What a timely research and sharing from you all, Sirs & Madame.
Thanks for the insight.
Hendar
Pribadi yang meng-enigma, sahabat bagi kita, Cinta yang mluber paripurna
Edisius Riyadi Terre adalah pribadi yang meng-enigma
bukan hanya karena ia senang bertanya, seringnya kritis, tidak jarang dengan jenaka,
tapi karena dengan relanya ia meletakkan diri dalam tegangan antara Idealita dan Realita.
Ziarah raganya di dunia yang fana mengakar pada ketekunannya menggulati Ada dan menelusuri Menjadi.
“Ada” sejauh keyakinannya pada Tanda yg menjadi Fakta, “Menjadi” sedekat itu juga keterlibatannya akan Tanya yang menjura pada Apa, Siapa, Bagaimana, Bilamana dan Mengapa.
Ksatria Cahaya, demikian ia senang mengutip karya Paulo Coelho salah satu pengarang favoritnya, “tahu bahwa dia punya macam-macam kewajiban dan tanggungjawab…kalau ada sesuatu yang tidak baik tumbuh di dalam jiwa saya, saya minta pada Tuhan supaya memberi saya kekuatan yg sama untuk mencabut dan membuangnya tanpa ampun.”
Edisius Riyadi Terre adalah sahabat bagi kita.
Bukan karena tanda yang dicerna semiotika, atau ditafsir hermeneutika, apalagi dikalkulasi statistika, namun karena ia ada bagi kita, justru ketika kita paling membutuhkannya.
Saya mengalaminya sebagai sahabat dalam beragam ruang perjumpaan: bukan hanya sebagai kolega dosen di UMN, namun juga dalam perjumpaan yang lebih awal di STF Driyarkara, di Agora, di rumahnya, di Serikat Dosen Indonesia, di INSPECTUS yg diwarisinya, dan di dalam beraneka macam ruangwaktu perjumpaan lainnya, yang sama maupun yang berbeda.
Edi menjadi sahabat justru karena ia memberi dirinya melebihi apa yang dapat saya, Anda dan mungkin kita pikirkan dan harapkan. Ia bukan teman biasa karena prinsip Etika Keutamaan melandasi adanya, melampaui prinsip kesamaan minat, utilitas, kesenangan dan kewajiban. Edi sahabat yang terus menginspirasi, meski kadang kesehatan diri tidak mengizinkannya melangkah satu mil lagi.
Edisius Riyadi Terre adalah cinta yang mluber paripurna.
Karena dorongan menuju cinta adalah inti dari nilai-nilai keutamaan, sebagai antitesa dari benci sesama dan terlalu sayang-diri. Cinta baginya adalah Aletheia (Heidegger) yang meletak inter-esse (Arendt) karena ia hadir dan bermukim di tengah2 kita (Immanuel). Cinta yang menjadi daging, seperti inkarnasi Yesus ke dunia, adalah inspirasi cinta Edi pada istrinya tercinta Eti, keluarga, sahabat2nya, handai taulan, kolega dan siapapun yang dikenalnya, bahkan juga musuh2nya.
Ia konsisten kritis mencela ketidakadilan yang disaksikannya menghampar di mana2, relasi kuasa yang timpang, sikap korup dari penguasa zolim, dan sepak-terjang para pelanggar HAM, Nunca mas la injusticia, namun itu dilakukannya dengan penuh cinta, dengan tatapan yang mengarah pada Sang Kebaikan, το ἀγαθὸς (Murdoch).
Pada Edi, saya, Anda dan mungkin sebagian besar dari kita merasakan cinta yang mluber paripurna, karena ia sungguh menghayati kedalaman Cinta itu, dengan canda tawa dan sapanya, dengan renungan-renungannya, dengan ujarannya, dengan ajarannya, dengan laku-hidupnya.
Semoga pengalaman akan Edisius Riyadi Terre terus hidup dan mengalir dalam diri kita, juga meskipun saya, Anda dan mungkin sebagian dari kita setahun yang lalu tidak sempat menghantar raga jasmaniahnya ke peristirahatan terakhirnya, pusara yang membelenggu jenazahnya, tertatih masih meratapi kehilangannya, tapi biarlah kita undang jiwa dan semangatnya menepi mengendap dalam lubuk kenangan kita.
Pada Edi, terwujud aktualitas yang menyemangati dan menunjuk pada tujuan (ενέργεια ἐντελέχεια): Cinta yang bersemayam, contemplatio ad amorem.
Vaya con Dios, amigos. Amigos para siempre.
Dona eis requiem, Domine. Sempiternam.
Hendar Putranto © 2021
Selamaat yaaaah atas prestasinya menerbitkan buku ajar (lagi) setelah terakhir kalinya pada 2016 yg lalu (penulis tunggal).
Buku ajar yang ini, bertajuk “Mengembangkan Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Berbasis Kearifan Lokal Untuk Membangun Keharmonisan Relasi Antar Etnis Dan Agama” dihasilkan berkat kolaborasi ciamik Tim Peneliti FIKOM UMN, bu Bertha sebagai Komandan dan mbak Vika sebagai Kamerad.
Terbitnya buku ini tidak dapat dilepaskan dari pendanaan Hibah Penelitian dari Kemenristekdikti, Skema PDUPT, Tahun Anggaran 2018-2020.
Kata Pengantar untuk buku ini dituliskan oleh Prof. Deddy Mulyana, Guru Besar Ilmu Komunikasi dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Bandung.
Berikut link utk membeli bukunya (langsung ke Penerbit WADE):
https://www.buatbuku.com/book/mengembangkankompetensikomunikasiantarbudaya
Tentang buku ini, mengutip ucapan seorang teman baik yg skrg berprofesi sbg jurnalis kawakan di sebuah surat kabar regional berbahasa Inggris,
“Semoga bukunya memperkaya kajian komunikasi dan jg berkontribusi thdp kerukunan umat beragama dan masyarakat kita yg begitu majemuk.”
Semogaaaaa?
Kita menapaki tahun yang baru dengan gelayut duka bawaan dari yang lalu, 2020.
Duka yang spesifik dan mengglobalnya ketakutan oleh invisibilitas dan viralitas Covid-19.
Keparahan adalah nyata dan daya rusaknya (dari Covid-19 ini) tidak kira-kira.
Bahkan, tidak sedikit pakar yang sudah menduga kemunculan Covid-19 ini sebagai ancaman Pandemi yg nyata dalam “Bumi Manusia” yg dilabeli Disease-X (https://en.wikipedia.org/wiki/Disease_X) maupun cikal-bakal Pandemi yg akan datang https://www.kompas.com/sains/read/2021/01/04/080000723/apa-itu-disease-x-pandemi-yang-akan-muncul-di-masa-depan-?page=all).
Karenanya, manusia yang biasanya jumawa, petantang-petenteng dengan daya rasionalitas dan kejayaan machinery nya dalam upaya mastery over nature, kini ditundukkan oleh geliat renik yang kasat mata.
Walhasil, pengabaian bukanlah keutamaan dan acuh adalah dosa kardinal.
3M: Menjaga jarak, Menggunakan Masker, Mencuci Tangan secara ajeg kini seolah2 menjadi mantra penyelamat baru agar tidak tertular Kopid/Koit.
Jadi, ikhtiar membuka 2021 membawa kita pada tanya: Apakah ini era lembaran baru, tabula rasa yang siap ditulisi semau kita, atau justru ini lebaman baru yang membuka ruang kesadaran kita bahwa tidak selamanya antroposentrisme berkuasa dan idolatry kemanusiaan digdaya?
Bahwasanya, 2020 mengajarkan kepada kita untuk merunut pada tapak kepulangan manusia pada kodratnya yang alami, against artificiality dan teknologisasi yang mengorupsi sendi2 kedirian manusia, yang oleh Rousseau berabad2 yang lalu disebutnya sebagai “Le retour à l’état de nature: la nature primitive de l’homme.”
Kepulangan pada yg ingatan yg hakiki tentang kedirian yang masih menyatu dengan alam, bukan mengalienasi maupun mengeksploitasi alam, adalah inti insight utk menulisi lembaran baru 2021.
Mengutip Milan Kundera dalam Ignorance (2000), Irena tidak lagi melawan: ia sudah terlanjur tertawan oleh gugus citra yang mendadak membual dari buku-buku yang dibacanya bertahun-tahun silam, dari film-film yang ditontonnya, dari memorinya, dan mungkin juga dari memori purba: anak yang hilang kembali lagi ke rumah bersama ibunya yang sudah uzur; seorang lelaki kembali ke pelukan orang-orang yang dicintainya yang pernah dicerabut oleh tangan nasib yang kejam, ladang dan tanah pertanian yang selalu kita bawa dalam batin; jejak yang ditemukan kembali, yang masih ditandai oleh tapak-tapak kaki masa kanak-kanak yang mulai memudar-terlupakan; Odysseus menerawang pulau kelahirannya setelah bertahun-tahun berkelana; pulang, pulang, pesona magis yang agung dari kepulangan.
Semoga kepulangan kita hakiki dan diri kita, terestitusi.
Hendar (c) 5 Januari 2021