Catatan Dosen Pembimbing TA Track 02 tentang Laporan TA sebagai Naskah Akademik (lanjutan post sebelumnya)
Namun, supervisi tidak berhenti pada perumusan konsep. Secara sadar saya mendorong SC keluar dari jebakan ‘penyusunan TA sebagai laporan teknis kegiatan.’ Dalam satu momen, hal ini saya nyatakan secara eksplisit:
“Saya ada harapan bahwa SC, sebagai salah seorang bright student yang saya kenal, karena SC mahasiswa bimbingan akademik saya, sayang kalau (isi laporan TA) hanya membedakan apakah garisnya lurus atau bengkok, atau warna merah dengan merah jambu. Kan sayang ya? […] Minimal pada saat ujianlah. Minimal ketika nanti ada pertanyaan dari penguji yang perlu dicari rumusannya di dalam laporan TA, SC dapat menjelaskan semacam itu […] Tapi yang ditanya pertama oleh penguji kan SC duluan, bukan pembimbingnya. Makanya SC dulu yang harus berusaha menjelaskan apa sih maksudnya company profile di dalam rangka keilmuan komunikasi itu? Dia di mana tempatnya? […] Nah ini cara saya membimbing SC adalah bahwa SC nantinya dapat menjelaskan company profile itu bukan hanya sekedar pelaksanaan kerja teknis. Sebenarnya itu. That’s it. As simple as this (company profile) is not only about technical design. Bukan sekedar membedakan warna merah dengan merah jambu. Garis lurus dengan garis bengkok. Margin kanan kiri dua setengah atau tiga. Bukan hanya sekedar technical things yang dikerjakan SC. But more than that. You are going beyond that technical expertise.”
Mengacu pada verbatim di atas, dosen pembimbing menggarisbawahi disciplinary expertise minimum bagi seorang mahasiswa yang menyusun laporan TA tentang company profile. Yang diuji nanti bukan kecakapan desain atau kerapian dokumen, melainkan kemampuan reflektif untuk menjelaskan mengapa praktik komunikasi tersebut dilakukan dan apa implikasinya secara keilmuan. Inilah alasan mengapa laporan TA tidak boleh direduksi menjadi dokumentasi magang, meskipun acapkali berbasis pengalaman magang.
Aspek lain yang saya tekankan adalah disiplin akademik dalam penyajian data, khususnya terkait penggunaan verbatim quotes dari wawancara. Penekanan pada penggunaan verbatim dan parafrase ini tidak semata-mata bersifat teknis atau taat format (template) belaka, melainkan berakar pada persoalan etika representasi data. Sebagaimana ditegaskan dalam kajian sistematis Nii Laryeafio dan Ogbewe (2023), etika penelitian kualitatif tidak berhenti pada tahap pengumpulan data melalui wawancara, tetapi juga mencakup bagaimana data tersebut direpresentasikan, ditafsirkan, dan digunakan dalam laporan penelitian.
Penggunaan kutipan verbatim yang tidak proporsional, terlepas dari konteks, atau sekadar bersifat ornamental berpotensi mereduksi suara partisipan dan membuka ruang bagi misrepresentasi temuan. Dengan demikian, keputusan untuk menampilkan verbatim atau melakukan parafrase merupakan tindakan etis sekaligus analitis, yang menuntut tanggung jawab penulis terhadap integritas data dan posisi narasumber dalam teks akademik. Dalam sesi bimbingan, hal tersebut saya tegaskan sebagai berikut:
“Wawancara itu ada transkripnya. Transkrip itu yang disampaikan apa adanya oleh narasumber yang diwawancarai. Itu yang disebut sebagai verbatim quotes […] Keberadaan verbatim quotes yang ditaruh di dalam body text laporan itu justru menunjukkan authenticity (dari pernyataan narasumber). Jadi kalau hanya 1-2 baris, langsung parafrase saja. Nggak usah pakai verbatim quotes […] Wawancara itu kan data collection technique (atau) teknik pengumpulan data. Kalau verbatim quotes yang dikutip, dimasukkan ke dalam (body text laporan) ini, itu disebut sebagai data presentation (atau) teknik penyajian data. Beda ya? Data collection technique berbeda dengan data presentation technique.”
Pernyataan dosen pembimbing di atas menggarisbawahi pembedaan penting antara data collection techniques dan data presentation techniques. Busetto et al. (2020) membedakan antara tahap pengumpulan data kualitatif dan tahap analisis serta penyajiannya sekaligus menegaskan bahwa kutipan verbatim bukan sekadar salinan ucapan narasumber, melainkan hasil keputusan analitis yang mencerminkan posisi penulis dalam proses interpretasi data.
Seluruh proses supervisi ini bermuara pada satu tujuan utama: menjadikan laporan TA sebagai alat pertahanan epistemik bagi subjek pengetahuan saat menempuh ujian. Dalam konteks evaluasi dan ujian TA, epistemic agency inilah yang sesungguhnya sedang diuji. Jadi, bukan sekadar kepatuhan pada format atau kelengkapan teknis laporan, melainkan kemampuan mahasiswa mempertanggungjawabkan klaim, data, dan kerangka konseptualnya sebagai subjek pengetahuan. Kerangka konseptual bukan dekorasi standar untuk menebalkan bab II, melainkan fondasi argumentatif yang memungkinkan mahasiswa menjelaskan posisi karyanya dalam Ilmu Komunikasi. Tanpa fondasi ini, laporan TA akan tampak rapi secara teknis dan taat secara template, tetapi rapuh secara akademik.
Dengan demikian, sesi bimbingan penyusunan laporan TA sejatinya adalah proses pendewasaan epistemik. Mahasiswa didorong untuk melampaui kerja teknis dan memasuki wilayah refleksi konseptual. Meskipun mungkin jarang diartikulasikan secara eksplisit, laporan TA menemukan martabatnya: bukan hanya sebagai syarat kelulusan, tetapi sebagai naskah akademik versi panjang pertama yang menandai jejak kontribusi mahasiswa dalam komunitas keilmuan komunikasi pada jenjang Sarjana (S1).
Dalam konteks ini, supervisi Tugas Akhir tidak saya pahami sebagai relasi instruksional yang ‘memindahkan pengetahuan’ (knowledge transfer) dari dosen ke mahasiswa, melainkan sebagai relasi epistemik yang bersifat asimetris namun emansipatoris. Dosen pembimbing tidak mengambil posisi sebagai “pemilik kebenaran” yang harus dikutip atau direplikasi, melainkan sebagai epistemic scaffolding yang mendorong mahasiswa keluar dari zona nyaman laporan teknis menuju artikulasi akademik yang reflektif. Mahasiswa tetaplah subjek epistemik utama: ia yang menulis, ia yang menafsirkan, dan ia pula yang bertanggung jawab atas bangunan argumentasinya.
Dalam konteks pembelajaran akademik S1 semester lanjut (7 ke atas), stepping out of comfort zone justru menjadi indikator pedagogis yang sehat. Artinya, langkah ini menjadi penanda semantik bahwa mahasiswa sedang bergerak dari doing tasks menuju thinking academically. Dalam proses ini, laporan TA tidak lagi dipersepsi secara keliru sebagai comfort zone untuk bersembunyi di balik prosedur kerja, tetapi menjadi ruang latihan intelektual untuk mengambil posisi epistemik dan etis dalam keilmuan komunikasi secara sadar dan bertanggung jawab.
Referensi
Busetto, L., Wick, W., & Gumbinger, C. (2020). How to use and assess qualitative research methods. Neurological Research and Practice, 2, Article 14. https://doi.org/10.1186/s42466-020-00059-z
Cornelissen, J. (2020). Corporate communication: A guide to theory and practice (6th ed.). Sage.
Kotler, P., & Keller, K. L. (2016). Marketing management (15th ed.). Pearson Education.
Nieminen, J. H., & Ketonen, L. (2024). Epistemic agency: A link between assessment, knowledge and society. Higher Education, 88, 777–794. https://doi.org/10.1007/s10734-023-01142-5
Nii Laryeafio, M., & Ogbewe, O. C. (2023). Ethical consideration dilemma: Systematic review of ethics in qualitative data collection through interviews. Journal of Ethics in Entrepreneurship and Technology, 3(2), 94–110. https://doi.org/10.1108/JEET-09-2022-0014