Categories
Uncategorized

Wajah Inbox sebagai Arsip Prekaritas Akademik yang Membandel

Kerja Tak Terlihat, Waktu yang Terkikis, dan Normalisasi Beban Lebih

Dalam rentang enam hari (sejak tanggal 12 hingga 18 Desember 2025), inbox email institusional saya menjadi semacam arsip tak disengaja tentang bagaimana kerja akademik kontemporer dijalankan. Ratusan pesan masuk: laporan magang, revisi skripsi, pre-exam report, unggahan Turnitin, permintaan tanda tangan, korespondensi jurnal, hingga undangan akademik internasional. Jika dibaca sepintas, hal ini tampak sebagai rutinitas administratif biasa. Namun ketika dibaca secara reflektif, inbox tersebut merekam sesuatu yang lebih struktural: cara prekaritas akademik bekerja secara diam-diam melalui kerja yang terfragmentasi, dibingkai logika waktu pendek (bdk. Putranto, 2024: https://tuturlogi.ub.ac.id/index.php/tuturlogi/article/view/13606), repetitif, dan jarang mendapatkan pengakuan.

Sebagian besar literatur tentang prekaritas akademik menempatkan kontrak kerja, tetap atau tidak tetap, sebagai titik masuk analisis. Namun pengalaman sehari-hari menunjukkan bahwa bahkan dalam posisi status dosen dan karyawan yang relatif stabil, precarity logic tetap meruap. O’Brady, Bamber, dan Cooper (2025) menunjukkan bagaimana academic capitalism mengaburkan batas antara keamanan kerja dan rasa aman kerja: bahkan dosen tetap mengalami tekanan, ketidakpastian, dan stres akibat logika pasar, metrik, serta ketergantungan pada sumber pendanaan yang volatil. Inbox ini, dalam skala mikro, memperlihatkan bagaimana tekanan itu dimediasi melalui email, tenggat, dan permintaan “segera”.

Di sinilah refleksi menjadi semi-autoetnografis: saya tidak menjadikan diri sebagai pusat cerita, tetapi sebagai titik observasi dari suatu sistem yang njomplang. Banyak pesan datang dengan nada bergantung (dependency mode): “mohon arahan,” “menunggu persetujuan,” “sudah saya unggah.” Relasi pedagogis semacam ini mencerminkan kepercayaan mahasiswa kepada saya sebagai dosen kelas/pembimbing skripsi atau magang mereka, tetapi sekaligus memperlihatkan asimetri kapasitas akademik. Literasi prosedural berupa pemahaman atas alur administratif, standar akademik, dan ritme kerja universitas ternyata masih lemah, dan absennya pemahaman mahasiswa akan literasi prosedural ini mau tidak mau “ditambal” oleh penjelasan repetitif yang menyita waktu si dosen pembimbing. Kerja-kerja korektif mikro dan berulang ini jarang masuk perhitungan kinerja (baca: BKD/JJA), namun tanpanya sistem tidak berjalan.

Sim dan Bierema (2025) menyebut kondisi ini sebagai bagian dari intersectional precarity: prekaritas tidak hanya soal status kerja, tetapi hasil pertemuan antara neoliberalisme, ketimpangan institusional, dan ekspektasi tak tertulis. Dalam konteks Global South, dimensi ini semakin kompleks. Beban kerja-kerja administratif yang tinggi dan highly intensive hidup berdampingan dengan tuntutan publikasi ke jurnal internasional (terindeks Scopus!) serta pengabdian masyarakat (PkM) terencana (programmatic). Hal ini merupakan kombinasi yang menciptakan kerentanan temporal, yakni hilangnya waktu yang didedikasikan untuk mengolah sudut pandang pengembangan keilmuan, epistemik maupun metodologis, secara kaya dan mendalam.

Dari sudut pandang psikologi kerja, penelitian Seubert et al. (2025) menegaskan bahwa prekaritas bukan hanya kondisi objektif, tetapi pengalaman subjektif yang memengaruhi makna kerja, relasi sosial, dan kesehatan mental. Wajah Inbox yang padat-merayap sesak-terserak mencerminkan precarity of meaning: banyak kerja penting terasa remeh karena terpecah dalam unit-unit kecil yang (nyaris) tidak pernah selesai sepenuhnya. Ketika kerja kehilangan kontinuitas makna, burnout bukan lagi risiko individual, melainkan konsekuensi struktural. Hal ini beririsan langsung dengan temuan Cadena-Povea et al. (2025) yang menggarisbawahi fakta bahwa beban kerja berlebih, konflik peran, dan minimnya dukungan institusional merupakan determinan utama dari gejala burnout faculty member. Alih-alih mengejar capaian yang berdampak (outcome), kelebihan beban tanggungjawab justru membuat dosen jadi terpuruk dan lelah hayati (capai/capek).

(to be continued tomorrow)

By Hendar Putranto

Just recently, I completed my doctoral pursuit in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia. I stand for hope that this blog fulfills my studious passion to communicate, even when someone from the past whispered "one cannot not communicate"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *