Catatan Dosen Pembimbing TA Track 02 tentang Laporan TA sebagai Naskah Akademik
Salah satu persoalan epistemik yang paling sering muncul dalam penulisan laporan Tugas Akhir (TA) Ilmu Komunikasi, yang berakar pada jalur magang industri, adalah reduksi laporan TA menjadi laporan kerja teknis. Mahasiswa cenderung berhenti pada pertanyaan apa yang dikerjakan dan bagaimana prosesnya, tanpa bergerak lebih jauh ke pertanyaan di mana posisi kerja tersebut dalam keilmuan komunikasi. Dalam sesi bimbingan laporan TA untuk SC [sebut saja mahasiswa ybs dengan inisial ini], problem ini muncul secara eksplisit dan menjadi titik pijak reflektif atas proses bimbingan.
Sejak awal, saya menegaskan bahwa laporan TA bukanlah laporan teknis yang netral secara epistemik. Laporan TA adalah naskah akademik, sehingga setiap klaim, relasi konsep, dan keputusan analitis harus dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dalam konteks ini, relasi antara marketing communication, company profile, brand guideline, corporate identity, dan corporate image tidak cukup dipahami sebagai urutan kerja praktis dalam bingkai paradigma keilmuan yang melulu pragmatis (get things done). Relasi tersebut harus dibingkai sebagai bangunan konseptual.
Dalam sesi bimbingan TA tambahan untuk SC pada Sabtu, 6 Desember 2025 yang lalu, guna memenuhi syarat minimum 8 kali menempuh sesi bimbingan agar SC boleh mendaftar maju ujian, hal ini saya tegaskan sebagai berikut:
Penafsiran (SC) perlu diperkuat dengan rujukan, karena ini kan landasan konseptual (laporan TA), bab dua. Karena ini bab dua, tentu ada ekspektasi dan itu sudah menjadi sebuah tuntutan akademik yang wajar, perlu adanya rujukan […] Statement seperti itu kan statement yang sweeping ya. Sweeping itu artinya kayak nyapu ya. Nah ketika itu sebuah statement yang sifatnya sweeping, yang menyapu, maka perlu ada rujukan […] Jadi (statement) perlu memuat sitasi. Kalau tidak ada sitasi, malah justru diragukan ini datangnya dari mana. Di zaman sekarang, orang langsung menduga, oh ini datangnya dari AI.
Verbatim di atas menyoroti beberapa hal, salah satunya soal sweeping statement, yakni klaim konseptual yang merangkum hubungan antarkonsep. Sweeping statement bukan kesalahan metodologis selama ia ditopang oleh literatur yang relevan. Mahasiswa justru sedang melakukan kerja intelektual ketika merangkai berbagai rujukan menjadi satu kesatuan berpikir. Dalam posisi ini, mahasiswa bukan sekadar pelaksana teknis, melainkan subjek pengetahuan (epistemic agent), yakni subjek yang secara aktif mengevaluasi, memproduksi, menggunakan, dan mentransformasi pengetahuan.
Konsep epistemic agency, sebagaimana ditegaskan oleh Nieminen dan Ketonen (2024), tidak merujuk pada soft skill tambahan atau sekadar kemandirian belajar, melainkan pada relasi transformatif mahasiswa dengan pengetahuan itu sendiri. Mahasiswa diposisikan sebagai aktor yang bertanggung jawab secara epistemik atas klaim, rujukan, dan bangunan argumentasi yang ia susun. Dalam kerangka ini, penyusunan laporan TA bukanlah aktivitas administratif atau teknis, melainkan praktik awal pembentukan mahasiswa sebagai warga akademik yang mampu mempertanggungjawabkan pengetahuan di hadapan komunitas keilmuan dan masyarakat yang lebih luas.
Literatur seperti Kotler dan Keller (2016) memberikan dasar tentang fungsi komunikasi pemasaran dalam membangun persepsi dan nilai merek (brand), sementara Cornelissen (2020) menegaskan bahwa corporate identity merupakan prasyarat komunikatif bagi terbentuknya corporate image. Dengan kerangka ini, company profile tidak lagi dipahami sebagai produk desain visual semata, melainkan sebagai artefak komunikasi korporat, yaitu medium yang menjembatani identitas korporasi dengan persepsi publik tentangnya.
[to be continued with part 02]