Categories
Uncategorized

Alur pembuktian logis ‘nilai moral intrinsik dari entitas informasional’ (Floridi, 2002, 2013)

Rujukan utama
Floridi, L. (2002). On the intrinsic value of information objects and the infosphere. Ethics and Information Technology 4, 287–304. https://doi.org/10.1023/A:1021342422699
Bdk. Floridi, L. (2013). ‘The intrinsic value of the infosphere’, The Ethics of Information (Oxford, 2013; online edn, Oxford Academic, 23 Jan. 2014). https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780199641321.003.0006, Diakses Putranto pada 25 Mei 2024.

Rujukan pelengkap
Kuliah Tamu (Sesi 10) tentang “Etika Ruang Siber dan Virtual dalam konteks penerapan Etika Komunikasi Strategis” yang disampaikan untuk para mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi, UMN, batch 6, pada Selasa, 23 April 2024 pukul 18.30 – 21.05 WIB.

Penjelasan atas pembuktian nilai moral intrinsik (intrinsic moral value) dari entitas informasional sebagaimana digagas oleh filsuf Luciano Floridi dalam bukunya, The Ethics of Information © 2013

Dituliskan ulang oleh Hendar Putranto © 2024 (26 Mei, pukul 10.04-10.55 WIB)

Salah seorang mahasiswa peserta kuliah tamu ‘Etika Komunikasi Strategis’ dari Program MIKOM, Batch 6, bertanya sebagai berikut, “Sejujurnya aku bingung sih, Pak. Gak tahu, teman-teman yang lain. Aku sih pusing ya. Pertama tadi yang mengenai pembuktian logis itu. Yang Bapak menjelaskan tentang if apa itu. Itu berarti bisa diaplikasikan ke beberapa model ya, Pak? Bahwa X itu bisa diganti. Apakah boleh dijelaskan ulang maksudnya entitas intrinsik itu tadi apa, Pak?”

Hendar Putranto kemudian merespon sebagai berikut:

Baiklah, saya akan mulai penjelasan tentang pembuktian logis nilai moral intrinsik dari entitas informasional yang mengacu pada argumen Floridi (2002, 2013) sebagai berikut “something as intrinsically valuable, and hence worthy of some moral respect…(upon which) the minimal condition of possibility of an entity’s least intrinsic value is to be identified with its ontological status as an informational entity.”

Pertama, kita sebut saja entitas informasional tadi itu sebagai X, begitu ya. X itu bisa digantikan apapun karena entitas informasional itu mencakup semua hal yang dapat dilihat sebagai data atau kumpulan data. Misalnya ini (menunjukkan sebuah benda), apa ini namanya? mouse ya? Nah, mouse ini masuk ke dalam entitas informasional karena dia punya data di dalamnya. “Data” ini dalam tanda kutip ya. Artinya, yang dimengerti sebagai ‘data’ itu tidak harus selalu terhubung internet, dsb. Bukan seperti itu. Apalagi kalau ‘data’ dimengerti seperti ini (menunjukkan smartphone). Smartphone ini sebagai entitas informasional tentu jauh lebih kompleks daripada sekadar mouse ya, karena isinya memuat banyak data, ia terhubung dengan agregat data lainnya lewat jaringan internet, dsb. Bisa juga entitas informasional itu (menunjukkan) earphone ini. Atau mau benda apapun lainnya boleh, untuk menggantikan X tadi.

Jadi, entitas informasional itu bisa diganti apapun, bisa juga manusia, binatang juga bisa, anjing, kucing, buaya, bahkan planet (celestial bodies). Jadi, bisa apapun. Nah, poinnya adalah mengapa suatu benda atau hal itu disebut sebagai entitas informasional? Kalau menurut Floridi, dalam Etika Informasi (2013), semua benda atau entitas itu tersusun dari information. Kalau dalam konteks kuliah malam hari ini, kita dapat dengan lebih mudah memahaminya bila menyebutnya data, terisi dengan data. Tapi, kalau bagi Floridi, data itu bagian dari information. Jadi information itu sesuatu yang lebih menyeluruh daripada hanya data.

Lalu tadi pada salah satu slide saya menyodorkan pembuktian logis. Di situ saya menggunakan model “jika dan jika,” artinya model logika hypothetical ya. Logika dasar itu mengenal model silogisme standar itu ada dua, yaitu logika kategoris dan logika hipotetis. Kalau ‘jika dan jika’ itu artinya logikanya hipotetis, tapi kalau semua adalah apa, lalu sebagian adalah apa, itu artinya logika kategoris.

Pembedaan semacam ini biasanya saya sampaikan ketika mengajar mahasiswa Strata 1 (sarjana), pada semester-semester awal (1 atau 2), dalam perkuliahan bernama Dasar-dasar Logika.

Biasanya saya memakai model logika Aristoteles ketika membahas tentang Silogisme. Jadi, dari model logika kategoris sama logika hipotetis itu nanti kita dapat mengambil kesimpulan yang valid. Jadi, proses penyimpulan yang valid dengan menggunakan logika model kategoris atau hipotetis. Semacam itu ya. Saya ulangi lagi, kalau menggunakan ‘jika dan jika,’ itu artinya silogisme hipotetis.

Jadi, jika syarat ini terpenuhi, maka dia begini. Dengan rumusan: p ⇒ q dan q ⇒ r yang menghasilkan konklusi p ⇒ r. Jadi, jika A, maka B. Jika B, maka C. Kesimpulannya, jika A maka C. Kalau logika hipotetis itu kan sederhananya begitu. Nah, yang dilakukan oleh Floridi tadi sebenarnya mau membuktikan apa? Floridi mau membuktikan bahwa setiap entitas informasional itu punya nilai moral intrinsik, atau disebut intrinsic moral value. Jika sesuatu mempunyai intrinsic moral value, maka benda itu atau apapun itu layak mendapatkan hormat moral kita (worthy of some moral respect).

Kita dapat mengambil contoh berikut ini, ketika kita bertanya, kapan kehidupan itu dimulai? Ini kan persoalan sentral yang jadi pembahasan dalam bio-ethics. Apakah kehidupan itu dimulai ketika terjadi perjumpaan antara sperma dengan sel telur? Kan begitu ya bahasanya kalau kita menggunakan term dari Biologi. Lalu dari hasil perjumpaan itu terjadi pembuahan, misalnya. Pada manusia, dan pada umumnya makhluk hidup ya, kalau sperma ketemu sel telur maka akan terjadi pembuahan, pada detik itu juga, istilahnya million second itu juga, kehidupan sudah muncul. Jadi, ada sejumlah ahli yang mengatakan begitu.

Nah, kalau dikatakan bahwa kehidupan itu sudah muncul di situ, maka hasil pembuahan itu haruslah mendapatkan moral respect kita, sehingga kita tidak boleh, misalnya, mengugurkan (aborsi) yang sudah dianggap sebagai awal-mula kehidupan karena alasan utama moral respect for life.

Saya mau mengatakan hal ini: kalau memakai contoh yang sederhana ini, kita dapat lebih mudah membayangkan hal yang kita mau bahas tadi. Ketika seseorang mengatakan bahwa kehidupan dimulai tiga minggu setelah pembuahan atau saat perjumpaan sperma dengan sel telur, tapi ada juga yang mengatakan, oh kalau janin (embryo) sudah mulai ada bentuknya, misalnya pada trimester ke-2 itu janin mulai ada bentuknya, maka itu baru disebut kehidupan.

Tapi ada juga yang agak ekstrim, spektrum yang paling kanan ya, kalau janin sudah terlahir normal, sehat, baru itu disebut kehidupan; jadi, selama masih di dalam perut ibu dan bentuknya embryo, itu belum disebut kehidupan, begitu kan? Konsekuensi logis dari paham yang seperti itu tadilah akan menghasilkan pembedaan dalam perlakuan-perlakuan terhadap yang disebut ‘kehidupan’ itu tadi.

Dengan demikian, berdasarkan contoh-contoh yang saya berikan tadi, diharapkan kita jadi lebih mudah memahami klausul “pembuktian logis atas nilai moral intrinsik dari entitas informasional yang pantas mendapatkan moral respect kita.”

Categories
Uncategorized

Apakah dosen termasuk digital labor? Kalau iya, bagaimana mungkin? Temukan jawabannya di sini

Pertanyaan di atas (dan elaborasinya) sudah saya coba jawab dalam artikel ilmiah terbaru yang saya tulis beberapa waktu lalu dengan judul, Prahara Digital Labor dalam Bingkai Penafsiran Logika Waktu Pendek dan Kapitalisme Luwes.

Tulisan sepanjang 8,000 kata ++ tersebut akhirnya saya submit ke & berhasil dimuat dalam jurnal Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication (E-ISSN 2721-0162 & P-ISSN 2721-1495), Vol. 5(1), 41-62.

https://tuturlogi.ub.ac.id/index.php/tuturlogi

Tuturlogi adalah jurnal ilmiah yang mengkhususkan kajiannya pada studi Ilmu Komunikasi di Indonesia dan, secara lebih umum, kajian Komunikasi di Asia Tenggara.

Tuturlogi dikelola dan diterbitkan oleh Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya (Malang, Jawa Timur).

Berikut abstrak (231 kata) dan keywords-nya (in English):

When the COVID-19 pandemic gradually subsided, digital disruption was considered a game changer for today’s work, such as work from home (WFH).
The prevalence of digital disruption in contemporary work has triggered the birth of a digital labor class, which broadly impacts intra- and inter-organizational communication, especially in dealing with work-related risks in an increasingly insecure labor market.
In a macro context like this, digital labor within neoliberal higher education institutions became an interesting phenomenon, especially given the worsening
conditions of intellectual workers and changes in academic behavior and practices.
A recent study showed many practices violating academic integrity in Indonesian higher education institutions, such as plagiarism, data fabrication, improper claims of authorship, contract-cheating, and other violations of professional codes of ethics.
To address these problems, the author employed a critical method of the political economy of communication and the sociology of work to analyze ‘short-time logic’ as an operational mechanism in flexible capitalism, commoditizing workers’ time by blurring the boundaries between productive and leisure time and turning the
illusion of worker autonomy into a ‘sustained contestation.’
The ‘short time logic’ of flexible capitalism deformed intellectual workers in higher education in Indonesia into digital labor because they were constantly conditioned to produce intellectual products with highly competitive metrics but lacking reflection and meaningfulness, which sharpened the gaps in competency-based inequalities and created a new hierarchy of social classes in higher education.

Keywords: digital labor; political economy of communication; critical sociology of work; the culture of new capitalism (CNC); cutting-edge firms & worker’s talent

Adapun, dua paragraf pertama dari bagian Pendahuluan-nya tertulis sbg berikut:

Dua hantaman besar menerpa dunia kerja, disrupsi digital dan Pandemi COVID-19, tetapi ‘hanya’ satu yang diseka; sementara, yang satunya dianggap biasa saja, lumrah, dan normal. Ketika COVID-19 berangsur mulai reda dan tertangani—oleh PBB sudah dinyatakan bukan lagi ancaman kesehatan global (UN, 2023)— disrupsi digital justru dianggap sebagai game changer (Future Earth, 2020; Chang & Chang, 2023) bagi dunia kerja sekarang (Putranto, 2021; Shirmohammadi, dkk., 2022), misalnya lewat keluwesan aturan bahwa bekerja tidak harus berada di kantor (Work from Home). Salah satu konsekuensi besar dari pelaziman atau normalisasi disrupsi digital dalam dunia kerja kontemporer adalah munculnya strata kelas pekerja digital atau digital labor (Xia, 2021), mulai dari klas pekerja prekariat—yang oleh sebagian ahli dilihat sebagai “klas yang paling miskin secara ekonomi dan paling berkekurangan dari tujuh klas yang teridentifikasi,” (Savage, dkk., 2013), atau “a potentially transformative new mass class” (Standing, 2014)—, kaum pekerja migran di Global North (Lewis, dkk., 2015), student-workers (Campbell & Price, 2016), sampai dengan para pekerja teknologi yang berkecukupan (affluent tech workers) (Dorschel, 2022). Ringkasnya, semua pekerja yang job desk-nya difasilitasi oleh dan tergantung pada penggunaan teknologi digital kiwari, khususnya internet, media sosial, dan kecerdasan buatan, dalam lingkup kapitalisme digital, entah secara langsung maupun tidak langsung, dan berhadapan dengan risiko-risiko kerja dalam pasar tenaga kerja yang semakin tidak aman (Fuchs, 2014; Chun & Agarwala, 2016; Dorschel, 2022; Jarrett, 2022; Munn, 2024).

Perubahan teknologi, dulu dan sekarang, analog maupun digital, tentu saja membawa dampak-dampak tertentu yang perlu direspon oleh pasar tenaga kerja, baik pemberi kerja maupun pekerja, pada sektor formal maupun informal. Salah satu pokok perubahan terkait ‘dampak negatif’ (yang biasanya dipersepsi sebagai ancaman) dari digitalisasi atau disrupsi digital terhadap dunia kerja berbunyi sebagai berikut: “(ancaman yang dibawa oleh disrupsi digital) hadir dalam bentuk sejumlah tantangan baru yang dihadapi pemberi kerja dan pekerja. Teknologi digital dan layanan digital mengubah aturan bekerja serta sejumlah prasyarat yang dituntut dari pekerja seperti kompetensi, pengetahuan, kecakapan dan sikap” (Chinoracký & Čorejová, 2019). Selain itu, perusahaan yang digerakkan ‘roda’ kapitalisme platform dijital, contohnya perusahaan Über atau Lyft, berpotensi mengubah pekerjaan dan kondisi kerja bagi segmen pekerja tertentu, seperti kondisi pekerjaan yang rentan sekaligus merusak kesehatan (Muntaner, 2018).

Untuk paragraf lanjutan bagian Pendahuluan, Metode, Hasil dan Pembahasan, serta Kesimpulan dan Kritik/Tanggapan, silakan mengunduh dan membaca langsung artikelnya pada link berikut ini:

https://tuturlogi.ub.ac.id/index.php/tuturlogi/article/view/13606 atau kalau menggunakan DOI-nya, di sini: https://doi.org/10.21776/ub.tuturlogi.2024.005.01.5

Jangan lupa “Like, Comment, Share and Subscribe” yaaaah :p

salam buruh digital!

Hendar Putranto

Categories
Uncategorized

Perkembangan Konsep Etis dari Etika Komputer dan Siber menuju Etika Informasi dan AI: Sebuah Ancangan Awal

Disarikan dari Kuliah Tamu tentang Dimensi Etis dalam Etika Siber, atau yang juga dikenal dengan istilah lain seperti Etika Komputer, Etika Virtual, dan Etika Informasi, pada Selasa, 23 April 2024.
Peserta: Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara, batch 6

Dosen Pengampu: Dr. (Cand.) Hendar Putranto, M. Hum.
Alumnus Program Magister STF Driyarkara & Kandidat Doktor dalam Ilmu Komunikasi, Program Pascasrjana Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia

Sekarang kita masuk ya ke materinya. Itu tadi baru pengantar saja.

Sekarang saya akan mulai sedikit dengan semacam kilas balik sejarah ya, supaya teman-teman dapat memahami hal yang tadi saya singgung di muka, yaitu kenapa pada judul salindia saya tulisnya ada etika cyber/virtual/informasi.

Setelah Perang Dunia Kedua, ada seorang ahli komputer dan pemikir teknologi bernama Norbert Wiener (1894 – 1964), yang menulis buku berjudul The Human Use of Human Being (terbit perdana tahun 1950, versi revisi tahun 1954).

Dalam bukunya ini, Norbert Wiener sudah menengarai dan mengantisipasi adanya sejumlah isu etis di dalam penggunaan komputer. Yang perlu kita pahami di sini mungkin beberapa teman sudah ada yang nonton film The Imitation Game (2014) yang diperankan Benedict Cumberbatch, tentang Turing Machine.

Jadi dalam film itu digambarkan bagaimana penggunaan mesin ciptaan Alan Turing pada tahun 1936, yang disebut dengan a-machine atau automatic machine pada waktu pecah Perang Dunia II (1942) guna memecahkan sandi yang dibuat oleh Nazi Jerman, supaya (Inggris) bisa tahu dan mengantisipasi pergerakan armada perang NAZI Jerman, khususnya pesawat-pesawat pengebom Heinkel He 111 bombers dalam The Battle of Britain (1940), akan meluncurkan bom-bomnya di titik mana.

Setelah lahirnya mesin Turing itulah perkembangan komputer bermula, dan ternyata memunculkan atau ditengarai memunculkan masalah etis, yaitu tentang automation, automata yang terkait dengan mesin. Jadi automation itu terkait dengan fungsi atau kerja mesin dan otonomi, jadi semacam diperlawankan begitu ya. Kalau otonomi besar artinya mesin tidak bisa semakin otomatis, harus tergantung pada manusia operatornya. Tetapi kalau automation semakin besar, mesin mempunyai daya kendali yang makin besar, maka otonomi manusia sebagai, misalnya operatornya, makin mengecil. Jadi ada semacam tegangan etis (ethical dilemma) di dalam penggunaan komputer.

Yang kedua, Wiener juga membahas tentang komunikasi yang produktif antara mesin dengan manusia yang berbentuk kooperasi, atau kerjasama. Dalam bukunya, Wiener mengatakan bahwa “It is my thesis that the operation of the living individual and the operation of some of the newer communication machines are precisely parallel […] This is true whether we consider human beings alone, or in conjunction with types of automata which participate in a two-way relation with the world about them” (Wiener, 1950, p. 15).

Tetapi, Wiener juga mengenali potensi risiko dari meluasnya penggunaan komputer atau masalah etis dari automation, yaitu slavery atau dehumanisasi, ketika manusia menjadi subordinat atau berada di bawah kendali mesin. Berikut verbatim dari Wiener terkait hal ini: “I wish to devote this book to a protest against this inhuman use of human beings; for in my mind, any use of a human being in which less is demanded of him and less is attributed to him than his full status is a degradation and a waste […] it is an almost equal degradation to assign him a purely repetitive task in a factory, which demands less than a millionth of his brain capacity. It is simpler to organize a factory or galley which uses individual human beings for a trivial fraction of their worth than it is to provide a world in which they can grow to their full stature. Those who suffer from a power complex find the mechanization of man a simple way to realize their ambitions” (Wiener, 1950, p. 16).

Dengan kata lain, performa mesin semakin terlepas dari kendali manusia jika tidak disupervisi dengan baik. Nah, jadi ini saat di mana mesin itu semacam punya intelligence-nya sendiri. Jadi dia bergerak sendiri begitu.

Belum lama saya nonton film Mission Impossible yang terbaru, Death Reckoning (2023). Di situ kan ada AI yang seperti berpikir sendiri, bergerak sendiri, mengendalikan begitu ya [disebutnya sebagai The Entity: an advanced, self-aware rogue AI].
Yang lalu istilahnya adu pinter gitu ya dengan si Tom Cruise yang menjadi tokoh utama film itu. Jadi ketika mesin atau intelligence yang ada di balik mesin, dia bisa berkembang dengan sedemikian rupa sehingga tidak lagi dapat dikendalikan oleh manusia.

Terus yang terakhir dalam tulisan ini, Wiener juga memperkenalkan istilah entropi dan negentropi dalam kajian sibernetika, ini yang kemudian menjadi salah satu tradisi di dalam ilmu komunikasi, sibernetika. Kedua istilah ini merujuk pada hukum kedua termodinamika, yang berbunyi “a system may lose order and regularity spontaneously, but that it practically never gains it […] The notion of information has proved to be subject to a similar law – that is, a message can lose order spontaneously in the act of transmission, but cannot gain it” (Wiener, 1950, p. 7). Hal ini nanti akan saya jelaskan lebih jauh pada slide berikutnya ketika Luciano Floridi meminjam istilah entropy ini untuk merumuskan ‘prinsip-prinsip Etika Informasi’ (the basic principles of IE).

Tokoh yang kedua adalah Walter Maner, guru dan peneliti medis dari Amerika Serikat yang memberi perhatian pada pentingnya pengajaran etika komputer dalam kurikulum pendidikan. Jadi, ini di Amerika Serikat, Maner adalah salah satu tokoh yang memperkenalkan tentang etika komputer di dalam kurikulum pendidikan waktu itu ya, mungkin masih di Departemen Teknik atau Mesin ada yang namanya Computer Science, pada pertengahan tahun 1970, 1975 atau 1976 begitu. Etika komputer kemudian masuk dalam kurikulum. Walter Maner juga menulis satu buku yang disebut Starter Kit for Teaching Computer Ethics (Bynum, 2000). Maner melihat dan mengevaluasi bahwa sejumlah isu etis sudah sedemikian berubah (transformed) karena penggunaan komputer sehingga isu-isu etis ini layak untuk dipelajari secara khusus, in their radically altered form. Karena itu, Maner mendefinisikan etika komputer sebagai “cabang dari etika terapan yang memelajari masalah-masalah etis yang dibuat jadi lebih serius, ditransformasi, atau diciptakan oleh teknologi komputer” (Bynum, 2000).

Inilah buku yang pertama kali, di dalam kurikulum pendidikan di Amerika waktu itu, memperkenalkan istilah Computer Ethics walaupun buku ini memang disebutnya sebagai starter kit , bukan sebuah pendahuluan atau introduction yang cukup lengkap dan menyeluruh. Ternyata istilah computer ethics masih terus digunakan selama 10-15 tahun sejak diperkenalkan di dalam kurikulum itu, yang kemudian oleh Deborah G. Johnson (1985) dalam bukunya Computer Ethics dan James H. Moor (1985) dalam artikelnya “What is Computer Ethics,” diangkat ke tataran yang lebih filosofis dan dimuat dalam jurnal yang memang membahas tentang filsafat, yaitu Metaphilosophy.

Jadi inilah tahapan yang dalam etika kita sebut sebagai ‘bertolak dari yang praktikal, dari subjek yang cukup praktis kalau komputer etik yang tadi diperkenalkan oleh Walter Maner, kemudian diangkat ke tataran yang lebih normatif,’ sebagaimana di awal tadi saya sebutkan ada tiga tataran dalam mempelajari Etika secara menyeluruh, yaitu metaethics, normative ethics & applied ethics.

Dengan demikian, baik Johnson maupun Moor termasuk pionir yang pertama kali mendefinisikan etika komputer sebagai cabang kajian etika terapan. Bahkan Moor mencetuskan satu istilah yang khas, yaitu Logical Malleability dari komputer. Jadi, malleability itu kemampuan untuk dapat dibentuk-bentuk seperti tanah liat. Artinya, struktur komputer memungkinkan komputer itu untuk melakukan sembarang kegiatan dan secara kuat menunjukkan hubungan logis antara inputs dengan outputs, sehingga komputer dapat melakukan beragam fungsi sekaligus. Fungsi-fungsi yang dapat dilakukan oleh komputer secara sekaligus itu mulai dari pengolahan data, piranti, gawai, komunikasi, platform belanja, main game, dan manajemen keuangan.

Jadi sudah dari tahun 1985, kita melihat bahwa ada yang namanya platform belanja yang dijalankan komputer. Tentu bukan platform belanja berbasis digital apps seperti yang sekarang kita kenal, misalnya Shopee atau Tokopedia, Blibli, dan seterusnya. Bukan seperti itu. Tetapi istilah platform belanja dan bahkan main game ternyata sudah ada/dicetuskan sejak tahun 1985.

Itulah konteks khusus munculnya istilah logical malleability dalam kajian etika komputer pada tahun 1985, ketika naskah what is computer ethics ini pertama kali terbit.

Nah, sekarang kita masuk ke yang namanya information ethics, yang diperkenalkan oleh seorang tokoh bernama Luciano Floridi. Pemikiran Floridi tentang Information ethics ini saya jadikan salah satu backbone teori dalam disertasi saya. Floridi lahir di kota Roma, Italia pada 1964, dan menempuh pendidikan sarjananya di jurusan Filsafat Rome University La Sapienza. Tidak lama setelah lulus sarjana, Floridi pindah ke Inggris dan berkiprah merintis karir akademisnya di sana pada awal 1990-an.

Floridi sudah mulai menulis tentang prekursor Etika Informasi sejak tahun 1994-95, tetapi baru pada tahun 1999 Floridi mengeksplisitkan information ethics ini dalam judul artikel ilmiah yang ditulisnya, yang pertama kali muncul dalam jurnal Ethics and Information Technology. Pada tahun 2006, ide dasar tentang Etika Informasi ini dikembangkannya lagi menjadi artikel bertajuk Information Ethics: Its Nature and Scope yang dimuat dalam jurnal Acm Sigcas Computers and Society 36(2). Pada tahun 2013, beliau menulis buku yang sebenarnya merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan sebelumnya yang bicara tentang information ethics, tapi kemudian ia kembangkan dengan tambahkan beberapa bab baru, sehingga menjadi buku utuh bertajuk The Ethics of Information.

Kemudian, pada tahun 2023, buku yang keempat dari tetralogi karya filosofisnya seputar INFORMASI, mulai dari Philosophy of Information (2011), The Ethics of Information (2013), The Logic of Information (2019), dan yang terakhir, baru terbit bulan November 2023 kemarin, The Ethics of Artificial Intelligence: Principle, Challenges, and Opportunities. Tentu pada kesempatan kuliah tamu sekarang ini saya tidak mungkin memperkenalkan satu persatu karya Floridi yang saya sebutkan tadi. Tetapi cukuplah di sini saya akan menunjukkan bagaimana etika informasi yang digagas dan dikembangkan Floridi selama lebih dari 20 tahun (1995-sekarang), ternyata memiliki backdrop atau latar belakang teoritis dari dua strand. Strand yang pertama disebut computer ethics yang lebih banyak berurusan dengan aspek teknikal dari komputer. Sementara strand yang satunya lagi, information ethic yang juga mulai beragam penyebutannya, ada ahli yang menyebutnya sebagai cyber ethics , internet ethics, juga Intercultural Information Ethics (Capurro, 2003).

Pada salindia di bawah ini, saya menuliskan beberapa tokoh pencetus serta tahun-tahun rujukan karyanya.

dua strand dari Etika Informasinya Floridi

REFERENCES:

Bynum, T. W. (2000). A Very Short History of Computer Ethics. Newsletter on Philosophy and Computing. Diakses dari https://www.cs.utexas.edu/~ear/cs349/Bynum_Short_History.html

Capurro, R. (2008). Intercultural Information Ethics. Dalam Himma, K. E. & Tavani, H. T. (Tim Penyunting). The Handbook of Information and Computer Ethics (pp. 639-665). New Jersey: Wiley. https://doi.org/10.1002/9780470281819.ch27

Floridi, L. (1995). Internet: which future for organized knowledge, Frankenstein or Pygmalion? International Journal of Human-Computer Studies, 43(2), 261–274. https://doi.org/10.1006/ijhc.1995.1044

Floridi, L. (1999). Information ethics: On the philosophical foundation of computer ethics. Ethics and Information Technology 1, 33–52. https://doi.org/10.1023/A:1010018611096

Floridi, L. (2002). Information Ethics: An Environmental Approach to the Digital Divide. Philosophy in the Contemporary World. 9(1), 39-45. UNESCO World Commission on the Ethics of Scientific Knowledge and Technology (COMEST). Paris: UNESCO, 18-19 Juni 2001.

Floridi, L. (2006). Information ethics, its nature and scope. ACM SIGCAS Computers and Society, 36(3), 21–36. https://doi.org/10.1145/1195716.1195719

Floridi, L. (2008). Foundations of Information Ethics. Dalam Himma, K. E. & Tavani, H. T. (Tim Penyunting). The Handbook of Information and Computer Ethics (pp. 1-23). New Jersey: Wiley. https://doi.org/10.1002/9780470281819.ch1

Floridi, L. (2011). The Philosophy of Information. Oxford, UK: Oxford University Press.

Floridi, L. (2013). The Ethics of Information. Oxford, UK: Oxford University Press.

Floridi, L. (2019). The Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design. Oxford, UK: Oxford University Press.

Floridi, L. (2023). The Ethics of Artificial Intelligence: Principles, Challenges, and Opportunities. Oxford, UK: Oxford University Press.

Johnson, D. G. (1985). Computer ethics. Prentice-Hall.

Maner, W. (1996). Unique ethical problems in information technology. Science & Engineering Ethics 2, 137–154. https://doi.org/10.1007/BF02583549

Moor, J. H. (1985). What is computer ethics? Metaphilosophy 16(4), 266-275.

Wiener, N. (1950). The Human Use of Human Beings. Houghton Mifflin (US) & Eyre & Spottiswoode (UK).
Diakses dari https://monoskop.org/images/9/90/Wiener_Norbert_The_Human_Use_of_Human_Beings_1950.pdf

Cover buku The Human Use of Human Beings:
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/8/80/Humanusecover.jpg

Categories
Uncategorized

Refleksi Personal atas Sesi 04 Perkuliahan Metode Penelitian Kualitatif: FENOMENOLOGI

Pada kesempatan kali ini, saya akan merefleksikan Sesi 04 perkuliahan Metopelkul, yang berlangsung secara on-site pada Kamis, 29 Februari 2024.

Refleksi diawali dengan membeberkan tiga Pre-teaching quotes berikut ini:

[Pertama]
Memasuki minggu (sesi) kajian metode Fenomenologi dalam Riset Ilmu Komunikasi, saya merasa tertantang sekaligus terhibur. Tertantang pada level personal sekaligus profesional karena metode Fenomenologi saya gunakan dalam penelitian disertasi saya sehingga muncul rasa kedekatan (intimate familiarity) ketika mengajarkan metode ini kepada para mahasiswa, secara langsung (on-site) maupun secara tidak langsung (termediasi surel). Terhibur karena saya merasa setidaknya ada legasi intelektual yang ikut mewarnai kehadiran saya dalam pengajaran di SC-UMN pada semester ini.

Selain itu, saya juga terhibur karena bertunasnya harapan bahwa metode fenomenologi akan terus berlanjut digunakan sebagai salah satu metode alternatif ‘yang kuat dan menyejarah dalam penelitian Komunikasi’ (lih. Sturgess, 2018), pada jenjang Sarjana (S1).

[Kedua]
Tidak banyak pemikir sosial yang menganalisis secara cermat dan historis hubungan antara Fenomenologi dengan Teori-teori Sosial. Salah satu pemikir sosial yang memikirkan dan menuliskan soal ini adalah Harvie Ferguson, Profesor Sosiologi dari Universitas Glasgow. Baginya, Fenomenologi merupakan sebuah aliran berpikir yang lahir dari rahim modernitas Eropa pasca-Pencerahan, khususnya post-Hegelian modernity, yang memuliakan pengalaman langsung dan kesadaran sebagai stream of consciousness, di atas sistem atau kategori berpikir (German rationalism and idealism), atau pengalaman observasional (British empiricism).

Ada dua kesimpulan awal yang ditarik Ferguson dari telaahnya tentang asal-usul Fenomenologi, yang bertolak dari pemikiran René Descartes, yaitu (a) modernity simply means the sovereignty of experience (ini merupakan cara Husserl membaca radikalitas metode Descartes yang menolak sumber-sumber otoritas pengetahuan tradisional, termasuk Gereja dan para filsuf Abad Pertengahan), dan (b) Dualisme antara subjek dan objek, termasuk di dalamnya penemuan subjektivitas, merupakan pondasi berpikir modern yang memuncak dalam Fenomenologi.

Berbeda dari Husserl yang sibuk untuk kembali pada eksistensi primordial kesadaran (murni), yang terbebas dari noda-noda pengandaian dan pembentukan sejarah atasnya, Alfred Schutz justru memandang “dunia sosial sebagai kenyataan yang sepenuhnya ditafsirkan.” Fenomenologi Schutz tidak bertolak dari penarikan diri (withdrawal) atau pengurungan asumsi-asumsi (epoché), tapi justru “complicit affirmation of social life as a paramount reality: `The world of everyday life is…man’s fundamental and paramount reality” (Schutz & Luckmann, 1973, h. 3).

Dari eksplikasi teoritis singkat di atas, pembelajar pemula Fenomenologi dapat melihat bahwa tidak ada rumusan tunggal tentang apa itu Fenomenologi, kapan persisnya ia dimulai (sebagai sebuah aliran atau moda berpikir), dan konsep-konsep sentral seperti apa yang keberlakuannya dianggap ajeg dan berterima, contohnya, epoché.

Rujukan: Ferguson, H. (2001). Phenomenology and social theory. Dalam Ritzer, G. & Smart, B. (eds.) Handbook of Social Theory (h. 232-248). London: Sage.

[Ketiga]
Doing phenomenology tidak dapat dilepaskan dari keterampilan peneliti untuk ‘menyingkapkan yang sulit untuk dikatakan’ dengan ‘menggunakan dan dalam bahasa.’ Bagi Sheets-Johnstone (2017, h. 6), hal yang memungkinkan semua kajian fenomenologi berlangsung dan berkembang sudah selalu terkait dengan bahasa, yaitu bagaimana membuat yang terasa akrab, dekat dan sehari-hari, menjadi ‘asing’ (making the familiar strange), sekaligus bagaimana menghadapi tantangan pengalaman berbahasa (languaging experience).

Dalam penulisan fenomenologis, relatif jarang terjadi peneliti secara cepat mampu mendeskripsikan fenomena (yang tampak atau hadir) menggunakan kata-kata. Ia harus membiarkan pengalaman berbahasanya ‘melantur dari gudang perbendaharaan kosakata yang klisé’ lalu terdampar di pelataran bahasa yang poetic agar ia dapat ‘menangkap fenomena yang membetot perhatiannya secara descriptively exacting ways.’

Rujukan: Sheets-Johnstone, M. (2017). In Praise of Phenomenology. Phenomenology & Practice, 11(1), 5-17.

Post-teaching quotes (based on class activity-reflection)

[Pertama]
Berdasarkan presentasi kelompok tentang metode Interpretative Phenomenological Analysis (IPA), terlihat bahwa penguasaan kelompok atas materi review artikel jurnal kurang terfokus pada bagian Metodologi (hanya muncul pada slides no. 6-7 dan 15 pada draf dan itu pun masih kurang elaboratif). Penjelasan kelompok justru ‘terbawa’ (carried away) pada topik atau konten yang diangkat tim penulis artikel pertama maupun kedua, padahal substansi materi yang diangkat penulis artikel 1 & 2 lebih condong pada ‘deskripsi psikologis’ (psychological states), misalnya: rasa sakit yang bersifat non bio-medis & eksperiensial: the meaning of pain, painting pain & unhomelikeness; alih-alih pola komunikasi, atau pertukaran makna simbolis.

[Kedua]
Berdasarkan presentasi kelompok tentang metode Fenomenologi Praktik terlihat bahwa kelompok belum cukup dalam menggali faktor-faktor kekuatan dan kelemahan dari metode Fenomenologi Praktik ketika digunakan untuk meneliti masalah-masalah “Komunikasi.” Baru dalam sesi tanya jawab hal ini diangkat oleh dosen dan dipikirkan (kemudian dijawab) oleh anggota kelompok. Kelompok belum melakukan refleksi: what it means to do phenomenology.

Artikel jurnal internasional [bertajuk Conducting phenomenological research: Rationalising the methods and rigour of the Phenomenology of Practice karya Errasti-Ibarrondo, dkk., 2018] yang menjadi salah satu rujukan utama tinjauan kelompok, bersifat method discussion. Artinya, tim penulis artikel ini membahas sejumlah cara yang mungkin untuk menerapkan metode Fenomenologi Praktik van Manen dalam beragam kemungkinan topik, setting, pengalaman, dan disiplin/sub-disiplin keilmuan sosial.

Sebagaimana ditegaskan Errasti-Ibarrondo, dkk. pada bagian kesimpulan tulisan mereka, “dilihat dari sudut pandang Vanmanian, ‘penelitian’ dalam fenomenologi berarti ‘melakukan refleksi’ dan berefleksi artinya ‘menulis’ […] riset yang didasarkan pada metode fenomenologi hermeneutik pada dasarnya adalah suatu kegiatan menulis. Riset dan penulisan adalah aspek-aspek dari proses yang satu dan sama” (van Manen, 2015, h. 7; 2014, h. 389).

[Ketiga]
Pada hari Jumat, 1 Maret 2024, pukul 13.30-15.30 WIB, Hendar membagikan refleksinya tentang “penelitian Komunikasi yang menggunakan Metode Fenomenologi: IPA dan Praktik” kepada empat orang mahasiswa SC & Jurnalistik yang sedang mengambil & mengerjakan Skripsi. Ini sebuah pengalaman outside-classroom on-site focused sharing session yang menarik dan baru bagiku. Ada beberapa pokok insight yang kubagikan pada mereka ketika mereka (mau) menggunakan metode Fenomenologi dalam penelitian ilmu Komunikasi:

a) The interconnectedness of lives’ dimensions: bahwa personal lives dan professional lives itu, meskipun berbeda (distinct), tapi tidak dapat dipisahkan ketika peneliti mau menggali pengalaman hayati para Narasumber untuk topik penelitian apapun, selama penelitian Komunikasi tersebut masih masuk dalam ‘kategori’ human communication (bukan CMC atau HCI, misalnya).

b) Focus on lived experiences of the informants/participants: Dengan segala lapis dan keragaman konteks identitas mereka, pengalaman hayati calon Narsum perlu diberi perhatian yang lebih besar ketika peneliti merumuskan pertanyaan penelitian dan pertanyaan wawancara. Contohnya, alih-alih bertanya seperti ini: “Apa pendapat Narasumber tentang masalah lingkungan, dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut?” >>> perlu dirumuskan ulang menjadi, misalnya, “Apakah Anda pernah punya pengalaman membuang sampah?” Penggaliannya: “Apakah sampah yang Anda buang itu sampah rumah tangga?” Lalu, pertanyaan susulannya: “Jika itu sampah rumah tangga, apakah Anda memilah-milahnya terlebih dulu sebelum dibuang ke kotak sampah (dalam rumah & luar rumah)?”

c) Establish rapport: Peneliti tidak perlu ragu dan malu untuk melakukan profiling calon Narasumber terlebih dulu, khususnya profiling identitas dan aktivitas mereka (pada situs-situs yang datanya dapat diakses, alias tidak di-protect) yang dianggap relevan dengan topik yang mau diteliti, apalagi kalau mereka public figures yang cukup terkenal/luas diliput media. Profiling awal dari calon Narasumber ini dapat menjadi jembatan komunikasi sederhana yang memudahkan dan memuluskan relasi peneliti dengan Narsum mengingat ada rongak (gap) pengalaman, usia, status sosial, dll. yang memisahkan peneliti dengan Narsum. Rongak ini perlu segera dijembatani. Kalau tidak, hasilnya awkward conversation atau jawaban yang diperoleh cenderung ‘normatif’ saja.

Categories
Uncategorized

Refleksi Personal atas Sesi 03 Perkuliahan Metode Penelitian Kualitatif: Ethnography

Sesi 03 perkuliahan Metopelkul berlangsung secara on-site pada Kamis, 22 Februari 2024, pukul 11.00 – 13.45 WIB, di ruang D0805.

Pre-teaching quotes:

1) Semakin jauh dan dalam memasuki ‘rimba belantara’ Metode Penelitian Kualitatif (dengan beragam variannya), semakin saya disadarkan untuk mengecek kembali tiga aspek berikut: (a) kesiapan mental (disposition); (b) necessary tools to bring and use along the exploration; dan (c) exit strategy kalau sampai stuck di tengah jalan. Aspek yang pertama berurusan dengan uji mental dan ketangguhannya, sementara aspek kedua dan ketiga lebih berurusan dengan research design(s): seberapa solid dan komplit.

Seorang teman baik saya yang baru saja menyelesaikan Studi Doktoralnya pada STF Driyarkara tahun 2023 lalu dan sering diundang menjadi penguji ahli untuk memeriksa laporan riset para peneliti keilmuan sosial dan kajian feminis di kampus tempat saya mengambil studi Doktoral sekarang (Universitas Indonesia), sebut saja namanya mbak RI-01 [tapi dia gak nyaleg lho ya!], chat saya dan mengatakan bahwa “saya melihat penyakit-penyakit ini di kalangan akademisi kita: pertama, fenomena direduksi jadi kasus; kedua, mereka pada umumnya tidak bisa membedakan pendekatan holistik, eklektik dan totality; ketiga, semua analisis sosial direduksi menjadi analisis kebijakan sehingga yang dipentingkan dan diberi prioritas untuk digolkan adalah rekomendasi teknokratis, dan bukan ditarik ke akarnya yaitu filsafat ilmu.”

Saran ‘praktis’ darinya adalah untuk memahami desain riset kualitatif dalam rumpun ilmu-ilmu sosial secara mumpuni, seorang peneliti wajib membaca dan memahami Filsafat Ilmu (Philosophy of Knowledge), khususnya filsafat ilmu-ilmu sosial (philosophy of social sciences). Metode penelitian ilmu sosial yang begitu beragam itu perlu dirujukkan pada Filsafat Ilmu yang mendasarinya agar si peneliti tidak mudah terombang-ambing gelombang lautan keragaman entitas pendekatan atau varian metode yang ujung-ujungnya dapat menghasilkan bongkah keraguan yang akut bahkan disorientasi.

Kabar baiknya, ya, [monologue starts] sebaiknya memang jangan pernah berhenti berharap dan berikhtiar untuk masalah sepelik ini [monologue ends], saya sudah mengumpulkan (tepatnya: mengunduh) delapan belas (ya, 18!) buku-buku yang membahas tentang filsafat ilmu-ilmu sosial yang terbit sejak 1995-1996, yaitu Philosophical Foundations of the Social Sciences: Analyzing Controversies in Social Research (Harold Kincaid, 1995) dan An Introduction To The Philosophy Of Social Research (Malcolm William, 1996) sampai yang baru saja terbit tahun lalu (2023), yaitu Philosophy of Social Science: Philosophical Foundations of Social Thought, 3E. (Ted Benton & Ian Craib, 2023), Perspectivism: A Contribution to the Philosophy of the Social Sciences (Kenneth Smith, 2023) dan Philosophy of Social Science A Contemporary Introduction, 2nd Ed. (Mark Risjord, 2023).

Semoga buku-buku yang sudah saya unduh ini (tapi dibaca lho ya, jangan cuman terpapar the thrill of book downloading aja!), dapat membantu saya untuk menjelajahi keluasan dan kedalaman akar-akar dari keragaman metode kualitatif yang ada dan digunakan sekarang, menemukan signposts yang bermakna untuk diterjemahkan menjadi practical insights and guidelines bagi para mahasiswa di kelas yang saya ajar semester ini, serta tentu saja menjadi constructive inputs untuk revisi Bab Kerangka Teori Disertasi yang sedang coba saya rumuskan ‘secara baru’ pada bulan Februari dan Maret 2024 ini. Gitu ya!

2) Salah satu isu yang mengemuka dalam perkembangan metode Etnografi dalam Riset Kualitatif adalah bagaimana mengakomodasi munculnya atau mentasnya “Yang Virtual / Yang Digital” berkat adanya infrastruktur teknologi baru (abad XXI) bernama Internet. Sejumlah ahli menyebut perkembangan dalam metode Etnografi terbaru ini dengan beragam sebutan, di antaranya virtual ethnography (Christine Hine, 2000), Netnography (Robert V. Kozinets, 2010), ethnography and virtual worlds (Tom Boellstorff, 2012), dan digital ethnography (John Postill, Jo Tacchi, Heather Horst, Tania Lewis, Larissa Hjorth, & Sarah Pink, 2015).

Sosiolog kontemporer bernama Peter Forberg & Kristen Schilt (2023) mengajukan definisi yang khas tentang pendekatan ‘etnografi digital’ dengan cara membandingkannya dengan ‘etnografi analog,’ sbb.: “Digital ethnographic approaches could include participant observation in virtual or online communities, as well as interactions that bridge on- and offline worlds, such as hack-a-thons, esports tournaments, or workplace information systems…we see value in considering digital ethnography as a distinct mode of ethnographic research that could be used alongside or in lieu of ethnography conducted solely in physical, in-person settings—what we will call “analog ethnography.” Digital ethnography also offered hope of faster and more efficient data collection for researchers worried about the slower tempo of in-person research.

Uniknya, alih-alih memuji kekhasan Etnografi analog/tradisional yang penelitinya memang menginvestasikan waktu secara khusus dan extended untuk tahap pengumpulan data (misalnya, dengan immersion, live-in, dll.) sehingga mereka mendapatkan deskripsi yang kaya dan mendalam (thick description) tentang perilaku ethnos atau kelompok sosial/budaya yang diamati, etnografi digital justru memberikan tekanan pada pengumpulan data yang lebih cepat dan efisien bagi etnografer yang mengambil pendekatan ini (dan yang risau dengan tempo lambat dari penelitian in-person). Pertanyaan kritisnya di sini: Apakah ‘pengumpulan data dalam waktu yang lebih cepat’ akan menjadi trend & hallmark dari etnografi masa depan yang meneliti lebih banyak kelompok sosial/budaya yang pola-pola komunikasi dan gugus interaksi intra- dan inter- anggotanya semakin terhubung lewat internet (mediatized)?

Rujukan:
Forberg, P., & Schilt, K. (2023). What is ethnographic about digital ethnography? A sociological perspective. Frontiers in sociology, 8, 1156776. https://doi.org/10.3389/fsoc.2023.1156776

3) Being listened to, appreciated and understood is a sure “path” [μέθοδος: μετά + ὁδός (in pursuit of a method, system, a way, or manner of doing, saying, etc.)] to strive for excellence and to understand how things work out the way they are.

Bonus:
bagan yang disusun Blaikie (2010, h. 33) ini sangat baik (lengkap dan solid) untuk memahami prosedur serta bagan alir dari desain riset kualitatif sejak hulu sampai ke hilir tanpa harus terjebak menjadi HILIRISASI!

Categories
Uncategorized

Refleksi Personal atas Sesi 02 Perkuliahan Metode Penelitian Kualitatif: CASE STUDY

Pertemuan 02 [seharusnya berlangsung pada Kamis, 8 Februari 2024, tapi karena ada libur nasional memperingati Isra Miraj, maka pelaksanaannya menjadi KP atau Kelas Pengganti. Sampai hari ini, 16 Feb 2024, belum kunjung tercapai kesepakatan dengan kelas dan dengan sistem my.umn.ac.id terkait jadwal KP Week 2 ini. Pengajuan awal KP oleh dosen pengampu pada Jumat, 16 Feb 2024 pukul 11-14 ditolak oleh sistem karena clash dengan 20% lebih jadwal mahasiswa yang enrolled di kelas yang saya ampu.]

Pre-teaching quotes

1) Saya merasa ada baiknya sebelum mulai mengajar atau bertindak sebagai dosen pengampu mata kuliah yang sama sekali baru, seperti Metopelkul atau MPK 2 ini, saya belajar dari dosen-dosen senior yang pernah mengampu mata kuliah ini pada semester-semester sebelumnya. Satu jam sebelum masuk kelas pada pertemuan pertama kemarin, saya bertanya pada seorang dosen senior pengampu mata kuliah ini, permasalahan-permasalahan apa yang biasa dijumpai oleh para dosen pengampu kelas Metopelkul terkait mahasiswa. Menurut beliau, ada 3 masalah utama yang biasanya dijumpai oleh dosen pengampu Matkul Metopelkul ini, yaitu a) Mahasiswa kurang membaca rujukan yang diberikan/disarankan dosen. Kalaupun membaca, mereka kurang cermat dan tidak tuntas membaca rujukannya; b) Mahasiswa cenderung tidak dapat merumuskan masalah penelitian Komunikasi secara akurat. Data, Fakta, dan Fenomena cukup sering disamakan dengan ‘masalah.’ Kemudian, itu yang dipakai sebagai ‘Rumusan Masalah Penelitian;’ dan c) Mahasiswa biasanya mengalami kebingungan ‘mau ngapain’ dengan metode penelitian kuali tertentu yang sudah mereka pilih (misalnya: Fenomenologi). Artinya, terjadi kebingungan ganda mulai dari bingung ‘merumuskan masalah’ dan bingung mau apa dengan ‘alat’ (metode) ini untuk ‘memecahkan’ masalah itu.

2) Salah satu definisi tentang Riset Kualitatif yang cukup ekstensif dan bernas yang pernah saya baca dan saya amini ‘kebenarannya’ adalah sbb.: “Qualitative research is a situated activity that locates the observer in the world. Qualitative research consists of a set of interpretive, material practices that make the world visible. These practices transform the world. They turn the world into a series of representations, including field notes, interviews, conversations, photographs, recordings, and memos to the self. At this level, qualitative research involves an interpretive, naturalistic approach to the world. This means that qualitative researchers study things in their natural settings, attempting to make sense of or interpret phenomena in terms of the meanings people bring to them” (Denzin dan Lincoln, 2017, h. 43; bold & italic ditambahkan oleh Hendar Putranto untuk memberi penekanan). >>>

Rujukan: Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (Eds.). (2017). The sage handbook of qualitative research. (5th ed.). London: Sage Publications.

Yang saya sukai dari kutipan ini dan bagaimana kutipan ini cocok dengan pandangan saya sendiri selaku seorang periset kualitatif adalah tekanan yang diberikan Denzin dan Lincoln pada ‘pendekatan interpretif dan alamiah terhadap dunia…yang di dalamnya orang-orang memberikan makna atas fenomena’ berkenaan dengan riset kualitatif. Tanpa bermaksud mengecilkan peran dan pentingnya aneka pendekatan yang ada dan berkembang dalam Riset Kualitatif, tekanan yang diberikan Denzin dan Lincoln dalam kutipan di atas seperti membawa saya kembali pada fokus metode penelitian yang saya gunakan dalam disertasi saya, yaitu Fenomenologi Praktik, yang terinspirasi dan menggabungkan secara kreatif pendekatan Fenomenologi Husserl (yang lebih deskriptif dan transendental) dengan Fenomenologi Heidegger (yang lebih reflektif/interpretif dan ontologis). Hal ini tersurat dalam judul buku yang ditulis oleh Max van Manen, salah seorang tokoh besar yang berjasa mengembangkan metode Fenomenologi Praktik, yaitu Phenomenology of Practice: Meaning-Giving Methods in Phenomenological Research and Writing (terbitan pertama oleh Left Coast Press, 2014; Terbitan berikutnya, penerbitnya sudah ganti jadi Routledge, 2016. Edisi kedua diterbitkan oleh Routledge, 2023).

Seperti ditegaskan van Manen (2023) dalam Preface edisi kedua bukunya, “Fenomenologi itu bukan sekadar perspektif filosofis, tapi juga sumber dari upaya mempertanyakan makna hidup sebagaimana kita jalani serta kodrat dari tanggungjawab untuk mengambil tindakan dan putusan personal…tidak ada yang lebih berarti daripada pencarian akan makna, misteri makna, asal-usul makna dan bagaimana makna bisa sampai muncul, sekaligus makna tanggungjawab kita pada Liyan dan pada dunia organik, material dan teknologis yang di dalamnya kita bermukim. Fenomenologi tidak lain daripada takjub, kata-kata, dan dunia.”

3) Tegangan menghidupi nilai-nilai sentral yang personal dalam dunia nilai pedagogik yang serba plural: antara Otonomi, being assertive, dan keterbukaan untuk berdialog. Pokok ini dipicu oleh kesulitan yang saya alami untuk mengajukan KP kelas Metopelkul Week 2 (karena ada libur nasional yang jatuh bertepatan dengan hari perkuliahan). Sebagai dosen lama yang sudah 4,5 tahun tidak mengajar (dalam arti mengampu kelas), saya terkaget-kaget karena sistemnya sudah berubah. Kalau tadinya pengajuan KP merupakan hak prerogatif dosen, mahasiswa tinggal ngikut, sekarang situasinya sudah berubah. Ada artificial moral agents dalam arti sistem teknologis yang terlibat di dalam pengajuan dan penentuan jadwal KP, yaitu my.umn.ac.id., khususnya Class Meeting Reschedule Application Form, yang salah satu klausulnya (1 dari 6) berbunyi sbb.: The number of students whose timetable clashed due to the rescheduling cannot exceed 20% of the class capacity.

Walhasil, karena ada aturan ‘baru’ ini, paradigma multi stakeholder (dalam pengertian Dodds, 2015)
[Lihat: https://www.sciencedirect.com/topics/social-sciences/multi-stakeholders “Multi-stakeholder means the stakeholders who are working together to find a collective solution for a certain problems, including governments, regional groups, local authorities, non-governmental actors, international institutions and private sector partners (Dodds, 2015).”]

jadi berbunyi lebih kencang karena pencarian ‘solusi kolektif atas masalah bersama’ kini bukan hanya meletak di tangan (kendali) (*) dosen pengampu kelas, tapi juga (**) mahasiswa yang terdaftar sebagai peserta kelas dan
(***) ketersediaan ruangan KP yang dikawal atau difasilitasi oleh sistem teknologis.

Refleksinya adalah bahwa kesediaan dan keterbukaan saya sebagai dosen pengampu kelas untuk berdialog terus-menerus dengan orang (mahasiswa peserta kelas) dan dengan benda/sistem teknologis menjadi sebuah prasyarat ‘performativitas’ (get things done as targeted) dalam lingkungan pendidikan yang semakin bercorak tekno-sains.

Post-teaching quotes (based on class activity-reflection)

1) Robert E. Stake, salah seorang tokoh penggagas dan pengegas pendekatan studi kasus dalam riset kualitatif, khususnya dalam rumpun keilmuan Pendidikan dan Evaluasi Kurikulum, pernah menuliskan kalimat (claim) yang layak untuk terus diingat dan dijadikan kredo bagi para peminat dan penggiat studi kasus, sbb.: “case studies will often be the preferred method of research because they may be epistemologically in harmony with the reader’s experience and thus to that person a natural basis for generalization…our methods of studying human affairs need to capitalize upon the natural powers of people to experience and understand (Stake, 1978, h. 5)”
Rujukan: Stake, Robert E. (1978). The Case Study Method in Social Inquiry. Educational Researcher, 7(2), 5-8. http://www.jstor.org/stable/1174340.

Meskipun kutipan di atas sudah “berumur” 46 tahun per tahun ini (2024), tapi kebenarannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Apalagi, dalam kutipan ini, Stake memberikan tempat sentral bagi ‘pengalaman dan pemahaman’ sebagai basis alamiah bagi seseorang, termasuk di sini peneliti (researcher, scientist), untuk melakukan generalisasi atas ‘temuan’-nya. Mengapa? Secara epistemologis, studi kasus cenderung nyambung dan selaras dengan (in harmony with) pengalaman pembaca. Tidak mengherankan kalau studi kasus pernah dan masih akan terus menjadi salah satu pendekatan favorit untuk melakukan riset kualitatif (all-time favorites).

2) Methods, matters! Manners, matters too!

Hal yang tidak capek-capeknya saya serukan kepada teman-teman muda Gen Z ini, baik dalam berkorespondensi (lewat surel terutama), berinteraksi interpersonal secara termediasi (lewat WhatsApp), maupun pada saat menyampaikan presentasi kelompok. Keberadaan aneka tugas dan sejumlah panduan instruksional pengerjaannya hendaknya tidak mem-baal-kan kehalusan budi (sensitivity) para (calon) peneliti belia untuk tetap mempertahankan kesantunan dalam bertutur kata, bertanya, dan menyampaikan gagasan. Jangan sampai baru mau mulai melakukan penelitian, karena salah ucap dan kurang santun dalam sapaan (misalnya, impersonalistik dalam tonasi atau terlalu straight-forward, sok kenal sok akrab), eh sudah langsung ditolak sama Narasumber potensial karena mereka merasa kurang nyaman dengan approach yang ditunjukkan si (calon) peneliti belia.

3) Dalam skema penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen inti dari penelitian, bukan perkakas atau alat-alat yang dibawanya. Justru karena itulah keluwesan (flexibility) dan kemampuan beradaptasi (adaptability) dengan pelbagai konteks yang berbeda-beda yang menaungi situ dan locus penelitiannya menjadi karakteristik utama dari seorang peneliti kualitatif.

Terlebih dalam pendekatan studi kasus, terutama yang berhaluan konstruktivis seperti yang diajukan dan dikembangkan Robert E. Stake sejak akhir tahun 1970-an, kemampuan peneliti untuk beradaptasi dengan luwes dan be a good team player (dalam suatu tim kolaborasi peneliti) sudah merupakan kodrat yang perlu dipeluk dengan gembira dan dijalani dengan penuh komitmen.

Categories
Uncategorized

Refleksi personal atas Sesi 01 Pengajaran MatKul Metode Penelitian Kualitatif

Refleksi Personal atas Sesi 01 Perkuliahan
[Kamis, 1 Februari 2024]

Pre-teaching quotes

1) Jika paradigma adalah suatu cara untuk melihat permasalahan (realitas), maka metode merupakan cara yang spesifik untuk mendekati masalah (realitas) tersebut.
2) Ketika saya (kami) memahami metode sebagai ‘jalan untuk mendekati masalah,’ maka terlihat ada banyak jalan masuk dan tentu saja ada banyak jalan keluar dari masalah yang didekati tersebut. Jadi, ada banyak jalan menuju “ROMA.”
3) Orang yang memahami mengapa-nya sesuatu (terjadi), hampir selalu dapat menemukan dan memikul aneka ‘bagaimana’ yang menyertai pemahaman tertentu atas mengapa-nya sesuatu (terjadi) tersebut.

Catatan pelengkap dari tiga kutipan di atas:
1) Paradigm comes from Greek παράδειγμα (paradeigma); “pattern, example, sample”; from the verb παραδείκνυμι (paradeiknumi); “exhibit, represent, expose”; and that from παρά (para); “beside, beyond”; and δείκνυμι (deiknumi); “to show, to point out”.
Method (Ancient Greek: μέθοδος, methodos, from μετά/meta “in pursuit or quest of” + ὁδός/hodos “a method, system; a way or manner” of doing, saying, etc.), literally means a pursuit of knowledge, investigation, mode of prosecuting such inquiry, or system.
problem (n.); late 14c., probleme, “a difficult question proposed for discussion or solution; a riddle; a scientific topic for investigation,” from Old French problème (14c.) and directly from Latin problema, from Greek problēma “a task, that which is proposed, a question;” also “anything projecting, headland, promontory; fence, barrier;” also “a problem in geometry,” literally “thing put forward,” from proballein “propose,” from pro “forward” (from PIE root *per- (1) “forward”) + ballein “to throw” (from PIE root *gwele- “to throw, reach”).
3) bandingkan dengan aforisme yang disampaikan filsuf Friedrich Nietzsche dalam bukunya, Die Götzen-Dämmerung (Twilight of the Idols): “He who has a why to live for can bear almost any how.” [Hat man sein warum? des Lebens, so verträgt man sich fast mit jedem wie? >> << He who has a Why? in life can tolerate almost any How? dari Maxims and Arrows, 12], sebagaimana diterjemahkan oleh pemikir eksistensial, Viktor Frankl, dalam adikaryanya, Man’s Search For Meaning (1946). Lihat: https://en.wikiquote.org/wiki/Friedrich_Nietzsche

Post-teaching quotes (based on class activity-reflection)

1. Mencoba kembali masuk dalam lived experience of teaching in the classroom. It feels good, a little bit awkward at first, but then I got the vibe and run smooth alias omon-omon jadi lancaaar. Kontrak perkuliahan memang ada yang bersifat umum (nomothetic) tapi ada juga yang bersifat khusus (idiographic) dan keberlakuannya hanya ada di kelas yang kuampu saja, khususnya dalam hal penggunaan gawai selama berada di dalam kelas dan mengikuti perkuliahan. Bukan hanya “With great power there must also come great responsibility” (Spiderman) tapi “Openness & becoming-in-dialogue is a strength, not a weakness.”

2. Bertolak dari pertanyaan mahasiswa di kelas (CA)
Berasumsi (unwarranted assumptions) itu tidak baik-baik saja dalam kerangka menjadi pembelajar metode riset kualitatif. Lebih baik kita menunda berasumsi apriori dan lebih mendahulukan sikap “nanti saya cek lagi betul tidaknya (kejadian/fenomena itu).” Keberanian untuk menunda penilaian dan putusan berdasarkan data yang belum cukup dan temuan yang masih sumir adalah sebuah sikap moral moderasi yang amat dianjurkan untuk diadopsi para novice researchers.

3. Bagaimana membedakan paradigma dengan metode dapat diibaratkan seperti (a) pegang tumbler dengan etched name di baliknya, dan (b) menyentuh dan/atau menaiki gajah. We can never arrive at the WHOLE of Reality. What we get is just a glimpse, partial view of reality. Padahal ini untuk objek ‘penelitian berbasis pengindraan empiris’ yang amat terbatas, yang menempati ruang-waktu tertentu dan terbatas. Apalagi untuk ‘objek-objek penelitian berbasis di luar pengindraan empiris’ yang lebih makro dan kompleks, seperti, persepsi akan korupsi, indeks demokrasi, keadilan gender, diskriminasi ras, integritas moral, well-being, tingkat kebahagiaan masyarakat, dsb.

Categories
Uncategorized

rujukan bacaan utk mendalami metode Fenomenologi dalam Riset Komunikasi

Recommended readings on Phenomenology as Research Methods for Communication Scholarship & Social Sciences

Berikut disampaikan daftar rujukan artikel jurnal dan lema Ensiklopedi tentang Metode Penelitian Kualitatif (Qualitative Research Methods) yang membahas pendekatan Fenomenologi dalam Riset Komunikasi, Media, dan Ilmu-ilmu Sosial, sejak 1975-2023

A Phenomenology Collective. (2020). Cultivating Activism in the Academy: A Deleuzoguattarian Exploration of Phenomenological Projects. Qualitative Inquiry, 26(5), p514. DOI: 10.1177/1077800419836692

Alsaigh, R., & Coyne, I. (2021). Doing a Hermeneutic Phenomenology Research Underpinned by Gadamer’s Philosophy: A Framework to Facilitate Data Analysis. International Journal of Qualitative Methods, 20. https://doi.org/10.1177/16094069211047820

Arnett, R. C. (2017). Phenomenology. Dalam Matthes, J., Davis, C. S. & Potter, R. F. (Tim Penyunting). The International Encyclopedia of Communication Research Methods. John Wiley & Sons, Inc. DOI: 10.1002/9781118901731.iecrm0186

Burns, M., Bally, J., Burles, M., Holtslander, L., & Peacock, S. (2022). Constructivist Grounded Theory or Interpretive Phenomenology? Methodological Choices Within Specific Study Contexts. International Journal of Qualitative Methods, 21. https://doi.org/10.1177/16094069221077758

Cudjoe, E. (2023). Making Sense of Husserlian Phenomenological Philosophy in Empirical Research. International Journal of Qualitative Methods, 22. https://doi.org/10.1177/16094069231171099

Dahlberg, H., & Dahlberg, K. (2020). Open and Reflective Lifeworld Research: A Third Way. Qualitative Inquiry, 26(5), 458-464. https://doi.org/10.1177/1077800419836696

Emiliussen, J., Engelsen, S., Christiansen, R. & Klausen, S. H. (2021). We are all in it!: Phenomenological Qualitative Research and Embeddedness. International Journal of Qualitative Methods, 20. DOI: https://doi.org/10.1177/1609406921995304

Finlay, L. (2012) ‘Writing the Pain’: Engaging First-Person Phenomenological Accounts. Indo-Pacific Journal of Phenomenology, 12:sup2, 1-9. DOI: 10.2989/IPJP.2012.12.1.5.1113

Finlay, L. (2013). Unfolding the Phenomenological Research Process: Iterative Stages of “Seeing Afresh”. Journal of Humanistic Psychology, 53(2), 172-201. https://doi.org/10.1177/0022167812453877

Fish, S. L. & Dorris, J. M. (1975). Phenomenology and communication research. Journal of Applied Communication Research, 3(1), 9-26. DOI: 10.1080/00909887509360206

Frechette, J., Bitzas, V., Aubry, M., Kilpatrick, K., & Lavoie-Tremblay, M. (2020). Capturing Lived Experience: Methodological Considerations for Interpretive Phenomenological Inquiry. International Journal of Qualitative Methods, 19. https://doi.org/10.1177/1609406920907254

Giorgi, A. (2012). The Descriptive Phenomenological Psychological Method. Journal of Phenomenological Psychology, 43, 3–12. DOI: 10.1163/156916212X632934

Groenewald, T. (2004). A Phenomenological Research Design Illustrated. International Journal of Qualitative Methods, 3(1), 42-55. DOI: 10.1177/160940690400300104

Halling, S. (2012). Teaching Phenomenology through Highlighting Experience, Indo-Pacific Journal of Phenomenology, 12:sup3, 1-6. DOI: 10.2989/IPJP.2012.12.3.5.1113

Haynes, W. L. (1988). Of that which we cannot write: Some notes on the phenomenology of media. Quarterly Journal of Speech, 74(1), 71-101. DOI: 10.1080/00335638809383829

Holroyd, C. (2001). Phenomenological Research Method, Design and Procedure: A Phenomenological Investigation of the Phenomenon of Being-in-Community as Experienced by Two Individuals Who Have Participated in a Community Building Workshop. Indo-Pacific Journal of Phenomenology, 1(1), 1-10. DOI: 10.1080/20797222.2001.11433859

Kirova, A. & Emme, M. (2006). Using Photography as a Means of Phenomenological Seeing: “Doing Phenomenology” with Immigrant Children. Indo-Pacific Journal of Phenomenology, 6:sup1, 1-12. DOI: 10.1080/20797222.2006.11433934

Koro-Ljungberg, M. (2020). Hoping to Reimagine the Craft of Phenomenologies (Without Leaving the Past Behind). Qualitative Inquiry, 26(5), 551-553. https://doi.org/10.1177/1077800419836699

Lanigan, R. L. (1994). Capta versus data: Method and evidence in Communicology. Human Studies, 17(1), Phenomenology in Communication Research, 109-130. DOI: https://doi.org/10.1007/BF01322769

Langsdorf, L. (1994). Why phenomenology in communication research? Human Studies, 17(1), Phenomenology in Communication Research, 1-8. DOI: https://doi.org/10.1007/BF01322763

Laverty, S. M. (2003). Hermeneutic Phenomenology and Phenomenology: A Comparison of Historical and Methodological Considerations. International Journal of Qualitative Methods, 2(3), 21-35. https://doi.org/10.1177/160940690300200303

Schrag, C. O. & Ramsey, R. E. (1994). Method and Phenomenological Research: Humility and Commitment in Interpretation. Human Studies, 17(1), Phenomenology in Communication Research, 131-137. DOI: https://doi.org/10.1007/BF01322770

Stewart, J. (1981). Philosophy of qualitative inquiry: Hermeneutic phenomenology and communication research. Quarterly Journal of Speech, 67(1), 109-121. DOI: https://doi.org/10.1080/00335638109383555

Stilwell, P., & Harman, K. (2021). Phenomenological Research Needs to be Renewed: Time to Integrate Enactivism as a Flexible Resource. International Journal of Qualitative Methods, 20. https://doi.org/10.1177/1609406921995299

Sturgess, J. N. (2018). In defense of phenomenological approaches to communication studies: an intellectual history. Review of Communication, 18(1), 1-18. DOI: 10.1080/15358593.2017.1405065

Suddick, K. M., Cross, V., Vuoskoski, P., Galvin, K. T., & Stew, G. (2020). The Work of Hermeneutic Phenomenology. International Journal of Qualitative Methods, 19. https://doi.org/10.1177/1609406920947600

Traudt, P. J., Anderson, J. A. & Meyer, T. P. (1987). Phenomenology, empiricism, and media experience. Critical Studies in Mass Communication, 4(3), 302-310. DOI: 10.1080/15295038709360138

Vagle, M. D., Thiel, J. J. & Hofsess, B. A. (2019). A Prelude—Unsettling Traditions: Reimagining the Craft of Phenomenological and Hermeneutic Inquiry. Qualitative Inquiry, 26(5), 427-431. DOI: https://doi.org/10.1177/1077800419829791

van Manen, M. (2019). Uniqueness and Novelty in Phenomenological Inquiry. Qualitative Inquiry, 26(5), 486–490. DOI: https://doi.org/10.1177/1077800419829788

Walsh, R. (2012). On Evidence and Argument in Phenomenological Research. Indo-Pacific Journal of Phenomenology, 12:sup2, 1-7. DOI: 10.2989/IPJP.2012.12.1.3.1111

Wertz, M. S., Nosek, M., McNiesh, S. & Marlow, E. (2011). The composite first person narrative: Texture, structure, and meaning in writing phenomenological descriptions. International Journal of Qualitative Studies on Health and Well-being, 6:2. DOI: 10.3402/qhw.v6i2.5882

Categories
Uncategorized

Adakah Sosiologi tanpa Masyarakat dan Komunikasi tanpa Communicare?

Sebuah pembacaan sederhana atas tulisan sosiolog Alain Touraine bertajuk Sociologie sans société yang dimuat dalam buku Les Sciences Sociales en Mutation yang disunting oleh Michel Wieviorka, dibantu oleh Aude Marie Debarle dan Jocelyne Ohana (Auxerre, Perancis: Éditions Sciences Humaines, 2007)

Cara mengutip karya Touraine ini (versi APA):
Touraine, A. (2007). Sociologie sans société. Dalam Michel Wieviorka (dir.), Aude Debarle dan Jocelyne Ohana (coll.). Les sciences sociales en mutation (h. 25-36). Auxerre, Perancis: Editions Sciences Humaines.

RESUME (Hendar):
Menghilangnya aktor sosial di balik mentasnya sistem yang rasional. Aktor direduksi hanya pada pelaksanaan aneka peran dan fungsi dari sistem pengorganisasian. Inilah buah-buah kajian sosiologi yang ‘jatuh dari pohon’ filsafat Pencerahan. Kita tidak boleh menyerah begitu saja pada tarikan objektivikasi ilmu dan berhenti ternganga akan depersonalisasi manusia oleh kerja, industri, dan sistem kapitalisme (klasik maupun lanjut), tapi harus maju terus dan berani untuk kembali merumuskan subjek dalam studi ilmu-ilmu sosial.

Berikut paparan Touraine yang saya kutip dan menjadi landasan untuk terumuskannya RESUME di atas.

The philosophy of the Enlightenment gave a large place to the subject, but this was located above all the social and cultural affiliations of the real actors; the social sciences therefore did not have their own space in this intellectual world dominated by philosophy and the sciences.

On the contrary, industrial society and the expansion of capitalism brought to the fore social relations and especially work relations, but these relations were conceived as forms of domination or revolt which called for a study of functioning and crises of the capitalist system rather than the behavior of the actors, even if they are class actors. Sociology could not then be distinguished from economic and social history. The same observation applies to colonial relations and, even at least until a certain period, to male-female relations.

Wherever the triumphant image of the rational individual can no longer be maintained, the actors disappear behind the rules and crises of the systems. The sociology that formed during this period was therefore the study of systems rather than that of actors and often even considered that sociological knowledge was supposed to make actors invisible, reduced to roles and functions. The very idea of a social actor was foreign to most sociologists.

At the end of the 19th century, an intellectual upheaval was added to this historical situation which rejected, even more radically, any reference to a rational actor and even sought to eliminate any recourse to the idea of a subject. Those who created contemporary thought, Marx, Nietzsche and Freud, fought against analyzes based on subjectivity.

The 20th century pushed the elimination of actors to the limit; it was the century of anonymity, that of war victims and deportees, that of industrial armies and performance halls.

How can we talk about actors in mass societies? Closer to us, the second half of the 20th century was dominated in certain countries, including France, by the penetration of the structuralist approach in Marxism as in other thoughts of domination and in historical studies which gave priority to long movements of economic history.

The place of the actors

We must first put an end to the lively and omnipresent discourse which criticizes the idea of the subject by rejecting its abstract humanism, in the name of the realities of work, power and war. Because who is the sociologist who refers to such a starting point? Many do not use the notion of subject, but those who do never refer to the philosophy of the Enlightenment as such, since they define their approach in relation to a social situation.

It is more important to criticize sociology itself. Its most general approach is to seek where and how (actors) are reintroduced into the social apparatuses which seek power and the war of ideas and collective movements which appeal to actors who, in one form or another, fight for an autonomous existence, in and against the so-called modern and rationalist society. The most moderate sociologists, who are not the least active, study reforms which limit public and private powers; the most imaginative detect the formation of new actors and movements that transform rules and institutions.

Understand the meaning

Much of the work of the social sciences consists of describing and understanding the construction of what is a field of action and a network of communication. But such a construction would not be possible if there was not first a separation of the objective realities of science or technology, and the orientations of the subjects, whose interdependence must then be rediscovered. These last words clearly define the distance that separates the new groups from the old social systems. These were defined by the functionality of each behavior and the coherence of social norms. Today we live in relationships of both differentiation and interdependence between rationalization and the construction of the subject.

We are leaving classical sociology to enter a representation of social life where “philosophy” and “spirituality”, to use Foucault’s words one last time, are neither separable nor unifiable. A large part of social behavior is controlled by technical and economic organization, but many behaviors also have non-social foundations. The idea of the subject thus redefined, therefore very far from the distant universalism of the Enlightenment, is at the center of this “search for the self”, a new form of “care of the self” which acts on individuals to give them the capacity, in addition to that of to seek the truth, to recognize oneself as those who, in seeking this truth, seek themselves.

In conclusion, I will limit myself to proposing a definition of the current object of our studies. We studied civilizations, societies, modes of production and social movements. We are being led today towards a new central objective: understanding the meaning of behavior (le sens des conduites). Our main concern, in a society whose representation of itself is dominated by cultural rather than political and economic categories, is to understand the meaning for the actors of their situation and their actions, which means that we must evaluate and define these situations and actions in terms of their effects on the construction of themselves. It is no longer the situation that gives meaning to our behavior, it is no longer even our action that transforms our situation; it is the construction of ourselves as subjects which guides the judgment we make on our situation and our behavior.

[Ce n’est plus la situation qui donne sens à nos conduites, ce n’est même plus notre action qui transforme notre situation ; c’est la construction de nous-mêmes comme sujets qui guide le jugement que nous portons sur notre situation et sur nos conduites.]

Yang perlu digarisbawahi di sini berdasarkan paragraf kesimpulan yang dinyatakan Touraine di atas adalah:

Yang perlu dilakukan oleh Sosiologi (dan ilmu-ilmu sosial lainnya) adalah memahami makna yang diberikan aktor/subjek terhadap situasi yang melingkupi mereka serta gugus tindakan mereka dalam terma/kerangka kerja evaluatif ‘efek atau dampaknya terhadap pembentukan diri mereka.’ Jadi, bukan lagi situasi yang memberikan makna pada perilaku kita; juga bukan lagi tindakan yang mendorong terjadinya transformasi atas situasi, melainkan konstruksi diri kita sebagai subjeklah yang memandu penilaian yang kita buat atas situasi dan perilaku kita.

Karenanya, sebagai penutup dari artikel pendek pada blog ini, cukuplah disampaikan di sini serangkaian postulat sederhana yang masih perlu diteruskan penggaliannya:

Sociology without socius/society; Anthropology without άνθρωπος; Psychology without ψυχή; dan Communication without communicare.

Categories
Uncategorized

Fenomenologi tidak mengenal ada ini, ada itu, lalu habis perkara

Penjelasan yang sederhana tentang Fenomenologi sebagai Metode dan Epistemologi sebagaimana dipaparkan oleh Romo Thomas Hidya Tjaya, SJ dosen tetap di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (Jakarta) dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas EUREKA. Komunitas ini menghadirkan diskursus terkait pengembangan pemikiran kritis bagi publik Indonesia. Dibentuk 2018 dengan nama CCTD (Center for Critical Thinking Development) untuk mengkultivasi pemikiran kritis di lingkungan UKSW dan untuk masyarakat luas.

Videonya sendiri dapat diakses di sini:
https://youtu.be/sYqw0iuwTjA?si=SY3S_bXNnTcAvBbi

Berikut dua tangkapan layar yang menunjukkan momen ketika Romo Thomas menjelaskan secara cukup ekstensif dan intensif tentang Epistemologi dan Metodologi Fenomenologi.

[Spoiler alert] Blog ini hanya menyoroti pemaparan Romo Thomas dari menit ke-38 sampai menit ke-45 yang membahas apa bedanya cara berpikir, bertanya, dan menyatakan sesuatu secara Fenomenologis dengan cara berpikir, bertanya, dan menyatakan sesuatu secara Ontologis.

Menurut Romo Thomas, ada pergeseran fokus dalam Fenomenologi: dari dunia sebagaimana adanya (the world as it is) menuju dunia sebagaimana dialami (the world as experienced). Lewat kesadaranlah kita dapat mengalami dunia. Jadi yang ditekankan di sini adalah bahwa kita tidak mungkin mengalami dunia, tanpa kesadaran. Nah, pertanyaan mengenai dunia sebagaimana adanya itu tidak akan habis-habisnya kita bicarakan. Lantas, apa tidak lebih baik kita memusatkan perhatian pada hal ini, pada dunia sebagaimana dialami itu, bagaimana objek tertentu atau fenomena tertentu menampakkan diri pada kesadaran kita.

Jadi, Fenomenologi memusatkan perhatian pada hal ini maka analisisnya adalah tentang kesadaran manusia, tentang subjektivitas, tentang lebih pada diri kita dan dunia itu bagaimana dialaminya. Maka satu hal yang penting yang nanti jadi kesimpulannya adalah bahwa dalam fenomenologi itu, tidaklah penting apakah memang ada objek yang demikian, tapi yang lebih penting adalah bagaimana apapun itu namanya (objek, fenomen) itu menampakkan diri pada kesadaran kita.

Contoh konkretnya sebagai berikut: Ada seorang teman yang bercerita pada saya. Aduh, belakangan itu saya merasa ada yang membuntuti saya, gitu. Saya nggak nyaman, jadi ketakutan. Malam hari gak bisa tidur, dan seterusnya. Itu kayak ada hantu atau apa gitu. Kalau kita menjadi teman sharing orang itu dan kita itu lebih fokus pada realitas sebagaimana adanya, uh lebih fokus pada realitas sebagaimana adanya (ini pandangan ontologis ya begitu), kita akan mengatakan misalnya “Ah, hantu itu gak ada. Itu cuman halusinasi.”

Nah ini kita menjawab secara ontologis. Ini ada atau nggak ada. Sementara, kalau kita mau menjawab secara fenomenologis, kita tidak akan menjawab dengan cara itu. Kita tidak akan menjawab bahwa “hantu itu tidak ada.” Kita akan mencoba mengajak dia berpikir begini. “Sebetulnya, apa yang kamu persepsikan dengan itu? apa yang kamu rasakan? Apakah ada bayang-bayang, apakah ada rasa takut yang menyertai” seperti itu. Jadi kita semacam mengurung dulu apakah objek atau fenomena yang dirasa membuntuti orang ini ada atau tidak.

Jadi ini dua pendekatan yang berbeda, kita bisa menjawab secara ontologis dalam arti apakah ‘benda’ ini ada atau tidak, lalu seolah perkara beres begitu ya.

Nah, dalam fenomenologi, yang mempengaruhi kesadaran kita ada atau tidak, itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah bagaimana pengalaman itu (dialami, dirasakan, dipersepsikan). Karena itulah mengapa fenomenologi berkembang dalam (keilmuan) psikologi, yang namanya fenomenologi psikologis, begitu.

Dalam filsafat kan selalu ada kecenderungan kuat untuk menyatakan bahwa ini ada atau tidak ada, ini cara pandang ontologi, begitu. Apalagi kita juga secara alamiah memiliki kecenderungan untuk tidak mau buang-buang waktu membicarakan hal-hal yang umumnya dianggap tidak ada (seperti contoh ‘hantu’ di atas tadi). Itu halusinasi. Nah, (kalau cara bicaranya menggunakan sudut pandang ontologi) kita udah potong langsung di akarnya.

Nah, dalam fenomenologi, sikap dan cara ‘memotong’ seperti ini sangat tidak dianjurkan karena kita bicara soal fenomena yang menampakkan diri pada kesadaran.

Kalau kita kaitkan dengan misalnya hidup rohani, orang kan ‘senang’ bicara begini: apakah Tuhan ada atau tidak.

Mari kita lihat (pembuktiannya) lewat lima jalan Thomas Aquinas
[biasanya disebut sebagai Quinquae Viae. Lihat penjelasan singkatnya di sini https://www.oxfordreference.com/display/10.1093/oi/authority.20110803100359288 atau di sini https://home.csulb.edu/~cwallis/100/aquinas.html. Untuk penjelasan yang lebih ekstensif, pembaca dapat mendalami sendiri lewat artikel jurnal ini: “Aquinas’ Quinque Viae: Fools, Evil, and the Hiddenness of God” (Marcar, 2014) yang dapat diakses di sini https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/heyj.12137#]

lalu ada juga debat dan argumen yang lebih kontemporer yang berupaya membuktikan tidak adanya Tuhan, seperti ditulis Richard Dawkins dalam The God Delusion (2006) [lihat ringkasan dari buku ini yang ditulis oleh Niklas Göke pada 18 Oktober 2023 di https://fourminutebooks.com/the-god-delusion-summary/#:~:text=1%2DSentence%2DSummary%3A%20The,moral%2C%20and%20fulfilled%20without%20it ]

kalau dari cara berpikir Fenomenologi, pertanyaan tentang Tuhan ada atau tidak itu tidak terlalu penting. Kurung dululah! (epoché atau bracketing).

Lihatlah bagaimana pengalaman tentang Tuhan atau Tuhan yang menampakkan diri pada kesadaran kita, atau bagaimana kita sendiri mengalami Tuhan. Ini yang lebih penting. Jadi, dikurung dululah pertanyaan dan perdebatan soal Tuhan itu ada atau tidak, begitu. Karena, nah ini dari subjektivitas, masalahnya pada saat ini bukan soal Tuhan ada atau tidak tetapi soal bagaimana kalau Tuhan ada itu memengaruhi saya sebagaimana dialami. Mungkin contoh ini agak terlalu abstrak. Saya akan berikan contoh yang lebih konkrit.

Misalnya, ada orang lain, contoh: gurumu, yang bertanya “bapak ibu ada di rumah tidak?” atau “bagaimana kabar bapak ibumu sekarang?” Pertanyaan yang sebenarnya diajukan guru tersebut bukanlah apakah bapak ibu memang (secara fisik) ada di rumah atau tidak, atau dalam keadaan hidup (atau sudah meninggal), tapi soal bagaimana Bapak Ibu ini berpengaruh terhadap anak ini, atau persepsi (tentang) hubungan orangtua dengan itu, dan sebagainya, itu ya. Jadi kita kan sering melompat (dalam pengambilan kesimpulan dan membuat pernyataan), kalau sudah ada bapak ibu, maka pasti anaknya di-take care, sudah diurus dengan baik, sudah disayang.

Padahal, yang namanya eksistensi atau keberadaan, itu tidak serta merta berarti (hal ideal) inilah yang akan terjadi seperti bagaimana diharapkan (yang umumnya atau lazimnya) bahwa orangtua pasti ngurus anaknya, sayang pada anaknya. Teorinya begitu ya. Karena bisa saja anak-anak, dalam pengalamannya berelasi dengan orangtua, mereka bisa melihat bahwa figur orangtuanya itu sebagai orang yang mengancam. Begitu.

Jadi pertanyaan dalam fenomenologi bukan soal apa kabar bapak ibu di rumah tapi lebih ke “Bagaimana kamu mengalami bapak ibumu?” Di sini, “bapak ibumu sebagai fenomen.” Begitu ya. Jadi itu dulu contoh yang lebih konkret terkait cara bertanya Fenomenologi, dan yang (konkret) seperti ini diharapkan dapat lebih membantu orang untuk mengenali perbedaan (antara Fenomenologi dengan Ontologi).

Karena, kalau tidak begini, kata Husserl, orang akan dengan gampang selalu melompat ke pernyataan yang dianggap sudah ‘benar dengan sendirinya.’ Contohnya, ketika ada anak yang mengalami masalah (di sekolah berperilaku nakal dan melukai temannya, misalnya), lalu responnya, kan ada orangtua, bapak ibunya. Lalu selesai perkara. Tidak. Bukan seperti ini kalau pakai Fenomenologi.

Semoga pemaparan singkat di atas dapat membantu sidang pembaca untuk lebih mengenali Fenomenologi sebagai Metode berpikir, bertanya dan menyatakan sesuatu yang khas yang jelas sekali berbeda dengan cara berpikir, bertanya dan menyatakan sesuatu secara ontologis yang ‘kalau ada ini ada itu, sudah jelas, lalu habis perkara.’