Kita menapaki tahun yang baru dengan gelayut duka bawaan dari yang lalu, 2020.
Duka yang spesifik dan mengglobalnya ketakutan oleh invisibilitas dan viralitas Covid-19.
Keparahan adalah nyata dan daya rusaknya (dari Covid-19 ini) tidak kira-kira.
Bahkan, tidak sedikit pakar yang sudah menduga kemunculan Covid-19 ini sebagai ancaman Pandemi yg nyata dalam “Bumi Manusia” yg dilabeli Disease-X (https://en.wikipedia.org/wiki/Disease_X) maupun cikal-bakal Pandemi yg akan datang https://www.kompas.com/sains/read/2021/01/04/080000723/apa-itu-disease-x-pandemi-yang-akan-muncul-di-masa-depan-?page=all).
Karenanya, manusia yang biasanya jumawa, petantang-petenteng dengan daya rasionalitas dan kejayaan machinery nya dalam upaya mastery over nature, kini ditundukkan oleh geliat renik yang kasat mata.
Walhasil, pengabaian bukanlah keutamaan dan acuh adalah dosa kardinal.
3M: Menjaga jarak, Menggunakan Masker, Mencuci Tangan secara ajeg kini seolah2 menjadi mantra penyelamat baru agar tidak tertular Kopid/Koit.
Jadi, ikhtiar membuka 2021 membawa kita pada tanya: Apakah ini era lembaran baru, tabula rasa yang siap ditulisi semau kita, atau justru ini lebaman baru yang membuka ruang kesadaran kita bahwa tidak selamanya antroposentrisme berkuasa dan idolatry kemanusiaan digdaya?
Bahwasanya, 2020 mengajarkan kepada kita untuk merunut pada tapak kepulangan manusia pada kodratnya yang alami, against artificiality dan teknologisasi yang mengorupsi sendi2 kedirian manusia, yang oleh Rousseau berabad2 yang lalu disebutnya sebagai “Le retour à l’état de nature: la nature primitive de l’homme.”
Kepulangan pada yg ingatan yg hakiki tentang kedirian yang masih menyatu dengan alam, bukan mengalienasi maupun mengeksploitasi alam, adalah inti insight utk menulisi lembaran baru 2021.
Mengutip Milan Kundera dalam Ignorance (2000), Irena tidak lagi melawan: ia sudah terlanjur tertawan oleh gugus citra yang mendadak membual dari buku-buku yang dibacanya bertahun-tahun silam, dari film-film yang ditontonnya, dari memorinya, dan mungkin juga dari memori purba: anak yang hilang kembali lagi ke rumah bersama ibunya yang sudah uzur; seorang lelaki kembali ke pelukan orang-orang yang dicintainya yang pernah dicerabut oleh tangan nasib yang kejam, ladang dan tanah pertanian yang selalu kita bawa dalam batin; jejak yang ditemukan kembali, yang masih ditandai oleh tapak-tapak kaki masa kanak-kanak yang mulai memudar-terlupakan; Odysseus menerawang pulau kelahirannya setelah bertahun-tahun berkelana; pulang, pulang, pesona magis yang agung dari kepulangan.
Semoga kepulangan kita hakiki dan diri kita, terestitusi.
Hendar (c) 5 Januari 2021