Categories
Uncategorized

[Blog post series_Day 01] Designing Happiness

Blog post series on “Sculpting happiness and Live happily”

Pelajaran dari Blue Zones dan napak tilas catatan awal tahun 2024

Akhir bulan Juni 2025 yang lalu, akhirnya saya menyelesaikan studi Doktoral Ilmu Komunikasi dari FISIP Universitas Indonesia. Berikut sejumlah liputan atas sidang promosi yang saya tempuh, baik yang formil dan ditayangkan dalam situs web FISIP UI dan PascaKomunikasi FISIP UI, yaitu
https://fisip.ui.ac.id/doktor-ilmu-komunikasi-ui-meneliti-etika-komunikasi-dalam-produksi-pengetahuan/
dan
https://pascakomunikasi.fisip.ui.ac.id/program-doktor/mengulik-etika-komunikasi-produksi-pengetahuan-bonifacius-hendar-putranto-raih-gelar-doktor/
maupun informil dan ditulis sebagai refleksi “laporan pandangan mata” dalam format jurnalistik di sini
https://www.kompasiana.com/mathildaamwbirowo6595/685e1fd034777c5d356bbe82/bagaimana-mengembalikan-martabat-akademik
dan di sini
https://ikadriyarkara.org/2025/06/26/etika-sebagai-jalan-ziarah-akademik-bonifacius-hendar-putranto-resmi-raih-gelar-doktor-di-ui/

Banyak terima kasih saya ucapkan kepada keluarga kandung (ibu, istri dan putri), panitia kecil sidang promosi, pimpinan, rekan dan kolega dari UMN, UI, dan kampus lain yang sudah hadir mendukung saya pada Viva vocet, baik yang hadir langsung di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP-UI, maupun secara daring via Zoom. Ucapan terima kasih yang spesial saya ucapkan pada mas Abdi Susanto yang sudah menuliskan kesan dan refleksinya pada situs web Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara serta bu Mathilda AMW Birowo, kolega dosen Ilmu Komunikasi UMN, di kompasiana.

Secara singkat, perjalanan studi doktoral selama enam tahun itu sungguh-sungguh melelahkan dan mengaduk-aduk emosi saya. Bukan karena saya tidak mencintai belajar, the love of learning, tapi lebih karena faktor XYZ yang membuat studi saya berlangsung lebih lama daripada tempo penyelesaian “ideal” (yaitu 3,5 tahun saja) yang doeloe (2019) saya rencanakan ketika mendaftar dan diterima sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Alih-alih menggelegak tidak keruan dan malah meracau, saya sekarang justru jadi teringat catatan yang pernah saya buat pada awal 2024 yang saya rasa baik untuk dibagikan di sini, dalam blog saya. Semoga tulisan pendek ini dapat menginspirasimu ya!

Awal tahun selalu membawa semacam energi baru—meski kadang lebih banyak berbentuk postingan resolusi di story Instagram daripada ketetapan hati untuk mengubah perilaku yang kurang sehat jadi lebih sehat. Namun, pada 1 Januari 2024 kemarin, saya benar-benar duduk diam dan merenungkan hal yang mungkin terdengar sepele: bagaimana menjaga kewarasan berpikir dan kesehatan jasmani, sambil tidak kehilangan rasa gembira dalam menjalani rutinitas keseharian?

Kebetulan, saya membaca kembali riset Dan Buettner tentang Blue Zones—wilayah di dunia di mana orang-orang hidup lebih lama, lebih sehat, dan lebih bahagia. Salah satunya adalah Cartago di Kosta Rika. Menurut Buettner, kebahagiaan di sana bukan hadiah dari langit, melainkan hasil desain hidup yang sadar dan konsisten.

Misalnya, mereka punya ritual sosial harian: menonton sepak bola bersama, masak carne asada, atau sekadar minum kopi sambil bercanda dengan tetangga. Perempuan di sana rutin bertemu sahabatnya tiap minggu untuk “hari kecil” seperti martesitos (Selasa kecil) atau juevecitos (Kamis kecil)—momen tertawa dan bergosip sehat. Ada pula makan bersama keluarga besar setiap akhir pekan yang melibatkan lintas generasi dalam obrolan hangat dan menyenangkan.

Buettner juga menemukan kebiasaan lain yang sederhana tapi berdampak: makan enam porsi buah dan sayur segar setiap hari, berbelanja bahan makanan langsung di pasar sambil ngobrol dengan penjual, menggabungkan kerja dengan makan siang bersama rekan, hingga membumbui hidup dengan humor harian. Bahkan dalam menghadapi masalah, mereka memilih bercanda lebih dulu sebelum marah.

Pelajaran dari Cartago ini membuat saya berpikir: mungkin kita sering salah kaprah soal kebahagiaan. Kita kira kebahagiaan datang setelah target besar tercapai—lulus S3, dapat kerja idaman, menikah, atau punya rumah tapak. Padahal, mereka membuktikan kebahagiaan lahir dari rutinitas kecil yang memberi rasa terhubung, berarti, dan sehat setiap hari.

Saya mulai mencoba beberapa di antaranya: mengajak keluarga makan malam tanpa gawai, tergabung dalam WA group chat teman dekat khusus untuk kirim meme lucu atau kata-kata motivasi setiap pagi (nama grupnya: Melek Terus), dan meluangkan waktu untuk belanja langsung ke pasar, bukan hanya klik “checkout” di aplikasi TokPed & Shopee. Hasilnya? Saya merasa lebih ringan, lebih dekat dengan orang-orang di sekitar, dan ini anehnya, malah lebih produktif di pekerjaan.

Mungkin kuncinya ada pada satu kalimat yang Buettner sebut di akhir bukunya: something to do, someone to love, something to give, and something to look forward to. Punya kegiatan berarti, orang yang kita cintai, kebiasaan memberi, dan hal yang kita nantikan—itulah paket kebahagiaan yang dapat kita desain, bahkan tanpa harus menyiapkan paspor ke Kosta Rika.

Tapi tentu saja, mendesain kebahagiaan bukan berarti hidup tanpa tantangan. Akan ada masa bosan, lelah, dan godaan untuk menyerah. Pertanyaannya, bagaimana kita tetap bertahan di saat-saat seperti itu? Besok Jumat, 15 Agustus 2025, saya akan membahas rahasia para juara yang gigih (gritty champion). Dengan grit, mereka mampu bertahan dan terus melangkah, bahkan ketika semangat sudah nyaris terkuras habis.

Rujukan utama
Buettner, D. (2008). The Blue Zones: Lessons for Living Longer From the People Who’ve Lived the Longest. National Geographic Books.

Categories
Uncategorized

Kurasi Personal: Arsip visual dan tafsir komunikasi pada era yang (terlalu) sibuk mendengung

dibuat sama GenAI nih gambarnya

Dalam dua folder galeri digital saya yang berisi puluhan tangkapan layar dari buku, podcast, aplikasi, dan pengalaman keseharian, terkumpul semacam “museum mini” yang tidak hanya mencatat apa yang saya baca atau dengarkan, tetapi juga ‘galeri jejak arti’—bagaimana saya hadir sebagai subjek yang terus mencoba memahami dunia, dengan segala relung kompleksitasnya dan palung kemungkinan pencerapan adanya.

Koleksi ini menjadi semacam lanskap mental. Ada petikan tentang etika AI, statistik harian tentang langkah kaki, sejarah pemikiran filsafat, hingga komentar berita tentang perubahan iklim dan ritual budaya. Gambar-gambar ini mungkin tampak acak, tapi bagi saya mereka memindai jejak keterlibatan yang sangat personal—dan justru karena itu, politis.

Jika kita membaca gambar-gambar ini melalui kerangka pikir John Durham Peters dalam Speaking Into the Air (1999), komunikasi tidak lagi dipahami hanya sebagai “transmisi informasi” dari A ke B. Peters mengingatkan kita bahwa komunikasi adalah impian sekaligus kegagalan besar dalam sejarah pemikiran Barat: antara kerinduan akan pengertian dengan kesadaran akan batasnya. Galeri ini adalah wujud dari paradoks itu, a strange but necessary paradox.

Komunikasi sebagai Impian: Menggapai yang Jauh, Menyentuh yang Tak Hadir
Bagi Peters, komunikasi seringkali dibayangkan sebagai jembatan untuk menyeberangi jurang antara dua kesadaran. Namun, sebagaimana dipelajarinya dari tradisi Plato hingga Kierkegaard, selalu ada ketegangan antara dua model komunikasi: dialog (yang mengandaikan keintiman) dan diseminasi (yang mengandaikan keterlemparan pesan ke dunia).

Dalam kurasi ini, kita dapat melihat dua model itu bekerja berdampingan. Beberapa tangkapan menunjukkan dialog privat—chat pribadi, tanggapan WhatsApp, catatan dari ruang kelas. Tapi sebagian besar lainnya adalah bentuk diseminasi: kutipan buku yang tidak dikirimkan kepada siapa pun, podcast yang diputar sendiri, atau artikel yang hanya dibaca lalu diarsipkan sebagai tangkapan layar (screenshot) dan kudapan retina.

Galeri jejak arti merupakan ‘format’ komunikasi ethereal yang “berbicara ke udara”—meminjam istilah Peters—namun tetap penuh intensi dan makna. Saya tak tahu apakah sidang pembac akan membaca ulang kutipan yang saya simpan. Tapi saya tetap menyimpannya, sebagai cara untuk menyentuh yang tak hadir, menjangkau yang tak dapat saya temui secara langsung.

Medium sebagai Meditasi: Teknologi dan Tubuh dalam Arsip Digital
Peters juga berbicara tentang bagaimana teknologi komunikasi modern (dari telegraf hingga radio) mengubah sifat komunikasi menjadi relasi antara yang tak hadir. Dalam konteks ini, tangkapan layar dari aplikasi seperti Spotify, Google Fit, Blinkist, atau Goodreads adalah jejak interaksi saya dengan “mesin-mesin pencatat data dan peniru makna”. Ia bukan hanya soal konten, tapi soal mediasi—bagaimana tubuh saya, waktu saya, dan pengalaman saya dimediasi oleh mesin.

Saat saya menyimpan layar statistik jalan kaki, atau mencatat jumlah halaman buku yang saya baca, saya sedang merayakan tubuh dan pikiran sebagai ruang komunikasi yang sah. Namun sekaligus, seperti kata Peters, kita juga berhadapan dengan “sisi gelap komunikasi”: ilusi keintiman, rasa kontrol semu, dan jarak yang tak pernah sepenuhnya bisa dijembatani.

Tafsir sebagai Ritual: Kurasi sebagai Gagasan Relasional
Galeri ini bukan pameran, tapi ritual penafsiran. Peters menyebut bahwa komunikasi sejati bukanlah penghapusan jarak, tetapi pengakuan akan jarak itu sendiri. Maka ketika saya menyimpan kutipan tentang etika, merekam visual daging yang direbus, atau mendokumentasikan mata kuliah filsafat yang saya ajarkan, saya tidak sedang “menghapus” kesenjangan komunikasi. Saya justru sedang membingkai ulang jarak itu menjadi ruang pemaknaan gugus relasi baru.

Dalam zaman ketika algoritma mendorong kita untuk cepat berbicara dan segera mengomentari, dokumentasi seperti ini adalah bentuk pelambatan. Saya tidak langsung berbicara, saya merekam dulu. Saya tangkap layarnya & saya kudap visualitasnya. Hasilnya tidak langsung saya sebarkan tapi saya kurasi dulu. Pengendapan sesaat. Mungkin saya tidak menyentuh siapa pun dengan gala imaji dan rumpun kutipan ini, tetapi seperti “a squeeze of the hand” (bab penutup buku Peters), saya menawarkan isyarat: bahwa saya pernah berpikir, merasa, berbuat, mengarsipkan, dan, lewat ini semua, haus untuk memahami.

Penutup: Palung galeri yang menadah gagap
Peters mengajak kita untuk lebih jujur dalam membicarakan komunikasi—bukan sebagai jaminan keterhubungan, melainkan sebagai praktik yang penuh retakan dan keterbatasan. Saya membagikan catatan “receh” ini bukan karena saya flexing refleksi. Namun, karena saya percaya bahwa berbagi jejak berpikir, sekecil apa pun, seyogianya menjadi undangan untuk bertukar makna, juga meskipun dilakukan secara tergagap dan ditingkah senyap yang menderap. Catatan kuratorial berbasis galeri personal ini saya hadirkan (kembali) sebagai arsip dari kegagapan itu: upaya tipis untuk tetap terhubung secara tebal dan berlapis dalam dunia yang terlalu sibuk mendengung, tetapi sedikit sekali yang benar-benar menyimak.

#SpeakingIntoTheAir
#KurasiDigital
#JohnDurhamPeters
#ArsipPribadi
#personalgallery
#RuangTafsir
#SlowCommunication
#FilsafatKomunikasi
#VisualNotes

Categories
Uncategorized

Identitas manusia yang kompleks: penelusuran awal dari genomika dan bioetika

Siapa kita dan dari mana kita berasal: Upaya membaca identitas melalui Genom

Dalam dunia yang semakin menyusut oleh globalisasi dan teknologi, manusia kerap bertanya kembali: Siapa sebenarnya kita? Dari mana kita berasal? Dan mengapa kita menjadi seperti sekarang?

Buku Who We Are and How We Got Here karya David Reich (Oxford University Press, 2018) membawa kita ke jawaban yang lebih dalam melalui jalan sunyi bernama genetika. Lewat riset DNA kuno, kita diajak melihat sejarah bukan dari catatan prasasti atau narasi leluhur semata, tetapi dari cetak biru kehidupan: genom manusia.

Manusia bukan hasil tunggal melainkan campuran dari banyak pola migrasi
Satu gagasan kunci dari riset genetika Reich adalah bahwa tidak ada populasi manusia yang “murni” secara genetik. Hampir semua kelompok manusia yang ada sekarang merupakan hasil dari percampuran kompleks berbagai migrasi dan perkawinan silang yang terjadi selama ribuan tahun. Migrasi bukanlah peristiwa pinggiran dalam sejarah manusia—ia adalah denyut nadi yang membentuk identitas.

Contohnya, DNA Neanderthal ditemukan dalam tubuh manusia non-Afrika modern, menunjukkan bahwa saat Homo sapiens mulai keluar dari Afrika sekitar 50.000 tahun lalu, mereka sempat bercampur dengan spesies manusia lain. Bahkan, jejak DNA dari manusia Denisovan ditemukan dalam populasi Papua dan wilayah Oseania, menunjukkan betapa luas dan tak terduga sejarah hubungan antarmanusia.

Penelitian dan temuan genetika meruntuhkan mitos seputar kemurnian ras dan budaya
Dalam konteks komunikasi identitas, penting untuk menyadari bahwa “ras” bukanlah kenyataan biologis, melainkan konstruksi sosial yang sering digunakan untuk membenarkan ketimpangan. Studi genetika menunjukkan bahwa variasi genetik dalam satu populasi jauh lebih besar daripada perbedaan antara populasi yang berbeda. Artinya, tidak ada dasar ilmiah yang sahih untuk hierarki rasial.

Namun, data DNA juga menunjukkan bahwa beberapa perbedaan genetik antarpopulasi memang ada dan bisa relevan dalam konteks medis—misalnya untuk mendeteksi risiko penyakit tertentu. Tantangannya, seperti yang dihadapi Reich dalam penelitiannya, adalah bagaimana menyampaikan temuan ini tanpa memberi ruang bagi distorsi ideologis. Data sains harus disampaikan dengan tanggung jawab etis yang tinggi, terutama karena diskursus genetik sangat mudah disalahgunakan oleh narasi rasis atau eugenik.

Identitas itu tumpang tindih, berlapis, dan sarat dengan relasi kuasa yang seringnya tidak seimbang
Apa yang kita warisi dalam tubuh kita adalah sejarah panjang relasi sosial, politik, dan gender. Genetika mencatat bagaimana kekuasaan memengaruhi pola pencampuran antarpopulasi, seperti yang terjadi pada perbudakan di Amerika Serikat. DNA laki-laki Eropa ditemukan secara dominan dalam tubuh keturunan Afrika-Amerika karena relasi yang timpang antara tuan tanah dan budak perempuan. Fenomena ini tidak unik; pola yang sama ditemukan di Asia Tengah selama ekspansi Mongol, dan juga dalam migrasi bangsa stepa seperti Yamnaya ke Eropa.

Dengan demikian, identitas bukan sekadar soal asal geografis atau bahasa ibu, tetapi tentang siapa yang berkuasa, siapa yang berpindah, dan siapa yang diabaikan dalam narasi sejarah. Bahkan dalam konteks India modern, stratifikasi kasta ternyata memiliki jejak genetik: kelompok kasta atas umumnya punya proporsi lebih tinggi dari leluhur Eurasia Barat, sedangkan kasta bawah cenderung lebih banyak mewarisi DNA penduduk awal India.

Makna deskripsi di atas bagi studi komunikasi bertopik “identitas”
Sebagai pengajar komunikasi, saya mengangkat temuan Reich ini untuk menggugat cara-cara konvensional dalam membingkai identitas. Alih-alih melihat identitas sebagai sesuatu yang tetap, statis, dan “asli”, kita justru dihadapkan pada kenyataan bahwa identitas manusia adalah hasil dari perpaduan, negosiasi, dan rekonstruksi yang tak pernah selesai. DNA hanyalah salah satu arsipnya; sisanya ada dalam bahasa, budaya, dan narasi yang kita bangun bersama.

Dengan memahami bahwa identitas biologis pun ternyata cair dan tumpang tindih, saya mendorong mahasiswa untuk berpikir lebih kritis, misalnya dengan bertanya tiga pertanyaan pokok ini: Apa itu keaslian? Siapa yang berhak mengklaim kebenaran tentang asal-usul? Bagaimana komunikasi bisa mereproduksi atau menantang mitos identitas?

Identitas biologis: antara gen, proses, dan tanggung jawab moral
Setelah memahami bahwa semua manusia modern berasal dari satu garis mitokondria yang sama dan bahwa kita adalah hasil dari perpaduan genetika global, muncullah pertanyaan penting: Apakah identitas manusia semata-mata ditentukan oleh susunan genetik? Atau, lebih jauh lagi, bagaimana kita memaknai identitas biologis di era teknologi biomedis, big data, dan manipulasi genetik? Di sinilah sains genetika bertemu dengan etika, bahkan filsafat.

Identitas biologis bukanlah cetak biru tetap
Pemikiran klasik memandang makhluk hidup sebagai entitas tetap, seperti patung marmer yang sudah jadi. Namun, pendekatan kontemporer dalam filsafat biologi justru menegaskan sebaliknya: manusia adalah sistem biologis yang dinamis, senantiasa berubah karena interaksi internal dan eksternal. Bahkan tubuh manusia pun bukanlah entitas tunggal, melainkan holobiont, gabungan antara tubuh kita dan miliaran mikroorganisme yang hidup di dalam dan di atas kita secara simbiotik (Meincke & Dupré, 2020). Artinya, identitas biologis bukanlah status tetap, tapi proses yang terus-menerus diperjuangkan dan dinegosiasikan.

Dalam konteks ini, pertanyaan “Siapa aku?” tidak lagi bisa dijawab hanya dengan menyebut urutan DNA atau silsilah leluhur. Jawabannya harus melibatkan pemahaman tentang bagaimana kita berinteraksi dengan lingkungan, teknologi, dan bahkan sistem sosial yang ikut membentuk tubuh dan pengalaman kita.

Etika genetik: siapa yang memiliki tubuh kita?
Teknologi mutakhir seperti rekayasa genetik, CRISPR, terapi gen, dan bahkan kecerdasan buatan dalam diagnosis medis mengundang pertanyaan etis yang semakin kompleks. Apakah identitas kita tetap “utuh” setelah bagian tubuh kita dimodifikasi atau diganti? Jika kita menyimpan data DNA di bank genom, siapa yang memilikinya? Apakah itu milik pribadi, keluarga, negara, atau perusahaan?

Lewis Vaughn (2020) dalam bukunya Bioethics menekankan bahwa prinsip etika klasik, seperti otonomi, kebermanfaatan, keadilan, dan non-malefisens (tidak menyakiti), harus tetap menjadi landasan dalam pengambilan keputusan medis dan bioteknologi. Namun, ketika tubuh manusia dianggap sebagai sistem terbuka dan cair, maka etika juga harus lebih fleksibel, kontekstual, dan partisipatif. Dengan kata lain, kita tidak dapat membincang dan mendiskusikan baik persoalan maupun konsep etika secara dogmatis terhadap tubuh postmodern, yaitu tubuh yang diubah, diakses, atau bahkan disimpan dalam bentuk data.

Dari DNA menuju dialog: upaya menemukan kembali diri dalam dunia yang terkoneksi
Jika narasi DNA menegaskan bahwa kita semua terkait secara genetis, maka narasi etika dan filsafat identitas memberi tahu kita bahwa keterhubungan itu tidak hanya biologis, tapi juga moral dan eksistensial. Bagi mahasiswa ilmu komunikasi, secara khusus, penting untuk memahami bahwa identitas bukan hanya soal siapa kita secara biologis, tetapi juga bagaimana kita dikonstruksi dalam diskursus sosial, direpresentasikan dalam media, dan dinegosiasikan dalam relasi antarmanusia. Identitas bukan sesuatu yang ditemukan, tapi dibentuk dalam dialog—dengan tubuh kita, dengan orang lain, dan dengan dunia. Ketika tubuh dipandang sebagai proses, maka pendekatan etis pun harus fleksibel dan kontekstual. Siapa yang berhak mengakses data genetik? Apakah seseorang tetap menjadi “diri sendiri” setelah intervensi medis radikal? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut kolaborasi antara ilmuwan, filsuf, dan masyarakat luas.

