindaran
Perspektif Ronald C. Arnett memperluas kritik Waldenfels secara signifikan. Dalam wawancaranya (hal. 54–67), Arnett menekankan bahwa communication ethics adalah tentang pilihan untuk melindungi dan memajukan sebuah “good” tertentu. Ia menolak pendekatan etika yang hanya berorientasi pada teknik atau psikologi individual. Ada tiga kontribusi Arnett yang sangat relevan untuk menilai Let Them:
(a) Learning as the first ethical principle
Arnett menekankan bahwa etika komunikasi di era postmodern bukan tentang “bagaimana mengimplementasikan teknik,” melainkan mengapa kita harus peduli, dan apa yang harus kita pelajari dari perbedaan. Ia menyebut ini sebagai learning as an ethical first principle. Let Them, sebaliknya, berisiko menutup kesempatan belajar dari yang lain jika dipahami sebagai pembiaran total terhadap perilaku yang tidak menyenangkan.
(b) Ground & narrative differences
Arnett menegaskan bahwa komunikasi etis bukan sekadar relasi antar-individu, tetapi perjumpaan antar-ground: latar naratif, historis, dan nilai yang membentuk seseorang. Let Them bekerja pada level respons emosional, tetapi tidak memadai untuk mengelola perjumpaan antara ground yang berbeda, yang sering menjadi inti konflik organisasi.
(c) The responsive I (Levinasian)
Arnett—mengikuti Levinas—menggambarkan etika sebagai respons, bukan sebagai otonomi individual. “The responsive ‘I’,” tulis Arnett, bukan agen yang menetapkan batas agar tetap nyaman, tetapi agen yang terpanggil oleh kehadiran yang lain (hal. 59–60). Dalam horison ini, Let Them tidak dapat menjadi fondasi etika kepemimpinan karena ia memusatkan perhatian pada perlindungan energi individu, bukan pada pemenuhan panggilan tanggung jawab.
3. Implikasi bagi kepemimpinan dan organisasi
Dalam organisasi, pemimpin tidak hanya mengelola diri; mereka mengelola relational accountability yang menegakkan standar (perilaku organisasi), menyelesaikan konflik bernilai tinggi, membangun kultur organisasi yang sehat dan berkelanjutan, menjaga keselamatan dan keadilan bagi karyawan, serta merawat organizational ground bersama.
Let Them hanya efektif sampai batas ketika masalah masih dalam kategori low-stakes interpersonal noise. Begitu persoalan menyentuh kepentingan kolektif, nilai, atau struktur organisasi, etika Arnett dan responsivitas Waldenfels menuntut keterlibatan aktif—bukan pembiaran. Dengan demikian, Let Them Theory berguna sebagai disiplin batin bagi pemimpin agar tidak reaktif dan tidak terseret micromanagement berbasis kecemasan; tetapi teori ini tidak boleh dibaca “melulu” sebagai strategi etis atau taktik manajerial. Dalam ranah organisasi, pemimpin harus mengombinasikan kejernihan Let Them dengan keberanian etis Arnett dan responsivitas Waldenfels.
Referensi
Arnett, R. C. (2006). A Conversation about Communication Ethics. In Exploring Communication Ethics (pp. 54–67). Peter Lang.
Blinkist. (2024). Summary of The Let Them Theory. https://www.blinkist.com/en/reader/books/the-let-them-theory-en
Miller, W. & Rollnick, S. (2012). Motivational Interviewing: Helping People Change. Guilford Press.
Robbins, M. & Robbins, S. (2024). The Let Them Theory: A Life-Changing Tool That Millions of People Can’t Stop Talking About. Hay House.
Robbins, M. & Ghesquière, A. (2025, Nov. 24). Mel Robbins : The Let Them Theory ! A Life Changing Tool. Métamorphose, éveille ta conscience, episode #643. Retrieved from https://youtu.be/p226kH11zX8?si=q03xicXO14s8JPCY
Waldenfels, B. (2011). Phenomenology of the Alien: Basic Concepts. Northwestern University Press.