Categories
Uncategorized

Membangun Empati Lintas Batas: Antara Damba dan Realitas

Belakangan ini, khususnya selama tahun 2023 —untuk membatasi time frame melihat dan menganalisis situasi dan peristiwa— ruang virtual kepublikan kita disesaki macam2 pemberitaan yang mengarah pada bukan hanya mewartakan kasus2 kekerasan (seksual di antaranya) terhadap anak tapi juga reviktimisasi anak pelaku kekerasan dan anak korban kekerasan, seperti (menggunakan inisial) AG dan DO di Jakarta, NA di Ende, ABK di Semarang, dan masih banyak lainnya.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bahkan mencatat ada 10 kekerasan seksual terhadap anak di sekolah [ini data hanya di lingkungan sekolah lho, belum terhitung tindak kekerasan seksual yg dilakukan di luar lingkungan sekolah!] sepanjang awal Januari sampai 18 Februari 2023. Dari kejadian itu membuat 86 anak jadi korban kekerasan seksual, baik laki-laki maupun perempuan.
(https://nasional.tempo.co/read/1693308/fsgi-catat-ada-10-kasus-kekerasan-seksual-di-satuan-pendidikan-di-awal-2023)

Yang terbaru, kemarin (Selasa, 30 Mei 2023) terungkap kasus pemerkosaan yg mengerikan dan amat biadab terhadap RI, gadis berumur 15 tahun, oleh 11 pria dewasa (!) di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Dilaporkan bahwa kondisi kesehatan si anak korban kekerasan seksual ini terus memburuk lantaran alat reproduksinya mengalami infeksi akut dan rahimnya terancam diangkat (https://www.bbc.com/indonesia/articles/cw8lw5nq0d0o)

Kalau kita agak mundur ke belakang 5 tahun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat (bahwa) selama periode 2016-2020 ada 655 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan fisik dan psikis
(lih: https://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-pengaduan-anak-2016-2020)

Data tinggal beku sebagai data jika kita sebagai pengguna tidak memberi makna dan mengancang sapa untuk memahaminya (syukur2 dapat bertindak konkret yang menunjukkan belarasa).

Kita mulai dari bertanya:
Mengapa ini semua bisa terjadi?
Salah siapa?
Apakah lemahnya pengawasan para ortu yg super sibuk mencari nafkah sampai abai thd safety dan well-being anak2nyakah?
Apakah krn digitalitas dalam bentuk2 negatifnya merangsek terlalu jauh nyungsep ke ruang2 intim kerentanan anak dan remaja digital natives?
Atau mungkin karena kepedulian dekat dan melekat antarwarga dari hidup bertetangga dan hidup bermasyarakat semakin terkikis, untuk tidak menyebut, HABIS?
Juga, bagaimana kita dapat ikut berempati terhadap korban dan ikut berkontribusi mengurangi potensi terulangnya kasus2 serupa di lingkungan sekitar kita?

Pertanyaan2 di atas diajukan agar kita mau berpikir dan peduli utk melangkah lebih jauh dan bukan hanya menjadi penonton (moralitas bystander) saja.

Ada beragam cara utk ikut berempati selain mengawal penegakan hukum terhadap kasus2 kekerasan yg sudah dilaporkan ke polisi dgn tidak pandang bulu siapapun pelakunya [semacam motto yg belakangan jadi buah bibir: no viral no justice, atau, secara peyoratif juga ada yg menyebutnya sebagai Slacktivism atau clicktivism]

Satu simpul yg dapat saya sumbangkan utk ikut mendiskursuskan isu di atas adalah dengan merujuk pada paparan Dr. Haryatmoko, SJ dalam Seri Webinar AIPI, “Membangun Empati Lintas Batas,” yang dilangsungkan pada Jumat, 26 Mei 2023 kemarin. [Tayangan ulang berupa rekaman Webinar ini dapat diakses pada Kanal YouTube Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) berikut: https://www.youtube.com/watch?v=YXYos6h5W_s]

Beliau menggarisbawahi pentingnya Etika Komunikasi di era digital yang responsif dan berbela rasa pada korban.

Romo Moko, demikian beliau biasa dipanggil, mengajukan paparan bertajuk “Membangun Empati, Mencegah Impersonalisasi.”

Pada salah satu salindia inti dari paparannya [lihat skrinsyut berikut],

Romo Haryatmoko menawarkan 6 model pembelajaran guna mengatasi impersonalisasi korban di media sosial. Yang menjadi tugas dan tanggungjawab ‘kita’ (netizen in general, para dosen dan peneliti Media dan Komunikasi serta ethical scholar in particular) sekarang adalah memikirkan secara kritis dan menemukan sejumlah cara yg kreatif untuk membumikan poin2 penting yg digariskan Romo Moko berikut ini:

Bagaimana cara2 kreatif yang dapat kita temukan dan rumuskan untuk:

1) mengembangkan keterampilan berpikir kritis para netizen?,

2) menumbuhkan budaya empati dlm komunitas daring?,

3) mendesain platform bertanggungjawab?,

4) mempertanyakan & menuntut akuntabilitas algoritmik?,

5) mendorong platform dan pengguna utk berdialog membangun pemahaman dan empati?,

6) mendorong intervensi pengamat?

Semoga pada beberapa hari ke depan ini kita dapat ikut memikirkan jawaban atas gugus pertanyaan di atas dan membagikan kepedulian serta membangun empati lintas batas demi pemulihan harkat dan martabat (para) korban.

Alangkah bagusnya jika kasus2 kekerasan seksual terhadap anak di atas (serta langkah2 mengantisipasinya agar jangan sampai terjadi pada anak Anda dan anak saya, anak2 kita) diangkat dan didiskusikan secara terbuka di ruang2 kelas PAUD sampai Pendidikan Tinggi supaya semakin meningkatlah kesadaran anak2 kita (juga para orangtua) terhadap para predator dan calon2 predator yg gentayangan di sekeliling kita, mencari mangsa dan menunggu saat yg tepat utk menerkam mangsanya. Duuuuh …

Categories
Uncategorized

Dosen sebagai Buruh hendaknya Berserikat!

Satu bulan terakhir ini (April 2023), dunia pendidikan tinggi di Indonesia diguncang prahara sebagai DAMPAK dari keluarnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi (Permen PAN & RB) No. 1 Tahun 2023 tentang JABATAN FUNGSIONAL (JaFung) bagi Aparat Sipil Negara, yang ditetapkan tanggal 06 Januari 2023, diundangkan tanggal 12 Januari 2023 & mulai berlaku tanggal 01 Juli 2023.

Anda dapat mengunduh dan membaca sendiri salinan peraturannya di sini
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/295958/Permen%20PANRB%20Nomor%201%20Tahun%202023.pdf

Untuk LLDIKTI 3 (Zona Layanan Administrasi untuk kampus-kampus negeri dan swasta yang berada di wilayah Jabodetabek), surat tanggapan sebagai turunan dari Permen PAN & RB No. 1 Tahun 2023 tersebut—yang terbaru per tanggal 13 April 2023, bertajuk “Penilaian hasil kerja dosen sesuai dengan PermenPANRB Nomor 1 Tahun 2023” karena ada beberapa versi tanggapan lain sebelum surat bertanggal 13 April 2023 ini — dapat diperiksa di sini:

https://lldikti3.kemdikbud.go.id/v6/2023/04/13/penilaian-hasil-kerja-dosen-sesuai-dengan-permenpanrb-nomor-1-tahun-2023/

Saya memetakan respon besar gelombang pertama atas prahara ini ke dalam tiga kluster: petisi, aneka tulisan (reportase & opini) & virtual meetings (termasuk Konferensi Pers).

Pertama, munculnya petisi daring bertajuk “MENDIKBUD, BATALKAN DEADLINE 15 APRIL YANG MEMATIKAN KARIR DOSEN!” di change.org yang diinisiasi oleh Benny D. Setianto, SH, LLM, MIL, Ph.D. (Unika Soegijapranata) yang intinya menyerukan agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, demi keadilan dan mutu pendidikan tinggi Indonesia, untuk:

1. Batalkan tenggat waktu 15 April 2023 (terkait kebijakan input data Tridarma Penilaian Angka Kredit di link Sijali/Sijago).
2. Hapuskan ancaman sanksi terhadap dosen (terkait kebijakan tersebut).
3. Audit aplikasi-aplikasi Ditjen Dikti Ristek yang terlalu banyak dan membebani dosen.
4. Reformasi birokrasi pendidikan sekarang juga.

(versi lengkap petisinya ada di sini https://www.change.org/p/mendikbud-batalkan-deadline-15-april-yang-mematikan-karir-dosen?recruiter=1304323114&utm_source=share_petition&utm_campaign=psf_combo_share_initial&utm_medium=whatsapp&utm_content=washarecopy_35956927_id-ID%3A2&recruited_by_id=a33f1360-d7f6-11ed-85b6-576f8591eb32)

Per tanggal 16 April 2023, mas Benny mengumumkan bahwa petisi-nya sudah BERHASIL didengarkan para pengambil kebijakan Pendidikan Tinggi di Indonesia (DIKTI) dengan kalimat berikut:

Teman-teman yang baik, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, telah mendengarkan kita. Melalui SE no 0275/E/DT.04.01/2023 telah disebutkan bahwa PermenPANRB Nomor 1 tahun 2023 hanya berlaku untuk ASN. Data tentang kinerja dosen tidak perlu dikumpulkan ulang tetapi akan diambil dari aplikasi SISTER. Tidak ada lagi ancaman akan dihapuskannya kinerja TriDarma dosen.Bahkan untuk dosen non ASN juga ditegaskan tidak ada tenggat waktunya.

Surat Edaran itu mengatakan pula bahwa saat ini sedang dirancang skema karier dosen yang lebih baik (catatan kami: semoga tidak membuat kami harus menambah tugas administrasi dengan memindahkan data dari sistem lama).

Kami juga mencatat secara khusus pernyataan DitJen Dikti Ristek untuk berpihak kepada dosen termasuk dalam hal mengurangi beban administrasi.

Terima kasih kepada semua yang sudah menandatangani petisi ini, mendukung dengan memberikan komentar, atau membuat pernyataan serupa melalui media massa, sehingga suara kita didengar. Terima kasih pula platform change.org yang telah menyediakan media bagi kami untuk bersuara.

Terima kasih.

Kedua, munculnya beberapa tulisan opini maupun laporan (reportase) di sejumlah media massa daring guna menanggapi prahara ini, seperti yang dituliskan Prof. Sulistyowati Irianto dari Fakultas Hukum UI bertajuk “Buruh Dosen” https://www.kompas.id/baca/opini/2023/04/12/buruh-dosen dengan mengusung sub-headline sebagai berikut “Para ilmuwan Indonesia teralienasi dari karyanya sendiri karena tak memiliki roh kebebasan akademik dalam bekerja, sekadar memenuhi kewajiban administratif. Dosen menjadi manusia birokrasi, tak ubahnya sebagai buruh.”

Setidaknya ada tiga reportase yang ditulis wartawan senior Kompas, Ester Lince Napitupulu, terkait isu ini, yaitu:
(1) “Dosen Keluhkan Pengakuan Angka Kredit yang Bisa Terancam Hangus” (akses di sini: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/04/11/dosen-keluhkan-pengakuan-angka-kredit-yang-bisa-terancam-hangus)

(2) “Ketika Dosen Terus Merasa Di-‘prank'” yang ditulis oleh wartawan Kompas, Ester Lince Napitupulu (akses di sini: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/04/19/ketika-dosen-terus-merasa-di-prank)

(3) “Birokratisasi, Senjakala Nasib Dosen Indonesia” yang ditulis oleh wartawan Kompas, Ester Lince Napitupulu (akses di sini: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/04/26/birokratisasi-dosen-mengundang-senjalaka-indonesia)

Saya juga mencatat ada beberapa tulisan lainnya yang dirilis untuk menanggapi isu yang sama, seperti dapat dilihat di bawah ini

(1) “Ribetnya karier dosen di Indonesia: monopoli pemerintah dan logika birokrasi perguruan tinggi yang mengakar sejak era penjajahan” yang ditulis oleh Hali Aprimadya (PhD Student, Crawford School of Public Policy, Australian National University) dan diterbitkan di The Conversation pada 14 April 2023, pukul 11.13 WIB (akses di sini: https://theconversation.com/ribetnya-karier-dosen-di-indonesia-monopoli-pemerintah-dan-logika-birokrasi-perguruan-tinggi-yang-mengakar-sejak-era-penjajahan-203683). Dalam kesimpulan tulisannya, bang Hali menuliskan bahwa “Pengurangan monopoli pemerintah dalam tata kelola institusi, ditambah peningkatan kapasitas dari institusi pendidikan tinggi dan dosen dalam menerapkan praktik baik pengelolaan institusi, dapat menjadi salah satu kunci penting dalam perbaikan dunia pendidikan tinggi di Indonesia.”

(2) Pengamat: Dosen di Indonesia Terancam Tenggelam dalam Tugas Administratif, ditulis Nurhadi Sucahyo pada 20/04/2023 (akses di sini: https://www.voaindonesia.com/a/pengamat-dosen-di-indonesia-terancam-tenggelam-dalam-tugas-administratif/7057230.html)

Beberapa poin yang menarik dari reportase di atas adalah pandangan sejumlah dosen terkait keluarnya Permen PAN & RB No. 1 Tahun 2023 tsb., yang berbunyi sebagai berikut,

(a) Guru besar hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D. guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, menilai bahwa PermenPAN RB 1/2023 bisa disebut sebagai salah satu peraturan perundang-undangan yang tidak baik. Alasannya, seharusnya aturan itu mematuhi asas-asas pembentukan dan asas-asas materi. Dalam pembentukan aturan, salah satu yang terpenting adalah partisipasi bermakna.

β€œKita tidak mengetahui dengan pasti, apakah PermenPAN RB itu sudah menggunakan atau sudah melaksanakan partisipasi yang bermakna tersebut,” ujarnya dalam konferensi pers Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) terkait PermenPAN RB 1/2023, Rabu (19/4).

Pihak yang paling terdampak dari ketentuan baru ini, di kalangan perguruan tinggi adalah para dosen. β€œKita juga tidak mengetahui dengan pasti, para dosen apakah sudah pernah dimintakan pendapatnya, yaitu dalam kerangka hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan penjelasan,” tambah Susi.

(b) Kritik keras juga disampaikan guru besar hukum Universitas Gadjah Mada, Prof Sigit Riyanto.
β€œSeluruh dosen di Indonesia, seluruh perguruan tinggi di Indonesia, mengalami rush. Harus berakrobat demi menyesuaikan diri, memenuhi apa yang diminta di dalam peraturan maupun kebijakan-kebijakan yang disosialisasikan, dengan adanya peraturan itu,” ujarnya. Respon Kemendikbudristek juga dikritisi Sigit. Dia mengatakan, pengambil kebijakan gagal memahami karakteristik profesi dosen sebagai akademisi dan intelektual. Kemendikbudristek juga menunjukkan kebingungan dalam memahami misi fundamental institusi pendidikan tinggi.

(3) “Pakar Menjawab: Seperti apa potret gaji dan realitas kesejahteraan dosen di Indonesia?”
Berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 2019, seorang dosen PNS lulusan S2 yang baru meniti karir (golongan IIIb) mendapat gaji pokok sebesar Rp 2.688.500. Mereka yang masih berstatus CPNS bahkan hanya bisa membawa pulang 80% gaji pokok tersebut. Bandingkan dengan gaji PNS non-dosen yang baru lulus S1 (fresh graduate), dengan segala tunjangannya, bisa mencapai Rp 5-9 juta. [Loh, bukannya dosen dapat Serdos ya buat kompensasi gaji yang kecil tersebut?] “(aturan pengupahan dosen CPNS, maupun dosen dengan status kerja lainnya di PTN-BH, PT-BLU, hingga PT di bawah Kementerian Agama & PTS) nggak berangkat dari pengalaman riil dosen. Pemerintah selalu berdalih dosen tidak dapat tukin karena ada serdos, tapi kalau serdos juga antrinya ampun-ampunan [..] lalu siapa yang bertanggungjawab atas kesejahteraan mereka?” katanya.

Artikel ditulis Luthfi T. Dzulfikar (Youth + Education Editor) setelah mewawancarai Nabiyla Risfa Izzati (Dosen Hukum Perburuhan dari Universitas Gadjah Mada) dan Kanti Pertiwi (Dosen dalam Kajian Organisasi di Universitas Indonesia)
(akses di sini: https://theconversation.com/pakar-menjawab-seperti-apa-potret-gaji-dan-realitas-kesejahteraan-dosen-di-indonesia-193044)

Sejumlah tulisan reportase maupun opini di atas, khususnya tulisan dari Prof. Sulis, menuai kontroversi yang tidak sedikit, yang tidak semuanya dapat dimuat di kolom Opini surat kabar ybs, sehingga mluber-lah ke jalur media sosial seperti Twitter, dengan sedikit jejaknya berikut ini:

Diawali dengan twit apresiatif dan sekaligus diseminatif dari artikel Prof. Sulis dari akun “FachrizalAfandi”


“Kebijakan seperti Permenpan RB 1/2023 tidak akan melahirkan ilmuwan kelas dunia”
Tulisan yang sungguh bernas dari Guru Besar FH UI Sulistyowati Irianto (13 April 2023)
Meski ada sedikit catatan juga di tulisan ini. Sejatinya dosen adalah buruh. Makanya di banyak negara, para dosen membentuk Serikat agar tak mudah diperalat penguasa dan ditindas pengelola kampus.

Yang lalu dikomentari seperti ini oleh “Anarkinks”


Muak banget sama sikap “holier than thou” gini yg makin bikin berserikat jd hal mustahil. (15 April 2023)

yang kemudian ditanggapi “Metanoven” sebagai berikut:


Inti opini Sulistyowati Irianto bukan ttg ‘posisi dosen yg lebih tinggi drpd buruh’, melainkan pd situasi dosen yg terbelenggu dgn kewajiban administratif dan dan birokrasi kampus yg semakin kaku. Ini menyebabkan dosen tidak leluasa melakukan tugas utamanya: Riset.
Mungkin tdk 24 jam. Tapi dosen yg serius melakukan penelitian menghabiskan sebagian besar waktunya utk itu. Dan ketika kita dengan enteng menilai manajemen waktu dosen tersebut buruk, berarti kita gk paham seberapa besar dedikasi seorang peneliti menjalankan profesinya.
Mungkin, sikap kita menganggap profesi dosen (sbg peneliti dan pengajar) harus diperlakukan sama dengan profesi lain, menjadi salah satu faktor penyebab pengembangan riset dan inovasi di Indonesia jauh dari tertinggal dari negara-negara lain.
GII 2022 menempatkan Indonesia pada peringkat 75 paling inovatif dari 132 negara, naik dari peringkat 87 pada tahun sebelumnya. Namun di ASEAN, Indonesia masih di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, & Vietnam, yg jumlah dosennya lebih sedikit. https://wipo.int/edocs/pubdocs/en/wipo_pub_2000_2022/id.pdf
Fakta menarik dari tulisan @ConversationIDN tahun 2020. Dari 305 ribu dosen di Indonesia lebih dari sepertiga belum memublikasikan jurnal ilmiah, dan menduduki peringkat ke-11 di Asia Pasifik untuk jumlah hasil riset selama setahun. [theconversation.com >> Lebih dari sepertiga dosen Indonesia tidak menerbitkan riset: 3 solusi memperbaikinya, dst]
Lebih dari sepertiga dosen dan peneliti Indonesia tidak menerbitkan riset. Ini disebabkan beratnya beban mengajar dosen, buruknya evaluasi kinerja riset, dan kurangnya dosen berkompetensi doktoral.
Terlihat jelas Indonesia tidak memprioritaskan riset dan inovasi. Memandang sebelah mata profesi guru, dosen, dan peneliti. Berapa persentase anggaran penelitian? Sangat sedikit, hanya 0,24% dari PDB. Gaji guru, dosen, dan peneliti pun juga tidak banyak.
Lemahnya riset dan inovasi sebuah negara berdampak pada pengambilan kebijakan pemerintah yang cenderung buruk, tidak matang, dan rentan oleh kepentingan kelompok tertentu. Kebijakan yang sembrono berdampak terciptanya kualitas hidup masyarakat yang rendah.
Kegelisahan penulis thd hubungan triple helix yang tidak terajut tentu masih sangat relevan. Pemerintah menggandeng erat pengusaha untuk membuat kebijakan, tanpa melibatkan para akademisi dan masyarakat. Alih-alih memberikan solusi, banyak kebijakan yg menciptakan masalah baru.
dst.

(*) Sebagai catatan historis saja, jika kita mau sedikit saja melihat sejarah ke belakang 10 tahun yang silam, sudah ada beberapa dosen yang mengkritik buruknya Pemerintah menegakkan good governance atau tata-kelola Perguruan Tinggi di republik ini, seperti yang terepresentasi dalam dua tulisan guru besar berikut ini:

(1) Tulisan dari Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro yang dimuat dalam Kolom Opini Kompas, 29 Juni 2013, bertajuk “Marginalisasi Perguruan Tinggi” (salinan tulisan dapat diakses di https://aipi.or.id/assets/pdf/pdf_file/290613_marginalisasi_perguruan_tinggipdf_UYRSY.pdf)

(2) Tulisan dari Prof. Terry Mart yang dimuat dalam Kolom Opini Kompas, 30 Agustus 2013, bertajuk “Bongkar Pendidikan Tinggi Kita” (salinan tulisan dapat diakses di
https://aipi.or.id/assets/pdf/pdf_file/30082013_Bongkar_Pendidikan_Tinggi_Kita_Terry_Mart.pdf)

Ketiga, sejumlah dosen bergerak untuk memprotes sanksi berupa “penghangusan Angka Kredit (AK) untuk penilaian JaFung Dosen” sebagaimana tercantum dalam surat edaran DIKTI (yang dirilis dan beredar di sejumlah WA group sebelum 11 April 2023; saya punya salinan soft-copynya dalam format .pdf, tapi tidak saya tampilkan di blog ini) misalnya dengan mengadakan diskusi atau rembug secara virtual, misalnya di sini
Konferensi Pers KIKA tentang PermenPAN-RB No. 1 Tahun 2023 (https://www.youtube.com/watch?v=QOv6rukuf5c).
yang diadakan via Zoom pada Rabu, 19 April 2023, 15.00-16.00 WIB

Karena heboh yg ditimbulkan seperti ini, Pejabat DIKTI [Plt. Dirjen Diktiristek Kemendikbud Ristek] yang juga seorang dosen, Prof Nizam, mengatakan bahwa Permenpan RB No. 1 2023 membuat repot semuanya. Meski tujuan dari peraturan itu baik, tapi tenggat waktunya sangat singkat sekali. Dia mengaku sudah mengupayakan dan terus mengupayakan agar tidak ada dosen yang kehilangan angka kreditnya. “Belum lama ini juga kami sudah mengadakan rapat koordinasi lagi dengan semua LLDIKTI dan pimpinan perguruan tinggi (ini yang ketiga kalinya) untuk menjelaskan dan mencari solusi bersama,” ucap dia kepada Kompas.com, Selasa (11/4/2023). Lanjut Prof. Nizam mengatakan, sebetulnya tidak ada sistem baru dalam PermenPAN RB No. 1 ini. Itu karena menggunakan PAK dosen yang selama ini sudah berlaku. “Untuk klaim kinerja, dosen hanya perlu menarik data kinerja melalui SISTER, PDDIKTI atau sistem internal perguruan tinggi dan LLDIKTI. Jadi dosen tidak perlu unggah dokumen apapun untuk pengajuan klaim kredit kinerja sampai dengan 2022,” jelas dia.
[Sumber: “PermenPAN RB No.1 Soal PAK Dosen, Kemendikbud: Deadline Singkat Bikin Repot “, Akses di sini https://www.kompas.com/edu/read/2023/04/11/133851971/permenpan-rb-no1-soal-pak-dosen-kemendikbud-deadline-singkat-bikin-repot?page=all.
Penulis : Dian Ihsan; Editor : Dian Ihsan]

Beberapa contoh yg saya sampaikan di atas (dokumen, tulisan opini & reportase serta video) merupakan contoh-contoh respon masyarakat, atau komunitas profesi tertentu, atas sebuah isu sosial yang berdampak luas dan mengkhawatirkan. Agregat respon tersebut dapat dicermati dan disaksikan publik dengan cara klik link-nya supaya sidang pembaca, audiens, dapat membaca tulisan atau dapat menonton videonya serta mencermati detil isi serta argumennya.

Masih ada puluhan mungkin ratusan kegiatan lainnya yang dilakukan perseorangan maupun komunitas-komunitas kecil dosen yang merespon prahara tersebut, misalnya diskusi hangat yang berlangsung di Grup WhatsApp Serikat Dosen Indonesia, SiJALI, INSPECTUS, grup WA Dosen dan Staf di Perguruan Tinggi swasta XYZ, juga di grup percakapan SIGNAL, Facebook Messenger, dst., dsb.

Akhirul kata, demi mencuatkan sense of closure dari catatan kecil saya dalam blog ini, perjuangan para dosen, entah yang kesadarannya masih berada dalam bayang2 dominasi hegemonik “pemerintah” (ikut kata regulasi) atau “Yayasan” (apa kata bos/Ketua Yayasan dan pejabat struktural PTS), maupun para dosen yang sudah memiliki kesadaran kritis (cf: kesadaran klas, class consciousness, seperti tergambar dalam teori pergerakan berhaluan Marxis) sebagai buruh-dosen, masih jauh dari kata usai.

Hiruk-pikuk dampak dari keluarnya Permen Pan & RB mungkin sudah sedikit reda dengan “penundaan” deadline unggah berkas kalau tidak hangus angka kredit, sebuah sanksi yg ditengarai akan “mematikan karir dosen.”

Sebagian dosen menanggapi prahara ini dengan menjadi silent reader & acute observer, sebagian lainnya tebar komentar kritis maupun sinis di WA atau WA status (termasuk saya!).

Sebagian dosen lain meluangkan waktu mereka yang berharga yang isinya “24 jam terus2an mikirin soal riset, proposal hibah dan draf artikel jurnal” dengan berupaya keras agar tidak kena “prank” terus2an dan terlanda badai prahara berjilid2 sampe 7 musim kayak sinetron “Tersandung” (duuuh) dengan berancang membentuk Serikat Pekerja Kampus (atau apalah nanti namanya kalau sudah legitimate), menjelang peringatan Hari Buruh 1 Mei 2023.

Mereka berkumpul secara virtual, curhat, curcol dan berembug menyatukan visi dan merancang strategi + aksi, seperti tampak di sini:
Press Conference KIKA Tentang Serikat Pekerja Kampus,
https://www.youtube.com/watch?v=VA0kjpMXKHc

Dengan modal kekuatan “massa” yang besar, diperkirakan ada lebih dari 300 ribu dosen se-Indonesia, apalagi kalau memasukkan unsur staf (tenaga admin), tendik dan tenaga lepas yang terafiliasi dgn aktivitas kampus (office boy/girl, misalnya), mungkin dapat mencatat angka satu juta kepala lebih, kita harus merapatkan barisan dan menyatukan aspirasi dalam wadah organisasi SERIKAT Pekerja. Sebagian dari para dosen yang saya kenal dan mengikuti satu atau dua kegiatan di atas, menyatakan dengan TEGAS bahwa mereka sudah muak dan muntap (mau muntah) diperlakukan seperti ini terus-menerus.

Jadi, quo vadis et quod nobis agenda?

CAVEAT: Jangan sampai terjadi, Nunca MΓ‘s (“Never Again”), belum mentas sudah keburu gembos yaaaaah (kayak yg sudah2 :D)

Categories
Uncategorized

Ikhtiar Menempuh Jalan Sunyi Menjadi Reviewer Jurnal Internasional Terindeks Scopus Q1, Q2 dan Q3

Edisi curhat malam ini dipicu oleh dua hal:

Pertama, ketercatatan namaku di akun Publons yg sudah dibeli/diakuisisi oleh raksasa publikasi Web of Science (WoS) di sini https://www.webofscience.com/wos/author/record/3852158 menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Yes, why not be proud? Only a handful of communication/social science scholars in Indonesia are registered here because of their specific contributions to the world of global academe. Dampaknya apa dari “ketercatatan” ini? Sekalinya nama masuk ke bursa reviewer jurnal internasional (di Publons & Web of Science) langsung deh bertubi2 bisa seminggu dua kali naskah masuk ke emailku🀭

Kedua, rasa2nya selama tahun 2023 ini sudah beberapa kali ada email masuk ke Inbox ku yg meminta kesediaanku untuk menjadi reviewer dari jurnal A, B, dan C, yg notabene (ketika dicek datanya di Scimagojr) tercatat sebagai jurnal dengan reputasi internasional yang bagus, alias terindeks Scopus Q1, Q2 dan Q3. Tentu saja tidak semua email request yg meminta diriku menjadi reviewer itu kuiyakan begitu saja karena 1) kompetensi/expertise ku bukan di topik yg disodorkan naskah2 tersebut, 2) tight schedule utk membereskan bab 4 disertasiku sendiri. hix.

Ketika kukabari soal ini, seorang kolega di kampus bertanya demikian (japri WA) kepadaku:
“Asikk sekarang udah bs nolak ya Pak, tapi memang kalau di luar kompetensi memang sebaiknya tidak (diterima) agar tetap di jalurnya ya Pak?”

Jawabku: Iya. Tapi nolak yg elegan berarti ikut bantuin Editornya utk cari & mengusulkan nama reviewer yg kepakarannya cukup luas dikenal.

Misalnya, utk draf naskah perbandingan paradigma teologi dari filsuf Katolik Prancis Jacques Maritain dgn pandangan Mustafa Akyol, tokoh kontemporer teologi Islam sekaligus jurnalis dari Turki, aku mengusulkan nama [XYZ] yg aku yakin lebih paham soal subject matter-nya karena beliau dapat Masternya dalam bidang Teologi dari Austria & Doktornya dalam Ilmu Filsafat dari Jerman. Selain kenal pribadi sama [XYZ] ini, aku pun mengenali kualitas tulisan2 beliau yg kaya dan mendalam seputar topik Filsafat & Teologi.

Eniw, meskipun S1 & S2 ku dari jurusan Filsafat (Sosial) dan aku relatif open-minded terhadap perdebatan gagasan2 filsafat klasik maupun kontemporer, tapi utk saat ini aku memilih fokus pada 3 topik kajian saja yg kuanggap aku cukup memiliki kepakaran di situ: Intercultural Communication, Communication Ethics & Multiculturalism as Political Ideology/Pancasila as National Ideology.

Adapun Minor expertise yg aku masih sanggupi (utk mereview) meletak di kajian Teori2 Feminis, khususnya Standpoint & Teori2 Komunikasi yg lahir/bertolak dari dialektika philosophy & social sciences seperti Symbolic Interactionism, Hermeneutics & Phenomenology.

Di bawah strand tiga kepakaran major (& dua yg minor) ini acapkali ada konsep2 besar yg masuk sbg focal concepts kajian, misalnya isu Toleransi (Sosial & Religius), Konflik antar pemeluk/umat beragama yg berbeda2, dst. Secara terbatas, aku masih berani terima naskah2 yg bahas focal concepts yg sudah cukup kukenali ini. Itu pun menurutku udah agak kebanyakan ya “kategori naskah” yg bisa kupegang.

Pragmatically speaking, kualitas review juga akan bicara pada akhirnya, misalnya, seberapa jauh/mendalam tilikan reviewer atas hal2 yg msh bisa ditingkatkan dari draf naskah yg masuk ke meja Editor. Karena akhirnya kan penulis akan memberikan rebuttal/tanggapan atas masukan dari reviewer yg pegang naskahnya dan hal semacam ini juga akan menjadi perhatian Editor jurnal ybs.

All in all, refleksi singkat yg dapat kupetik dari edisi curhatan malam ini adalah bahwa pengakuan atas kapasitas agential dari seorang dosen-cum-reviewer bukan hanya “melulu” konstruksi sosial kompetensional belaka, tapi juga dimediasi oleh algoritma apps (Publons, WoS, website jurnal serta flow OJS-nya, dapur redaksional jurnal, dst.) sekaligus visibilitas dari kontribusi yang senyatanya sudah diberikan (baca: dituliskan) oleh si dosen-cum-reviewer tersebut lewat karya tulisnya (yg terpublikasi secara ajeg berkala, jadi bukan karena faktor one hit wonder, mind you).

Eh, senyampang membalas chat dari rekan kerja tersebut, ada kolega dosen lain yg bekerja di sebuah kampus dari sebuah Provinsi di Pulau Sulawesi yg ikut nyambung mengomentari update statusku tersebut dgn mengatakan: “Keren Ketua πŸ‘ Pak Hendar”

Saya lalu mengucapkan terimakasih padanya dan menekankan fakta miris 01 berikut ini: “Gengsinya gede, Kum nya juga lumayan, tapi gak ada duit yg masuk ke rekening nglakoni kerjaan jadi reviewer jurnal Q1 dan Q2 ini🀣”

Kolega dosen ini tampaknya belum percaya dan bertanya, “Benarkah Pak? Masa ya? Pdhl kan kerjanya lumayan menyita wktu ya.”

Saya lalu menukas, “Hehe.. ya nggak ada Bu sama sekali. Inilah dunia “akademis” yg tanpa pamrih ya kalo kita mau ngomong. Kalau jd reviewer yg jurnal Sinta 4 dan 5 justru malah dapat honor meski gak seberapa besar rupiahnya, plus itu naskah harus sampai terbit ya baru dibayar. Mungkin kalo jurnal Scopus Q1 & Q2 reviewernya dianggap sudah mandiri secara finansial kali ya🀣”

Kolega dosen dari Sulawesi ini lalu ikut “curhat” dengan mengatakan bahwa “Biasany klo di kampus sering dgr “upahmu besar di sorga”, “gpp, hitung2 nabung di akhirat”.
Kan Bgitu jg tugas tambahan di kampus kan ya pak Hendar 🀣

Secara diplomatis tapi juga kritis, saya menjawab “curhatannya” berikut:
“Hehe… Iya Bu. Tapi kalo sering2 denger yg kayak gini eneg juga ya🀭 artinya ada kegagalan sistemik memetakan persoalan profesionalism dan jalan keluarnya sperti apa. Kalau apa2 upahnya besar di surga yg menjamin tugas2 tambahan ini tercatat di Surga siapa ya? Mosok Dirjen DIKTI juga🀣🀣”

Kemudian dia melanjutkan curhatnya berikut:
“Makanya pak sy kalo tugas tambahan lbh srg mnolak. Krn mmg realitanya di kampus konsep profesionalism itu berbeda. dosen itu anggapanny harus serba mengabdi, mau dan mampu bekerja kn udh dibayar ama negara or yayasan 🀣🀣. Sbnrnya menolak bukan krn sombong🀣🀣. Tp mmg mrasa ga mampu sejujurnya. Ga mampu membiayai aktivitas tugas tambahan itu. Moso iya besar psak dr tiang. Hahahha jadi curhat πŸ€£πŸ€£πŸ€£πŸ™”

Saya menanggapi “curhatannya” sbb.:
“Tugas tambahan itu tidak jarang sebagai nama lain dari eksploitasi niat baik bu wkwkwk di mana ada relasi kekuasaan yg tidak seimbang (timpang), di situlah terjadi eksploitasi dlm berbagai bentuk, modus dan dampaknya. Ujung2nya ya sesal, getir dan prihatin di level individu dan interpersonal + lack of trust pada level organisasional.” (dst.)

Komentar singkat atas chat tsb:
Sejauh “tugas tambahan” tersebut masuk IKU/KPI, mungkin dosen masih “rela” dan “bersedia” utk menjalaninya, tapi kalau kontribusinya disunat dan di-simsalabim lalu ia dihibur secara palsu dan manipulatif dengan janji2 upahmu besar di surga, di situlah persis status profesionalisme sebagai Dosen dengan tugas mahasuci “menjalankan TriDharma” menjadi Oxymoron & dis-insentif atas etos berkarya.
Moga2 gak terus berulang yg kayak begini2. 🀣

Categories
Uncategorized

A Thing affords horizons of exploration: Refleksi Fenomenologis Chad Engelland

Dalam buku “Pengantar” untuk Kajian Fenomenologi *), filsuf Amerika yg menjabat sebagai Profesor Filsafat di Universitas Dallas, USA, bernama Chad Anthony Engelland menggambarkan Fenomenologi secara sederhana berikut ini.

Berikut saduran bebas kata-kata Engelland di atas ke dalam bahasa Indonesia:
“(bisa jadi) seniman terkemuka Perancis bernama Paul CΓ©zanne keliru memahami persepsi itu apa. Walakin, subjek yg dilukis CΓ©zanne selalu terlihat lebih terang dan tegas, tangible, sehingga tampak lebih nyata daripada subjek lukisan yg dibuat para pelukis impresionis. Kok bisa begitu? Meskipun pengalaman kita sehari-hari tidak bersentuhan dengan garisluar, outline, dari objek yang dipersepsi, tapi pengalaman kita melibatkan tebalnya benda, thickness of things, yang membuat benda tersebut jadi menonjol dalam ranah persepsi. Cara yang jitu untuk mengekspresikan ketebalan benda dalam permukaan dua dimensi adalah dengan memberikan garisluar/garis tepi pada objek sehingga memberikan kesan tampilan bahwa objek tersebut mencuat keluar dari kanvas. Pengalaman yang aktual berdimensi empat, dengan tambahan yaitu kedalaman dan gerakan dalam waktu. Coba lihat buah pir yg ada di atas meja. Buah pir tersebut tampak seperti permukaan lingkaran yg berwarna (hijau pucat) jika dilihat dengan satu mata tertutup atau dilihat tangkapan fotonya. Ketika dilihat dengan dua mata terbuka dan bergerak mengelilinginya, buah pir itu terlihat seperti memiliki orbit, sesuatu yang memiliki lebih dari satu sisi. Coba ambil pirnya, balikkan, copot label harganya, kemudian gigit. Garis tepi untuk objek yang dibuat CΓ©zanne menunjukkan kepada kita bahwa pengalaman adalah pengalaman tentang benda, experience of things, dan benda-benda yang dialami ini memiliki soliditas dan substansialitas yang berkorespondensi dengan eksplorasi ketubuhan kita atas mereka. CΓ©zanne mewanti-wanti kita akan fakta yang sederhana tapi memukau bahwa suatu benda menyediakan gugus cakrawala eksplorasi.”

Luar biasa kreatif cara Engelland mendeskripsikan secara fenomenologis hal-ihwal tentang “dunia” “persepsi” “kebendaan” dan “cakrawala eksplorasi” dengan menggunakan metafor komparatif lukisan impresionis dan pascaimpresionis dari CΓ©zanne, terutama soal penggunaan garis tepi yang menonjolkan visibilitas, soliditas dan substansialitas dari objek persepsional.

Rujukan:
Engelland, C. (2020). Phenomenology (The MIT Press Essential Knowledge series). MIT Press.

(c) Hendar Putranto, 27 Maret 2023

Categories
Uncategorized

[random thoughts in March 2023] dibuang sayang baiknya diposting aja

Konteks Penemuan dan Konteks Justifikasi, terminologi distingtif yang biasanya dipakai dalam Filsafat Sains, terutama sejak dicetuskan filsuf dan sejarawan Sains terkemuka, Thomas Kuhn dalam adikaryanya, The Structure of Scientific Revolutions (1962). Konteks Penemuan biasanya merujuk pada tahap/proses penelitian sebelum ada temuan ilmiah yg diklaim, misalnya tentang potensi bias2 kultural politis dll yg ada pada diri peneliti dan bagaimana ini dapat memengaruhi hasil temuan; sementara Konteks Justifikasi lebih menekankan pada validitas hasil temuan (post-facto).

Beberapa postingan lainnya membahas tentang:

*) locus support moril sesama pejuang disertasi diharapkan datang dari sesama rekan seangkatan

*) Empat tesis yg diajukan Walter Benjamin tentang Reproduksi Karya Seni merujuk pada karya kritisisme budaya yg pernah ditulisnya yaitu The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction (1935). Tesis ini merupakan hasil pembacaan tajam dan cermat dari Prof. Francisco Budi Hardiman yg dapat ditemukan dalam bukunya yg terbaru, Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital (Yogyakarta: Kanisius, 2021) yg kemudian kuringkas kembali dan disajikan dalam postingan WA.

*) Ternyata penggunaan term “Nomothetic” dan “Ideographic” sudah lumayan lumrah diajukan oleh para dosen ahli penguji sidang hasil penelitian di Program Studi Doktoral Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia. Distingsi di antara keduanya diajukan filsuf Neo-Kantian asal Jerman bernama Wilhelm Windelband (1848-1915) yang mengacu pada dua metode yang berbeda untuk ranah ilmu2 pasti alam (β€œnomothetic method”) dan ilmu2 kesejarahan (β€œidiographic method”). Argumen utamanya berkisar pada pandangan bahwa Sejarah adalah Sains [Wissenschaft] yang mencoba menangkap karakter unik, tidak berulang, dan individual dari realitas. Pandangannya ini berpengaruh pada debat selanjutnya soal metode kesejarahan (historical method) (Kinzel, 2020).

Kinzel, Katherina, “Wilhelm Windelband”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2021 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = .

Kebetulan tempo hari baca-baca tulisan Robert T. Craig (2013) yg ternyata menyebutkan hal yg sama dalam soal pemodelan dan theorizing untuk Keilmuan Komunikasi, khususnya yg menggunakan pendekatan critical interpretive theories.

Berikut screenshots nya:

*) Sebelum Luciano Floridi merangkum gagasan besarnya tentang Filsafat dan Etika Informasi pada 2011 dan 2013 (Penerbit: Oxford University Press), seorang filsuf Amerika kontemporer bernama Terrel Ward Bynum sudah lebih dulu memikirkan dan memublikasikan sejumlah karya tulis yg membahas tentang Etika Komputer, yg di antaranya pernah dipublikasikan dengan judul β€œThe Foundation of Computer Ethics,” topik pembicara kunci dalam Konferensi AICEC99 di Melbourne, Australia, pada Juli 1999 dan yg kemudian dimuat di jurnal Science and Engineering Ethics 6 (2000)

Berikut screenshots dari tulisannya yg mengacu ke laman yg ditulisnya di Stanford Encyclopedia of Philosophy beberapa tahun setelah publikasi awalnya. (https://leibniz.stanford.edu/friends/members/view/ethics-computer)

Moga-moga saja random thoughts ini bermanfaat sebagai trigger untuk memacu diskusi yg sehat dan berkelanjutan ttg sejumlah topik di atas.

cheers,

Hendar Putranto

Categories
Uncategorized

Fenomenologi Manusia Spiritual dari Edith Stein

Berdasarkan buku adikaryanya, Finite and Eternal Being: An Attempt at an Ascent to the Meaning of Being (terjemahan dari versi aslinya berbahasa Jerman, Endliches und ewiges Sein: Versuch eines Aufstiegs zum Sinn des Seins), yang diterjemahkan oleh Kurt E. Reinhardt dan diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh ICS (Institute of Carmelite Studies) Publications, Washington, D.C. pada 2002.

Karya ini aslinya diterbitkan dalam bahasa Jerman oleh Archivum Carmelitanum Edith Stein dengan judul Endliches und ewiges Sein: Versuch eines Aufstiegs zum Sinn des Seins. [Band II of Edith Steins Werke. Translation authorized.] Penerbit: Verlag Herder, Freiburg im Breisgau pada 1949 dan 1986.

As far as Sister Benedicta’s own way of life is concerned, this idea springs from the joyful certitude of her faith.
“What did not lie in my plans, lay in God’s plan….[The] more lively becomes in me the conviction of my faith thatβ€”from God’s point of viewβ€”nothing is accidental, that my entire life, even in the most minute details, was pre-designed in the plans of divine providence and is thus for the all-seeing eye of God a perfect coherence of meaning. Once I begin to realize this, my heart rejoices in anticipation of the light of glory in whose sheen this coherence of meaning will be fully unveiled to me” (p.113).
As to the other wayβ€”the ascent to the meaning of beingβ€”the breakthrough from finite to eternal being is not merely divined or mystically experienced but philosophically and methodically sought and achieved.
Starting out from the experience of her own personal being, Edith Stein analyzes the ontological conditions of this unified experience. Step by step she then ascends on solid, scientifically tested ground.

Edith Stein, salah seorang murid pertama dari Edmund Husserl yg sangat berbakat dalam telaah Fenomenologi, yang akhirnya “meninggalkan” jalan sekuler, convert dari agama Yahudi, dibaptis menjadi seorang Katolik, lalu memilih membaktikan hidupnya di jalan panggilan Ilahi sebagai seorang Suster Karmelit Tak Berkasut (Discalced Carmelites).

Hidupnya berakhir secara tragis dengan ditangkapnya dirinya oleh tentara NAZI kemudian dikirim ke kamp konsentrasi NAZI di Auschwitz-Birkenau pada 9 Agustus 1942.
Edith Stein merupakan satu dari jutaan orang Yahudi yang menjadi korban kekejaman “solusi final” Hitler.

Secara fenomenologis dan spiritual, hidupnya dimaknai sebagai perjalanan mendaki puncak makna Ada, dari yang terbatas menjadi kekal-abadi, dalam balutan Terang Ilahi yang Membahagiakan.

Sebagai seorang Suster Karmelit, Edith Stein dikenal dengan nama Teresa Benedikta dari Salib. Beliau dibeatifikasi sebagai Martir oleh Sri Paus Yohanes Paulus II pada 1 Mei 1987 di Kota Cologne, Jerman. 11 tahun setelah itu, pada 11 Oktober 1998 di Roma, beliau dikanonisasi sebagai Santa.

Terimakasih atas hidupmu yg inspiratif dan sumbangan renunganmu yg sangat mendalam, Suster Teresa Benedikta dari Salib yg berbahagia.

Categories
Uncategorized

Ngobrol2 seputar Koding Open-Aksial-Selektif (GT) dan catatan kecil ttg (trajectory) pemikiran Pierre Bourdieu

Hari ini, Sabtu, 18 Maret 2023 aku ngobrol2 (chat GPT eh chat WA ding) dengan mas M, rekan se-Angkatan di Program S3 Komunikasi UI tentang progress pengerjaan disertasi kami masing2 menuju tanggal keramat 31 Maret 2023 yg rencananya kami mau submit draf naskah penelitian disertasi ke Pembimbing masing2 (ben selak maju ujian SHP :D)

Berikut kira2 topik dan isi pembicaraan kami:

Saran aja mas, alangkah baiknya jika ada faktor pembeda antara Narsum yg satu dgn yg lainnya sehingga ketika dibuat komparasi, nantinya ada similarity & difference.

Nah dari poin2 pembeda pada tataran open dan axial inilah kita sebagai peneliti boleh berharap dan bertekun untuk dapat mengembangkan kisah unik (ideografis) Narsum dengan menggunakan selective coding.

Pada gilirannya, di situlah kebaruan penelitian kita pada level S3 akan kebuka/tersingkap.

Sepakat mas.

Mungkin baik juga jika ingin dapat statement refleksi pengalaman yg berbeda dari Narsum yg sama, angle pertanyaan mas dapat dibuat lebih tajam/spesifik.

Misalnya, mengutip panduan coding dari Grounded Theory yg dikembangkan Strauss & Corbin (1998), mas dapat lebih menggali aspek2 berikut:

1) conditions (causal/intervening),
2) context,
3) strategies for action/interaction &
4) consequences.

Tentu dari masing2 aspek di atas masih dapat dipecah/dibagi2 lagi.
Misalnya: consequences itu bisa diperiksa menggunakan sub-kategori berikut:
1) konsekuensi langsung & tidak langsung terhadap pengembangan karir profesionalnya si Narsum sbg (sesuatu); bisa juga
2) konsekuensi moral dan etis utk pengembangan dirinya sebagai pribadi yg melakoni profesi (sesuatu)
3) konsekuensi sosial politis, dst., dsb.

Begitu juga dgn conditions baik yg causal maupun intervening msh bisa dibagi2 lagi sesuai kebutuhan/tilikan mas. Misalnya:

Causal conditions:
*) Direct or indirect (mediate or immediate).
*) Natural (biological) or social (cultural).
*) Historical (particular) or ahistorical (general/universal)
, dst dsb.

[rekan] Mantap ini Mas πŸ‘πŸ»

Betul mas. Keterangan khas seperti inilah yg menjadikan pengalaman khas individu berbunyi di tengah kemungkinan hal2 yg sama lainnya.
Selamat melanjutkan penggalian kodingnya mas πŸ‘πŸΌ

[rekan] Terimakasih Mas Hendar

Sepakat mas. Wajah pemikiran Bourdieu sebanyak penafsirnya.

Selain itu, gagasan yg dikemukakan Bourdieu pun banyak mengalami perkembangan, katakanlah sejak 1960 sampai meninggalnya pada 2002.

Konsen utama Bourdieu di awal2 mentas karyanya, yaitu Sociologie de l’AlgΓ©rie (1958) sampai ke Outline of a Theory of Practice (1977) & Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1979/1984) mencoba memahami bagaimana letak, peran & aksi/signifikansi subjek dalam struktur yg objektif.

Dalam proses memahami ini, Bourdieu mencoba mendamaikan dikotomi pengaruh (interplay of influences) antara struktur2 sosial eksternal dengan pengalaman subjektif pada tataran individu.

Hal ini menurutku cukup logis karena di awal karirnya, Bourdieu mulai penelitian dari fenomena yg sifatnya etnografis di Kabile, Aljazair sana.
[Tentang Kabile: Kabylia is a cultural, natural and historical region in northern Algeria and the homeland of the Kabyle people. Lihat https://en.wikipedia.org/wiki/Kabyle_people]

Unit analisis yg menjadi fokus penelitiannya katakanlah berada pada level meso-scopic (individu dalam kelompok tribal) dan kemudian berkembang sampai ke tataran supra-struktur, yaitu negara dalam State Nobility: Elite Schools in the Field of Power (1998) dan Sur l’Γ‰tat Cours au CollΓ¨ge de France 1989-1992 (2012) dan struktur ekonomi makro dalam Acts of Resistance: Against the Tyranny of the Market (1999) dan The Social Structures of the Economy (2005).

Begitulah kurang lebih yg kupahami terkait trajectori mikro-makro berpikirnya Bourdieu. CMIIW.πŸ™πŸΎ

Betul mas (tilikan tersebut), jadi sebetulnya memang tidak perlu dipertentangkan ya, paling yg dapat dilakukan mas X utk menjawab pertanyaan mas Y waktu ujian kemarin adalah bahwa pada tataran individu yg dikenali/didapat berupa pengalaman, nilai2 dan refleksi atas pengalaman dan nilai2 tersebut; sementara pada tataran organisasi sudah mulai ada skema2 dan struktur2 yg sifatnya normatif, enabling sekaligus constraining (tinggal dijelaskan satu per satu mana yg mana), yg berada di luar kendali individu utk mengubahnya, paling2 ya bernegosiasi dgn struktur2 atau kondisi2 tersebut, semacam take and give nya apa, termasuk kondisi di sini adalah “digitality” ya mas yg jadi “disruption factor” cukup menentukan pada kinerja organisasi.

~end of chat~

Moga2 bermanfaat bagi sesama pejuang disertasi ya ngobrol2 ringan membahas metode dan teori di atas.

Semangkaaaaa!

Rujukan soal Metode Grounded Theory yg dibincang di atas:
Strauss, A., & Corbin, J. (1998). Basics of qualitative research: Techniques and procedures for developing grounded theory (2nd ed.). Sage Publications, Inc.

Categories
Uncategorized

Mahasiswa BA yang tahu terimakasih & Dosen PA yang merespon secara apresiatif adalah sebuah keutamaan akademis

Cuplikan dialog antara mahasiswa Bimbingan Akademik (MBA) dengan Dosen Pembimbing Akademik (DPA) lewat media WhatsApp, japri, di awal tahun 2023.

J: Selamat Sore Pak Hendar, Nama saya J, (dari) Fakultas Ilmu Komunikasi Angkatan WXYZ, hari ini KRS Ilkom, saya tidak bisa mengambil Internship. Karena saya sudah mengganti semua nilai E dan D menjadi benar dan lulus lantas saya bingung kenapa saya tidak bisa mengambil magang pak, kira-kira kenapa ya pak?
Hendar: Sore juga J. Wah saya kurang tahu mengapa. Nanti coba saya telusuri dulu. Kewajiban pembayaran bgmn?
J: Untuk pembayaran tadi sudah saya tanya pak ke bagian keuangan dan semua aman terkendali namun hanya di bagian akademik ini saja pak saya tidak bisa ambil kelas intership. Baik pak terimakasih πŸ™πŸΌ saya tunggu update nya , semester lalu saya sudah lulus matakuliah seminar proposal dan apakah semester ini saya bisa mengambil thesis juga ?
Hendar: J, coba lengkapi screenshot kendala pengisian mu spt apa, lalu ss juga nilai E dan D sudah kamu perbaiki
J: [mengirim SS yg diminta] Apa mau saya kirim video pak? biar jelas? takutnya kalo foto agak susah menjelaskan πŸ™πŸΌ
Hendar: Boleh saja, Ya oke J.
J: aman ya pak? baik sehabis saya <...> saya kirim ke bapak ya pak πŸ™πŸΌ
Hendar: Yg foto ini oke. Hanya saya belum tahu masalahnya apa. Saya lagi di jalan gak bisa buka <...>, Harus pake laptop, Di rumah,
J: apa mau kita bahas pas bapa sudah dirumah? mungkin biar bapa bisa lebih tenang dan selamat sampai rumah gitu pak hehe ? πŸ™πŸΌ sekalian kita bisa kontak2 an pak sudah lama tidak ngobrol hehe
Hendar: Ya sbenernya ini sdh di luar jam kerja sih ya, lagian saya jg sdg studi S3 jadi fokus saya ke.menyelesaikan disertasi
J: lalu bagaimana pak? maaf karena sebelumnya saya juga tidak mau ini terjadi karena saya sudah menyelesaikan semua utang nilai saya E dan D di semester sebelumnya & <...> jga tidak terlalu bisa membantu dan mengarahkan ke dosen pembimbing namun jikalau bapa sibuk tidak apa2 pak mungkin lain waktu πŸ™πŸΌSaya cuma sedih dari semua usaha saya tp <...> tidak memberikan kesempatan saya untuk mengambil intership 😭 *maap curhat pak hehe
Hendar: Hehe.. ya gapapa curhat biar mental health kejaga J; Videonya mana? Ntar saya pas pulang harus buka laptop & cek statusmu dari akun <...> saya. Klo skrg saya gak tahu masalahnya apa; Pra-KRS kamu sdh isi belum?
J: wah sepertinya belom pak, bagaimana ya pak?
Hendar: Ya nanti saya cocokkan datamu ini dgn data akses saya. Saya ada dugaan2 sih kenapa kamu belum bs ambil magang semester besok, tapi sebaiknya ditunjang data dugaan saya ini.
J: ; nah iya pak karena saya ada nilai E mungkin , tp saya sudah membenarkan; mungkin jikalau bapa bersedia untuk melihat secara langsung data saya di <...>
Hendar: Ya oke J. Lumayan makan waktu (& pulsa internet video2nya ini). Saya cek dulu data yg di saya sbg PA mu besok saya kabari sbelum jam 8.30
J: maaf sekali pak jika ini jadi merepotkan bapak dan sebelumnya juga terimakasi banyak atas bantuan bapak πŸ™πŸΌβ€οΈ Baik saya tunggu bsk report lebih lanjut nya ya pak semoga bisa jadi insyallah jam 11 bsk saya bisa ambil matkul magang nya πŸ™πŸΌ, selamat malam pak.

Dialog yg lain antara MBA dgn DPA, dengan tone yg berbeda.
B: Selamat sore pak Hendar. Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih atas segala dukungan bapak terhadap saya hingga proses penyelesaikan skripsi. Puji Tuhan minggu lalu saya sudah mengumpulkan Revisi Skripsi Pasca Sidang dan sedang menunggu proses Yudisium tanggal <...> (belum diinfokan kembali). Bila terdapat sikap sayang kurang pantas sebelumnya dan membuat bapak kesal, saya mohon maaf ya pak. Semoga semua pembelajaran yang saya dapatkan di UMN dapat bermanfaat bagi orang lain dan menjadi berkah bagi sesama. Tuhan memberkati pak Hendar πŸ™

Berikut respon saya atas chat-nya ini:

verbatim >> Hendar: Sore B. Sori baru bales kmaren pas saya udah read pesanmunmau balas eh ada distraksi lain yg harus direspon segera. Saya ikut bersyukur bahwa kamu sudah menyelesaikan proses ujian skripsi dan pengumpulan revisinya tinggal nunggu status Yudisium aja. Saya juga senang kamu msh ingat sama dosen PA mu & mengucapkan terimakasih. I feel appreciated😊✌🏼 Apology accepted, B. Ya kadang2 melayani mahasiswa BA yg tanya ini itu suka buat kesal juga cuman akhirnya saya sadar ini bagian dari tugas & tg jawab saya to serve you all under my responsibility. Moga2 arahan dan bantuan yg pernah saya berikan ke kamu dalam kapasitas saya sbg Dosen PA mu menjadi salah satu kenangan manis kuliah di UMN yg non-ruang kelas yg akan kamu ingat sampai nanti2. Saya juga berharap silaturahmi tetap terjalin ya sesudah kamu lulus sebagai mahasiswa UMN dan melanjutkan perjalanan hidupmu dgn bekerja dan aktivitas lainnya. Kita tidak pernah tahu persis mungkin suatu hari nanti our paths cross, in a positive way, dan di situ kita bisa saling berbagi cerita dan refleksi pengalaman yg saling menguatkan.

B: Hehehe terima kasih yaa pak sudah dimaafkan πŸ˜…, semoga pak Hendar tetap semangat dan kuat dalam melayani mahasiswa terutama yang membuat bapak kesal atau jengkel πŸ’ͺ🏻 Aminnn pak, semoa kita dapat bertemu di lain waktu dan bercerita πŸ™πŸ». Terimakasih banyak pak Hendar!

Refleksi singkat:
Masih ada puluhan, bahkan mungkin ratusan chat japri lainnya (belum terhitung chat yg ada di beberapa grup WA Bimbingan Akademik yg saya ada di dalamnya) yg saya terima dari para MBA saya, sejak saya bertugas sebagai DPA sejak 2016 yg lalu. Sebagian besar (maybe 90% rate ya) chat tersebut saya tanggapi secara proporsional, hanya sedikit saja chat yg saya abaikan, itu pun karena terlewat chat-nya (“ketumpuk”) atau karena wording ataupun timing chatnya saya anggap tidak sopan (sudah di atas jam 20, misalnya). Dosen PA sebagai bridging humanis antara sistem akademik yg didesain Universitas dengan needs para mahasiswa yg butuh panduan untuk melewati tahapan perkuliahan sejak masuk sampai lulus terkadang diabaikan peran dan kontribusinya dari kedua belah pihak, kampus (dengan tidak diberikannya insentif khusus ketika menjalankan fungsi dan servis ini) dan MBA itu sendiri (chat DPA terkait progress studi mereka acapkali gak dibales sama mereka). Akhirnya, saya memilih sikap reflektif sbb: menjalankan fungsi ini dgn dilandasi kesadaran soal kultivasi keutamaan etis “being responsive & helpful in times of needs without being financially rewarded.”

Categories
Uncategorized

Gusar Terbit? Dalam himpitan bibliometrik performa akademis & peluang atas pengakuan intelektualitas

Ada banyak cerita, canda, tangis, tawa, gusar, perih dan remuk-hati di balik terpublikasikannya sebuah karya tulis ilmiah di jurnal. Mulai dari memikirkan mau nulis apa, mau publish di mana, apakah naskah sudah sesuai template dan prasyarat (termasuk bahasa yang digunakan apakah bahasa Inggris atau bahasa Indonesia), ngubeg-ubeg literature review, sitasi dan Referensi, sampai ke tahap submit manuskrip, deg-degan menunggu kabar dari Editor apakah akan “desk rejection” atau berlanjut ke tahap review (mitra bebestari), dan seterusnya sampai pada tahap terpublikasi dan diseminasi karya (berupa link atau DOI) yang sudah terpublikasi di sejumlah outlet SNS maupun situsweb pribadi/organisasi.

Saya tidak akan mengulangi bagian2 yg pernah saya tulis sebelumnya di blog ini maupun penjelasan tentang tahapan2 jitu supaya bisa terbit di jurnal terindeks Scopus, yang dapat ditemukan di beberapa tautan YouTube, di sini misalnya https://youtu.be/SxdBLggeSnY

Saya hanya mau menyoroti aspek “gusar terbit” dari satu hal saja yaitu bahasa sebagai ekspresi gagasan, keterbatasan jelajah keterbacaan dan pemahaman, serta teknis prasyarat publikasi yang mendiskriminasi dalam arti “lingua franca academia” yang serba unequal footing.

Tulisan dan refleksi ini dipicu oleh curhat seorang teman di UI yang merasa gusar bahwasanya “nulis 2 paragrsf sj butuh 3 jam dan 10 jurnal, 10 disertasi minimal.” Kemudian dia sambung dgn mengatakan bahwa “Kata [seorang senior], baca dulu yg bnyk, (padahal) msh nulis Latar belakang.”

Lalu kutanggapi begini: “Baca yg banyak itu satu hal, dapat merumuskannya kembali secara bernas (succinct) itu hal yg lain yg tidak otomatis.” Lagian, tidak ada jaminan bahwa sudah baca banyak rujukan dan buat resume ini dan itu dari rujukan bacaan tersebut lalu manuskripnya sudah set-ready utk terbit (seperti yg pernah kualami ketika harus potong 5000 kata dari manuskripku tempo hari). State-of-the-art tidak serta merta tersaji dgn “baca banyak.” πŸ˜†

Selang beberapa hari kemudian, dia WA lagi mengatakan, “high kuality bgt ya jurnal Q1 ini. Amponn. salutlah liat mas hendar.”

Lalu kutanggapi, “Jangan cuman dilihat mbak, ditiru πŸ˜† Ya begitulah. Ada standar yg cukup tinggi utk bisa tembus Q1. Capek kan nulis itu? Jadi kita lebih bisa menghargai mereka yg nulis dan tembus, prosesnya gak gampang lho. Bolak-balik editor & reviewer. Makan ati krn gak bisa di WA/video call buat nanya _lo pada maunya apa sih?_”

Kemudian, karena dia mau submit naskahnya ke jurnal bereputasi internasional buat syarat “maju sidang promosi” (sebagaimana kami juga mulai Angkatan 2017 ke sini kena semua syarat yg satu ini), aku memberikan beberapa masukan berikut:

“Ini urusan terjemahan satu perkara pelik tersendiri. Bisa makan waktu 2 minggu sampe sebulan sendiri itu udah versi profesional lho. Belum nanti proofreading stelah dikasih masukan reviewer. Sekalian ditanyain di lembaga XYZ apa terima jasa proofreading gak buat sbelum final acceptance + Tarifnya brp. Total jendral bisa dapet di kisaran 4-5 juta udah bagus utk urusan naskah ready to submit sampe acceptance di Q1. Minimalnya 4 juta lah translate sama proofreading kalo pake jasa orang Indo. Kalo pake jasa editing services berbayar seperti AJE [American Journal Experts di https://www.aje.com], apalagi Taylor&Francis editing service ya bisa 2-3 kali lipatnya itu. Setahuku XX pake ikatan kontrak sama Enago service kayak e, jadi bisa saja dapet harga translate & editing service lebih murah. Apakah udah dipikirin itu biaya 4-5 juta dari mana? Anggarannya udah dialokasiin blm? Klo aku kmaren pengalaman sekali doang pake jasa AJE pas yg manuskrip pertama tembus Q1 (2019). Stelah itu ‘Paket beres Otonom’ 🀣. AJE kemaren rate tahun 2019 aja sekitar 4.75 juta buat editing services, 12 ribu kata kalo gak salah waktu itu. Manuskrip yg 2021 sama 2022 udah gak pake jasa lembaga luar dan ternyata bahasa Inggrisnya toh “acceptable” ya standar nya RJIC Q1, Bahasa Inggris yg kupahami dan kupraktekkan tentu saja.”

Dia lalu menukas begini, “Duit semua ya. Duit.”

Tanggapanku, “Hmmm… Itu doang yg terlihat?”

Lalu katanya, “Ya gak lah. Tp emamg dunia intelektual bnyk proses uangnya. Kebayang gak klo dosen tiap thn harus bikin jurnal internasional tp ga disupport sm lembaga. YY cuma support 600rb. Mw jd apa dunia persilatan?”

Berikut refleksi cetekku atas curhatannya tersebut, “Mungkin bukan bahasa Inggrisku udah _keren_ ya tapi _acceptable_ utk standarnya jurnal RJIC itu. Mungkin kalo jurnal yg lain ya belum tentu. Artinya ini: pinter2lah mencari jurnal Q1 yg standar bahasa Inggrisnya gak _reseh_ krn mau sampe mati pun kita tdk akan pernah menjadi seorang _native speaker, writer & editor_ utk manuskrip kita . Comparatively speaking seperti ini kalo pembacaanku (ini sekalian refleksi pribadi yah): utk ukuran scholar yg TIDAK pernah studi lanjut S2 maupun S3 di luar negeri (beda sama dia dan nganu yg pernah S3 di Aussie atau di USA), bahasa Inggris yg kukuasai dan kugunakan dalam penulisan ilmiah _relatif dapat diterima_ wordingnya oleh sekurang2nya satu jurnal bereputasi internasional dan satu jurnal bereputasi nasional yg terindeks DOAJ. apakah ini sebuah achievement? in a sense, yes, in another sense, no. masih ada room to improve, kalo ndak aku akan berpuas diri dan lalu dying slowly … wkwkwkwkw”

Dus, ringkasnya, dalam model “paksaan” harus terbit di jurnal bereputasi tinggi atau sedang yg rata2 mempersyaratkan bahasa Inggris ilmiah sebagai persyaratan bahasa manuskrip yang di-submit, telah terjadi diskriminasi opsi yang tidak berprinsip equal opportunity in the same battlefield.

Itulah salah satu faktor utama yg membuat si scholar “gusar (sama urusan) terbit.” Dia (mereka/kami) tidak merasa cukup percaya diri dengan kualitas bahasa Inggris yang sudah dipelajari selama ini (sejak SD?), apalagi ketika bahasa Inggris itu dikonversi ke dalam “academic piece of writing”

Pun ketika minta bantuan pihak lain yg dianggap credible utk menerjemahkan manuskripnya ke dalam academic writing for journal purpose, ya si scholar harus siap2 merogoh kantong dgn alokasi dana yg tidak sedikit. Masih ditambah lagi dgn adanya rentetan prasyarat lainnya setelah “urusan menerjemahkan” itu beres. Proofreading misalnya. Dkl., Linguisticality and language use (native, L1, ESL, EFL, apapunlah nama atau peristilahannya) dalam koridor publikasi memang telah menciptakan bahasa Inggris (ilmiah) sebagai lingua franca academia yang ketika dilihat separo wajahnya tampak angker dan jauh dari kesan approachable.

Inilah PR besar yg (meskipun) sudah banyak dibahas para scholar dari berbagai disiplin ilmu tapi masih juga belum ketemu satu-dua jalan keluar yg jitu dan applicable apalagi acceptable utk para scholar di belahan dunia kolonial baru ini, to follow the rules of the game in this publish or perish world.

Moga2 aja nanti ada 🀣

Categories
Uncategorized

Penelitian Ilmu Sosial itu seperti Mengebor Sumber Minyak

Berikut merupakan teaser dari buku panduan Riset Ilmu2 Sosial menurut tim peneliti ilmu sosial dari Perancis, yang namanya tidak terlalu dikenal oleh kaum cerdik-cendekia keilmuan Sosial di Indonesia, selain dari mereka yang diajar oleh Dr. Haryatmoko, SJ di Program S3 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dan mungkin juga mereka yang belajar ilmu2 sosial di kampus Universitas Sanata Dharma.

Van Campenhoudt, L., & Quivy, R. (2011). Research in the Social Sciences (4th ed.). Paris: Dunod.

Daftar Isi (sebagian)

teaser halaman pertama buku ini yang membahas tentang tujuan umum adanya buku

Hasil terjemahan saya dari bahasa Perancis ke bahasa Indonesia untuk 300 kata pertama buku ini:

1.1. Tujuan Umum

Melakukan penelitian dalam ilmu-ilmu sosial mengikuti pendekatan yang analog dengan pencarian dan pengeboran minyak.
Bukan dengan ngebor di sembarang tempat dia akan menemukan yang dicarinya. Sebaliknya, kesuksesan dari sebuah upaya pencarian sumber minyak tergantung dari pendekatan yang diambil. Pelajari dulu tanahnya, soal mengebor kemudian.
Pendekatan ini menuntut adanya kolaborasi dari banyak kecakapan yang berbeda-beda. Ahli geologi akan menentukan wilayah geografis yang memiliki kemungkinan terbesar untuk mendapatkan minyak, sementara para insinyur mendesain teknik-teknik pengeboran yang paling tepat dan para teknisi akan mengimplementasikan ini semua di lapangan.

Kita tentu saja tidak mungkin berharap bahwa manajer proyek pengeboran minyak menguasai secara mendetil semua teknik yang dipersyaratkan. Tugas spesifiknya adalah mendesain keseluruhan proyek dan mengordinasikan berbagai operasi yang diperlukan secara konsisten dan efisien semaksimal mungkin. Tanggungjawab utamanya adalah memimpin keseluruhan sistem investigasi/penelitian.

Proses pencarian sumber minyak dan pengeborannya ini dapat dibandingkan dengan riset ilmu sosial. Yang terpenting adalah bahwa si peneliti dapat mendesain dan mengimplementasikan perangkat guna menerangi realitas, atau, dengan kata lain, mengembangkan suatu metode kerja untuk meneliti. Tugas semacam ini tidak secara sederhana dipahami sebagai hanya menambahkan satu teknik di atas yang lainnya, juga bukan sekadar menerapkan teknik-teknik yang sudah diketahui, tapi lebih pada bagaimana menyetel dan menyelaraskan pikiran dengan setiap jenis penelitian yang diperlukan.