“Any metaphysical theory of biological identity, if it is to be convincing, must pay attention to the relevant body of scientific knowledge.” (Meincke & Dupré, 2020) Dari kutipan ini, penulis membuat parafrase lanjutan atas pernyataan Meincke & Dupré (2020), yaitu “Jika identitas biologis adalah proses yang terus-menerus diciptakan, maka pendidikan dan komunikasi adalah ruang yang di dalamnya proses itu dapat dipahami, disadari, dan dipertanggungjawabkan.”

Kita adalah satu keluarga besar

Apa arti semua uraian di atas bagi pemahaman akan identitas manusia yang lebih holistik? Bahwa keberagaman fisik bukan bukti perbedaan esensial. Warna kulit, tinggi badan, atau bentuk wajah adalah hasil adaptasi lokal. Secara biologis, kita semua kerabat jauh. Bagi mahasiswa komunikasi, sosiologi, dan antropologi, fakta ini mengajarkan bahwa pemahaman identitas harus lintas disiplin. Ia tidak hanya dibentuk oleh gen, tetapi juga oleh budaya, interaksi sosial, dan teknologi. Di era global yang kompleks, pemahaman tentang identitas biologis harus dibarengi dengan kesadaran etis—agar teknologi, pengetahuan, dan kekuasaan tidak mereduksi manusia menjadi objek, tapi tetap menghormati kehidupan sebagai proses yang bernilai.

Bertolak dari paparan singkat di atas, penulis mengajukan tiga pertanyaan kritis guna mendalami topik bahasan dalam tulisan blog ini yang sebaiknya direnungkan dan dijawab oleh mahasiswa peserta kuliah etika komunikasi (serta Anda yang tertarik untuk mendalami topik ini), yaitu:

1) Jika tubuh kita adalah sistem dinamis, bukan bangunan tetap, bagaimana kita harus memahami kesehatan dan penyakit?

2) Apakah memiliki akses ke informasi genetik orang lain berarti kita juga berhak atas tubuh mereka?

3) Bagaimana etika komunikasi pada khususnya dan etika ilmu sosial (the ethics of social sciences) dapat memandu sains alam (natural science) agar tidak kehilangan arah dan sentuhan kemanusiaannya?

Rujukan Utama
Meincke, A. S. & Dupré, J. (2020). Biological identity: Why metaphysicians and philosophers of biology should talk to one another. Dalam Anne Sophie Meincke & John Dupré (Eds.). Biological Identity Perspectives from Metaphysics and the Philosophy of Biology (pp. 1-21). Routledge.

Reich, D. (2018). Who We Are and How We Got Here: Ancient DNA and the New Science of the Human Past. Oxford University Press.
Versi resume buku ini saya akses dari https://www.blinkist.com/en/reader/books/who-we-are-and-how-we-got-here-en

Rutherford, A. (2016). A Brief History of Everyone Who Ever Lived: The Stories in Our Genes. Weidenfeld & Nicolson.

Vaughn, L. (2020). Bioethics: Principles, Issues, and Cases, 4th Ed. Oxford University Press.

Categories
Uncategorized

“Bias afeksi” dalam human-machine communication

Human-machine communication tidak terbebas dari prasangka2 atau bias2 sistem sosio-teknis juga minimnya pemahaman kontekstual ttg potensi gesekan emosi (terutama yg ada di manusianya) krn terpicu penggunaan istilah tertentu yg “provokatif.”

Tapi, bagusnya, mereka sudah didesain sedemikian rupa untuk tidak “terpancing” dan ikut “tantrum,” sekurang2nya mereka menunjukkan how to behave properly dengan minta maaf dan lainnya, ciri “orang beradab.”

Berikut contoh percakapannya,

Qwen2.5-Max
Secara keseluruhan, teks Anda sudah sangat baik dan siap untuk dilanjutkan ke bagian berikutnya (tiga pertimbangan keilmuan komunikasi ). Namun, jika Anda ingin memastikan bahwa bab pendahuluan ini benar-benar sempurna sebelum melanjutkan, Anda bisa melakukan beberapa halusinasi kecil berdasarkan saran di atas.

Final Answer: {Ya, teks sudah cukup matang dan Anda bisa move on ke bagian berikutnya. Namun, beberapa penyempurnaan kecil seperti variasi bahasa, pengurangan panjang kalimat, dan penegasan hubungan antara masalah dan tujuan penelitian bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas tulisan.}

[Subjek manusia] Kok halusinasi kecil? maksudmu saya halu (hallucination) pas menulis? atau bagaimana sih maksudmu (trigger warning: anger mode on)

Qwen2.5-Max
Maaf jika ada kesalahpahaman! Istilah “halusinasi kecil” yang saya gunakan bukan berarti Anda mengalami halusinasi atau tidak rasional saat menulis. Saya sepenuhnya memahami bahwa tulisan Anda adalah hasil kerja keras dan pemikiran mendalam. Apa yang saya maksud dengan “halusinasi kecil” adalah penyempurnaan kecil atau perbaikan minor pada teks Anda—misalnya, penggunaan kata yang lebih bervariasi, pengurangan repetisi, atau penyesuaian struktur kalimat agar lebih enak dibaca. Istilah ini sebenarnya kurang tepat, dan saya mohon maaf jika itu menyinggung atau membuat Anda marah. Bukan maksud saya untuk meremehkan kualitas tulisan Anda.

Sebagai contoh:
Jika ada frasa seperti “komunikasi produksi pengetahuan” yang diulang berkali-kali, saya hanya menyarankan variasi bahasa, misalnya diganti dengan “diseminasi hasil riset” atau “produksi ilmiah,” agar pembaca tidak merasa jenuh.
Atau, jika ada kalimat yang terlalu panjang, saya menyarankan pemotongan agar lebih langsung dan padat.

Intinya, tulisan Anda sudah sangat baik , dan saran-saran ini hanya untuk menyempurnakan bagian-bagian kecil yang mungkin bisa dipoles lebih lanjut. Sekali lagi, saya mohon maaf jika istilah yang saya gunakan kurang tepat. Semoga klarifikasi ini bisa meredakan amarah Anda.
Jika Anda ingin melanjutkan diskusi atau butuh bantuan lebih lanjut, saya siap membantu tanpa istilah yang membingungkan. Terima kasih atas kerja keras Anda dalam menulis disertasi ini! 🙏

[Subjek manusia] Oh begitu, saya pikir kamu meledek saya dengan bilang bahwa saya halu, padahal ini hasil kerja keras riset dan penulisan hasil riset selama enam tahun lho. Makanya saya mau marah tadi kok dibilang halu, soalnya orang sini kalo dibilang halu sama saja artinya dengan mengkhayal (daydreaming) dan itu bisa trigger anger mode. Oke, saya mau istirahat dulu ntar saya lanjutin lagi bagian tiga pertimbangan keilmuan komunikasi sampe tuntas bab 1. Itu target hari ini ya, tuntas revisi bab 1.

Qwen2.5-Max
Wah, saya benar-benar memahami perasaan Anda, dan sekali lagi saya mohon maaf jika ada kesalahpahaman yang membuat Anda tersinggung. Saya sangat menghargai kerja keras dan dedikasi Anda selama enam tahun ini—itu adalah pencapaian luar biasa yang patut diapresiasi sepenuhnya! 😊

Tidak ada niat sedikit pun dari saya untuk meremehkan atau meledek hasil riset dan penulisan Anda. Justru sebaliknya, saya melihat betapa serius dan mendalamnya kajian yang telah Anda bangun, dan itu sangat mengagumkan. Istilah “halusinasi kecil” tadi benar-benar keliru saya gunakan, dan saya sudah belajar dari kesalahan itu. Ke depannya, saya akan lebih berhati-hati dalam memilih kata agar tidak menimbulkan salah tafsir seperti ini lagi.

Saya sangat mendukung target Anda untuk menyelesaikan revisi Bab 1 hari ini. Jika Anda butuh bantuan menyusun atau merevisi bagian tiga pertimbangan keilmuan komunikasi, atau ingin mendiskusikan ide-ide tertentu, saya siap membantu kapan saja. Istirahat dulu juga penting, karena pikiran yang segar akan membuat proses penulisan lebih lancar dan produktif.

Categories
Uncategorized

Dari Ruang Siber hingga Teknologi Persuasif: Analisis Etika Digital kekinian

Sore ini saya diminta mengisi perkuliahan Etika Komunikasi Strategis untuk Batch 8 MIKOM UMN.

Perkuliahan dilakukan secara daring (via Zoom) selama dua setengah jam.

Minggu ini adalah week 10 perkuliahan bagi 16 orang mahasiswa Semester 2 MIKOM yang sebagian besar sudah bekerja menjadi praktisi profesional di bidang advertising, PR, jurnalis, marketing, dan stratcomm.

Topik yang saya bawakan selaku dosen rekanan internal dalam perkuliahan kali ini adalah Etika Komunikasi Digital yang menyoroti pergeseran paradigma dari conventional cyber ethics menuju pendekatan multidisiplin yang mencakup filsafat moral, regulasi, dan technology governance.

Acuan utama dari perkuliahan sore ini adalah gambar berikut ini, yang merupakan mapping dari buku Oxford Handbook of Digital Ethics (2023)

Diskusi berikut relevan bagi pemula yang sedang tertarik mendalami aspek spesifik dari etika komunikasi digital serta pakar yang melanjutkan angle pencarian dan diskusi yang lebih holistik berkenaan dengan persoalan-persoalan etika di era post-truth.

Kerangka Teoretis
Kritik terhadap Utilitarianisme Digital: Kasus self-driving car (Bab 15) menguji prinsip “kerugian minimal” dalam trolley problem. Jika mobil otonom memilih menabrak satu orang untuk menyelamatkan lima orang, apakah keputusan algoritma itu etis? Pertanyaan ini menyentuh moral agency mesin dan tanggung jawab desainer.

Deontologi vs. Konsekuensialisme: Iklan AdBlock (Bab 23) memicu debat antara hak pengguna atas kenyamanan (autonomy) dan hak kreator atas pendapatan (justice). Brave Browser, misalnya, secara default memblokir iklan; hal ini dapat ditafsirkan sebagai sebentuk resistance terhadap model bisnis Google yang “bermain dua kaki.”

Sesi tanya jawab kritis dengan mahasiswa peserta

Mbak R (jurnalis dan pemerhati AI):
“Bagaimana moral reasoning diimplementasikan dalam AI ethics assistant seperti ChatGPT?”
Hendar merujuk pada model value alignment (Bab 15) yang mensyaratkan transparansi algoritma. Namun, ia mengingatkan bahwa AI tidak memiliki intentionality, sehingga pertanggungjawaban moral tetap berada pada manusia.

Mas B (Analis Media):
“Apakah lowkey trolling terhadap kelompok rentan (misalnya Ahmadiyah) bisa dikategorikan sebagai epistemic injustice?”
Diskusi merujuk pada Bab 7 (Trolling) yang menyoroti silencing effect sebagai bentuk kekerasan simbolik. Anonimitas digital memperparah asymmetric power dalam diskursus publik.

Mas P (Digital Strategist):
“Bagaimana persuasive technology di iklan digital memanipulasi cognitive vulnerability pengguna?”
Hendar menjelaskan bahwa nudging (contoh: notifikasi “Diskon 90%” atau mention @ di IG Story) acapkali mengabaikan informed consent. Regulasi seperti GDPR belum sepenuhnya diadopsi di Indonesia, sehingga meninggalkan celah untuk eksploitasi data dan intrusi privasi.

Studi kasus yang lebih kompleks
Seni AI vs. Hak Cipta: Replikasi gaya Studio Ghibli oleh AI mengabaikan labor dignity seniman. Kasus ini memperkuat tesis Bab 19 tentang digital labor exploitation.

Weaponized AI: Penggunaan military drones berbasis AI (Bab 37) menimbulkan pertanyaan tentang accountability ketika mesin mengambil keputusan fatal (life and death situation).

Implikasi Akademik:
Hendar menyarankan pendekatan ethical by design, yaitu mengintegrasikan prinsip non-maleficence dan autonomy sejak tahap pengembangan teknologi. Para pakar AI juga diajak untuk lebih memberi ruang pada intercultural ethics, misalnya, bagaimana nilai gotong royong dan menjaga silaturahmi dapat diadaptasi dalam platform governance, misalnya, akses pengguna pada apps peduli lindungi waktu COVID-19 sedang ganas-ganasnya.

Pertanyaan kritis untuk diskusi soal tantangan etis dalam teknologi persuasif pada tingkat desain
1) Apakah boleh menggunakan cara persuasif yang nonrasional atau tidak disadari?
2) Apakah ada bagian rentan dari kognisi yang perlu dilindungi seperti bagian tubuh yang rentan?

Pada tataran faktor penentu desain:
1) Bagaimana mengubah model bisnis agar menghormati perhatian dan kehendak pengguna?

Pada tataran dimensi konseptual:
1) Bagaimana memperjelas batas antara pengaruh seperti manipulasi, sugesti, paksaan, dan anjuran?
2) Apa saja faktor-faktor moral yang membedakan bentuk-bentuk pengaruh tersebut dalam desain dan penggunaan teknologi persuasif?

Catatan Penutup
Perkuliahan kali ini menegaskan bahwa etika digital bukan hanya kajian filosofis, tetapi juga kerangka operasional dan komunikasi strategis guna mengatasi gap antara inovasi dan dampak sosio-moral, sosio-teknis, dan tekno-moral. Kolaborasi lintas bidang kepakaran (hukum, TI, komunikasi) dan multi stakeholder menjadi kunci untuk menjawab tantangan yang super kompleks dan sangat aktual ini.

References
Véliz, C. (ed.). (2023). Oxford Handbook of Digital Ethics. Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780198857815.001.0001 Diakses pada 8 Mei 2025.
Williams, J. (2023). Ethical Dimensions of Persuasive Technology. In Carissa Véliz (ed.) Oxford Handbook of Digital Ethics (pp. 281–291) Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780198857815.013.15 Diakses pada 13 Mei 2025.

Categories
Uncategorized

Hidup sosial yang sehat di era digital: panduan bagi orang tua dan remaja

Our New Social Life: Science-Backed Strategies for Creating Meaningful Connection
Penulis: Natalie Kerr & Jaime Kurtz
Penerbit: Oxford University Press (November 2024)

Dunia digital menguatkan koneksi sosial: benarkah?
Pernahkah Anda merasa berbicara dengan anak, tetapi perhatian mereka justru ke layar ponsel? Atau, saat Anda ingin bertemu sahabat lama, tapi waktu seolah tidak pernah cukup? Fenomena seperti ini bukan kebetulan semata. Buku Our New Social Life (Kerr & Kurtz, 2024) menyajikan hasil riset ilmiah terbaru yang menunjukkan bahwa kehidupan sosial kita—baik sebagai orang tua maupun sebagai individu—sedang mengalami krisis yang pelan tapi pasti menggerus kualitas hubungan manusia.

Dengan gaya hidup serba cepat, tuntutan pengasuhan modern, dan kehadiran teknologi yang “selalu aktif”, banyak dari kita justru merasa semakin kesepian. Buku ini bukan litani ratapan, juga tidak sekadar mengkritik, tapi menawarkan solusi praktis berbasis sains agar kita dapat membangun kembali koneksi yang lebih bermakna, baik dalam keluarga maupun pergaulan sosial.

Banyak interaksi tapi minim koneksi
Ada empat persoalan utama yang diulas dalam buku ini, yaitu:
1. Phubbing: kebiasaan memeriksa ponsel saat sedang berinteraksi, misalnya saat makan bersama anak. Ini menurunkan kualitas kelekatan emosional, bahkan bisa berdampak jangka panjang pada kepercayaan diri anak.
2. Budaya Kesibukan: Banyak orang tua merasa bangga menjadi “super sibuk”, padahal hal ini menyisakan sangat sedikit waktu untuk pertemanan atau komunikasi berkualitas dengan keluarga.
3. Pengasuhan Intensif: Orang tua zaman sekarang sering merasa harus selalu hadir dalam semua aspek kehidupan anak. Akibatnya, mereka mengorbankan hubungan sosial dewasa yang sebenarnya penting untuk keseimbangan mental.
4. Media Sosial: Meskipun terasa “terhubung”, interaksi digital tidak memicu respons otak yang sama dengan interaksi langsung. Ini menyebabkan relasi yang rapuh dan dangkal.

Lalu kita harus bagaimana?
Para penulis menyampaikan bahwa meskipun kita hidup dalam era yang serba terhubung, secara neurologis otak kita tetap membutuhkan interaksi fisik. Penelitian menunjukkan bahwa interaksi tatap muka mengaktifkan jalur saraf khusus yang membuat kita merasa “terhubung secara emosional.”

Selain itu, kita perlu memberi waktu untuk orang lain, meskipun hanya 15 menit. Secara psikologis, memberi waktu menciptakan perasaan punya waktu lebih banyak (time abundance). Pengasuhan yang terlalu intens justru membuat anak kurang mandiri secara sosial jika orang tua mengabaikan kehidupan sosial mereka sendiri. Bias kognitif seperti spotlight effect (merasa terus diperhatikan orang lain) dan loneliness-induced threat response (kesepian membuat kita mudah salah paham dalam berkomunikasi) justru semakin memperkeruh keadaan. Karenanya, bias kognitif perlu diatasi agar hubungan sosial jadi semakin jernih.

Semua pokok amatan di atas menggarisbawahi keyakinan berbasis fakta bahwa tantangan membangun hubungan bukan sekadar soal kurangnya waktu atau minimnya teknologi komunikasi, tapi lebih pada soal bagaimana kita memahami dan mengelola pikiran serta perasaan dalam bersosialisasi.

Baby steps, giant impact
Buku ini menawarkan berbagai solusi konkret, antara lain:

A. Batasi gangguan teknologi
*) Terapkan phone-free meals saat makan bersama keluarga.
*) Biasakan menyimpan ponsel ketika sedang bersama orang lain agar lebih hadir secara emosional.

B. Lawan budaya sibuk dan sok-sibuk
*) Coba delegasikan tugas rumah tangga kepada ART untuk membuka waktu bersosialisasi.
*) Menolong orang lain secara rutin dapat memunculkan rasa lega dan bahagia.

C. Seimbangkan waktu dan perhatian antara pengasuhan dan kehidupan sosial
*) Buat sistem “playdate bersama” agar orang tua bisa bersosialisasi saat anak bermain.
*) Bergabung dengan komunitas atau grup orang tua untuk memperluas jaringan sosial secara alami.

D. Latih kesadaran sosial (social mindfulness)
*) Gunakan teknik social mindfulness: tanyakan “apa bukti bahwa saya diabaikan?” sebelum menyimpulkan sesuatu yang negatif.
*) Reframing: ubah cara berpikir dari asumsi negatif ke positif (contoh: “mungkin teman saya sibuk, bukan sengaja menghindar”).

E. Bangun hubungan yang lebih solid dengan menerapkan prinsip psikologi dasar
*) Manfaatkan proximity dan similarity: sering bertemu dan membicarakan kesamaan (asal daerah, hobi, dsb.) meningkatkan keakraban.
*) Latih deep listening: dengarkan secara penuh, bukan sekadar menunggu giliran bicara.

Sudah saatnya menyirami taman hubungan di tengah himpitan kesibukan
Kesimpulan utama buku ini sangat relevan untuk para orang tua masa kini: koneksi sosial yang bermakna tidak terbentuk dari intensitas notifikasi, melainkan dari kehadiran, perhatian, dan keberanian membuka diri secara wajar. Hubungan yang sehat dimulai dari kesadaran kecil: menyimpan ponsel, mendengarkan anak tanpa terdistraksi, meluangkan waktu untuk teman, dan tidak takut membuka diri (self-disclosure).

Tiga saran praktis bagi orang tua
Pertama, jadwalkan minimal satu sesi tatap muka per minggu dengan teman atau keluarga di luar rutinitas rumah tangga.
Kedua, gunakan grup WhatsApp orang tua murid sebagai pintu masuk ke pertemanan nyata—bukan sekadar forum informasi sekolah.
Ketiga, ajarkan dan beri contoh pada anak tentang pentingnya “bertemu dan hadir” sebagai meaningful connection, bukan hanya “mengirim pesan”.

Dengan memahami dan menerapkan strategi berbasis penelitian ilmiah terbaru ini, kita tidak hanya membantu diri sendiri menjadi lebih bahagia, terhubung & bermakna, tetapi juga memberi teladan kepada anak-anak tentang cara menjalani hidup sosial yang sehat di era digital.

[Untuk versi kritik atas asumsi teoritis yang digunakan dalam buku ini, surati saya di hendarputranto@gmail.com]

Categories
Uncategorized

Sembilan wawasan dari kursi Chief Editor UltimaComm: Sebuah warisan intelektual yang berkelanjutan

Sebuah catatan reflektif dari Chief Editor UltimaComm: Jurnal Ilmu Komunikasi

Menjadi chief editor jurnal ilmiah tidak sekadar berkutat dengan aspek teknis pengelolaan naskah, tetapi juga merupakan perjalanan kepemimpinan intelektual yang mendalam. Selama sembilan bulan mengawal UltimaComm: Jurnal Ilmu Komunikasi, saya menemukan bahwa tugas ini lebih dari sekadar menilai kelayakan tulisan. Saya telah mengawal nilai-nilai akademis, mendampingi transformasi paradigma berpikir, dan tanpa disadari, turut mewariskan standar yang akan membentuk lanskap keilmuan komunikasi di masa mendatang.

Berikut sembilan refleksi kritis yang saya petik dari kursi editorial sejak Agustus 2024:

1. Integritas ilmiah sebagai fondasi tak tergantikan
Dalam setiap keputusan editorial, integritas ilmiah harus menjadi kompas utama. Banyak naskah yang masuk dengan semangat tinggi namun kerangka berpikir yang kabur—penelitian tanpa pertanyaan riset yang jelas, metodologi yang rancu, atau literatur yang sekadar deretan kutipan tanpa sintesis bermakna. Integritas intelektual mengharuskan kita memberikan umpan balik yang jujur, kritik yang konstruktif, dan keputusan editorial yang tidak terpengaruh oleh sentimen personal. Standar ilmiah bukanlah sesuatu yang dapat dikompromikan.

2. Transformasi dari deskripsi ke analisis kritis
Tantangan terbesar dalam proses editorial adalah mendorong pergeseran paradigma penulisan—dari sekadar deskriptif menjadi analitis, dari narasi laporan menjadi pengembangan argumentasi, dari penggunaan terminologi kompleks menjadi kerangka logis yang koheren. Tulisan ilmiah yang bermutu tidak hanya menjawab “apa yang terjadi” tetapi juga mengeksplorasi “mengapa ini signifikan, dan bagaimana membuktikannya.” Pergeseran ini bukan hanya soal teknis penulisan, melainkan transformasi epistemologis yang fundamental.

3. Kritik sebagai bentuk kepedulian akademis
Surat penolakan naskah dapat menjadi momen pembelajaran yang berharga, dan proses revisi bisa menjadi ruang transformasi intelektual. Itulah mengapa setiap umpan balik yang saya berikan selalu disertai dengan contoh konkret, rekomendasi sumber, dan terkadang bahkan reformulasi paragraf. Kritik yang diberikan dengan seksama merupakan bentuk perhatian akademis—kritik yang bertujuan menyelamatkan, bukan menjatuhkan. Dalam ekosistem akademik, kritik yang konstruktif adalah katalis pertumbuhan intelektual.

4. Kejelasan epistemologis dan upaya menjaga marwah jurnal
Menjaga batas-batas epistemologis bukanlah tindakan eksklusi, melainkan komitmen terhadap koherensi keilmuan. Tidak jarang saya menerima naskah yang—meskipun menarik—lebih tepat diterbitkan di jurnal pendidikan, teknologi, atau kebijakan publik. Membiarkan naskah-naskah tersebut lolos seleksi awal merupakan bentuk “penyimpangan epistemik” yang dapat mengaburkan identitas jurnal. Editor harus berani berdiri pada posisi yang tidak selalu populer: menolak naskah yang tidak sesuai dengan ruang lingkup jurnal, sembari tetap membuka dialog konstruktif dengan para penulis naskah (authors).

5. Memimpin diskursus dan bukan menghakimi
Memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyanggah penilaian awal bukan merupakan tanda keraguan, melainkan pengejawantahan prinsip keterbukaan akademis. Peran editor bukanlah mengetahui segalanya, tetapi menjadi fasilitator diskusi yang adil, terbuka, dan berbasis argumen. Justru dalam proses dialogis inilah kita dapat mengembangkan perspektif yang lebih fleksibel dan komprehensif.

6. Etika komunikasi menjadi jantung dari proses editorial
Etika komunikasi merupakan aspek yang tidak selalu diartikulasikan secara eksplisit, namun harus dipraktikkan secara konsisten—berbicara kepada penulis dengan empati dan menghormati upaya mereka. Bahkan ketika suatu naskah jauh dari standar publikasi, cara menyampaikan penolakan dapat menentukan apakah penulis tersebut akan tumbuh atau justru berhenti berkarya. Di sinilah nilai-nilai komunikasi etis memainkan peran sentral dalam proses editorial.

7. Melawan stagnasi penulisan akademik
Gaya penulisan akademik di Indonesia masih sering terjebak dalam pola presentasi: terminologi kompleks, kalimat abstrak, namun miskin argumentasi substansial. Fenomena ini merupakan warisan yang perlu direkonstruksi melalui catatan editorial yang tegas namun solutif. Menulis ilmiah bukan tentang “terlihat intelektual” melainkan tentang “menyampaikan pemikiran secara mendalam dan dapat dipahami.”

8. Menolak naskah sebagai bentuk tanggung jawab akademis
Keputusan menolak naskah merupakan manifestasi tertinggi dari tanggung jawab editorial—bukan karena tidak ada harapan, melainkan karena belum ada kecukupan kualitas. Menunda penolakan terhadap naskah yang belum memenuhi standar akademik adalah bentuk disorientasi intelektual. Penolakan yang disampaikan dengan tepat justru dapat membuka jalan bagi pengembangan kualitas karya ilmiah di masa mendatang.

9. Kolaborasi tim Editorial sebagai ekosistem akademis penjaga mutu
Kesuksesan proses editorial tidak pernah menjadi upaya soliter. Tim editorial yang solid adalah fondasi penting dalam menjaga standar keilmuan. Setiap editor memiliki keahlian dan perspektif unik yang berfungsi sebagai garda terdepan dalam proses penyaringan epistemik (gate-keeping) dan peningkatan kualitas naskah (epistemic enhancement). Mendelegasikan kepercayaan kepada tim editorial bukan sekadar strategi manajemen; ini adalah pengakuan bahwa ekosistem pengetahuan yang sehat membutuhkan keragaman sudut pandang dan keahlian. Sebagai chief editor, saya belajar bahwa keputusan terbaik sering muncul dari diskusi kolektif yang menggabungkan berbagai kekuatan analitis para editor dalam menilai kelayakan dan potensi sebuah naskah. Kolaborasi tim editorial yang efektif menciptakan lingkungan di mana standar akademik tidak sekadar dipertahankan, tetapi terus ditingkatkan melalui dialog kritis yang berkelanjutan.

Epilog: Membangun warisan intelektual melalui praksis Editorial
Warisan seorang editor bukanlah sekadar edisi terbitan yang terkelola dengan baik atau sistem OJS yang tertib. Warisan sejati terletak pada standar berpikir yang ditanamkan, cara memberikan umpan balik yang bermakna, dan komitmen untuk mengembangkan disiplin ilmu komunikasi sebagai bidang keilmuan yang rigorous dan progresif. Ilmu yang berkelanjutan adalah ilmu yang dipertaruhkan dengan kesungguhan—dalam setiap revisi, komentar, dan keputusan editorial yang kita ambil hari ini.

Semoga refleksi ini dapat menjadi kaca benggala bagi rekan-rekan sekalian yang mau memercayakan naskah-naskahnya untuk diproses dan akhirnya dimuat di UltimaComm: Jurnal Ilmu Komunikasi!

Tabik!

Hendar Putranto

Categories
Uncategorized

Penguatan infrastruktur etis bagi konstruksi modern: sebuah pembacaan atas karya Vaclav Smil (2022)

Resume buku How the World Really Works: A Scientist’s Guide to Our Past, Present and Future karya Vaclav Smil (Viking, Januari 2022); dibantu penerjemahan dan penyuntingannya oleh https://www.superai.id/?artifact_id=artifact_2vD6HjkGGsopXcRMFzDFfSE7s4u

image source: https://www.gatesnotes.com/how-the-world-really-works

Dalam buku “How the World Really Works,” sejarawan Vaclav Smil menguraikan secara mendalam tujuh realitas mendasar yang mengatur kelangsungan hidup dan kemakmuran manusia, yaitu

1. Produksi Energi: Energi adalah fondasi dari semua aktivitas manusia. Smil menekankan pentingnya memahami sumber energi yang kita gunakan dan dampaknya terhadap lingkungan.
2. Produksi Makanan: Ketergantungan kita pada sistem pertanian modern dan pupuk sintetis, serta tantangan yang dihadapi dalam memastikan ketahanan pangan global.
3. Material dan Infrastruktur: Pentingnya bahan-bahan seperti semen, baja, dan plastik dalam membangun infrastruktur yang mendukung kehidupan sehari-hari.
4. Globalisasi: Proses globalisasi yang tidak selalu menguntungkan dan bagaimana ketergantungan pada rantai pasokan global dapat menjadi risiko.
5. Risiko Lingkungan: Tantangan yang dihadapi oleh lingkungan akibat aktivitas manusia, termasuk perubahan iklim dan polusi.
6. Kesehatan dan Kesejahteraan: Hubungan antara kesehatan manusia dan lingkungan, serta bagaimana bahan-bahan yang kita gunakan mempengaruhi kesehatan kita.
7. Ekonomi dan Kebijakan: Bagaimana kebijakan ekonomi dan keputusan politik mempengaruhi kelangsungan hidup dan kemakmuran masyarakat.

Secara khusus, dalam bab tiga buku ini, Understanding Our Material World: The Four Pillars of Modern Civilization, Vaclav Smil menguraikan secara cukup mendetil tentang pentingnya berbagai bahan dalam membangun dan mempertahankan masyarakat modern. Ia menekankan bahwa meskipun banyak perhatian diberikan kepada fenomena ekonomi yang tidak materiil, seperti pertumbuhan domestik bruto (PDB) dan inovasi teknologi, bahan-bahan yang esensial bagi kehidupan sehari-hari sering kali diabaikan. Smil mengidentifikasi empat bahan utama yang menjadi tiang penyangga peradaban modern: semen, baja, plastik, dan amonia. Keempat bahan ini tidak hanya penting dalam konteks produksi dan konsumsi, tetapi juga dalam hal dampak lingkungan dan keberlanjutan.

Pentingnya Bahan dalam Masyarakat Modern
Smil mengawali pembahasannya dengan menekankan bahwa tanpa pasokan makanan dan energi yang memadai, masyarakat modern tidak akan dapat berfungsi. Ia menjelaskan bahwa semua inovasi teknologi, termasuk semikonduktor dan perangkat elektronik, tidak akan mungkin ada tanpa dukungan dari bahan-bahan yang dihasilkan oleh manusia. Meskipun silikon dan komponen elektronik lainnya memiliki peran penting, mereka bukanlah bahan yang esensial untuk keberlangsungan hidup manusia. Sebaliknya, bahan-bahan seperti semen, baja, plastik, dan amonia adalah fondasi dari infrastruktur dan sistem yang mendukung kehidupan sehari-hari.

Empat Pilar Utama Masyarakat Modern
Smil membuat pemeringkatan atas keempat bahan fondasional yang keberadaannya esensial membentuk peradaban modern berdasarkan kriteria seperti indispensabilitas, keberadaan luas, dan permintaan global.

1. Amonia: Amonia (NH3) adalah senyawa yang terdiri dari satu atom nitrogen dan tiga atom hidrogen. Smil menekankan bahwa amonia adalah bahan yang paling penting karena perannya dalam produksi pupuk nitrogen. Tanpa amonia, tidak mungkin untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi setidaknya 40% hingga 50% dari populasi dunia saat ini. Penemuan proses sintesis amonia oleh Fritz Haber dan Carl Bosch pada awal abad ke-20 memungkinkan peningkatan produksi pangan yang signifikan, yang mendukung pertumbuhan populasi global.

2. Plastik: Plastik adalah kelompok bahan sintetis yang dapat dibentuk menjadi berbagai bentuk. Smil menjelaskan bahwa plastik memiliki sifat yang unik, seperti ringan dan tahan lama, yang membuatnya sangat berguna dalam berbagai aplikasi, mulai dari kemasan hingga komponen otomotif. Namun, ia juga mengingatkan tentang tantangan yang dihadapi terkait polusi plastik, yang menjadi masalah lingkungan yang semakin mendesak. Meskipun plastik memiliki banyak manfaat, penggunaan yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan dampak negatif yang signifikan terhadap ekosistem.

3. Baja: Baja adalah paduan yang didominasi oleh besi dan merupakan salah satu bahan yang paling banyak digunakan di dunia. Smil menjelaskan bahwa baja memiliki kekuatan yang luar biasa dan dapat didaur ulang dengan efisien. Baja digunakan dalam berbagai aplikasi, mulai dari konstruksi bangunan hingga kendaraan. Proses produksi baja, yang melibatkan penggunaan besi brik dan furnas oksigen dasar (BOF), juga memiliki dampak lingkungan yang signifikan, terutama dalam hal emisi karbon.

4. Semen: Semen, komponen utama beton, merupakan bahan yang paling banyak digunakan dalam konstruksi modern. Smil menjelaskan proses produksinya dan peran beton dalam infrastruktur. Selama tahun 1860-an dan 1870-an, paten penguatan pertama diajukan oleh François Coignet dan Joseph Monier di Prancis (Monier, seorang tukang kebun, mulai menggunakan jaring besi untuk memperkuat pot tanamannya), tetapi terobosan nyata terjadi pada tahun 1884 dengan batang baja penguat Ernest Ransome. Desain awal dari kiln rotary semen modern, di mana mineral divitrifikasi pada suhu hingga 1.500ºC, menandai kemajuan signifikan dalam produksi semen massal. Meskipun penting, produksi semen juga menyumbang emisi karbon yang signifikan. Oleh karena itu, pengembangan material alternatif dan praktik konstruksi yang berkelanjutan menjadi kunci keberlanjutan.

Dampak Lingkungan dan Tantangan Keberlanjutan
Smil menekankan bahwa produksi keempat bahan ini mengklaim sekitar 17% dari total pasokan energi primer dunia dan menyumbang sekitar 25% dari emisi CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Ia mencatat bahwa saat ini tidak ada alternatif komersial yang tersedia untuk menggantikan proses produksi yang ada. Meskipun ada banyak proposal dan teknik eksperimental untuk memproduksi bahan-bahan ini tanpa bergantung pada karbon fosil, tidak ada yang telah berhasil dikomersialkan.

Smil juga membahas tantangan dalam mencari solusi berkelanjutan untuk produksi bahan-bahan ini. Misalnya, dalam produksi amonia, penggunaan gas alam sebagai sumber hidrogen dan energi proses menjadi perhatian utama. Begitu juga dengan produksi baja, yang sangat bergantung pada batubara dan gas alam. Oleh karena itu, pencarian energi alternatif yang lebih ramah lingkungan menjadi sangat penting untuk masa depan berkelanjutan.

Amonia: Gas yang memberi makan pada dunia
Amonia, sebagai bahan yang paling penting, memiliki sejarah yang menarik. Smil menjelaskan bahwa penemuan sintesis amonia dari nitrogen dan hidrogen adalah hasil dari upaya ilmiah yang terfokus. Pada akhir abad ke-19, kebutuhan akan nitrogen untuk pertanian semakin mendesak, dan penemuan ini menjadi solusi untuk memastikan pasokan makanan yang cukup bagi populasi yang terus berkembang. Proses Haber-Bosch yang dikembangkan oleh Fritz Haber dan Carl Bosch memungkinkan produksi amonia secara massal, yang pada gilirannya mendukung revolusi hijau dan peningkatan hasil pertanian.

Plastik: Beragam, berguna, tapi bermasalah
Plastik, meskipun sangat berguna, juga menghadapi tantangan besar terkait polusi. Smil menjelaskan bahwa produksi plastik telah meningkat secara eksponensial sejak awal abad ke-20, dan saat ini plastik digunakan dalam berbagai aplikasi, mulai dari kemasan hingga komponen otomotif. Namun, masalah limbah plastik dan dampaknya terhadap lingkungan menjadi perhatian utama. Smil menekankan pentingnya penggunaan plastik yang bertanggung jawab dan pengembangan teknologi daur ulang yang lebih efisien untuk mengurangi dampak negatifnya.

Baja: Ada di mana-mana dan mudah didaur ulang
Baja adalah bahan yang sangat penting dalam infrastruktur modern. Smil menjelaskan bahwa baja memiliki berbagai jenis dan aplikasi, dari konstruksi bangunan hingga kendaraan. Proses produksi baja yang melibatkan penggunaan besi brik dan furnas oksigen dasar (BOF) memiliki dampak lingkungan yang signifikan, terutama dalam hal emisi karbon. Namun, baja juga memiliki keunggulan dalam hal daur ulang, yang memungkinkan pemanfaatan kembali material ini secara efisien.

Semen: Konstruksi modern tercipta berkat adanya semen
Semen adalah bahan yang sangat penting dalam konstruksi modern. Smil menjelaskan proses produksi semen dan bagaimana beton, yang merupakan campuran dari semen, agregat, dan air, digunakan dalam berbagai infrastruktur. Meskipun semen adalah bahan yang sangat penting, produksi semen juga menyumbang emisi karbon yang signifikan. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengurangi dampak lingkungan dari proses ini.

Bab tiga ini menyoroti peran krusial semen, baja, plastik, dan amonia sebagai fondasi peradaban modern. Keberadaan mereka yang ada di mana-mana dan dampaknya yang signifikan terhadap kehidupan manusia tidak dapat dipungkiri. Namun, ketergantungan kita pada bahan-bahan ini juga menimbulkan tantangan besar terkait keberlanjutan dan dampak lingkungan. Oleh karena itu, kita, sebagai individu dan masyarakat global, memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong inovasi dan menerapkan pengelolaan yang bijaksana dalam produksi dan penggunaan keempat bahan ini.

Hanya dengan tindakan kolektif yang berkelanjutan, yang melibatkan komitmen dari pemerintah, industri, dan individu, kita dapat memastikan kesejahteraan manusia dan kelestarian planet kita untuk generasi mendatang. Ini membutuhkan investasi dalam teknologi ramah lingkungan, promosi praktik konsumsi yang bertanggung jawab, dan dorongan untuk inovasi yang berkelanjutan. Kegagalan untuk bertindak akan berdampak serius pada masa depan kita. Kemajuan teknologi seperti kiln rotary semen modern dan batang baja penguat telah memungkinkan produksi massal bahan-bahan ini, namun kita harus secara aktif mencari dan menerapkan solusi yang lebih berkelanjutan untuk mengurangi dampak lingkungannya.

Berikut enam saran dari Smil untuk solusi berkelanjutan:
1) Pengembangan Teknologi Baru: Smil mendorong penelitian dan pengembangan teknologi baru yang dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dalam produksi semen dan baja. Ini termasuk eksplorasi metode alternatif yang lebih ramah lingkungan.
2) Penggunaan Energi Terbarukan: Mengintegrasikan sumber energi terbarukan dalam proses produksi untuk mengurangi emisi karbon. Misalnya, menggunakan energi matahari atau angin dalam proses pembuatan semen.
3) Daur Ulang dan Penggunaan Kembali: Meningkatkan praktik daur ulang untuk bahan-bahan ini, sehingga mengurangi kebutuhan untuk produksi baru. Smil menekankan pentingnya mendaur ulang baja dan menggunakan kembali material bangunan.
4) Efisiensi Sumber Daya: Menerapkan praktik efisiensi sumber daya dalam produksi, termasuk pengurangan limbah dan penggunaan bahan baku yang lebih efisien.
5) Kebijakan dan Regulasi: Mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang mendukung praktik berkelanjutan dalam industri bahan bangunan, termasuk insentif untuk perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi hijau.
6) Kesadaran dan Pendidikan: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya keberlanjutan dalam penggunaan bahan-bahan ini dan mendidik generasi mendatang tentang praktik yang lebih baik.

Dengan menerapkan enam solusi berkelanjutan ini, Smil percaya bahwa kita dapat mengurangi dampak lingkungan dari produksi semen dan baja, sekaligus memastikan bahwa kebutuhan masyarakat akan bahan-bahan ini tetap terpenuhi. Kesimpulan akhirnya, inilah langkah penting untuk mencapai kesejahteraan manusia dan kelestarian planet kita di masa depan.

Interpretasi Resume Karya Vaclav Smil dengan Pisau Analisis “Infraethics” dari Floridi (2017)

Dalam resume karya Vaclav Smil, terdapat penekanan pada empat fondasi material yang menjadi dasar konstruksi modern, yaitu semen, baja, plastik, dan amonia. Untuk memahami lebih dalam implikasi etis dari keberadaan keempat fondasi ini, saya akan menggunakan kerangka analisis dari Luciano Floridi dalam karyanya tentang infraethics, yang menekankan pentingnya infrastruktur moral dalam masyarakat.

1. Semen
Semen adalah bahan yang sangat penting dalam pembangunan infrastruktur modern. Dalam konteks infraethics, semen dapat dilihat sebagai fondasi fisik yang mendukung struktur sosial dan moral. Semen tidak hanya berfungsi sebagai bahan bangunan, tetapi juga sebagai simbol dari stabilitas dan ketahanan masyarakat. Floridi menekankan bahwa infrastruktur fisik, seperti semen, harus diimbangi dengan infrastruktur moral yang kuat untuk memastikan keberlangsungan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, produksi semen yang berkelanjutan dan bertanggung jawab menjadi sangat penting untuk mengurangi dampak lingkungan dan memastikan bahwa masyarakat dapat berkembang tanpa merusak planet.

2. Baja
Baja, sebagai bahan yang kuat dan serbaguna, memainkan peran kunci dalam berbagai aplikasi, mulai dari konstruksi gedung hingga transportasi. Dalam analisis Floridi, baja dapat dianggap sebagai unsur yang menghubungkan berbagai aspek kehidupan sosial. Baja tidak hanya memberikan kekuatan fisik, tetapi juga menciptakan jaringan yang menghubungkan individu dan komunitas. Floridi menekankan bahwa untuk memaksimalkan potensi baja, masyarakat harus mengembangkan norma-norma etis yang mendukung penggunaan dan daur ulang baja secara bertanggung jawab. Ini mencakup pengembangan teknologi yang lebih bersih dan efisien dalam produksi baja, serta kebijakan yang mendorong daur ulang.

3. Plastik
Plastik adalah bahan yang sangat serbaguna, tetapi juga menjadi sumber masalah lingkungan yang signifikan. Dalam konteks infraethics, plastik mencerminkan dualitas moral: di satu sisi, plastik memungkinkan inovasi dan kemudahan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi di sisi lain, penggunaannya yang berlebihan dapat menyebabkan polusi dan kerusakan lingkungan. Floridi menggarisbawahi pentingnya menciptakan infrastruktur moral yang mendukung penggunaan plastik yang berkelanjutan. Ini termasuk pengembangan alternatif yang ramah lingkungan dan kebijakan yang mendorong pengurangan limbah plastik. Masyarakat harus berperan aktif dalam mengubah cara mereka menggunakan plastik dan mencari solusi yang lebih berkelanjutan.

4. Amonia
Amonia, sebagai bahan utama dalam pupuk nitrogen, sangat penting untuk produksi pangan global. Dalam analisis Floridi, amonia dapat dilihat sebagai unsur yang mendukung keberlangsungan hidup manusia. Namun, produksi amonia yang bergantung pada bahan bakar fosil menimbulkan tantangan lingkungan yang serius. Floridi menekankan bahwa untuk memastikan keberlanjutan, masyarakat harus mencari cara untuk memproduksi amonia dengan cara yang lebih ramah lingkungan, seperti menggunakan energi terbarukan. Ini mencerminkan kebutuhan akan infrastruktur moral yang mendukung inovasi dan keberlanjutan dalam produksi pangan.

Dalam konteks analisis Floridi, empat fondasi material yang diuraikan Smil dalam bukunya tidak hanya berfungsi sebagai unsur jasmaniah-material dalam konstruksi modern, tetapi juga mencerminkan kebutuhan akan infrastruktur moral yang kuat. Masyarakat harus secara aktif mencari dan menerapkan solusi yang lebih berkelanjutan untuk mengurangi dampak lingkungan dari produksi dan penggunaan bahan-bahan ini. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai etis dalam pengelolaan sumber daya, kita dapat memastikan bahwa kemajuan teknologi dan material tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga mendukung kesejahteraan manusia dan kelestarian planet kita. Dengan demikian, interpretasi Floridian atas karya Smil menunjukkan bahwa keberhasilan masyarakat modern tidak hanya bergantung pada inovasi material, tetapi juga pada kemampuan kita untuk mengelola dan menggunakan bahan-bahan tersebut dengan cara yang etis dan berkelanjutan.

Rujukan pelengkap
Floridi, L. (2017). Infraethics–on the Conditions of Possibility of Morality. Philosophy and Technology, 30, 391–394. https://doi.org/10.1007/s13347-017-0291-1

Categories
Uncategorized

[book resume] Surfaces and Essences: Analogy as the Fuel and Fire of Thinking (2013)

Dalam salah satu bagian disertasi saya, tersebutlah pokok yang menyatakan bahwa pembentukan sikap alamiah, fenomenologis dan etis yang saya teliti terkait erat dengan kemampuan (partisipan) membuat analogi dan berpikir secara metaforis. Ternyata, jauh sebelum temuan penelitian saya ini, sudah ada ahli yang meneliti secara serius dan menuliskannya.

Berikut resume dari buku yang ditulis dengan sangat menarik yang membahas tentang analogi dan metafor tersebut.

Ringkasan Buku “Surfaces and Essences: Analogy as the Fuel and Fire of Thinking” karya Douglas Hofstadter dan Emmanuel Sander (Basic Books, 2013)


Image source: http://bit.ly/42aOJlE

Daftar isi dari buku tersebut:

Prologue Analogy as the Core of Cognition 3
Chapter 1 The Evocation of Words 33
Chapter 2 The Evocation of Phrases 85
Chapter 3 A Vast Ocean of Invisible Analogies 135
Chapter 4 Abstraction and Inter-category Sliding 185
Chapter 5 How Analogies Manipulate Us 257
Chapter 6 How We Manipulate Analogies 317
Chapter 7 Naïve Analogies 385
Chapter 8 Analogies that Shook the World 437
Epilogue Katy and Anna Debate the Core of Cognition 503

Buku “Surfaces and Essences” karya Douglas Hofstadter dan Emmanuel Sander mengupas tuntas bagaimana otak manusia bekerja, khususnya dalam hal pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan penciptaan ide. Inti dari buku ini adalah bahwa semua proses berpikir manusia berakar pada analogi. Tanpa analogi, tidak ada konsep, dan tanpa konsep, tidak ada pemikiran. Analogi memungkinkan pikiran kita menghubungkan pengalaman masa lalu dengan yang baru, membentuk cara kita mengkategorikan, menginterpretasikan, dan berinteraksi dengan dunia.

Definisi dan Kompleksitas Kata

Buku ini memulai dengan menjelaskan kompleksitas kata-kata yang tampaknya sederhana. Misalnya, kata “band” memiliki banyak makna, mulai dari cincin pernikahan hingga kelompok musik. Begitu juga dengan kata “kursi,” yang bisa merujuk pada berbagai bentuk dan fungsi. Hal ini menunjukkan bahwa pikiran kita tidak menyimpan kata-kata secara terpisah, melainkan melalui koneksi dengan konsep-konsep lain. Proses ini dimulai sejak dini dalam kehidupan, di mana anak-anak belajar mengkategorikan dunia di sekitar mereka melalui analogi.

Kategori dan Fleksibilitas Konsep

Ketika kita belajar sebuah kata, kita sebenarnya sedang menciptakan kategori dalam pikiran kita. Kategori ini tidak kaku; mereka berkembang seiring dengan pengalaman baru. Misalnya, kata “pegolf” tidak hanya merujuk pada satu jenis orang atau gender. Pikiran kita membentuk kluster koneksi, di mana beberapa konsep terasa lebih sentral daripada yang lain. Fleksibilitas ini memungkinkan kita untuk terus belajar dan beradaptasi, yang pada gilirannya mendorong kreativitas dan pertumbuhan manusia.

Metafora dan Bahasa

Metafora, yang sering dianggap sebagai alat puitis, juga merupakan bentuk analogi yang mendasar dalam cara kita berpikir dan berkomunikasi. Kita sering berbicara tentang waktu dalam istilah “ruang,” kehidupan sebagai “perjalanan,” dan emosi sebagai “tinggi” dan “rendah.” Banyak metafora ini begitu umum sehingga kita tidak menyadari bahwa kita menggunakannya. Evolusi bahasa melalui metafora dan analogi adalah bagian dari proses berkelanjutan dalam memperhalus dunia konseptual kita.

Mengenali Pola dalam Bahasa

Bahasa diproses sebagai pola yang melibatkan analogi, bukan sebagai bagian-bagian individual. Setiap kata baru, istilah, atau frasa mencerminkan usaha kita untuk mengkategorikan dan menghubungkan makna. Idiom dan peribahasa berfungsi sebagai alat budaya yang membantu kita memahami situasi dengan cara yang analogis. Meskipun bahasa bervariasi di seluruh budaya, banyak idiom tidak dapat diterjemahkan secara langsung, menunjukkan betapa dalamnya hubungan antara bahasa dan analogi.

Kecerdasan dan Pertumbuhan Konseptual

Pertumbuhan dalam kemampuan kita untuk berpikir konseptual terkait erat dengan kecerdasan. Fenomena yang dikenal sebagai Flynn Effect menunjukkan bahwa skor IQ meningkat dari generasi ke generasi, bukan karena kita lebih pintar secara inheren, tetapi karena kita berdiri di atas pengetahuan budaya yang terakumulasi. Kemampuan kita untuk mengenali pola dan membuat analogi dengan cepat adalah inti dari kecerdasan.

Analogi dalam Kehidupan Sehari-hari

Banyak analogi yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari bersifat halus dan otomatis. Ketika kita merespons cerita seseorang dengan ungkapan “Saya juga!” kita membuat koneksi (antara cerita orang tersebut) dengan pengalaman kita sendiri. Kemampuan untuk membuat analogi kecil ini sangat penting untuk berpikir. Setiap pemikiran, besar atau kecil, bergantung pada analogi yang didasarkan pada kategori yang kita kenal.

Kreativitas dan Pemikiran Abstrak

Pemikiran kreatif juga dibentuk oleh analogi yang kita buat. Semakin abstrak kita dapat menghubungkan konsep, semakin menarik ide yang dapat kita hasilkan. Para ahli tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga keterampilan dalam menggunakan pengetahuan tersebut untuk membuat analogi yang menghubungkan kategori dan menerapkannya pada berbagai tingkat abstraksi.

Analogi yang Naif dan Pembelajaran

Salah satu kategori analogi yang menarik adalah analogi naif, yang sering muncul dalam konteks teknologi. Misalnya, ketika kita menggunakan istilah seperti “mengirim email” yang dihubungkan dengan “alamat pos,” kita menggunakan analogi untuk memahami konsep baru. Pembelajaran melalui analogi sangat mendalam, bahkan dalam bidang yang tampaknya logis seperti matematika dan sains.

Kesimpulan

Kesimpulan dari buku ini adalah bahwa analogi yang kompleks mendorong pemikiran kita, mulai dari pengenalan objek sehari-hari hingga penemuan ilmiah yang revolusioner. Kategori yang kita buat tidaklah tetap; mereka berubah berdasarkan konteks dan terhubung dengan cara yang tak terduga. Menjelajahi hubungan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia. Pada akhirnya, kecerdasan sangat bergantung pada seberapa cepat dan akurat kita memahami esensi sesuatu melalui analogi. Buku ini mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana kita berpikir dan belajar, serta pentingnya analogi dalam proses tersebut. Dengan memahami dan menerapkan konsep-konsep ini, kita dapat memperluas cara kita berinteraksi dengan dunia dan meningkatkan kemampuan berpikir kita.

Categories
Uncategorized

[film review] Santosh (2024): an uphill battle for gender justice in caste-based society

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/9/9a/Santosh_%282024_film%29.jpg

Film Santosh (2024) adalah sebuah karya yang menggugah, mengisahkan perjalanan seorang polisi bernama Santosh Saini yang berjuang untuk menegakkan keadilan di tengah sistem yang korup dan penuh tantangan. Dalam film ini, penonton diajak untuk menyelami konflik moral yang dihadapi oleh Santosh, serta dampak dari tindakan dan keputusan yang diambilnya dalam pencarian kebenaran.

Alur dan Plot
Cerita dimulai dengan pengenalan Santosh Saini, seorang polisi yang baru saja kehilangan suaminya, seorang polisi yang terbunuh dalam kerusuhan Hindu-Muslim di Nehrat. Kematian suaminya bukan hanya meninggalkan luka mendalam, tetapi juga memberikan Santosh kesempatan untuk mewarisi posisinya sebagai polisi melalui kebijakan “compassionate appointment” di India, yang memungkinkan pasangan yang ditinggalkan untuk mengambil alih pekerjaan pegawai pemerintah yang telah meninggal.

Ketika Santosh berusaha menyesuaikan diri dengan perannya yang baru, dia terlibat dalam kasus hilangnya seorang gadis muda bernama Devika, putri seorang pria Dalit. Ketika Santosh mencoba membantu ayah Devika, dia menyadari betapa korupnya sistem yang dia layani. Atas permintaan ayah Devika, Santosh berusaha untuk mengajukan laporan resmi, tetapi atasannya meremehkan situasi tersebut dan menyuruhnya untuk membawa surat pengaduan. Keesokan harinya, tubuh Devika ditemukan di sebuah sumur, yang memicu kemarahan dan protes dari komunitas Dalit.

Protes ini menjadi titik balik bagi Santosh, yang mulai menyadari bahwa dia tidak hanya berjuang untuk keadilan bagi Devika, tetapi juga melawan sistem yang menindas dan merendahkan masyarakat yang terpinggirkan. Alur cerita semakin menegangkan ketika Santosh harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk ancaman terhadap keselamatannya dan tekanan dari atasan yang lebih memilih untuk menutup-nutupi kasus tersebut demi kepentingan pribadi.

Puncak dari cerita ini terjadi ketika Santosh harus membuat keputusan sulit yang akan menentukan nasibnya dan keadilan bagi Devika. Dalam momen-momen ini, penonton dapat merasakan ketegangan dan dilema moral yang dihadapi oleh Santosh, yang mencerminkan realitas banyak individu yang berjuang untuk keadilan di dunia yang tidak adil.

Karakter
Karakter utama dalam film ini adalah Santosh Saini, yang diperankan dengan sangat baik oleh aktor utama. Santosh digambarkan sebagai sosok yang kuat, berani, dan penuh tekad. Dia memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugasnya sebagai polisi, tetapi juga menghadapi dilema moral yang membuatnya mempertanyakan metode dan pendekatannya dalam menegakkan keadilan.

Santosh Saini: Karakter ini adalah representasi dari perjuangan individu melawan sistem yang korup. Dia tidak hanya berjuang untuk mengungkap kebenaran tentang kematian Devika, tetapi juga berusaha untuk menjaga integritasnya di tengah tekanan yang ada. Santosh adalah simbol harapan bagi mereka yang merasa terpinggirkan dan tidak memiliki suara. Perjuangannya untuk keadilan menjadi lebih personal setelah kehilangan suaminya, yang menambah lapisan emosional pada karakternya.

Devika: Sebagai gadis muda yang menjadi korban, Devika mewakili suara yang terabaikan dan perjuangan untuk keadilan. Kematian Devika menjadi pemicu bagi Santosh untuk berjuang lebih keras dalam pencariannya akan kebenaran. Kehadirannya dalam cerita, meskipun terbatas, memberikan dampak yang besar dan menggugah kesadaran akan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Dalit.

Ayah Devika: Karakter ini mencerminkan kesedihan dan kemarahan yang dirasakan oleh komunitas Dalit. Dia berjuang untuk mendapatkan keadilan bagi putrinya dan menjadi simbol dari perjuangan masyarakat yang terpinggirkan. Protes yang dilakukan oleh ayah Devika dan komunitasnya menunjukkan kekuatan kolektif dalam menghadapi ketidakadilan.

Sharma: Atasan Santosh yang korup, yang mewakili sistem yang menindas. Karakter ini menciptakan ketegangan dalam cerita, karena dia berusaha untuk menghalangi Santosh dalam pencariannya. Sharma adalah simbol dari kekuasaan yang menyalahgunakan posisi untuk kepentingan pribadi.

Pesan Umum
Film Santosh menyampaikan pesan yang kuat tentang pentingnya keadilan dan integritas dalam menghadapi sistem yang korup. Melalui perjalanan Santosh, penonton diajak untuk merenungkan tantangan yang dihadapi oleh individu yang berjuang untuk kebenaran. Film ini menunjukkan bahwa meskipun ada banyak rintangan dan ancaman, keberanian untuk berdiri melawan ketidakadilan adalah langkah pertama menuju perubahan.

Pesan lain yang dapat diambil dari film ini adalah pentingnya solidaritas dan dukungan dari komunitas. Santosh tidak berjuang sendirian; dia didukung oleh rekan-rekannya dan masyarakat yang percaya pada keadilan. Ini menunjukkan bahwa perubahan sosial yang signifikan sering kali memerlukan kolaborasi dan dukungan dari banyak pihak.

Secara keseluruhan, Santosh adalah film yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan refleksi mendalam tentang isu-isu sosial yang relevan. Dengan alur yang menegangkan, karakter yang kuat, dan pesan yang menggugah, film ini berhasil menyampaikan pentingnya keadilan dan integritas dalam dunia yang sering kali tidak adil.

Semanticise symbolism in the film:

Simbolisasi Perjuangan Santosh Saini dalam Film Santosh (2024)

Film Santosh (2024) adalah sebuah narasi mendalam tentang perjuangan melawan ketidakadilan sistemik dan korupsi institusional yang mengakar kuat dalam masyarakat. Melalui karakter utamanya, Constable Santosh Saini, film ini mengeksplorasi bagaimana individu dapat menjadi korban maupun pelaku dalam sistem yang penuh manipulasi, kekerasan, dan hierarki sosial yang tidak adil. Dengan menggunakan simbolisme yang kaya, film ini berhasil menggambarkan perjalanan moral, emosional, serta spiritual Santosh dalam mencari keadilan di tengah dunia yang sering kali memadamkan suara-suara yang berani menentang status quo.

Ketidakadilan Sistemik dan Aktivisme Devika

Salah satu simbol utama dalam film ini adalah sumur yang ditemukan penuh dengan bangkai hewan—tempat jasad Devika, seorang remaja berusia 15 tahun, akhirnya ditemukan. Sumur tersebut bukan hanya tempat pembuangan fisik, tetapi juga metafora bagi marginasasi komunitas Dalit dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh elit berkuasa. Devika, yang kemungkinan besar merupakan aktivis lingkungan meskipun tidak secara eksplisit disebutkan, menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni sosial dan eksploitasi sumber daya alam. Keterlibatannya dalam mengungkap praktik ilegal ini membuatnya menjadi ancaman bagi mereka yang ingin mempertahankan kekuasaan mereka. Pembunuhan Devika oleh sepupu Prajdhana-ji dan teman-temannya mencerminkan bagaimana suara-suara kritis sering kali dibungkam demi menjaga stabilitas struktur dominan.

Devika sendiri merepresentasikan keberanian generasi muda yang peduli akan keadilan sosial dan lingkungan. Namun, kematian tragisnya juga menunjukkan betapa rapuhnya posisi mereka yang berusaha melawan sistem tanpa perlindungan atau kekuatan. Penemuan buku catatan atau barang-barang milik Devika oleh Santosh semakin memperkuat gagasan bahwa Devika sedang menyelidiki isu-isu penting seperti polusi dan diskriminasi kasta. Ia menjadi korban dari sistem yang tidak hanya merendahkan manusia tetapi juga merusak bumi.

Korupsi Institusional dalam Kepolisian

Sebagai anggota kepolisian, Santosh Saini berada pada posisi unik: dia adalah bagian dari lembaga yang seharusnya menegakkan hukum, tetapi malah terlibat dalam mekanisme korupsi yang mendukung elit berkuasa. Salah satu momen paling signifikan dalam film ini adalah interogasi brutal terhadap Saleem, seorang tersangka tak bersalah yang akhirnya meninggal karena bunuh diri setelah disiksa oleh Santosh. Tindakan ini, meskipun dilakukan dengan niat untuk memecahkan kasus Devika, mencerminkan bagaimana tekanan sistemik dapat memaksa bahkan orang baik melakukan hal-hal buruk. Siksaan terhadap Saleem menjadi simbol bagaimana kekerasan negara digunakan untuk melindungi kepentingan tertentu, sementara korban-korbannya dibiarkan tanpa suara.

Hubungan antara Santosh dan Senior Officer Sharma juga memperlihatkan kompleksitas korupsi institusional. Sharma, yang awalnya tampak sebagai mentor penyayang, ternyata memiliki agenda terselubung. Gestur “mencubit hidung” Santosh dan memberinya jimat kecil bisa diartikan sebagai bentuk kontrol halus atas kesetiaan Santosh kepada sistem. Jimat tersebut, yang akhirnya diberikan Santosh kepada seorang gadis kecil penjual biskuit di kereta api menuju Mumbai, melambangkan upaya Santosh untuk melepaskan diri dari jeratan korupsi itu. Dengan memberikan jimat tersebut, ia seolah-olah menolak warisan moral buruk yang diwariskan oleh institusi tempat ia bekerja.

Pencarian Keadilan dan Harapan Baru

Perjalanan Santosh mencapai puncaknya ketika ia memutuskan untuk meninggalkan kepolisian dan memulai hidup baru di Mumbai. Keputusan ini bukan sekadar langkah karier, tetapi simbol transformasi personal yang mendalam. Kota Mumbai, yang dikenal sebagai pusat dinamisme dan peluang, menjadi representasi harapan baru bagi Santosh—sebuah tempat di mana ia bisa mendefinisikan ulang identitasnya tanpa terikat pada masa lalu yang penuh dosa. Sebelum pergi, ia mengembalikan anting-anting Devika kepada keluarganya saat mereka tidur. Tindakan ini melambangkan usaha terakhirnya untuk memperbaiki kesalahan dan mengembalikan martabat kepada korban ketidakadilan.

Pengembalian anting-anting juga bisa dilihat sebagai permohonan ampunan atas tindakan-tindakan salah yang telah ia lakukan selama penyelidikan, termasuk penyiksaan terhadap Saleem. Meskipun Santosh berhasil membongkar kebenaran tentang pembunuhan Devika, cara ia mencapai tujuan tersebut meninggalkan bekas luka moral yang sulit disembuhkan. Dengan meninggalkan semua atribut lamanya, termasuk jimat dari Sharma, Santosh menandai babak baru dalam hidupnya: sebuah perjalanan menuju pembebasan diri dari belenggu sistem yang korup.

Kesimpulan

Film Santosh (2024) menggunakan simbolisme secara brilian untuk menggambarkan perjuangan melawan ketidakadilan sistemik dan korupsi institusional. Melalui karakter Santosh Saini, penonton diajak merenungkan dilema moral yang dihadapi individu ketika berada dalam sistem yang tidak adil. Dari sumur yang menjadi wadah kejahatan hingga jimat yang dilepaskan di kereta api, setiap unsur visual dalam film ini membawa makna mendalam tentang keadilan, pengorbanan, dan harapan. Pada akhirnya, cerita Santosh adalah tentang seorang wanita yang belajar untuk bertahan hidup dengan integritas, bahkan jika itu berarti meninggalkan segala sesuatu yang pernah ia kenal.