Categories
Uncategorized

“Pak, Saya Layak Maju Ujian Nggak?”

Refleksi fenomenologis dosen pembimbing atas sesi akhir bimbingan skripsi periode Gasal 2025-2026

“Ini saya sudah delapan kali bimbingan, Pak… berarti saya bisa maju sidang ya?” Pertanyaan semacam ini muncul hampir bersamaan ketika sesi bimbingan Social Initiatives Impact ditutup dan sesi bimbingan skripsi dimulai, sekitar pukul sebelas siang. Nada pertanyaannya terdengar administratif, bahkan prosedural. Namun secara fenomenologis, ia menyimpan kegelisahan yang jauh lebih eksistensial: apakah kehadiran formal cukup untuk menjamin kelayakan akademik? Apakah “sudah delapan kali bimbingan” identik dengan siap diuji?

Pada sesi ini hadir empat mahasiswa skripsi: Gaga, Ganang, Dino, dan Matthew. Penyebutan nama satu per satu bukan sekadar pencatatan kehadiran. Ia menandai perubahan rezim relasi pedagogis. Tidak lagi ada pembicaraan tentang “mengembangkan ide” atau “mengeksplorasi kemungkinan”. Yang dipertaruhkan kini adalah kelayakan—bukan kelayakan personal, melainkan kelayakan epistemik dan institusional untuk maju ujian.

Pada nexus inilah sebuah kalimat, yang mungkin terdengar keras jika dipotong dari konteksnya, muncul: “Saya tidak bisa menolong orang yang tidak menolong dirinya sendiri.” Kalimat ini bukan ekspresi emosi, apalagi frustrasi. Ia adalah batas pedagogis. Sebuah penanda bahwa peran pembimbing telah bergeser: bukan lagi fasilitator kemungkinan, melainkan penjaga agar proses akademik tetap sah, adil, dan tidak memanipulasi standar. Humor ringan sesekali diselipkan, bukan untuk melunakkan pesan, melainkan agar pesan dapat diterima tanpa defensif berlebihan.

Fase paling intens dari sesi ini terjadi ketika membahas skripsi Gaga. Pada draf skripsinya muncul nama-nama pemikir kaliber kelas dunia seperti Luciano Floridi, Rosi Braidotti, dan Shoshana Zuboff. Di permukaan, penyebutan nama-nama ini tampak keren sebagai ambisi intelektual. Tapi, ketika Gaga ditanya lebih lanjut, apakah teks-teks primer itu sungguh kamu baca dan pahami? jawaban ragunya membuka lapisan persoalan lain: ketegangan antara klaim akademik dan pengalaman intelektual yang sebenarnya.

Di sinilah pedagogi bimbingan berubah secara kualitatif menjadi epistemic gatekeeping. Kritik tidak diarahkan pada niat, melainkan pada klaim pengetahuan. Mahasiswa diarahkan untuk belajar epistemic humility: mengakui batas bacaan, menyederhanakan kerangka teori, dan menyesuaikan kedalaman konseptual dengan level skripsi S1. Semiotika Barthes, misalnya, ditegaskan DosPem sebagai metode, bukan teori; teori cukup satu payung representasi yang kokoh: representasi dari Stuart Hall. Kesalahan di titik ini bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan epistemic loophole yang dapat mengganjal tahap kelulusan.

Dalam alur pengertian ini, epistemic gatekeeping bukanlah mekanisme eksklusi sewenang-wenang, melainkan praktik normatif untuk menjaga kualitas klaim ilmiah. Akan tetapi, praktik ini selalu berada dalam ketegangan: jika dilakukan tanpa refleksi, ia berisiko berubah menjadi bias epistemik atau bahkan epistemic injustice—sebagaimana ditunjukkan dalam studi tentang editorial bias (Ajani et al., 2025) dan kegagalan relasi mentoring (Fackler, 2025). Di sinilah gatekeeping menuntut bukan hanya ketegasan (being assertive), tetapi lebih condong pada tumbuhnya kesadaran etis (Brooks, 2025).

