Categories
Uncategorized

Ketika ruang percakapan yang tadinya ramai eh mendadak sunyi

Digital Silence dan Inhibisi Komunikasi di WA Grup Profesional

Dalam sebuah asosiasi profesional tempat saya bergiat, terdapat cukup banyak grup WhatsApp yang menjadi arena kolaborasi lintas generasi. Kalau saya tidak salah hitung, ada 45 grup WA yang saya masuki/dimasukin (di-add). Salah satu grup WA tersebut terdiri dari para anggota senior dengan jam terbang panjang serta anggota muda yang sedang menapaki jalur awal profesi. Grup ini memfasilitasi koordinasi kegiatan, pertukaran informasi, dan penguatan jaringan. Namun ada pola yang menarik: ketika pesan yang muncul terlalu panjang, reflektif, atau filosofis, percakapan kerap berhenti seketika. Sebuah “hening digital” muncul, bukan karena ketidaksetujuan, tetapi karena dinamika ruang itu sendiri.

Fenomena ini mendorong saya menelaahnya melalui lensa dua riset media kontemporer: studi “inhibition in digital public spaces” oleh Sakariassen & Meijer (2021) dan gagasan “digital silence” dari Thomas & Manalil (2025). Keduanya memberi kerangka analitis yang sangat relevan untuk memahami mengapa ruang digital yang tampak cair dan egaliter justru sering menjadi tempat diam kolektif.

Inhibition sebagai Mekanisme Sunyi di Ruang Digital

Studi Sakariassen & Meijer (2021) menunjukkan bahwa mayoritas pengguna media sosial mengalami apa yang mereka sebut sebagai inhibition: dorongan untuk ikut bersuara yang terhambat oleh kekhawatiran sosial dan dinamika platform. Menariknya, hampir 90% responden dalam studi mereka menyatakan pernah merasa terhambat untuk berkomentar, berbagi, atau bersuara, meski ingin melakukannya. Fenomena ini mereka sebut sebagai “in-between concept” antara partisipasi dan non-partisipasi: orang hadir, membaca, memperhatikan, tetapi memilih tidak tampil.

Jika kita terapkan pada WA grup profesional, terlihat jelas bahwa:

Pengguna muda merasa perlu menjaga citra diri di hadapan anggota senior, sebagaimana temuan bahwa identitas digital sangat memengaruhi kecenderungan untuk bersuara (Goffmanian identity management dalam Sakariassen & Meijer). Akibatnya, pesan panjang yang berbobot sering menciptakan tekanan: bagaimana merespons tanpa tampak kurang cerdas atau kurang relevan?

Kekhawatiran akan salah tafsir dan kritik (faktor social discomfort dalam studi tersebut) membuat orang memilih diam daripada berisiko.

Dalam grup beranggotakan lintas usia dan hierarki profesional, efek ini semakin kuat.

WA bukan ruang diskursif, melainkan ruang phatic—berfungsi menjaga ritme relasional secara ringan. Ketika seseorang tiba-tiba mengirim refleksi filosofis panjang, sebagian anggota cenderung berhenti, bukan menolak, tetapi tidak siap berpindah register wacana secara tiba-tiba.

Dengan demikian, “diam” bukan berarti tak peduli; ia adalah bentuk inhibition yang lahir dari kalkulasi sosial digital.

Digital Silence sebagai Pengalaman Afektif

Artikel Thomas & Manalil (2025) menawarkan konsep yang lebih psikologis: digital silence. Mereka membahasnya dalam konteks shadow banning, tetapi gagasannya relevan untuk memahami dinamika respons dalam grup profesional. Intinya, digital silence merupakan “sebuah pengalaman subjektif ketika pesan kita tidak mendapatkan pantulan sosial dari lingkungan digital.” (Thomas & Manalil, 2025)

Meski WA grup bukan platform berbasis algoritma yang menyembunyikan konten, dampak afektif “pesan tanpa balasan” mirip dengan mekanisme digital silence. Misalnya, tidak adanya feedback sosial memunculkan perasaan ragu: apakah pesan saya terlalu berat? tidak tepat? mengganggu suasana? Cuatan ini selaras dengan temuan bahwa ketiadaan respons memicu cognitive dissonance dan refleksi negatif terhadap diri. Pengirim merasa ‘berbicara ke ruang hampa’, padahal sesungguhnya orang membaca tetapi tidak menjawab.

Sakariassen & Meijer menyebut ini sebagai non-participation yang aktif—listening in yang tidak tampak. Ruang digital seperti grup WA memproduksi “invisible audience”, sehingga batas antara perhatian, apresiasi, dan keengganan merespons menjadi kabur.

Keduanya menunjukkan bahwa kesunyian digital adalah fenomena sosial yang kompleks, bukan sekadar ketiadaan minat.

Ketika Pesan Mendalam “Membekukan” Grup

Jika digabungkan, kedua studi ini menunjukkan bahwa (a) Pesan berat atau reflektif mengubah “mode komunikasi” grup, (b) anggota berpindah dari phatic mode ke evaluative mode, (c) lalu mayoritas memilih diam, bukan karena kontennya salah, tetapi karena ruang digital itu sendiri tidak mendukung kedalaman spontan.

Dengan demikian, bukan pesannya yang keliru, tetapi arenanya yang kurang tepat.

WA grup profesional bekerja lebih baik dengan respon singkat, emoji, stiker, atau apresiasi ringan, karena jenis respons itu menjaga ritme relasional dan menghindari beban kognitif tak perlu.

Belajar Mengeja Ritme Ruang Digital

Diam di ruang digital bukan berarti abai. Dalam banyak kasus, diam justru menjadi tanda perhatian, bentuk self-restraint, atau strategi menjaga identitas dan harmoni sosial.

Dengan membaca fenomena ini melalui riset mutakhir tentang inhibition dan digital silence, kami dapat memahami bahwa komunikasi digital menuntut kecerdasan kontekstual: kedalaman tetap penting, tetapi harus ditempatkan di medium yang tepat. Blog, catatan refleksi, atau forum diskusi formal adalah tempat ideal untuk wacana filosofis yang bernas—bukan WA grup yang dirancang untuk ritme cepat dan interaksi ringan.

Daftar Pustaka

Sakariassen, H., & Costera Meijer, I. (2021). Why so quiet? Exploring inhibition in digital public spaces. European Journal of Communication, 36(5), 494–510.

Thomas, S., & Manalil, P. (2025). Digital silence: The psychological impact of being shadow banned on mental health and self-perception. Frontiers in Psychology, 16, Article 1659272.

By Hendar Putranto

Just recently, I completed my doctoral pursuit in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia. I stand for hope that this blog fulfills my studious passion to communicate, even when someone from the past whispered "one cannot not communicate"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *