Categories
Uncategorized

[DAY159] Eksplikasi Informasi pada Studi Human Communication

Belajar dari Ritchie, 1991.

Semoga bermanfaat.

Lengkapnya ada di grup WA SPT Komunikasi yah.

Cheers!

Hendar

Categories
Uncategorized

[DAY155] Webinar INSPECTUS, Edisi Keempat: Etika Politik Pendidikan

Sabtu, 26 September 2020, jam 13-15 WIB pakai aplikasi Zoom.

Berikut evolusi dari flyernya, tarik mundur ya dari edisi draf final 22 Sept 2020 yg didistribusikan secara luas tarik mundur ke draf pertama 18 Sept. 2020.

Ada sejumlah kandidat pembicara yg diundang berhalangan hadir (yang dari DPR-RI), maklumlah mereka kan orang sibuk 😀
Sementara yg dari KAPAL Perempuan, mbak Misiyah Misi (Direktur) mendelegasikannya ke mbak Budhis (Wakil Direktur), karena beliau ada kegiatan pada hari tanggal dan jam yg sama.

Yg dari internal Founders INSPECTUS, pembicaranya tetap mas Doni Koesoema, M. A.

(Flyer Draf Final, 22 September 2020)

(Flyer Draf Kedua, 21 September 2020)

(Flyer Draf Pertama, 18 September 2020)

Berikut narasi yg disiapkan mas Doni Koesoema utk menguatkan bahasa visual flyer (dijadikan penyerta)
Teman-teman semua, silakan join dalam diskusi tentang etika politik pendidikan. Bagaimana kebijakan pendidikan dapat mencapai tujuan besar pencerdasan bangsa melalui layanan pendidikan berkualitas dan relevan? Bagaimana menjaga agar integritas pribadi para pengambil kebijakan tetap terjaga melalui modalitas etika yang menjadi infrastruktur etis lembaga pendidikan dalam rangka menciptakan struktur kelembagaan yang transparan, akuntabel, dan adil? Apa tantangan besar etika politik pendidikan masa kini dan bagaimana keluar dari kultur korup dan penuh konflik kepentingan yg selama ini terjadi di dunia pendidikan? Tema ini berat. Tapi jalan-jalan untuk menjawab pertanyaan ini dapat meringankan kinerja pendidikan di masa depan. Catat tanggal dan jamnya. Sabtu, 26 September 2020 pukul 13.00-16.00 Wwib.

Berikut liputan media yg terpantau, post-event:
https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/4bamW9Jb-juknis-bos-2020-dinilai-punya-potensi-konflik-kepentingan

Berikut foto2 screenshot kegiatan yg berhasil dihimpun:

Berikut link YouTube Webinar tersebut yg bisa diakses kali2 aja mau dijadikan bahan rujukan riset/kutipan:
https://youtu.be/naImY6w_R-4

Berikut resume versi yg saya buat sendiri sbg Moderator:

Etika Politik Pendidikan itu terkait:
1) Etika Penganggaran, Penggunaan, Alokasi Anggaran serta Transparansi Pelaporan Penggunaan Anggaran dan tepat sasarannya –> Riset ICW: Korupsi Sektor Pendidikan rugikan negara lebih dari 1 Trilyun (yg tertinggi: Dana Bos, sarana prasaran, BAK, Dana buku, penggelapan, mark up dll.)
2) Etika Politik harus jelas AKTORnya siapa yg terkait dan terikat pada dimensi Etika Politik Pendidikan –> ASN (pegawai negeri), Swasta, berkolusi utk menggerogoti merugikan negara; Ketua dan Anggota DPRD; Dana desa (ADD), Kepala Daerah (Bupati Walikota, Gubernur, Wakil bupati); kepala sekolah.
3) Transformasi dari Etika Politik ke Etika Publik: jadi lebih jelas locus maupun actus-nya; bukan organisasi (partai) politiknya tapi soal aktor yang yg punya kekuasaan politik. –> Etika Publik Pendidikan berporoskan tiga hal: Tujuan Publik Pendidikan (UUD sampai ke aturan2 turunan yg berlaku: Akses pendidikan utk semua, akses merata; hak atas pendidikan, dan Pendidikan Berkualitas); Filosofi Pendidikan; Modalitas (AKuntabilitas, Transparansi, Netralitas) dan Tindakan (Integritas Pelayanan Publik)
4) Bagaimana cara2 untuk mencapai tujuan2 Etika Publik Pendidikan tsb? Bermodalkan niat baik saja tidak akan terwujud.
Modalitas butuh Infrastruktur Etika: sarana yg mendorong agar modalitas ini terwujud.
5) Benih2 awal Korupsi ada pada Konflik Kepentingan yg sayangnya tdk banyak dibahas. Permenpan mengatur hny pada aspek pengadaan barang dan jasa. hal2 yg potensial membawa pada pembusukan kinerja pelayan publik. Pejabat publik sekaligus pemilik perusahaan (Haryatmoko, ???, h. 123). Bagan Manifestasi Konflik Kepentingan sebagai mapping yg berguna.
6) Etika Politik Pendidikan bgmn keseluruhan sikap perilaku para pendidikan dan birokrasi pendidikan dpt ditinjau dan diptjgwb kan scr etis shg ujungnya semakin kecil potensi korupsi dan konflik kepentingannya. >> break down: unit2 satuan pendidikan; Pemerintah Daerah; Pemerintah Pusat; Juknis BOS 2020 (revisi penggunaan Dana BOS).

presentasi mbak Budhis:
KAPAL Perempuan ikut mendorong keterbukaan akses Pendidikan utk kaum marjinal (3T) (yg relatif) kuat budaya patriarkinya.
jika dari atas (macro-view) ada pembungkaman suara2 kritis yg menyuarakan keprihatinan pada bgmn pengalokasian anggaran APBN utk pendidikan (yg sedemikian besarnya: 20% dari total APBN)
kalau dari bawah (grassroots, micro-view) ada “kebisuan yg dipaksakan” yi pembungkaman thd partisipasi dan suara perempuan (dlm Musrenbang, misalnya) agar akses thd pendidikan itu lebih adil dan merata.
Tubuh perempuan itu medan pertarungan Patriarki.
conditions of possibility: bgmn perempuan dapat melangkah ke ruang publik yg politik jika urusan2 kerumahtanggaannya (keluarganya) belum selesai, atau, sekurang2nya, belum ditangani bersama dengan pasangannya? (case study: menembus posisi setara di BERUGAK, Lombok Barat&Timur).
sdh ada upaya mencari solusi atas persoalan di atas dgn cara kolaborasi kritis dgn Pemerintah (perempuan dan organisasi2 perempuan dilibatkan dalam Musrenbang). SDG’s Pangkep, No One Left Behind. (Pendidikan yg Inklusif).
Advokasi Transparansi dan Akuntabilitas.
hasil2 advokasi kebijakan, misalnya, anggaran yg responsif gender.
perubahan pada tataan diskursus dan inovasi.
tantangan konservatisme, adat agama, patriarki, politisasi agama/identitas.
adanya konflik kepentingan dalam pendidikan.

beberapa resolusi yg ditawarkan para pembicara:
1) MEMBANGUN INFRASTRUKTUR ETIS: mengurangi potensi2 konflik kepentingan.
2) menciptakan Asesmen Ideologis utk ukur Integritas ASN dan para pelaku & birokrat pendidikan.
3) mengupayakan pengakuan dan perubahan alokasi anggaran Pendidikan (di Kemendikbud) yg berbasis APBN dan juga dana APBD pada pendidikan non-formal, yg sudah menghasilkan best practices, seperti SEKOLAH Perempuan yg sudah dirintis KAPAL Perempuan dengan mitra di daerah.

Dari percakapan di ruang ZOOM:
12:53:56 From Depirianus Gulo : Selamat siang pak
12:54:16 From Sahabat Seni Nusantara : Selamat siang
12:54:30 From Depirianus Gulo : iya Depi pak hehe
12:54:52 From Hendar Putranto : siaph bang Depi, selamat bergabung di Webinar kami INSPECTUS ini
13:09:52 From Sahabat Seni Nusantara : https://www.youtube.com/watch?v=naImY6w_R-4
13:10:11 From Sahabat Seni Nusantara : itu link youtubenya, mungkin teman2 bisa share ke WAG2
13:21:58 From Iswanti Suparma : Dana riset paling kecil?
13:38:19 From Hendar Putranto : Reminder mas Doni, 8 menit lagi yah mas. Trims
13:41:19 From ERMELINA : betul sekali itu Mas, Kementrian itu biasanya udah punya koneksi dengan orang2nya mereka untuk percetakan buku atau apapun itu terkait dengan informasi pendidikan.
13:46:27 From Misi KAPAL Perempuan : wah serem ya..
13:46:54 From Mh Firdaus : privatisasi…
13:47:11 From Budhis Utami : Iya betuuul
13:47:16 From Hendar Putranto : ngeri banget mmg mbak, ini bukan cumin neo-liberalisasi Pendidikan, tapi komodifikasi bahkan “Gojek”-isasi Pendidikan pakai uang negara scr gila2an
13:47:19 From Hendar Putranto : cuman
13:48:05 From Misi KAPAL Perempuan : Jadi harus ada sikap bersama ini Mas Hendar
13:48:39 From Misi KAPAL Perempuan : Idos, mas Hendar ditawari gabung Education 20.20
13:48:54 From Mh Firdaus : siap…
13:49:54 From Mh Firdaus : iya nanti dikirim undangan…
13:51:11 From Misi KAPAL Perempuan : salam mas Hendar..terimakasih salam
13:52:29 From Hendar Putranto : betul mbak Misi, nanti kita kolaborasi satukan suara dan arah gerakan yah mbak Misi utk advokasi isu Pendidikan ini
13:52:59 From Hendar Putranto : wah mas Idos, selamat yah, semoga Education 20.20 nya boleh ikut membawa perubahan utk lanskap Pendidikan di negeri tercinta ini
13:53:31 From Doni Koesoema A. – BSNP : Dana BOS saja 60 T…10 persen aja diarahkan ke perusahaan2 tertentu, udah dapat 6T
13:53:42 From Doni Koesoema A. – BSNP : Itu udah bias bikin unicorn
13:54:07 From Hendar Putranto : sudah gak kebayang itu mas Doni 0 nya berapa saking banyaknya (yg berpotensi dikorupsi)
13:54:16 From Ririn Hayudiani-LPSDM : selamat siang mas Hendar…. hadir bergabung dan menyimak
13:54:41 From Hendar Putranto : selamat siang mbak Ririn, selamat bergabung di Webinar INSPECTUS, ntar ikut diskusi yah situasi di Lombok bgmn ttg isu Pendidikan ini
14:02:07 From Sahabat Seni Nusantara : Pertanyaan dari YouTube:

Fransiscus Widiyatmoko
​apakah conflict of interest melulu mengenai Korupsi, Kolusi, Manipulasi secara material atau motif ekonomi? bgmna dg motif ideologi dan politik kekuasaan? bagaimana antisipasinya?
14:03:01 From Hendar Putranto : siaph mas Quin. trimakasih. Tercatat sbg pertanyaan kedua yah dari pak F. Widiyatmoko. yg pertama dari mbak Iswanti tadi
14:03:41 From Doni Koesoema A. – BSNP : Konflik kepentingan terkait ideologi dan politik bisa juga terjadi karena afiliasi seorang pejabat pada ideologi tertentu, bisa melencengkan tujuan Pendidikan nasional.
14:05:01 From Doni Koesoema A. – BSNP : Dana riset memang paling kecil mbak Iswanti. makanya ga maju maju he3…
14:06:44 From Mh Firdaus : Saya berpandangan konsep integritas belum menjadi discourse umum dibanding korupsi di Indonesia. Pertanyaannya kenapa ini terjadi ? apakah klu kita membicarkan integritas hingga mendalam, maka banyak elemen yang terkena imbasnya. Misalnya dalam konteks agama, sejarah politik kita tidak pernah lepas dari agama dengan politik praktis.. begot pula dalam Pendidikan…
14:06:57 From Hendar Putranto : trims mas Doni utk jawabannya thd dua pertanyaan yg sdh diajukan para peserta. kalau ada yg mau diangkat (dielaborasi lebih jauh) dlm diskusi setelah ini monggo mas Doni
14:07:25 From Hendar Putranto : siaph mas Idos, tercatat sbg pertanyaan ketiga yah mas
14:15:38 From Hendar Putranto : mbak Budhis, maaf 6 menit lagi yah waktunya
14:16:50 From Sahabat Seni Nusantara : Dari youtube:
Fransiscus Widiyatmoko
​etika politik pendidikan seperti apa yg dapat membangun kesadaran anti penindasan atas perbedaan jenis kelamin, gender, strata sosial/tingkat ekonomi rumah tangga, agama atau keyakinan politik dll²?
14:18:14 From Hendar Putranto : wah beliau rajin bertanya yah pak F. Widiyatmoko ini. mantaph
14:25:13 From Iva KPS2K : Salam kenal saya Iva KPS2K Jawa Timur, turut merespon paparan mas Doni dan Budhis,sangat menarik sekali karena betapa etika politik pendidikan kita tidak punya etika khususnya ketika mengenai peniddkan formal miris sekali, sedangkan pendidikan non formal yang diinisiasi oleh oerganiasi non pemerintah atau masyarakat sipil lebih menunjukkan adanya etika berpendidikan dengan pendidikan inklusi setara gender dan transparan, namun tantangannya bagaima mendorong memperkuat pendidikan non formal ini mendapatkan porsi yang sama dimata pemerintah padahal bukti2 capaian sudah banyak sekali
14:26:56 From Sahabat Seni Nusantara : dari youtube:
mengadopsi metode pendidikan Freiran, apa yg perlu dilakukan oleh Kemendikbud dlm menghadapi situasi pandemi saat ini terkait membangun pendidikan yg membebaskan?
14:27:25 From Hendar Putranto : siaph mbak Iva, terimakasih atas pertanyaannya. masuk ke termin kedua yah mbak
14:27:38 From Hendar Putranto : dari mas Quin juga pertanyaannya masuk ke termin yg kedua
14:34:42 From Budhy Munawar Rachman : Terima kasih mas Doni dan mbak Budhis untuk pencerahannya. Saya sangat menikmat isu dan urainnya. Mohon maaf saya pamit, tidak bisa ikut diskusinya karena ada acara setelah ini. Salam.
14:42:03 From Sahabat Seni Nusantara : Terima kasih mas. Salam
14:42:15 From Hendar Putranto : trimakasih mas Budhi sudah ikut hadir menyimak pembicaraan di Webinar edisi keempat ini
14:45:51 From Binny Buchori : Terima kasih banyak mas Dini dan mbak Budis untuk materinya sing ini. Sangat inspiration, mohon maaf saya pamit dulu ya, ada pertemuan lain, salam
14:46:12 From Hendar Putranto : trimakasih mbak Binny sudah mampir dan menyimak diskusi Etika Politik Pendidikan.
14:46:24 From Sahabat Seni Nusantara : Terima kasih Mbak Binny.
14:46:37 From Raimondus Arwalembun : Makasih Mba Binny
14:46:58 From Binny Buchori : Makasih, mas Hendar, mas Quin, mas Raimond
14:53:50 From Misi KAPAL Perempuan : Ijin saya pindah ke youtube ya
14:54:03 From Raimondus Arwalembun : Makasih Mba Misi
14:54:25 From Hendar Putranto : trimakasih mbak Misi sdh hadir dan aktif mengisi ruang diskusi Inspectus ini
15:02:59 From Sahabat Seni Nusantara : makasih mbak Misi
15:06:08 From Iva KPS2K : hasil diskusi harus dibuat pers release,bagu ssekali terutama rekomendasinya relevan
15:06:29 From Hendar Putranto : betul mbak Iva nanti kami di INSPECTUS akan coba melihat dan mengartikulasikannya ya
15:07:00 From Hendar Putranto : one page press release yah mbak
15:07:27 From Iva KPS2K : yes setuju mas Hendar
15:09:18 From Iswanti Suparma : aku yg khawatir juga, dana PAUD itu… apakah sudah ada sytandarisasi untuk PAUD? banyak PAUD yang mengajarkan intoleransi.
15:11:43 From Hendar Putranto : naah itu isu yg juga membawa kekhawatiran pada kita mbak Is. perlu infrastruktur etis dan asesmen ideologis spt yg tadi diusulkan mas Doni, sperti sdh diteliti luar biasa oleh mbak Budhis dan tim ttg intolerance case
15:12:03 From Hendar Putranto : intolerance yg terjadi di sejumlah PAUD di Solo Raya
15:12:31 From Iswanti Suparma : pendidikan etika, akal budi, nilai-nilai yang universal, keragaman dikalahkan sama pendidikan keagamaan yang sektarian banget.
15:13:43 From Yulianti PBT Sumbar : Maaf saya lagi sakit.
15:15:59 From Benny Setianto : Makasih diskusinya Siang ini… Mas DOni dan mbak Budhis… thank you insight nya
15:16:21 From Hendar Putranto : trimakasih mas Benny utk kehadiran dan partisipasinya dalam diskusi Webinar INSPECTUS edisi keempat kali ini
15:16:33 From Iswanti Suparma : Trimakasih Mas Doni, Budhis dan teman2 KAPAL atas sharingnya, trimakasih juga Hendar sudah memoderatori diskusi siang ini.
15:16:34 From Hendar Putranto : oh semoga lekas sembuh yah mbak Yulianti
15:16:41 From Budhis Utami : Terima kasih semuanya kawan-kawan…
15:17:06 From Hendar Putranto : siaph mbak Iswanti, trimakasih ya sdh hadir dan berpartisipasi dalam diskusi Webinar INSPECTUS edisi keempat siang sampai sore hari ini
15:17:21 From Ririn Hayudiani : Terima kasih diskusinya sangat seruuu dan kereen terima kasih juga untuk nara sumber mas doni dan neng Budhis dengan moderator yang mantapp.. selamat sore dan salam sehat bagi semua
15:17:59 From Iva KPS2K : Terima kasih kawan-kawan INSPECTUS ruang diskusinya bergas dan inspiratif,sehat selalu

Categories
Uncategorized

[DAY152] EKSPLIKASI sebagai Kunci untuk Perspektif dan Teori Komunikasi (Chaffee, 1991)

Rujukannya ke sini yah

Draf tulisannya begini

Rujukan Utama
Chaffee, Steven H. (1991). Communication Concepts 1: Explication. Newbury Park, CA: Sage.

Rujukan Pelengkap
Hacking, I. (2012). Introductory Essay. Dalam Kuhn, Thomas S. The structure of scientific revolutions. Fourth edition. Chicago & London: The University of Chicago Pres.
Kuhn, T. S. (1970). The Structure of Scientific Revolutions. Second Edition, Enlarged. [Seri International Encyclopedia of Unified Science]. Chicago dan London: The University of Chicago Press.

Categories
Uncategorized

[DAY151] Media sbg Praktik: Mengembangkan Kajian Etnografi Media (Couldry,2004; Pink,dkk.,2016)

Semoga bermanfaat yes

1000 kata aja di luar DaPus

Screenshots an ae ben ndak gampang di-cuppy-peis 😀

Categories
Uncategorized

[DAY147] Studium Generale S3 FIKOM UI bersama Prof. Alwi Dahlan

Jumat, 18 September 2020, pukul 13.30 – 15.30
KOMUNIKASI: Hilangnya Perspektif?

Ini link pendaftarannya:

Dengan hormat,
berikut link untuk mengikuti virtual studium generale:
https://us02web.zoom.us/j/83592064338?pwd=QU41OXdUTTNINGlSamJVcjFkLytwQT09
Webinar ID: 835 9206 4338
Passcode: abcxyz (disamarkan)

Ini flyer nya:

Ini link YouTube-nya:

Ini pelaksanaannya (screenshots):

Ini traffic nya (jumlah orang yg menyaksikan, datang dan pergi)

Ini Resume nya (versi saya, tidak lengkap)
Prof Alwi mengisahkan, dalam salah satu kuliah Wilbur Schramm yg dihadirinya doeloe,
Schramm bercerita mengapa Komunikasi itu melibatkan banyak ahli. Dia bertanya,
Anda ini pada waktu baru lahir kan bersuara, apa sih yg dikatakan pada waktu itu?
Terimakasih dokter, kata satu ahli (dokter ahli kebidanan)
Terimakasih, Tuhan, saya sudah selamat, kata Profesor ahli Teologi.
Ya betul itu, tapi kata-katanya lebih jelas, Alhamdullilah (kata Guru Besar Teologi Islam)
Bayi tidak berterimakasih, tapi teriak, ada apa ini? Kata dokter mata. Karena adanya lampu di atas ruang persalinan.
Kata ahli Fisika, karena adanya gaya berat bumi (gravitasi).
Sebelum kita berkomunikasi pun, kita mengacu pada pengalaman kita.
Kita telah mengomunikasikan protes kita, dengan perspektif masing-masing.
Setelah bernafas, makhluk hidup lalu berkomunikasi.
Masa Covid ini, malah tidak boleh datang ke pemakaman.
Di Kanada, ada satu makam yg jadi tempat wisata.
Di atas sebuah nisan, ada gigi besar, dengan lobang yang besar yg pernah saya tambal, inilah makam dari seorang dokter gigi yg terkenal. Dia mau memberi tanda, makna, atas kehidupannya. Ini adalah peninggalan saya.
Ingat-ingat saya, membuat buku, di Komunikasi.
Perspektif itu beda-beda di antara makhluk yang hidup.
Perbedaan perspektif.

relasi Prof. Alwi Dahlan ketika menjabat Menteri Penerangan, dengan pak Jakob Oetama, yg waktu itu menjabat CEO Kompas, tentang pemberitaan Presiden Soeharto mau resign, yg disiarkan wartawan KOMPAS. Pak JO minta saran, apa saya ganti saja Pemimpin Redaksinya, atau wartawannya saya pecat?

Untung, tidak dicabut SIUPP nya karena Prof. Alwi Dahlan sangat menghormati dan menjaga/menegakkan prinsip kebebasan berbicara dan kebebasan pers.

Banyak pihak yang mencoba melakukan langkah2 komunikasi tanpa mengetahui teori komunikasi.
Misalnya, soal hoax, apa-apa sekarang disebut Hoax, apa kita ini masyarakat hoax?
Sejarahnya penggunaan istilah hoax ini saat Perang Dunia II, soal pendaratan tentara di sebuah pantai oleh orang biasa, yang lalu oleh Jerman disebut hoax.

Mangam Arjuna Saputra 02:12 PM
Dalam komunkasi perspektif itu dapat dikatakan sesuatu yang unik. tetapi banyak masyarakat yang masih memandang jika salah satu perspektif seseorang berbeda dengan perspektif diri sendiri akan dikucilkan bahkan disebut sebagai seseorang berbeda. bagaimana seharusnya peran komunikasi dalam melihat perspektif dapat memecah-belah di lingkungan masyarakat?

La Jaali 02:22 PM
Ass…prof..maaf sy ingin bertanya..sekarang ini masyarakat diperhadapkan dengan informasi yang membingungkan tentang protokoler penanganan Covid 19 yang disampaikan oleh pemerintah, sehingga melahirkan persepsi yang berbeda dimasyarakat. Siapa yang disalahkan dalam hal ini, apakah masyarakat yang berbeda dalam menafsirkan pesan yang disampaikan oleh pemerintah atau pemerintah yang salah menyampaikan informasi tentang protokoler penanganan Covid 19 kepada masyarakat.? sebelumx terima kasih prof…

Ika Brianti Hadi S 02:30 PM
Selamat siang Prof., Mohon izin bertanya, agar dapat memastikan bahwa berita yang diterima oleh kami adalah bukan berita hoax, apa saja acuan – acuan/perspektif dalam ilmu komunikasi yang perlu dijadikan landasan dalam memilih informasi yang kredibel? Terima kasih.

Syafruddin Pohan, Ph.D 02:34 PM
Perspektif atau paradigma itu diibaratkan tempat kita berpijak melihat memaknai suatu kebenaran. Tanya Prof Akwi Dahlan, apakah post-truth itu juga termasuk kebenaran secara faktual?

Patricia Robin 02:56 PM
Selamat Siang, Prof Alwi. Selamat Siang, Dr. Irwansyah.. Perkenalkan saya Patricia Robin..Saya ingin menanyakan mengenai kisah Prof Alwi dimana ketika zaman Presiden Soeharto, berita sudah sedemikian cepat dan “mudah”nya menyebar ke masyarakat melalui media massa, padahal saat itu hanya ada media TV, koran, radio. Tidak dipungkiri, zaman sekarang, media digital (juga media sosial) membuat kecepatan berita itu semakin tidak terbendung. Yang menjadi fokus adalah, mau dibawa kemana “fakta dan kebenaran” itu? Apakah lantas menjadi hilang ? Lalu bagaimana pandangan dari Bapak Ibu sekalian mengenai masa depan Jurnalistik di era perkembangan teknologi ini? Terima kasih

Rut Silalahi 02:59 PM
Selamat siang Prof. Alwi
Saya sepakat bahwa pengertian Hoaks menjadi melebar dan kemana-mana.
Hoaks digunakan untuk menyebut semua hal yang dianggap bohong, mulai dari fitnah, ghibah, hasut, propaganda, satir, hingga janji kampanye yang tidak terpenuhi.
Sudah ada upaya dari Claire Wardle (First Draft) untuk mengganti kata fake news / hoaks menjadi Misinformasi, Disinformasi, dan Malinformasi. Tiga hal tersebut kemudian dibagi lagi menjadi satire, misleading content, imposter content, fabricated content, false connection, false context, manipulated content. Kategorisasi itu sendiri tidak mudah dipahami oleh akademisi, jurnalis, apalagi masyarakat awam. Menurut Prof, apa yang dapat dilakukan oleh akademisi komunikasi, untuk bisa meluruskan definisi hoaks tersebut di masyarakat? Sehingga masyarakat bisa mengidentifikasi hoaks dengan lebih jelas dan terhindar dari tipu daya hoaks. Terima kasih Prof. Alwi.
Salam.
Rut

winarni 03:00 PM
Ass. Prof. Alwi. Setiap orang akan mempersepsi suatu fenomena komunikasi pasti dari perspektif yang dipilihnya. Menurut Prof. apakah ada persepektif yang salah atau benar ? Standar apa yang mendasarinya ? Makasih. Wass.

Mirza Shahreza 03:20 PM
Assalamu’alaykum, Prof. Alwi., Pergeseran perspektif komunikasi tatap muka, komunisi massa menuju ke komunikasi digital/ virtual/ media baru, apalagi di masa pandemi ini sangat masif, pertanyaannya bagaimana membangun panduan etika komunikasi yang baik dengan kebiasaan2, perilaku berkomunikasi di ruang virtual/ digital dengan penyebaran dan penerimaan informasi yang begitu melimpah dan tidak terkendali.

Prof. Alwi mulai menjawab pertanyaan2 yg diajukan hadirin:

Isu Korupsi dibahas, tentang polisi juga.
Prinsip conflict of interest kok sekarang banyak dilanggar para pejabat publik.
Misal, tidak boleh jadi komisaris perusahaan dari bidang yg bersangkutan. Maksudnya, tidak boleh jadi Komisaris perusahaan yg menjual pesawat terbang jika asal muasalnya dia dari Departemen Perhubungan yg memutuskan apa pesawat yg hendak dibeli.

Campur aduk dalam konsep2: dalam Pemilu kita ini, calon yang akan dipilih rakyat, eh kok kasih duit kpd pemilih, disiarkan di TV, begini kok bangga?

BIN dikritik kok cawe-cawe dalam urusan kesehatan menangani Covid-19.

Panelis diundang ikut memberikan komentar dan tanggapan:
pak Ronny Adhikarya (https://www.eastwestcenter.org/research/research-information-services/oral-history-project/ronny-adhikarya)
pendidikan sejak dasar, mengembangkan “komunikasi yg bertanggungjawab, adanya etika, tahu cyberlaw dan ada law enforcement” kecerdasan verifikasi informasi, bertanggungjawab thd info itu sendiri, dan pny perspektif, perspektif org lain semua yg kita sebarluaskan, dan itu dianggap teman2 kita kredibel sekali. teknologi yg memberikan demokratisasi, hak itu, …ini tugas pendidikan harus masuk kurikulum sekolah dasar…mulai lagi dari Etika, bgmn caranya berkomunikasi.
Konflik fisik kita dgn orang kebanyakan, jutaan orang.

RELUNG CAKAP:
From Nur Kholisoh to All Panelists: 01:35 PM
Selamat siang Prof. Alwi, Prof. Ilya, Mas Pinckey, mas Irwansyah, teh Eni, mba Dorien, dan teman2 semua… Saya Nur Kholisoh alumni S3 UI tahun 2005.. semoga semua sehat dan sukses selalu yaa
Mba Hendry…. met siang juga yaa… goodluck ya mba
From Dr. Hendriyani to Ronny Adhikarya, All Panelists: 01:43 PM
Selamat bergabung, Pak Ronny
From Dian Budiargo to All Panelists: 01:54 PM
Mas Irwan ..seneng bisa jumpa walau melalui daring…..dan makasih ada pencerahan ….obat kangen ilmunya Prpf.Alwi ….
From Dr. Irwansyah to All Panelists: 01:57 PM
Terima kasih Mba’ Dian
Selamat bergabung bagi semua Mba’ dan Mas dalam ruang panelis
From Dr. Hendriyani to fajariqbal, All Panelists: 01:58 PM
iya, Mas, kalua di ruang Attendees memang tidak ada mic dan kamera. Nanti bila ingin bertanya ketik saja, nanti diaktifkan jadi panelis untuk bias hidupkan mic dan video ya, Mas
From HUMAS FISIP UI to Everyone: 01:59 PM
Bagi Bapak/Ibu yang hendak bertanya, dapat menggunakan fitur Q&A dalam webinar ini. Terima kasih.
From Dr. Hendriyani to All Panelists: 02:00 PM
Mas Irwansyah, nanti kalau ada pertanyaan yang mau diminta penanyanya bicara langsung, silakan infokan ke panitia supaya diubah status jadi panelis dan bisa hidupkan mic dan video
From fajariqbal to All Panelists: 02:01 PM
Siap Bu Dr. Hendriyani
From Sandra Olifia, M.Si to All Panelists: 02:07 PM
Sandra Olifia, M.Si/olifiasandra@gmail.com/USNI/HADIR
From Dr. Hendriyani to Everyone: 02:31 PM
Bapak dan Ibu, Mbak dan Mas, bila ingin mendapatkan sertifikat webinar ini, silakan isi daftar hadir melalui tautan berikut:
Link: tinyurl.com/y4b3q4ae (cukup diisi satu kali)
From Sri Mustika to All Panelists: 02:33 PM
tdk bisa diklik ya mbak?
From Angelika Rosma to All Panelists: 02:34 PM
Terima kasih bu Dr. Hendriyani
From Dr. Hendriyani to Everyone: 02:36 PM
https://tinyurl.com/y4b3q4ae
Bapak dan Ibu, Mbak dan Mas, bila ingin mendapatkan sertifikat webinar ini, silakan isi daftar hadir melalui tautan berikut:
https://tinyurl.com/y4b3q4ae (cukup diisi satu kali)

From Mutiara Dara Utama Mauboi to All Panelists: 02:36 PM
Terima kasih
From Sri Mustika to All Panelists: 02:37 PM
Tks Mbak Hendriyani
From Gayatri Atmadi to All Panelists: 02:39 PM
Baik Mba Hendri. Terima kasiiih
From Prof Lusi to All Panelists: 02:40 PM
salam komunikasi. sy Prof lusi ikut hadir…disini
From fajariqbal to All Panelists: 02:40 PM
Mohon maaf, sy kira ini link baru. Kemarin sudah isi, barusan ngisi lagi.
From Prof Lusi to All Panelists: 02:41 PM
Sehat sehat ya Prof Alwi
From Dr. Hendriyani to All Panelists: 02:46 PM
ini ada beberapa teks ke saya, pengen bisa menyapa Pak Alwi di waktu Q&A. Apakah kita kasih kesempatan nanti untuk jadikan para peserta jadi panelis supaya Pak Alwi bisa lihat wajah mereka?
From Dian Budiargo to All Panelists: 02:52 PM
mohon ijin dulu ada rapat lain….terima kasih Prof Alwi, Prof Hafid dan Prof Lusi….
From fajariqbal to All Panelists: 02:54 PM
Sehat Selalu Prof Alwi dan Bang Edu….
From Agus Hitopa Sukma, SH, M.Ikom to All Panelists: 02:55 PM
Agus Hitopa Sukma dari Institut Bisnis dan Informatika (IBI) Kosgoro 1957 Jakarta, hadir dan menyimak
From fajariqbal to All Panelists: 02:59 PM
Sehat selalu juga utk Bu DR. Prahastiwi Utari, dan para guru kami semuanya..
From Prof Lusi to All Panelists: 03:03 PM
Alhamdulillah…senangnya hati lihat bu Dr tiwi, prof Oni, prof ilya, pk Edu….dan semua hadirin. salam sehat dan tetap semangat dari Medan. Horasss
From Nurul Huda to All Panelists: 03:12 PM
Nurul Huda Present
From Angelika Rosma to All Panelists: 03:15 PM
Bapak Moderator, Dr Irwan, saya juga mahasiswa Prof Alwi di Pasca UI, Mankom 2004… Terima kasih banyak u Panitia untuk acara ini…saya sekarang juga Dosen Komunikasi…Salam takzim saya u Prof Alwi (saya jg sangat terharu melihat beliau, sehat2 ya Prof) salam takzim juga untuk Guru2 saya, Prof Billy, Dr. Pinckey, dan Dr Eduardo
From Prof Lusi to All Panelists: 03:26 PM
izin leave duluan moderator, sy ada kelas pk irwansyah. tks dan salam komunikasi. sukses kegiatannya

Intinya (dalam satu kalimat, bahasa sendiri):

Dunia dewasa ini, yang diguncang oleh kemajuan pesat ICT digital, ada yg menamainya disrupsi digital, juga Pandemi Covid-19, membawa para cendekia Komunikasi pada kesadaran bahwa memang telah terjadi pelunturan (ekstremnya: HILANGNYA) Perspektif Komunikasi (Keilmuan) dalam Komunikasi Publik dan Komunikasi Sains karena ada begitu banyak orang di luar sana yg bicara seolah-olah tahu paham ngerti menguasai Teori dan Perspektif Komunikasi (padahal tidak) dan mereka berbicara di luar batas kewenangan dan kepakarannya sehingga menimbulkan kebingungan di khalayak tentang pesan dan makna Komunikasi sesungguhnya dari Fenomena/Social Ilnesses/Problematika/Krisis/Tantangan yang dikomunikasikan.

Categories
Uncategorized

[DAY 138] Mengulik Arkeologi Media

What is Media Archeology? (Jussi Parikka, 2012)
Cambridge (UK) & Malden, MA (USA): Polity Press.

Daftar Isi

1 Pengantar: Kartografi dari Yang Lama dan Yang Baru 1
2 Arkeologi Media terkait Rerasa: Audiovisual, Afektif, Algoritma 19
3 Media Imajiner: Memetakan Objek-objek yang Aneh 41
4 Teori Media dan Materialisme Baru 63
5 Memetakan Suara Berisik dan Hal-hal Cilaka 90
6 Dinamika Pengarsipan: Budaya Piranti Lunak dan Warisan Digital 113
7 Mempraktekkan Arkeologi Media: Metodologi Kreatif untuk Remediasi 136
Kesimpulan: Arkeologi Media dalam Budaya Digital

Pertanyaan mendasar dari kajian arkeologi media seperti menggemakan pertanyaan Foucault dalam karyanya Arkeologi Pengetahuan: kondisi-kondisi eksistensi seperti apa sampai bisa muncul barang yang ini, pernyataan yang itu, wacana yang ini dan kemajemukan praktik yang termediatisasi yang di dalamnya kita hidup? Pertanyaan semacam ini membidik aspek politis, etis, ekonomis, teknologis, ilmiah dan lainnya dan jangan sampai ada aspek yang dilewati pembahasannya (h. 18).

Manajemen objek “pengarsipan” biasanya tidak gamblang dilihat para pengunjung museum. Tapi sekarang, dengan mentasnya budaya digital, terjadi tren digitalisasi dari pengarsipan dengan menggunakan, misalnya RFID (Radio Frequency Identification). Pengarsipan digital merujuk pada sebuah dunia fantasi yang di dalamnya setiap objek dapat disematkan chip penanda (taggable), dapat dilacak, dan dapat dikelola. Dunia fantasi ini lantas menjadi gudang penyimpanan yang super besar: gudang arsip, database (h. 159).

Jangan berpikir bahwa media arkeologi itu cuman urusan kajian media atau kajian film di kampus. Arkeologi media dapat ditemukan di dalam dan di luar lembaga, orang-perorangan pun bisa. Misalnya di studio seni, di museum, gerobak sampah atau di TPA, lintas batas geografis dan institusi akademis yang berbasis negara-bangsa, dari Amerika Utara sampai Eropa, dari Amerika Latin sampai ke Australia, Jepang, Indonesia, dll. Dari wacana akademis ndakik-ndakik di Amerika Utara sampai ke puing-puing ideologi budaya teknologi bekas negara adidaya Uni Soviet di negara-negara satelitnya di Eropa Timur, sampai ke gunungan sampah elektronik di China, para seniman yang mendaur ulang ide-ide tentang hal usang dan budaya teknis di Berlin; ada beragam praktik yang dibahas, dengan berfokus pada praktik-praktik yang dilakukan kaum marjinal di periferi; lembaga-lembaga konkret yang berkelindan dengan agenda kaum intelektual dan aktivis kritis nlekutis. Ringkasnya, arkeologi media itu berkelana alias jalan-jalan (h. 160).

Buku Arkeologi Media ini bukan hanya membahas soal sejarah munculnya media lama dan media baru yang berkelindan dengan gugus praktik, aparatus (piranti/gawai) dan ide-ide yang datang dan pergi, namun juga bicara tentang sejarah, tentang waktu, dan tentang perngarsipan yang merupakan konsep kunci dalam budaya digital. Nah, yang namanya konsep juga berkelana lho. Terkait pengarsipan, ia bukan hanya berupa tumpukan kertas di dalam lemari-lemari besi, namun juga pengarsipan yang ada di awan (clouds) untuk menyimpan ratusan giga foto liburan; juga pengarsipan yang merupakan agregat dari platform medsos yang kita gunakan untuk mejeng, pamer dan belanja, perilaku daring pengguna yang diekstrak lewat datamining (kunci dari model bisnis dalam budaya jejaring); pengarsipan juga berlangsung di dalam mikrochip yang berfungsi memproses kerjanya komputer dan telpon pintar kita untuk jangka waktu yang sangat singkat, penyimpanan sementara yang biasa disebut RAM.

Karena itu, terkait media arkeologi yang lintas keilmuan serta batas ruang dan waktu seperti ini, pantas ditanyakan hal berikut: bagaimana cara agar kita tetap menjaga api semangat ‘kepo’ transdisipliner dan radikalitas berpikir dalam situasi terkini di mana gelar-gelar pemberian universitas tereduksi sedemikian rupa sehingga menjadi ‘syarat administratif’ (kualifikasi) saja untuk melamar pekerjaan? (h. 161)

Memberi tekanan pada TINDAKAN/PERILAKU/AKTIVITAS
Dalam buku ini saya menekankan kamu bisa apa/ngapain dengan arkeologi media, bukan cuman ngerti artinya apa. Sean Cubitt (2004: 11) menulis dalam majalah Cinema Effect: ‘Tugas teori sekarang bukan lagi negatif (menelanjangi kekuasaan, misalnya), apalagi tugas teori media, seharusnya ia memampukan: mengekstrak dari kumpulan teori yg ada dan bagaimana mendaur ulang ide-ide yang ada yang belum begitu dikembangkan dan cara-cara baru untuk memberdayakan ide-ide tersebut.’ Cara pandang seperti ini mendorong para media theorists untuk memetakan gugus potensi untuk masa depan alih-alih menggali-gali kubangan sejarah (doang). Dalam arti ini, arkeologi media dapat dipahami sebagai sebuah proyek politis karena ia membuka ruang eksplorasi tentang pengetahuan praktis (apa yang bisa dilakukan?)

Saya cenderung menghindari penggunaan model kritik ilmu-ilmu kemanusiaan tradisional dan lebih bertumpu pada penggunaan analisis media yang diusung Deleuze & Guattari untuk mengupas lapis-lapis terbentuknya sejarah media, suatu ‘sedentary point of view’ (Deleuze & Guattari, 2004: 25) yang dalam arti tertentu justru menghambat letupan-letupan kreatif dan kebaruan gagasan, sebuah metode yang disebut nomadologi: menelusuri dari dekat hal-hal yang terlihat kecil (fleeting, minor) tapi ternyata memiliki dampak besar, sebuah moda pengetahuan dan produksi pengetahuan yang menekankan terbentuknya hubungan-hubungan baru yang bukan melulu mereproduksi gagasan/hubungan/moda produksi yang lama atau yang sudah ada, tapi memproduksi “new modes of existing, thinking and creating.” Model kartografi pengetahuan secara nomadik yang diajukan Deleuze dan Guattari, juga Rosi Braidotti (2002) untuk telaah kajian kemanusiaan berjender abad ke-21, merupakan eksperimentasi yang menekankan pada ‘keterhubungan antara ranah’ (fields) sekaligus menyemenkan dimensi-dimensi baru telusur gagasan termasuk transformasi dan perubahan yang meletak di inti cipta-karya pengetahuan. Model berpikir seperti ini penting bagi pembentukan masa depan arkeologi media.

Yang saya lakukan dalam buku ini lebih dekat dengan yang disampaikan ahli media dari Jerman bernama Zielinski yang mendorong saya untuk menemukan aspek yang baru dalam artefak lama, juga hubungan-hubungan baru dari piranti media lama dalam kaitannya dengan praktik-praktik budaya; kebaruan itu juga muncul lewat pertanyaan: mau dibawa ke mana arkeologi media dan bagaimana membuat kajian ini tetap menarik lebih dari sekadar sub-bagian dari sejarah media? Media arkeologi dengan demikian bergerak dari telaah media lawas menuju “media baru” seperti kajian piranti lunak, aplikasi dan platform serta pokok-pokok perdebatan lain dalam budaya digital.

Memberi tekanan pada MATERI
Arkeologi media yang berparadigmakan konstruksionis-sosial di antaranya muncul dalam pandangan ahli media Lisa Gitelman yang mengatakan bahwa media adalah “socially realized structures of communication, where structures include both technological forms and their associated protocols, and where communication is a cultural practice, a ritualized collocation of different people on the same mental map, sharing or engaged with popular ontologies of representation” (2006: 7).

Persoalan media sebagai representasi tidak bisa dengan gampangnya direduksi sebagai obsesi pada kajian material media itu sendiri (medium is the message), namun perlu diperiksa lebih luas lagi, budaya media dan praktik desainnya, materi seperti apa yang disertakan dalam rancang prototipnya, telusur sejarah dan arkeologi mana yang bermakna sehingga menghasilkan wujud teknologi media tertentu, sekaligus konteks ilmiah, teknologis, artistik, sosial, ekonomis, termasuk pasar tenaga kerja dan alamiah/ekologis yang melingkupi kajian media, seni dan komunikasi.

Ulasan singkat:
Kekuatan buku ini terletak pada:
1) Kebaruan paradigma yang ditawarkan untuk memahami sejarah media yang tidak menggunakan paradigma positivistik, tapi lebih ke social constructionism dan ini mengubah lanskap pemahaman pembaca tentang sejarah dan unsur-unsur konstitutif penyusunnya.
2) Parikka berhasil menghubungkan aspek-aspek lama perkembangan sejarah media ke dalam wujud-wujudnya yang baru (disebut New Media) dan melacak jejak perkembangan teknologi media tersebut ke aspek kontekstualnya (disebut: conditions of existence). Terlihat bahwa pertarungan ideologi (makro), organisasi/kelembagaan (meso) dan orang-perorangan (sosok genius penemu, misalnya)
3) Pengarsipan bukanlah hal sederhana dalam budaya digital. Ada potensi preservasi warisan tapi ada juga unsur kehilangan aura dan eksklusivitas akses (terhadap warisan tersebut) membuat penghargaan pengguna terhadap karya-karya klasik sama nilainya dengan, katakanlah, membaca koran digital.

Hendar Putranto (c) 2020

Categories
Uncategorized

[DAY140] The Medium is The Meta-Message: Sebuah Analisis Wacana Kritis telaah pesan kenaikan angka kasus Covid-19

Seminggu dua minggu terakhir ini (Agustus akhir sampai 11 Sept 2020 sekarang) kita dipenuhi kecemasan, was-was, karena angka kasus Covid-19 naik lagi—terutama di DKI Jakarta dan daerah di sekitarnya—, moda penularan yg sudah dominan mengarah ke klaster keluarga dan antar-warga, juga gejala ketika banyak orang yang nekat dan sabodo teuing pake masker atau tidak ketika keluar rumah berkelana ke ruang-ruang publik.

Rencana penerapan PSBB ketat pada Senin 14 September 2020 minggu depan di DKI Jakarta sudah mulai meresahkan banyak pihak, terutama mereka yang selama beberapa bulan terakhir hidupnya (penghasilan dan penafkahan) empot-empotan.

Membaca pesan tersirat “angka kasus Covid-19 nasional” naik lagi [ada datanya, silakan cek di https://covid19.go.id/ atau di https://kawalcovid19.id/] perlu dipahami maknanya bukan hanya pada “pesan” (message) yang tersurat, yang dikatakan, dituliskan, atau ditayangkan (media), namun juga pada pesan yang tersirat, meta-messages.

Menurut Tannen (2013), ada sejumlah besar pengaruh budaya yang melatari/mengkontekskan pesan secara tersirat, namun ada lima faktor primer yang lebih berpengaruh, yaitu etnisitas, latar-belakang geografis, umur, klas, dan gender.

Selain kelima faktor primer budaya tersebut pun, dalam analisis terhadap ‘gaya percakapan,’ kita masih harus memperhatikan sejumlah fenomena linguistik yang terkait dengan tuturan pesan, misalnya “pitch, amplitude, length of pauses, rate of speech, intonational contours, relative directness versus indirectness, discourse structure, and humor,” juga orientasi seksual dan profesi.

Jika kombinasi dari kedua kategori besar (faktor budaya dan faktor fenomena linguistik) ini digabungkan, akan terlihat bahwa pesan tidak bermakna tunggal, melainkan sarat nuansa dan terbuka untuk ditafsirkan (pendengar/audiens) tergantung aspek mana yang lebih ditonjolkan (salient) dan aspek mana yang lebih dikesampingkan.

Contoh, jika pihak yang menyampaikan “angka kasus Covid-19 naik lagi” ini seorang pejabat publik seperti Gubernur atau Bupati, tentu akan berbeda gaya, nuansa, konteks maupun dampak dari penyampaian pesannya daripada jika yang menyampaikannya seorang dokter dari sebuah Rumah Sakit Pemerintah.

Sayangnya, pemahaman tentang kekayaan nuansa yang tersirat yang mengkontekskan suatu pesan ini acapkali diabaikan dan audiens hanya terpaku pada atau makna (tunggal dari) pesan yang tersurat atau salah satu/dua aspek saja dari faktor budaya dan/atau fenomena linguistik yang tersirat.

Ketakutan dan kecemasan audiens yang berlebih (dalam suatu setting kedaruratan) memang dapat mereduksi kekayaan penafsirannya atau penafsiran mereka terhadap pesan yang disampaikan sehingga alih-alih membawa kelegaan dan menawarkan solusi, justru nambah-nambahi beban pikiran tak terperi (“bikin kusut hati”).

Rujukan: Tannen, D. (2013). The Medium Is the Metamessage: Conversational Style in New Media Interaction. In Deborah Tannen and Anna Marie Trester, Editors. DISCOURSE 2.0: Language and New Media(pp. 99-117). Washington, DC: Georgetown University Press.

Categories
Uncategorized

[DAY137] Filsafat Ilmu-ilmu Sosial: Peluang & Tantangannya sekarang

Semoga bermanfaat yes

Rujukan utama:
Rosenberg, A. (2016). Philosophy of social science. Fifth edition. Boulder, CO: Westview Press.

Categories
Uncategorized

[DAY136] BookNotes: Science on the Ropes oleh Carlos Elias (Springer-Nature, 2019)

[Resume buku]
Elías, C. (2019). Science on the Ropes: Decline of Scientific Culture in the Era of Fake News. Springer-Nature.

Latar belakang penulis buku ini:
Carlos Elías adalah seorang Profesor Kajian Jurnalistik di Universidad Carlos III de Madrid (Getafe, Spanyol) yang sebelumnya berlatar keilmuan Kimia dan Ilmu Informasi dari the University of La Laguna, Spanyol, kemudian mendapatkan gelar Doktornya juga dari Universitas yang sama. Spesialisasi risetnya adalah soal Jurnalisme, Teknologi dan Ruang Publik dan beliau pernah menjadi dosen terbang di LSE (Inggris) dan Harvard (USA). Sebelum berfokus pada dunia Pendidikan Tinggi, beliau mempraktikkan kompetensi jurnalismenya di Agencia Efe dan El Mundo. Buku terbaru yang ditulisnya berjudul Science on the Ropes: Decline of Scientific Culture in the era of Fake News (Penerbit: Springer-Nature, 2019). Sekarang beliau dipercaya menjadi Direktur Program Magister Corporate Communication di UC3M. Peta perjalanan risetnya meliputi isu big data dan jurnalisme (2013-2017) dan sekarang soal isu Fake News dan algoritma deteksi kebohongan/hoax (2019-2021).

RESUME:

Di tengah ancaman merebaknya kabar bohong dan sains palsu (Pseudoscience), Carlos Elías menuliskan buku ini. Bertolak dari pertanyaan hipotetis kontroversial, “Benarkah cengkeraman Dunia Barat terhadap Sains yang didasarkan pada cara berpikir rasional dan berbasis bukti empiris mulai mengenderu? Jika ya, apa bukti2nya? Lalu, siapa/negara-negara mana yg menggantikan peran AS menjaga ‘rasionalitas’ Sains?” Elías mendaku bahwa Asia mengalami apa yang dialami Barat pada abad ke-16 dan 17, kemajuan saintifik dan teknologi yang pesat. Elías juga membahas dalam bukunya ini mengapa negara-negara Barat, utamanya Amerika, mulai kehilangan gairah pada subjek/kajian STEM dan lebih “menyukai” post-truths, alternative facts dan, tidak jarang, irrationality. (**)

Berikut kutipan langsung dari buku yang ditulisnya, “This book is the result of trying to answer two questions that, I believe, are related: why irrationality is emerging in the media and in society; and why there is a decrease in the number of vocations using the most rational degrees: science, technology, engineering and mathematics” (Elías, 2020: 3).

Dalam era yang lebih didominasi budaya media sosial, Elías mengamati bahwa lebih banyak mahasiswa Barat yang sekrang membanjiri studi-studi ilmu kemanusiaan dan meninggalkan obsesinya pada studi-studi STEM. Fenomena ini dibandingkannya dengan yang dialami Spanyol pada era Konter-Reformasi (abad ke-17), ketika para Yesuit dan Gereja Katolik memelopori “contempt and an intolerance of science and technological development” yang berdampak pada, salah satunya, merosotnya kekuasaan imperial (baca: hasrat kolonialisme/penjajahan) Spanyol.

Selain itu, juga terlihat jelas bahwa universitas dan pengaruhnya terhadap media justru malah menempatkan (memuja) emosi di atas kemampuan rasional sehingga menyuburkan berkembangnya (kultus) budaya selebritis.

[Pertanyaannya: apakah perbandingan ini valid atau tidak jika ditinjau dari aspek hermeneutika sejarah dan budaya? Ini pokok yang masih harus diuji lagi lintas negara dan dokumentasi rujukan]

Saya, Hendar Putranto, akan mengutip secara agak panjang dari buku Elías (2020: 174-175) kisah tentang “beberapa ilmuwan alam yang berhasil melucuti tembok-tembok jargon yang diusung jurnal sains sosial dan budaya” berikut ini.

Kejadiannya belum lama ya ini, baru tahun 2018 lalu.

Pada 2018, tiga orang ilmuwan bernama James Lindsay, Helen Pluckrose, dan Peter Boghossian (*) menulis duapuluh (ya, 20!) artikel ngawur dengan menggunakan jargon-jargon yang sedang ngetren dan menyusun argumen yang berujung pada sejumlah kesimpulan yang ngaco & menggelikan, kemudian berusaha memublikasikan artikel-artikel tersebut di jurnal bereputasi internasional, termasuk yang mengusung nama “cultural studies.” Meskipun kemudian mereka bertiga mengakui “eksperimen gila” mereka tersebut ke muka publik sebelum tuntas, dan ini sudah diinvestigasi media terkemuka, Wall Street Journal, tingkat kesuksesan artikel mereka untuk tembus di jurnal relatif tinggi. Pada Oktober 2018, tujuh dari belasan artikel yang sudah mereka kirimkan dinyatakan “DITERIMA” untuk dimuat di jurnal-jurnal serius (peer-reviewed journals). Padahal, mereka sendiri menyatakan bahwa artikel-artikel yang mereka tulis ini ‘shoddy, absurd, unethical and politically-biased’. Tujuh artikel lagi masih menempuh proses review dan hanya enam artikel yang ditolak.

“Dengan sengaja, untuk mengetes rigoritas akademis yang diberlakukan di kanon jurnal akademis, kami membuat ‘artikel-artikel palsu’ ini bukan dengan tujuan produksi pengetahuan tapi sophistry (mengecoh dengan menggunakan kata-kata yang terlihat canggih)”

Ada satu makalah yang ditulis yang membahas tentang budaya pemerkosaan yang terjadi di dog parks (penulis mengaku sudah memeriksa alat kelamin sekitar 10 ribu anjing sambil menanyai para pemilik anjing tentang jenis kelamin anjing-anjing mereka) mendapatkan penghargaan sebagai salah satu dari 12 karya tulis terbaik dalam kajian geografi feminis oleh jurnal terkemuka Gender, Place and Culture, yang memublikasikan makalah tersebut.

Pada sebuah artikel yang dimuat di Majalah Areo berjudul ‘Academic Grievance Studies and the Corruption of Scholarship,’ penulis menyatakan hal menarik berikut ini:

“Ada yang salah di universitas, khususnya di sejumlah disiplin keilmuan bernama Ilmu Kemanusiaan. Kesarjanaan (kepakaran) justru tidak lagi didasarkan pada upaya mencari dan menemukan kebenaran (ilmiah) melainkan pada memberi perhatian terhadap aspek-aspek yang disebut ketidakberesan sosial (social grievances), dan ini semakin menjadi cara-pandang yang dominan dalam bidang-bidang keilmuan tersebut, padahal cara pandang ini tidak ilmiah dan tidak rigor (dalam metodologi). Karena alasan inilah maka kami bertiga (Lindsay, Pluckrose & Boghossian) menghabiskan waktu satu tahun untuk melihat dari dalam apa penyebab dari masalah ini. Kami menulis sejumlah makalah ‘ilmiah’ yang lalu kami kirimkan ke sejumlah jurnal ilmiah bereputasi yang berlabel “cultural studies” atau “identity studies” (misalnya, kajian gender) atau “teori kritis” karena bidang-bidang kajian ini berakar pada ‘teori’ pascamodern yang mulai muncul di akhir tahun 1960-an. Kami menyebut bidang-bidang ilmu baru ini dengan nama “grievance studies” karena tujuan keberadaan ilmu-ilmu baru ini adalah memproblematisasi aspek-aspek budaya dengan sedetil-detilnya untuk menunjukkan (diagnosis) adanya ketimpangan kekuasaan dan penindasan yang berakar pada identitas.”

Menurut pandangan Elías, letak kurang seriusnya para peneliti ilmu2 sosial adalah ketika mereka memilih untuk memublikasikan hasil survey/penelitian mereka di media massa alih-alih di jurnal bergengsi, atau di buku yang mereka tulis, sunting, dan danai sendiri menggunakan dana penelitian mereka, alih-alih mengirimkan data dan temuan penelitian mereka untuk diperiksa (di-review) oleh para sejawat mereka dalam sistem yang “rigorous, blind evaluations.” Di sinilah letak kendornya keilmiahan dari temuan para ilmuwan sosial, selain pembuktian soal “kedodoran” rigoritas jurnal-jurnal ilmiah sosial yang sudah dibuktikan Lindsay, Pluckrose & Boghossian pada 2018 lalu.

Berikut saya kutipkan (dengan cara mengalih-bahasakan) bab per bab dari buku yang ditulis oleh Carlos Elías (sumber rujukan dari https://www.springer.com/gp/book/9783030129774)

Bab 1. Pengantar
Ada dua arus mengkhawatirkan yang sekarang menerpa Barat: muncul dan meruapnya kabar bohong (hoax) dan merosotnya ketertarikan para (maha-)siswa untuk mempelajari dan masuk kuliah ambil jurusan ilmu-ilmu STEM (science, technology, engineering and mathematics).

Bab 2. Sains pada Abad XXI
Paradoks yang mewarnai dunia akhir-akhir ini kira-kira dapat digambarkan sebagai berikut: Semakin hari itu kita semakin tergantung pada sains dan teknologi; setiap hari juga, sains mengetahui lebih banyak tentang hal-hal yang terjadi di dunia dan sains dapat menjelaskan dunia dengan lebih baik pada kita; tapi, anehnya, semakin hari orang semakin kurang percaya dan kurang menghargai (temuan dan penjelasan) sains tsb.

Sila lihat link di atas untuk lengkapnya resume setiap bab dalam buku ini.

Rujukan lain:
(*) What an Audacious Hoax Reveals About Academia: Three scholars wrote 20 fake papers using fashionable jargon to argue for ridiculous conclusions.
OCTOBER 5, 2018
Yascha Mounk (Contributing writer at The Atlantic)
Dikutip dari https://www.theatlantic.com/ideas/archive/2018/10/new-sokal-hoax/572212/

**) Is Western culture balancing on a tightrope between science and humanities?
oleh Springer
https://phys.org/news/2019-09-western-culture-tightrope-science-humanities.html

Categories
Uncategorized

[DAY135] Mengkomunikasikan Sains: Pegimane caranye?

Buku yg dirujuk:

[1] Daftar Isi

[2] Profil singkat penulis buku
Craig Cormick adalah seorang komunikator dan penulis buku-buku tentang Sains asal Australia. Sudah sekitar 30 buku fiksi dan non-fiksi dihasilkannya, dan belasan artikel di jurnal bereputasi. Terlibat aktif di the Canberra writing community, mengajar dan menyunting buku, beliau juga mengepalai Pusat Penulisan bernama the ACT Writers Centre sejak 2003 sampai 2008 dan pada 2006 diundang sebagai pengajar tamu di the University of Science (Penang, Malaysia).

[3] Bagaimana bunyi kutipan pendahuluan yang dianggap penting oleh sang penulis?
“…keseluruhan industri akademis mulai berkembang dan semestinya hasil dari kemajuan ini menginformasikan kepada para ilmuwan apa yang harus dikomunikasikan, bagaimana mengkomunikasikan dan atas alasan/landasan apa mengkomunikasikan (sains). Riset tentang isu ini sudah tersedia banyak, namun sayangnya hasil-hasilnya seringkali dipublikasikan di tempat yang tidak dikunjungi para ilmuwan serta menggunakan bahasa yang tidak dipahami para ilmuwan. Akibatnya, ada keterpisahan antara mereka yang mau terus mengkomunikasikan hasil2 temuan sains dan mereka yang mau memberitahukan kepada para ilmuwan bagaimana cara mengatakan hasil temuan2 sains tersebut untuk khalayak yang lebih luas.” (Professor Brigitte Nerlich dari Nottingham University, Inggris dalam tulisan di blognya yang berjudul ‘Science communication: What was it, what is it, and what should it be?’)

[4] Apa tesis yang mau dipertahankan dalam buku ini?
Masalah komunikasi sains sebenarnya bukan hanya terletak pada kontroversi isu yang diteliti dan potensi dampaknya bagi kehidupan orang banyak (misalnya, berapa lama bumi ini dapat bertahan sebelum berakhir atau yang biasa disebut ‘akhir zaman’), juga bukan soal kredibilitas sumber (pakar) yang dirujuk (yang tidak jarang saling mengkontradiksi pandangan satu sama lain ttg pokok isu yang sama), atau sederhana/tidaknya bahasa yang dipakai dalam komunikasi temuan sains tersebut agar mudah dipahami awam, namun lebih ke soal bagaimana para ilmuwan saintis dan ilmuwan praktisi dapat sama-sama berikhtiar mencari titik temu yang dapat menjembatani ketidaktahuan (‘prasangka’) dari masing-masing pihak tentang maksud kubu yang satunya sehingga dari perjumpaan (titik temu) tersebut, problem2 dan temuan2 sains dapat dikomunikasikan pada dan lalu dipahami oleh baik para pengambil kebijakan maupun khalayak luas (awam terdidik).

[5] Masalah-masalah apa yang diidentifikasi penulis dan bagaimana solusi atas masalah2 tersebut?
>> dapat dilihat di Daftar Isi
Bisa juga dilihat di screenshot berikut ini:

[6] Apa manfaat bagi mereka yang membaca buku ini?
Manfaat praktisnya ada dua, yaitu:
(6.1.) Penulis berhasil merumuskan secara sederhana tiga langkah untuk menjadi seorang komunikator sains yang efektif, yaitu:
• kenali audiensmu
• sampaikan pesan kunci dalam cerita (kisah) yang memikat
• miliki tujuan yang jelas

(6.2) Meskipun buku ini memuat cukup banyak informasi yang bermanfaat bagi pembaca (lihat daftar isi!) untuk digali lebih jauh, dan dapat dijadikan rujukan P3K bagi yang malas membaca traktat2 sains yang terdiri dari ratusan bahkan ribuan halaman, tujuan penulisan buku ini sederhana dan jelas: Penulis mau menunjukkan kepada pembaca bahwa ada begitu banyak (luas) riset yang bagus yang dilakukan di luar sana yang (dalam buku ini) dikemas dalam format yang lebih sederhana untuk dipahami.

Manfaat teoritisnya juga ada dua, yaitu:
(6.3) Komunikasi Sains itu ilmu yang kompleks dan teknik untuk mengkomunikasikan data dan temuan-temuannya perlu terus-menerus diasah sehingga tajam dan “titis”. Semakin baik pemahaman si komunikator sains tentang jenis riset apa yang sedang dikerjakan, semakin baik juga si komunikator akan menyadari cakupan data dan instrumen yang digunakan untuk mengkomunikasikannya dengan lebih baik.

(6.4) Tanpa disadari, dimaui dan dilanggengkan, selalu terbentang rongak antara “those who live in
the world of science communication practice and those who live in the world of science communication theory.” Meskipun sudah ada upaya2 konkret dan sistematis untuk menjembatani rongak ini, misalnya dengan penerbitan seri jurnal ilmiah populer, atau buku2 Sains dengan ilustrasi, juga seminar2 yg mengundang baik praktisi maupun teoritisi untuk mendialogkan temuan-temuan mereka, tidak terlalu banyak juga yang akhirnya berbahasa dengan fasih di kedua ranah ini, atau bergerak bolak-balik dari ranah yang satu ke ranah satunya lagi. Orang cenderung berada dan menetap di salah satu kubu saja (dan merasa diterima dengan lebih baik di situ, ‘krasan,’ dan terdorong utk berkontribusi lebih). Arus informasi antara periset dan praktisi memang diharapkan selalu lancar alirannya, tapi lebih sering kita saksikan tidak demikian. Teori mendarat di jurnal2 sains yang memang teoritis sifatnya sehingga tidak mudah diakses mereka yang berbicara dalam kosa-kata science practice; begitu juga, para praktisi sains tidak mengumpulkan data yang oleh para periset dianggap berguna untuk digunakan dalam desain penelitian mereka.

Sedikit kutipan dengan nada anekdotal yang menarik terkait rongak ini, “Now don’t get me wrong, academic papers have their place in the world – but they are not the whole world. I have published research papers in several journals, including those that belong to Nature and Cell, two of the most esteemed journals, with very high impact factors. But to tell you the truth, the sky didn’t become bluer, and the kids didn’t stop looking at their phones when I talk to them, and my wife didn’t put me up on a pedestal – and in fact I didn’t even notice people paying much attention to the research before I published it in places like The Conversation.”

Terus, pelajarannya apa? Ya gak usah nunggu orang seperti Cormick ini utk datang dan mengalihbahasakan riset Anda menjadi bahasa yang lebih mudah dipahami para praktisi Sains dan khalayak awam terdidik. Andalah yang harus berusaha menuliskan artikel-artikel ilmiah dalam format yang lebih sederhana dan bahasa yang lebih mudah dipahami, “write plain speak articles and blogs and tweets and any things else that science communication practitioners – and just anybody who cares about better communicating science – can read and understand.”

Berikut dicontohkan sejumlah bentuk/format untuk mengkomunikasikan Sains yang belum terlalu digarap Cormick dalam bukunya ini:
• visualisasi data dan (info-)grafis
• fotografi
• vidio dan animasi
• teknologi digital yang sedang berkembang (Podcast, misalnya)
• data mining
• teater dan performa panggung (fisikal maupun digital)
• seni instalasi (event staging)
• pembelajaran berbasis permainan
• jenis-jenis pendidikan informal dan non-formal (studio alam, misalnya)
• musium dan pusat2 pemajuan sains, seni dan budaya

Dalam arti yang terakhir ini, “terus pelajarannya apa?”, pokok-pokok yang disampaikan Cormick (2019) belum terlalu jauh berbeda dengan empat asumsi tentang komunikasi sains yang pernah disampaikan Silverstone (1991) dalam tulisannya berjudul “Communicating Science to the Public” yang dimuat di jurnal Science, Technology and Human Values (STHV) (V. 16, No. 1, h. 106-110) yang bertolak dari program riset tentang pemahaman publik akan sains, di Inggris, yang ternyata berbagi empat asumsi dasar berikut ini:

Pertama, tidak ada itu yang namanya THE communication of science. Baik sains maupun lingkungan media yang meliput dan memberitakannya bukanlah fenomena tunggal dan seragam. Para ilmuwan berbeda pendapat; beragam media menjelaskan dengan berbagai penjelasan; para penerima pesan (audiens) menafsirkan keragaman liputan tersebut secara berbeda-beda dan berujung pada ragam pemahaman yang “distinct, even disjointed.”

Kedua, tidak ada juga yang namanya the public. Ada banyak panggung/khalayak untuk sains, spesialis dan awam, yang berkepentingan dan tidak berkepentingan, yang berkuasa dan kurang berkuasa; muda dan tua; laki dan perempuan. Meskipun ada juga hal-hal bersama yang dibagikan segmen2 publik ini, mereka juga sama-sama dapat memahami atau salah paham, meningat atau lupa, dengan cara yg berbeda2.

Ketiga, dalam lingkungan komunikasi modern, sains tidak dapat mendaku status istimewa atau diistimewakan. Sains ya harus berebut perhatian dari macam-macam pihak, seperti produser acara, maupun penerima pesan (komunikasi) atau audiens, dengan keragaman dan (kontrol berupa remote control di tangan mereka). Juga dengan para pengiklan komersial. Klaim-klaim yang dibuat sains tidak selalu harus (kalau bukan karena kasus yg heboh banget atau kontroversial) muncul ke permukaan media dan menarik perhatian audiens, baik itu kalangan profesional maupun khalayak umum, karena masih ada pihak-pihak lain juga yang berkepentingan untuk memaknai peristiwa yang terjadi (kaum agamawan, misalnya).

4. Tesis kehadiran media yang ada di mana2 (the omnipresence of the media) tidak sejajar atau sebangun dengan tesis kekuasaan mereka yang ada di mana2 (omnipotence). Memang diakui bahwa media massa (harap diingat bahwa pada tahun 1991 belum ada media sosial atau SNS; penetrasi internet dalam kehidupan publik pun masih sangat terbatas) memiliki peranan yang besar untuk membawa hasil2 temuan sains ke khalayak luas. Tapi kan masih ada agensi berupa lembaga2 lain yang juga memperkenalkan pengetahuan sains pada audiens mereka, sekolah misalnya, dengan para guru dan pengajar, memperkenalkan wajah sains yg formal; atau TV dan musium, yang memperkenalkan pengetahuan (sains) informal. Mereka ini saling berkompetisi dan berebut pengaruh dalam memaknai versi sains yang mereka wartakan dan belum lagi ada sejumlah faktor lain yang juga melakukan fungsi menafsirkan, mengubah, atau menentang komunikasi saintifik, misalnya adat istiadat setempat (local wisdom, local knowledges), pemahaman praktis yg sifatnya turun-temurun maupun yg berbasis komunitas, atau wacana akal sehat.