Berbeda dengan dinamika yang dialami Gaga, bimbingan untuk Ganang berlangsung singkat dan nyaris tanpa elaborasi. Fokusnya satu: hasil kuesioner dan analisisnya. Tidak ada ruang untuk diskusi panjang. Justru dalam keringnya percakapan ini, pesan pedagogisnya jelas: pada fase akhir skripsi, niat dan rencana tidak lagi relevan. Yang dinilai adalah data yang sudah terkunci dan kemampuan membaca data tersebut. Absennya kritik yang panjang menjadi tanda bahwa waktu eksplorasi telah lewat.

Pada titik ini perlu diberikan klarifikasi penting terkait Dino, karena pengalamannya tidak berhenti pada sesi kolektif tersebut. Memang benar bahwa pada sesi ke-7 ia masih berada di ambang pemenuhan syarat formal. Namun dua hari kemudian, Dino secara mandiri meminta sesi tambahan (sesi ke-8) pada Sabtu siang. Pertemuan kedelapan justru mengubah secara signifikan makna pedagogis dari kasusnya.

Berbeda dari kesan awal yang muncul pada sesi kolektif, pengalaman Dino dalam sesi tambahan ini memperlihatkan dinamika yang lain sama sekali. Ia datang bukan dengan permintaan dispensasi, melainkan dengan naskah yang sudah diolah, transkrip wawancara yang siap dibedah, serta kerangka pemikiran yang terbuka untuk dikritisi dan dimaknai ulang. Diskusi berlangsung intens dan sepenuhnya berorientasi pada substansi. Pembahasan bergerak dari prinsip data-driven phenomenology—bahwa pengalaman hidup narasumber adalah inti teori—hingga pemetaan berlapis mikro–meso–makro, sebuah capaian yang jarang muncul pada level skripsi S1.

Yang paling menonjol dari sesi ini adalah kesediaan Dino untuk belajar dari koreksi secara langsung: menata ulang kerangka pemikiran agar benar-benar berangkat dari lived experience, mengaitkan kompetensi komunikasi interpersonal (trust, appropriateness, effectiveness) secara konseptual tanpa berlebihan, serta memusatkan kontribusi teoretisnya pada level meso melalui dinamika small group communication (Linabary, 2019). Usaha ini tidak hanya tampak pada respons verbalnya, tetapi juga pada kesiapan teknis berupa penataan bab, proporsi halaman, hingga visualisasi konseptual. Ini semua menunjukkan bahwa sesi bimbingan tidak berhenti sebagai ajang pemberian nasihat-nasihat saleh, melainkan diterjemahkan menjadi kerja akademik konkret.

Dalam konteks ini, kepuasan pembimbing tidak muncul karena kerapian administratif-prosedural semata, melainkan karena terlihat jelas korespondensi antara usaha mahasiswa dan intensitas bimbingan yang diberikan. Ketika mahasiswa memilih untuk mengejar ketertinggalan secara serius, dosen secara etis berkewajiban merespons dengan memberi lebih. Bukan dalam bentuk kelonggaran standar, tetapi dalam bentuk pendampingan intelektual yang sungguh-sungguh. Kasus Dino memperlihatkan bahwa keterlambatan tidak selalu identik dengan kegagalan; yang menentukan justru apakah mahasiswa ybs memilih berhenti, atau berusaha mengejar ketertinggalannya dengan penuh tanggung jawab.

Sementara itu, bimbingan untuk Matthew bergerak dalam mode yang berbeda: damage control. Dengan progres sekitar lima puluh persen, target tidak lagi diarahkan pada kualitas ideal, melainkan kelulusan minimal. Pernyataan bahwa nilai C tetap lulus bukan ajakan untuk berpuas diri dengan hasil seadanya (mediocre), melainkan pengakuan jujur atas keterlambatan pace penyerapan materi dan pengolahan data yang dilakukan mahasiswa dan sudah telanjur terjadi. Di sini, pembimbing hadir sebagai buffer terakhir antara mahasiswa dan gatot, alias gagal total.

Sesi bimbingan terakhir ditutup dengan pengalihan tanggung jawab yang tegas: catatan tertulis akan diberikan sejauh waktu memungkinkan, tetapi kesalahan yang tersisa di ruang ujian bukan lagi tanggung jawab pembimbing. Momen ini sering disalahpahami sebagai ketidaksediaan membantu. Padahal, secara pedagogis, inilah bentuk let them (Baca: The Let Them Theory karya Mel Robbins, 2024) yang perlu, yaitu saat mahasiswa harus berdiri sendiri di hadapan argumen, pilihan dan konsekuensi atas pilihan-pilihannya menjelang (penjadwalan) sidang pertanggungjawaban skripsinya.

Jika pada sesi bimbingan mahasiswa peserta SII sebelumnya pedagogi diperlihatkan sebagai movement—dari mengalami menuju merefleksikan—, dalam sesi bimbingan skripsi ini pedagogi diperlihatkan sebagai ambang batas moral akademis (academic moral threshold). Di ambang ini, pembimbing tidak lagi sibuk nyuruh ini itu, atau memfasilitasi sejumlah skenario kemungkinan triangulasi, melainkan menjaga legitimasi akademik. Ketegasan, yang mewujud dalam penggunaan assertive tone, bukan pertanda runtuhnya pedagogi, melainkan ekspresi tanggung jawab moral dan etis pembimbing terhadap integritas disiplin keilmuan maupun ‘nasib’ mahasiswa itu sendiri. Pembimbing yang baik dan bertanggungjawab tidak akan membiarkan mahasiswanya terkatung-katung pada decisive moment dalam tahap studinya.

Dalam arti ini, bimbingan skripsi bukan sekadar proses akademik, melainkan latihan kedewasaan intelektual: belajar bahwa tidak semua yang ingin ditulis layak dipertahankan, dan tidak semua ambisi konseptual relevan (penggunaan kerangka konseptual yang ndakik-ndakik) untuk tahap yang sedang dijalani. Mungkin pada simpul refleksi inilah pendidikan tinggi bekerja paling jujur: ketika dosen tidak lagi menyamarkan peran gatekeeping sebagai kegagalan empati, melainkan mengakuinya secara terbuka sebagai tanggung jawab etis yang harus terus diseimbangkan dengan langkah pendampingan dan pembelajaran.

“Gatekeeping is part of what instructors do”, tapi ia bukan prinsip utama penilaian, melainkan “a contrary force to be balanced with pedagogical approaches that enable learning” (Sonnenmoser, 2009). Di sinilah pendulumnya berayun: ketika disadari, dampak tegangan dari gatekeeping justru menjaga integritas akademik sekaligus denyut kemanusiaan dari proses pendidikan di perguruan tinggi, khususnya dalam sesi bimbingan skripsi yang intens.

Epistemic gatekeeping berbeda secara prinsipil dari epistemic violence: yang pertama bertujuan menjaga validitas klaim pengetahuan melalui koreksi yang dapat dipertanggungjawabkan (misalnya: ada bukti rekaman dan transkripnya), sementara yang kedua terjadi ketika koreksi tersebut berubah menjadi penyangkalan terhadap kapasitas subjek sebagai know-er, sehingga menghasilkan epistemic injustice—baik dalam bentuk testimonial injustice yaitu ketika suara mahasiswa tidak dipercaya secara apriori maupun hermeneutical injustice yaitu ketika pengalaman belajarnya tidak diberi kerangka makna yang adil. Pokok seperti ini mirip dengan yang diingatkan Fricker (2007).

Reference
Ajani, Y. A., Akin-Fakorede, O. O., Ama-Abasi, R. D., Onanuga, A. O., Ilori, O. O., Egbe, I. M., Oladokun, B. D., & Otun, M. O. (2025). A phenomenological study of acclaimed editorial bias in academic publishing among library and information science scholars. Performance Measurement and Metrics, 26(4), 268–284. https://doi.org/10.1108/PMM-06-2025-0036
Brooks, P. (2025). How bad gatekeepers undermine good science. Synthese, 206, 267. https://doi.org/10.1007/s11229-025-05346-3
Fackler, A. K. (2025). Mentoring that fell apart: Using an epistemic injustice lens to (re)construct a doctoral mentoring dyad in science education. Journal of Diversity in Higher Education. Advance online publication. https://doi.org/10.1037/dhe0000678
Fricker, M. (2007). Epistemic injustice: Power and the ethics of knowing. Oxford University Press.
Sonnenmoser, R. (2009). The gatekeeping impulse and Professor X: An exploration. Assessing Writing, 14(2), 76–87. https://doi.org/10.1016/j.asw.2009.04.003

By Hendar Putranto

Just recently, I completed my doctoral pursuit in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia. I stand for hope that this blog fulfills my studious passion to communicate, even when someone from the past whispered "one cannot not communicate"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *