Categories
Uncategorized

“Pak, yang ini boleh ditulis nggak?”

Refleksi Fenomenologis Dosen Pembimbing atas Proses Bimbingan Mahasiswa SC Peserta Program Social Initiatives Impact (SII), Gasal 2025-2026

“Pak, selain data engagement, hambatan selama ngerjain proyek itu perlu dimasukin nggak ke bagian evaluasi?” Pertanyaan semacam ini muncul di awal sesi bimbingan terakhir untuk mahasiswa peserta program Social Initiatives Impact (SII) pada semester Gasal 2025-2026, Kamis, 11 Des. 2025, 10.00-11.00 WIB. Sepintas pertanyaannya terdengar teknis. Tapi, secara fenomenologis, pertanyaan ini mengandung kegelisahan yang lebih dalam: apakah pengalaman menjumpai kesulitan di lapangan sah secara akademik, atau harus disembunyikan demi laporan yang terlihat lebih rapi? Dari titik inilah pedagogi pembimbingan SII bekerja: bukan sebagai koreksi administratif, melainkan sebagai proses menuntun dan membimbing mahasiswa untuk berani membaca dan menafsirkan pengalaman mereka sendiri.

Ada tiga mahasiswa Ilmu Komunikasi peserta SII yang saya bimbing pada semester ini: Keycia, Gabby dan Cheryl. Mereka bertugas di tiga loci sosial dengan karakter demografis dan isu ‘besar’ yang sangat berbeda: Kampung Gardu Timur, desa Situregen, Panggarangan, Bayah, Lebak Selatan dengan isu mitigasi bencana, disaster reduction, dan community resilience; Pasar Papringan di dusun Ngadiprono, desa Ngadimulyo, Kec. Kandangan, Kab. Temanggung dengan isu revitalisasi desa dan cultural resilience; serta kampung Sukagalih, desa Cipeuteuy, Kec. Kabandungan, Kab. Sukabumi yang masuk zona/kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), dengan isu social forestry dan eco tourism. Untuk locus pertama di Bayah, sudah masuk batch 7; locus kedua masuk batch kedua, dan locus terakhir, batch perdana.

Pada masing-masing locus (loci, bentuk jamaknya; pemilihan term locus memang disengaja; locus tidak identik dengan ‘tempat’ atau place, tapi lebih dari itu karena ada interaksi sosio-kultural-komunikatif multi pihak di dalamnya), mahasiswa tidak hanya “melaksanakan program KKN” (istilah yang pernah populer di zaman Orde Baru doeloe), tetapi MENGALAMI-nya secara langsung. Mereka tinggal bersama warga, belajar mengobservasi kehidupan di dusun yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota besar, serta terlibat dalam perikehidupan yang slow living and rich in meaning. Pada ketiga loci inilah bahasa lokal lebih mendominasi, tubuh urban yang tadinya canggung menjadi teremansipasi dalam lanskap sosio-demografis yang sparse sekaligus nguwongke, dan mereka pun masuk terlibat dalam relasi kuasa yang cair nuansa instrumental-transaksionalnya.

Seorang mahasiswa menceritakan bagaimana komunikasinya sering terhambat karena percakapan spontan warga berlangsung dalam bahasa Sunda yang tidak sepenuhnya ia kuasai (Keycia berasal dari Tegal). Kendala berbahasa ini tidak disebutnya sebagai “masalah besar”, tetapi ia “kadang bingung harus merespons bagaimana” obrolan yang tidak dimengertinya itu. Dalam perspektif dosen pembimbing, Keycia mengalami bahasa lebih dari sekadar alat transaksi informasi, tapi jembatan penghubung antar dunia kehidupan yang dialami dan dihidupi oleh multi spesies dengan keragaman moda komunikasinya (pengertian Umwelt dalam fenomenologi; lih. Brentari & Tønnessen, 2024)

Di sinilah intervensi pedagogis menjadi penting. Alih-alih mengafirmasi pengalaman itu sebagai sekadar “kendala” (Yunani: problēma, dari kata proballein ~ dilemparkan di depan), pembimbing menggeser kerangka berpikir mahasiswa: ini bukan keluhan personal, tetapi data komunikasi. Code-switching, peran supervisor lapangan sebagai mediator bahasa & worldview, dan frekuensi berkomunikasi dengan warga bukan aksesoris tambahan untuk mempercantik laporan. Ini semua inti evaluasi strategis dalam kerangka keilmuan komunikasi. Seorang ahli bahasa pernah mengatakan bahwa “batas bahasaku adalah batas duniaku [Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt (proposisi 5.6. dalam Tractatus Logico-Philosophicus karya filsuf analitik, Ludwig Wittgenstein, tahun 1921/1922)]. Pengalaman keterasingan bahasa yang semula dirasakan si mahasiswa sebagai aspek kekurangan diri perlahan digeser menjadi objek refleksi akademik yang presisi dan bahan evaluasi.

Di Pasar Papringan, Ngadiprono, Gabby menghadapi konteks yang berbeda: ruang sosial yang sarat interaksi, simbol dan nilai keberlanjutan ekologis. Salah satu mahasiswa menulis evaluasi yang panjang, penuh tabel, dan poin-poin bertanda strip. Saat ditanya, ia berkata dengan jujur, “Soalnya poinnya banyak, Pak. Takut kelewat.” Kekhawatiran ini menjadi simtom atas ketakutan gagal menjelaskan pengalaman secara utuh. Di sini, pembimbingan mengambil bentuk yang sangat konkret: penomoran ilmiah, keterlacakan argumen, dan kesiapan acuan teks untuk “ditunjuk” secara persis lokasinya di mana saat ujian nanti. Bukan demi aspek estetika semata ‘bulit’ ini diangkat, tetapi agar pengalaman lapangan tidak larut menjadi narasi yang nglantur atau sekadar check-list.

Di Kampung Sukagalih, Sukabumi, refleksi Cheryl bergerak ke wilayah yang lebih embodied. Mahasiswa ybs berasal dari kota Duri, Kab. Bengkalis, Prov. Riau dan dia sedikit merasa canggung ketika harus berinteraksi secara intensif dengan komunitas warga kampung yang notabene berbahasa Sunda, dalam rentang waktu yang amat terbatas. Bahkan, masa observasi awal yang seharusnya 10 hari terpotong jadi hanya enam hari karena gempa cukup besar terjadi di hari kelima (21 Sept. 2025; lih. https://content.bmkg.go.id/wp-content/uploads/Ulasan-Guncangan-Gempa-Sukabumi_21september2025.pdf) sehingga di hari berikutnya mereka terpaksa dievakuasi kembali ke kampus.

Proyeknya dimulai dengan masa induksi awal untuk membangun rapport dengan warga yang cut short. Ketika ditanya apakah perasaan itu relevan untuk ditulis, muncul keraguan: apakah ini terlalu subjektif? Jawaban pedagogisnya justru membuka ruang inklusi: jika pengalaman dialami, diamati, dan direfleksikan, ia sah sebagai temuan. Pengalaman cemas, kikuk, atau merasa “canggung” bukanlah materi curhat biasa; ia dapat menjadi pintu masuk untuk membahas cultural barriers dan relasi gender dalam komunikasi berskala komunitas.

Pendekatan fenomenologis mencapai artikulasi yang lebih eksplisit ketika Keycia menggunakan kerangka evaluasi berbasis teori (Bennett model). Ia menjelaskan dengan hati-hati, seolah meminta izin, bahwa ia tidak ingin evaluasinya sekadar opini. Respons pembimbing tidak hanya mengoreksi penempatan metodologis—bahwa metode evaluasi harus berada di bab metode, dan bukan kerangka teori—tetapi juga memberi legitimasi: ini bukan overthinking, ini justru kerja akademik yang matang. Pada simpul masukan ini, mahasiswa dibebaskan: ia belajar bahwa teori bukan dekorasi intelektual pemanis ruangan, melainkan alat untuk menata dan membaca pengalaman agar koheren.

Benang merah dari seluruh sesi ini kira-kira dapat dirumuskan demikian: mahasiswa belajar bahwa pengalaman tidak otomatis menjadi pengetahuan. Pengalaman harus diolah, dipilah, dan ditempatkan dalam kerangka yang tepat, atau, menggunakan model yang saya kembangkan dalam disertasi (Putranto, 2025), tiga momen sikap: alamiah, fenomenologis, dan etis. Dari hal-ihwal yang tadinya taken for granted, setelah diabstraksikan dan dikonsepkan (fenomenologis) lewat pelbagai saringan (epoché), kemudian dicari dan ditemukan nilai-nilai etisnya atau direfleksikan secara empatik (double hermeneutics). Dalam proses itu, saya berperan sebagai dosen pembimbing yang hadir bukan sebagai juru catat atau penyelesai sengketa, melainkan pendamping refleksi—authorized person untuk sesekali menahan, sesekali mendorong, sesekali ngegas, agar mahasiswa tidak terjebak dalam kelindan kubangan romantisasi pengalaman, overthinking, dan kabut realisme naif.

Dalam klaster makna yang sudah saya tuturkan di atas, pedagogi pembimbingan mahasiswa peserta SII adalah pedagogy in motion: bukan hanya mahasiswa bergerak dari tidak tahu menjadi tahu dan cukup tahu menjadi lebih tahu (cognitive aspect dari Benjamin Bloom), tapi lebih dari itu. Pedagogy in motion mendorong mahasiswa bergerak dari melihat menuju bertindak, dari mengalami menuju memahami, dari melakukan menuju merefleksikan. Acap kali, proses menulis pengalaman dan hasil observasi dimulai bukan dari konsep yang njlimet dengan dipandu grand theory, tapi dari pertanyaan sederhana: “Pak, yang ini boleh ditulis nggak di bab 4?”

References
Brentari, C. & Tønnessen, M. (2024). Introduction to the Special Issue ‘Umwelt Theory and Phenomenology’. Biosemiotics 17, 265–272. https://doi.org/10.1007/s12304-024-09583-w
Patton, M. Q. (2011). Developmental evaluation: Applying complexity concepts to enhance innovation and use. The Guilford Press.
Putranto, H. (2025, 27 Juni). [Disertasi FISIP UI] Etika Komunikasi dalam Produksi Pengetahuan. Retrieved from https://fisip.ui.ac.id/doktor-ilmu-komunikasi-ui-meneliti-etika-komunikasi-dalam-produksi-pengetahuan/
Rockwell, K., & Bennett, C. (2004). Targeting Outcomes of Programs: A Hierarchy for Targeting Outcomes and Evaluating Their Achievement. DigitalCommons@University of Nebraska – Lincoln. Retrieved from https://digitalcommons.unl.edu/aglecfacpub/48

By Hendar Putranto

Just recently, I completed my doctoral pursuit in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia. I stand for hope that this blog fulfills my studious passion to communicate, even when someone from the past whispered "one cannot not communicate"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *