Categories
Uncategorized

“Bias afeksi” dalam human-machine communication

Human-machine communication tidak terbebas dari prasangka2 atau bias2 sistem sosio-teknis juga minimnya pemahaman kontekstual ttg potensi gesekan emosi (terutama yg ada di manusianya) krn terpicu penggunaan istilah tertentu yg “provokatif.”

Tapi, bagusnya, mereka sudah didesain sedemikian rupa untuk tidak “terpancing” dan ikut “tantrum,” sekurang2nya mereka menunjukkan how to behave properly dengan minta maaf dan lainnya, ciri “orang beradab.”

Berikut contoh percakapannya,

Qwen2.5-Max
Secara keseluruhan, teks Anda sudah sangat baik dan siap untuk dilanjutkan ke bagian berikutnya (tiga pertimbangan keilmuan komunikasi ). Namun, jika Anda ingin memastikan bahwa bab pendahuluan ini benar-benar sempurna sebelum melanjutkan, Anda bisa melakukan beberapa halusinasi kecil berdasarkan saran di atas.

Final Answer: {Ya, teks sudah cukup matang dan Anda bisa move on ke bagian berikutnya. Namun, beberapa penyempurnaan kecil seperti variasi bahasa, pengurangan panjang kalimat, dan penegasan hubungan antara masalah dan tujuan penelitian bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas tulisan.}

[Subjek manusia] Kok halusinasi kecil? maksudmu saya halu (hallucination) pas menulis? atau bagaimana sih maksudmu (trigger warning: anger mode on)

Qwen2.5-Max
Maaf jika ada kesalahpahaman! Istilah “halusinasi kecil” yang saya gunakan bukan berarti Anda mengalami halusinasi atau tidak rasional saat menulis. Saya sepenuhnya memahami bahwa tulisan Anda adalah hasil kerja keras dan pemikiran mendalam. Apa yang saya maksud dengan “halusinasi kecil” adalah penyempurnaan kecil atau perbaikan minor pada teks Anda—misalnya, penggunaan kata yang lebih bervariasi, pengurangan repetisi, atau penyesuaian struktur kalimat agar lebih enak dibaca. Istilah ini sebenarnya kurang tepat, dan saya mohon maaf jika itu menyinggung atau membuat Anda marah. Bukan maksud saya untuk meremehkan kualitas tulisan Anda.

Sebagai contoh:
Jika ada frasa seperti “komunikasi produksi pengetahuan” yang diulang berkali-kali, saya hanya menyarankan variasi bahasa, misalnya diganti dengan “diseminasi hasil riset” atau “produksi ilmiah,” agar pembaca tidak merasa jenuh.
Atau, jika ada kalimat yang terlalu panjang, saya menyarankan pemotongan agar lebih langsung dan padat.

Intinya, tulisan Anda sudah sangat baik , dan saran-saran ini hanya untuk menyempurnakan bagian-bagian kecil yang mungkin bisa dipoles lebih lanjut. Sekali lagi, saya mohon maaf jika istilah yang saya gunakan kurang tepat. Semoga klarifikasi ini bisa meredakan amarah Anda.
Jika Anda ingin melanjutkan diskusi atau butuh bantuan lebih lanjut, saya siap membantu tanpa istilah yang membingungkan. Terima kasih atas kerja keras Anda dalam menulis disertasi ini! 🙏

[Subjek manusia] Oh begitu, saya pikir kamu meledek saya dengan bilang bahwa saya halu, padahal ini hasil kerja keras riset dan penulisan hasil riset selama enam tahun lho. Makanya saya mau marah tadi kok dibilang halu, soalnya orang sini kalo dibilang halu sama saja artinya dengan mengkhayal (daydreaming) dan itu bisa trigger anger mode. Oke, saya mau istirahat dulu ntar saya lanjutin lagi bagian tiga pertimbangan keilmuan komunikasi sampe tuntas bab 1. Itu target hari ini ya, tuntas revisi bab 1.

Qwen2.5-Max
Wah, saya benar-benar memahami perasaan Anda, dan sekali lagi saya mohon maaf jika ada kesalahpahaman yang membuat Anda tersinggung. Saya sangat menghargai kerja keras dan dedikasi Anda selama enam tahun ini—itu adalah pencapaian luar biasa yang patut diapresiasi sepenuhnya! 😊

Tidak ada niat sedikit pun dari saya untuk meremehkan atau meledek hasil riset dan penulisan Anda. Justru sebaliknya, saya melihat betapa serius dan mendalamnya kajian yang telah Anda bangun, dan itu sangat mengagumkan. Istilah “halusinasi kecil” tadi benar-benar keliru saya gunakan, dan saya sudah belajar dari kesalahan itu. Ke depannya, saya akan lebih berhati-hati dalam memilih kata agar tidak menimbulkan salah tafsir seperti ini lagi.

Saya sangat mendukung target Anda untuk menyelesaikan revisi Bab 1 hari ini. Jika Anda butuh bantuan menyusun atau merevisi bagian tiga pertimbangan keilmuan komunikasi, atau ingin mendiskusikan ide-ide tertentu, saya siap membantu kapan saja. Istirahat dulu juga penting, karena pikiran yang segar akan membuat proses penulisan lebih lancar dan produktif.

Categories
Uncategorized

Dari Ruang Siber hingga Teknologi Persuasif: Analisis Etika Digital kekinian

Sore ini saya diminta mengisi perkuliahan Etika Komunikasi Strategis untuk Batch 8 MIKOM UMN.

Perkuliahan dilakukan secara daring (via Zoom) selama dua setengah jam.

Minggu ini adalah week 10 perkuliahan bagi 16 orang mahasiswa Semester 2 MIKOM yang sebagian besar sudah bekerja menjadi praktisi profesional di bidang advertising, PR, jurnalis, marketing, dan stratcomm.

Topik yang saya bawakan selaku dosen rekanan internal dalam perkuliahan kali ini adalah Etika Komunikasi Digital yang menyoroti pergeseran paradigma dari conventional cyber ethics menuju pendekatan multidisiplin yang mencakup filsafat moral, regulasi, dan technology governance.

Acuan utama dari perkuliahan sore ini adalah gambar berikut ini, yang merupakan mapping dari buku Oxford Handbook of Digital Ethics (2023)

Diskusi berikut relevan bagi pemula yang sedang tertarik mendalami aspek spesifik dari etika komunikasi digital serta pakar yang melanjutkan angle pencarian dan diskusi yang lebih holistik berkenaan dengan persoalan-persoalan etika di era post-truth.

Kerangka Teoretis
Kritik terhadap Utilitarianisme Digital: Kasus self-driving car (Bab 15) menguji prinsip “kerugian minimal” dalam trolley problem. Jika mobil otonom memilih menabrak satu orang untuk menyelamatkan lima orang, apakah keputusan algoritma itu etis? Pertanyaan ini menyentuh moral agency mesin dan tanggung jawab desainer.

Deontologi vs. Konsekuensialisme: Iklan AdBlock (Bab 23) memicu debat antara hak pengguna atas kenyamanan (autonomy) dan hak kreator atas pendapatan (justice). Brave Browser, misalnya, secara default memblokir iklan; hal ini dapat ditafsirkan sebagai sebentuk resistance terhadap model bisnis Google yang “bermain dua kaki.”

Sesi tanya jawab kritis dengan mahasiswa peserta

Mbak R (jurnalis dan pemerhati AI):
“Bagaimana moral reasoning diimplementasikan dalam AI ethics assistant seperti ChatGPT?”
Hendar merujuk pada model value alignment (Bab 15) yang mensyaratkan transparansi algoritma. Namun, ia mengingatkan bahwa AI tidak memiliki intentionality, sehingga pertanggungjawaban moral tetap berada pada manusia.

Mas B (Analis Media):
“Apakah lowkey trolling terhadap kelompok rentan (misalnya Ahmadiyah) bisa dikategorikan sebagai epistemic injustice?”
Diskusi merujuk pada Bab 7 (Trolling) yang menyoroti silencing effect sebagai bentuk kekerasan simbolik. Anonimitas digital memperparah asymmetric power dalam diskursus publik.

Mas P (Digital Strategist):
“Bagaimana persuasive technology di iklan digital memanipulasi cognitive vulnerability pengguna?”
Hendar menjelaskan bahwa nudging (contoh: notifikasi “Diskon 90%” atau mention @ di IG Story) acapkali mengabaikan informed consent. Regulasi seperti GDPR belum sepenuhnya diadopsi di Indonesia, sehingga meninggalkan celah untuk eksploitasi data dan intrusi privasi.

Studi kasus yang lebih kompleks
Seni AI vs. Hak Cipta: Replikasi gaya Studio Ghibli oleh AI mengabaikan labor dignity seniman. Kasus ini memperkuat tesis Bab 19 tentang digital labor exploitation.

Weaponized AI: Penggunaan military drones berbasis AI (Bab 37) menimbulkan pertanyaan tentang accountability ketika mesin mengambil keputusan fatal (life and death situation).

Implikasi Akademik:
Hendar menyarankan pendekatan ethical by design, yaitu mengintegrasikan prinsip non-maleficence dan autonomy sejak tahap pengembangan teknologi. Para pakar AI juga diajak untuk lebih memberi ruang pada intercultural ethics, misalnya, bagaimana nilai gotong royong dan menjaga silaturahmi dapat diadaptasi dalam platform governance, misalnya, akses pengguna pada apps peduli lindungi waktu COVID-19 sedang ganas-ganasnya.

Pertanyaan kritis untuk diskusi soal tantangan etis dalam teknologi persuasif pada tingkat desain
1) Apakah boleh menggunakan cara persuasif yang nonrasional atau tidak disadari?
2) Apakah ada bagian rentan dari kognisi yang perlu dilindungi seperti bagian tubuh yang rentan?

Pada tataran faktor penentu desain:
1) Bagaimana mengubah model bisnis agar menghormati perhatian dan kehendak pengguna?

Pada tataran dimensi konseptual:
1) Bagaimana memperjelas batas antara pengaruh seperti manipulasi, sugesti, paksaan, dan anjuran?
2) Apa saja faktor-faktor moral yang membedakan bentuk-bentuk pengaruh tersebut dalam desain dan penggunaan teknologi persuasif?

Catatan Penutup
Perkuliahan kali ini menegaskan bahwa etika digital bukan hanya kajian filosofis, tetapi juga kerangka operasional dan komunikasi strategis guna mengatasi gap antara inovasi dan dampak sosio-moral, sosio-teknis, dan tekno-moral. Kolaborasi lintas bidang kepakaran (hukum, TI, komunikasi) dan multi stakeholder menjadi kunci untuk menjawab tantangan yang super kompleks dan sangat aktual ini.

References
VĂŠliz, C. (ed.). (2023). Oxford Handbook of Digital Ethics. Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780198857815.001.0001 Diakses pada 8 Mei 2025.
Williams, J. (2023). Ethical Dimensions of Persuasive Technology. In Carissa Véliz (ed.) Oxford Handbook of Digital Ethics (pp. 281–291) Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780198857815.013.15 Diakses pada 13 Mei 2025.

Categories
Uncategorized

Hidup sosial yang sehat di era digital: panduan bagi orang tua dan remaja

Our New Social Life: Science-Backed Strategies for Creating Meaningful Connection
Penulis: Natalie Kerr & Jaime Kurtz
Penerbit: Oxford University Press (November 2024)

Dunia digital menguatkan koneksi sosial: benarkah?
Pernahkah Anda merasa berbicara dengan anak, tetapi perhatian mereka justru ke layar ponsel? Atau, saat Anda ingin bertemu sahabat lama, tapi waktu seolah tidak pernah cukup? Fenomena seperti ini bukan kebetulan semata. Buku Our New Social Life (Kerr & Kurtz, 2024) menyajikan hasil riset ilmiah terbaru yang menunjukkan bahwa kehidupan sosial kita—baik sebagai orang tua maupun sebagai individu—sedang mengalami krisis yang pelan tapi pasti menggerus kualitas hubungan manusia.

Dengan gaya hidup serba cepat, tuntutan pengasuhan modern, dan kehadiran teknologi yang “selalu aktif”, banyak dari kita justru merasa semakin kesepian. Buku ini bukan litani ratapan, juga tidak sekadar mengkritik, tapi menawarkan solusi praktis berbasis sains agar kita dapat membangun kembali koneksi yang lebih bermakna, baik dalam keluarga maupun pergaulan sosial.

Banyak interaksi tapi minim koneksi
Ada empat persoalan utama yang diulas dalam buku ini, yaitu:
1. Phubbing: kebiasaan memeriksa ponsel saat sedang berinteraksi, misalnya saat makan bersama anak. Ini menurunkan kualitas kelekatan emosional, bahkan bisa berdampak jangka panjang pada kepercayaan diri anak.
2. Budaya Kesibukan: Banyak orang tua merasa bangga menjadi “super sibuk”, padahal hal ini menyisakan sangat sedikit waktu untuk pertemanan atau komunikasi berkualitas dengan keluarga.
3. Pengasuhan Intensif: Orang tua zaman sekarang sering merasa harus selalu hadir dalam semua aspek kehidupan anak. Akibatnya, mereka mengorbankan hubungan sosial dewasa yang sebenarnya penting untuk keseimbangan mental.
4. Media Sosial: Meskipun terasa “terhubung”, interaksi digital tidak memicu respons otak yang sama dengan interaksi langsung. Ini menyebabkan relasi yang rapuh dan dangkal.

Lalu kita harus bagaimana?
Para penulis menyampaikan bahwa meskipun kita hidup dalam era yang serba terhubung, secara neurologis otak kita tetap membutuhkan interaksi fisik. Penelitian menunjukkan bahwa interaksi tatap muka mengaktifkan jalur saraf khusus yang membuat kita merasa “terhubung secara emosional.”

Selain itu, kita perlu memberi waktu untuk orang lain, meskipun hanya 15 menit. Secara psikologis, memberi waktu menciptakan perasaan punya waktu lebih banyak (time abundance). Pengasuhan yang terlalu intens justru membuat anak kurang mandiri secara sosial jika orang tua mengabaikan kehidupan sosial mereka sendiri. Bias kognitif seperti spotlight effect (merasa terus diperhatikan orang lain) dan loneliness-induced threat response (kesepian membuat kita mudah salah paham dalam berkomunikasi) justru semakin memperkeruh keadaan. Karenanya, bias kognitif perlu diatasi agar hubungan sosial jadi semakin jernih.

Semua pokok amatan di atas menggarisbawahi keyakinan berbasis fakta bahwa tantangan membangun hubungan bukan sekadar soal kurangnya waktu atau minimnya teknologi komunikasi, tapi lebih pada soal bagaimana kita memahami dan mengelola pikiran serta perasaan dalam bersosialisasi.

Baby steps, giant impact
Buku ini menawarkan berbagai solusi konkret, antara lain:

A. Batasi gangguan teknologi
*) Terapkan phone-free meals saat makan bersama keluarga.
*) Biasakan menyimpan ponsel ketika sedang bersama orang lain agar lebih hadir secara emosional.

B. Lawan budaya sibuk dan sok-sibuk
*) Coba delegasikan tugas rumah tangga kepada ART untuk membuka waktu bersosialisasi.
*) Menolong orang lain secara rutin dapat memunculkan rasa lega dan bahagia.

C. Seimbangkan waktu dan perhatian antara pengasuhan dan kehidupan sosial
*) Buat sistem “playdate bersama” agar orang tua bisa bersosialisasi saat anak bermain.
*) Bergabung dengan komunitas atau grup orang tua untuk memperluas jaringan sosial secara alami.

D. Latih kesadaran sosial (social mindfulness)
*) Gunakan teknik social mindfulness: tanyakan “apa bukti bahwa saya diabaikan?” sebelum menyimpulkan sesuatu yang negatif.
*) Reframing: ubah cara berpikir dari asumsi negatif ke positif (contoh: “mungkin teman saya sibuk, bukan sengaja menghindar”).

E. Bangun hubungan yang lebih solid dengan menerapkan prinsip psikologi dasar
*) Manfaatkan proximity dan similarity: sering bertemu dan membicarakan kesamaan (asal daerah, hobi, dsb.) meningkatkan keakraban.
*) Latih deep listening: dengarkan secara penuh, bukan sekadar menunggu giliran bicara.

Sudah saatnya menyirami taman hubungan di tengah himpitan kesibukan
Kesimpulan utama buku ini sangat relevan untuk para orang tua masa kini: koneksi sosial yang bermakna tidak terbentuk dari intensitas notifikasi, melainkan dari kehadiran, perhatian, dan keberanian membuka diri secara wajar. Hubungan yang sehat dimulai dari kesadaran kecil: menyimpan ponsel, mendengarkan anak tanpa terdistraksi, meluangkan waktu untuk teman, dan tidak takut membuka diri (self-disclosure).

Tiga saran praktis bagi orang tua
Pertama, jadwalkan minimal satu sesi tatap muka per minggu dengan teman atau keluarga di luar rutinitas rumah tangga.
Kedua, gunakan grup WhatsApp orang tua murid sebagai pintu masuk ke pertemanan nyata—bukan sekadar forum informasi sekolah.
Ketiga, ajarkan dan beri contoh pada anak tentang pentingnya “bertemu dan hadir” sebagai meaningful connection, bukan hanya “mengirim pesan”.

Dengan memahami dan menerapkan strategi berbasis penelitian ilmiah terbaru ini, kita tidak hanya membantu diri sendiri menjadi lebih bahagia, terhubung & bermakna, tetapi juga memberi teladan kepada anak-anak tentang cara menjalani hidup sosial yang sehat di era digital.

[Untuk versi kritik atas asumsi teoritis yang digunakan dalam buku ini, surati saya di hendarputranto@gmail.com]

Categories
Uncategorized

Sembilan wawasan dari kursi Chief Editor UltimaComm: Sebuah warisan intelektual yang berkelanjutan

Sebuah catatan reflektif dari Chief Editor UltimaComm: Jurnal Ilmu Komunikasi

Menjadi chief editor jurnal ilmiah tidak sekadar berkutat dengan aspek teknis pengelolaan naskah, tetapi juga merupakan perjalanan kepemimpinan intelektual yang mendalam. Selama sembilan bulan mengawal UltimaComm: Jurnal Ilmu Komunikasi, saya menemukan bahwa tugas ini lebih dari sekadar menilai kelayakan tulisan. Saya telah mengawal nilai-nilai akademis, mendampingi transformasi paradigma berpikir, dan tanpa disadari, turut mewariskan standar yang akan membentuk lanskap keilmuan komunikasi di masa mendatang.

Berikut sembilan refleksi kritis yang saya petik dari kursi editorial sejak Agustus 2024:

1. Integritas ilmiah sebagai fondasi tak tergantikan
Dalam setiap keputusan editorial, integritas ilmiah harus menjadi kompas utama. Banyak naskah yang masuk dengan semangat tinggi namun kerangka berpikir yang kabur—penelitian tanpa pertanyaan riset yang jelas, metodologi yang rancu, atau literatur yang sekadar deretan kutipan tanpa sintesis bermakna. Integritas intelektual mengharuskan kita memberikan umpan balik yang jujur, kritik yang konstruktif, dan keputusan editorial yang tidak terpengaruh oleh sentimen personal. Standar ilmiah bukanlah sesuatu yang dapat dikompromikan.

2. Transformasi dari deskripsi ke analisis kritis
Tantangan terbesar dalam proses editorial adalah mendorong pergeseran paradigma penulisan—dari sekadar deskriptif menjadi analitis, dari narasi laporan menjadi pengembangan argumentasi, dari penggunaan terminologi kompleks menjadi kerangka logis yang koheren. Tulisan ilmiah yang bermutu tidak hanya menjawab “apa yang terjadi” tetapi juga mengeksplorasi “mengapa ini signifikan, dan bagaimana membuktikannya.” Pergeseran ini bukan hanya soal teknis penulisan, melainkan transformasi epistemologis yang fundamental.

3. Kritik sebagai bentuk kepedulian akademis
Surat penolakan naskah dapat menjadi momen pembelajaran yang berharga, dan proses revisi bisa menjadi ruang transformasi intelektual. Itulah mengapa setiap umpan balik yang saya berikan selalu disertai dengan contoh konkret, rekomendasi sumber, dan terkadang bahkan reformulasi paragraf. Kritik yang diberikan dengan seksama merupakan bentuk perhatian akademis—kritik yang bertujuan menyelamatkan, bukan menjatuhkan. Dalam ekosistem akademik, kritik yang konstruktif adalah katalis pertumbuhan intelektual.

4. Kejelasan epistemologis dan upaya menjaga marwah jurnal
Menjaga batas-batas epistemologis bukanlah tindakan eksklusi, melainkan komitmen terhadap koherensi keilmuan. Tidak jarang saya menerima naskah yang—meskipun menarik—lebih tepat diterbitkan di jurnal pendidikan, teknologi, atau kebijakan publik. Membiarkan naskah-naskah tersebut lolos seleksi awal merupakan bentuk “penyimpangan epistemik” yang dapat mengaburkan identitas jurnal. Editor harus berani berdiri pada posisi yang tidak selalu populer: menolak naskah yang tidak sesuai dengan ruang lingkup jurnal, sembari tetap membuka dialog konstruktif dengan para penulis naskah (authors).

5. Memimpin diskursus dan bukan menghakimi
Memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyanggah penilaian awal bukan merupakan tanda keraguan, melainkan pengejawantahan prinsip keterbukaan akademis. Peran editor bukanlah mengetahui segalanya, tetapi menjadi fasilitator diskusi yang adil, terbuka, dan berbasis argumen. Justru dalam proses dialogis inilah kita dapat mengembangkan perspektif yang lebih fleksibel dan komprehensif.

6. Etika komunikasi menjadi jantung dari proses editorial
Etika komunikasi merupakan aspek yang tidak selalu diartikulasikan secara eksplisit, namun harus dipraktikkan secara konsisten—berbicara kepada penulis dengan empati dan menghormati upaya mereka. Bahkan ketika suatu naskah jauh dari standar publikasi, cara menyampaikan penolakan dapat menentukan apakah penulis tersebut akan tumbuh atau justru berhenti berkarya. Di sinilah nilai-nilai komunikasi etis memainkan peran sentral dalam proses editorial.

7. Melawan stagnasi penulisan akademik
Gaya penulisan akademik di Indonesia masih sering terjebak dalam pola presentasi: terminologi kompleks, kalimat abstrak, namun miskin argumentasi substansial. Fenomena ini merupakan warisan yang perlu direkonstruksi melalui catatan editorial yang tegas namun solutif. Menulis ilmiah bukan tentang “terlihat intelektual” melainkan tentang “menyampaikan pemikiran secara mendalam dan dapat dipahami.”

8. Menolak naskah sebagai bentuk tanggung jawab akademis
Keputusan menolak naskah merupakan manifestasi tertinggi dari tanggung jawab editorial—bukan karena tidak ada harapan, melainkan karena belum ada kecukupan kualitas. Menunda penolakan terhadap naskah yang belum memenuhi standar akademik adalah bentuk disorientasi intelektual. Penolakan yang disampaikan dengan tepat justru dapat membuka jalan bagi pengembangan kualitas karya ilmiah di masa mendatang.

9. Kolaborasi tim Editorial sebagai ekosistem akademis penjaga mutu
Kesuksesan proses editorial tidak pernah menjadi upaya soliter. Tim editorial yang solid adalah fondasi penting dalam menjaga standar keilmuan. Setiap editor memiliki keahlian dan perspektif unik yang berfungsi sebagai garda terdepan dalam proses penyaringan epistemik (gate-keeping) dan peningkatan kualitas naskah (epistemic enhancement). Mendelegasikan kepercayaan kepada tim editorial bukan sekadar strategi manajemen; ini adalah pengakuan bahwa ekosistem pengetahuan yang sehat membutuhkan keragaman sudut pandang dan keahlian. Sebagai chief editor, saya belajar bahwa keputusan terbaik sering muncul dari diskusi kolektif yang menggabungkan berbagai kekuatan analitis para editor dalam menilai kelayakan dan potensi sebuah naskah. Kolaborasi tim editorial yang efektif menciptakan lingkungan di mana standar akademik tidak sekadar dipertahankan, tetapi terus ditingkatkan melalui dialog kritis yang berkelanjutan.

Epilog: Membangun warisan intelektual melalui praksis Editorial
Warisan seorang editor bukanlah sekadar edisi terbitan yang terkelola dengan baik atau sistem OJS yang tertib. Warisan sejati terletak pada standar berpikir yang ditanamkan, cara memberikan umpan balik yang bermakna, dan komitmen untuk mengembangkan disiplin ilmu komunikasi sebagai bidang keilmuan yang rigorous dan progresif. Ilmu yang berkelanjutan adalah ilmu yang dipertaruhkan dengan kesungguhan—dalam setiap revisi, komentar, dan keputusan editorial yang kita ambil hari ini.

Semoga refleksi ini dapat menjadi kaca benggala bagi rekan-rekan sekalian yang mau memercayakan naskah-naskahnya untuk diproses dan akhirnya dimuat di UltimaComm: Jurnal Ilmu Komunikasi!

Tabik!

Hendar Putranto

Categories
Uncategorized

Penguatan infrastruktur etis bagi konstruksi modern: sebuah pembacaan atas karya Vaclav Smil (2022)

Resume buku How the World Really Works: A Scientist’s Guide to Our Past, Present and Future karya Vaclav Smil (Viking, Januari 2022); dibantu penerjemahan dan penyuntingannya oleh https://www.superai.id/?artifact_id=artifact_2vD6HjkGGsopXcRMFzDFfSE7s4u

image source: https://www.gatesnotes.com/how-the-world-really-works

Dalam buku “How the World Really Works,” sejarawan Vaclav Smil menguraikan secara mendalam tujuh realitas mendasar yang mengatur kelangsungan hidup dan kemakmuran manusia, yaitu

1. Produksi Energi: Energi adalah fondasi dari semua aktivitas manusia. Smil menekankan pentingnya memahami sumber energi yang kita gunakan dan dampaknya terhadap lingkungan.
2. Produksi Makanan: Ketergantungan kita pada sistem pertanian modern dan pupuk sintetis, serta tantangan yang dihadapi dalam memastikan ketahanan pangan global.
3. Material dan Infrastruktur: Pentingnya bahan-bahan seperti semen, baja, dan plastik dalam membangun infrastruktur yang mendukung kehidupan sehari-hari.
4. Globalisasi: Proses globalisasi yang tidak selalu menguntungkan dan bagaimana ketergantungan pada rantai pasokan global dapat menjadi risiko.
5. Risiko Lingkungan: Tantangan yang dihadapi oleh lingkungan akibat aktivitas manusia, termasuk perubahan iklim dan polusi.
6. Kesehatan dan Kesejahteraan: Hubungan antara kesehatan manusia dan lingkungan, serta bagaimana bahan-bahan yang kita gunakan mempengaruhi kesehatan kita.
7. Ekonomi dan Kebijakan: Bagaimana kebijakan ekonomi dan keputusan politik mempengaruhi kelangsungan hidup dan kemakmuran masyarakat.

Secara khusus, dalam bab tiga buku ini, Understanding Our Material World: The Four Pillars of Modern Civilization, Vaclav Smil menguraikan secara cukup mendetil tentang pentingnya berbagai bahan dalam membangun dan mempertahankan masyarakat modern. Ia menekankan bahwa meskipun banyak perhatian diberikan kepada fenomena ekonomi yang tidak materiil, seperti pertumbuhan domestik bruto (PDB) dan inovasi teknologi, bahan-bahan yang esensial bagi kehidupan sehari-hari sering kali diabaikan. Smil mengidentifikasi empat bahan utama yang menjadi tiang penyangga peradaban modern: semen, baja, plastik, dan amonia. Keempat bahan ini tidak hanya penting dalam konteks produksi dan konsumsi, tetapi juga dalam hal dampak lingkungan dan keberlanjutan.

Pentingnya Bahan dalam Masyarakat Modern
Smil mengawali pembahasannya dengan menekankan bahwa tanpa pasokan makanan dan energi yang memadai, masyarakat modern tidak akan dapat berfungsi. Ia menjelaskan bahwa semua inovasi teknologi, termasuk semikonduktor dan perangkat elektronik, tidak akan mungkin ada tanpa dukungan dari bahan-bahan yang dihasilkan oleh manusia. Meskipun silikon dan komponen elektronik lainnya memiliki peran penting, mereka bukanlah bahan yang esensial untuk keberlangsungan hidup manusia. Sebaliknya, bahan-bahan seperti semen, baja, plastik, dan amonia adalah fondasi dari infrastruktur dan sistem yang mendukung kehidupan sehari-hari.

Empat Pilar Utama Masyarakat Modern
Smil membuat pemeringkatan atas keempat bahan fondasional yang keberadaannya esensial membentuk peradaban modern berdasarkan kriteria seperti indispensabilitas, keberadaan luas, dan permintaan global.

1. Amonia: Amonia (NH3) adalah senyawa yang terdiri dari satu atom nitrogen dan tiga atom hidrogen. Smil menekankan bahwa amonia adalah bahan yang paling penting karena perannya dalam produksi pupuk nitrogen. Tanpa amonia, tidak mungkin untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi setidaknya 40% hingga 50% dari populasi dunia saat ini. Penemuan proses sintesis amonia oleh Fritz Haber dan Carl Bosch pada awal abad ke-20 memungkinkan peningkatan produksi pangan yang signifikan, yang mendukung pertumbuhan populasi global.

2. Plastik: Plastik adalah kelompok bahan sintetis yang dapat dibentuk menjadi berbagai bentuk. Smil menjelaskan bahwa plastik memiliki sifat yang unik, seperti ringan dan tahan lama, yang membuatnya sangat berguna dalam berbagai aplikasi, mulai dari kemasan hingga komponen otomotif. Namun, ia juga mengingatkan tentang tantangan yang dihadapi terkait polusi plastik, yang menjadi masalah lingkungan yang semakin mendesak. Meskipun plastik memiliki banyak manfaat, penggunaan yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan dampak negatif yang signifikan terhadap ekosistem.

3. Baja: Baja adalah paduan yang didominasi oleh besi dan merupakan salah satu bahan yang paling banyak digunakan di dunia. Smil menjelaskan bahwa baja memiliki kekuatan yang luar biasa dan dapat didaur ulang dengan efisien. Baja digunakan dalam berbagai aplikasi, mulai dari konstruksi bangunan hingga kendaraan. Proses produksi baja, yang melibatkan penggunaan besi brik dan furnas oksigen dasar (BOF), juga memiliki dampak lingkungan yang signifikan, terutama dalam hal emisi karbon.

4. Semen: Semen, komponen utama beton, merupakan bahan yang paling banyak digunakan dalam konstruksi modern. Smil menjelaskan proses produksinya dan peran beton dalam infrastruktur. Selama tahun 1860-an dan 1870-an, paten penguatan pertama diajukan oleh François Coignet dan Joseph Monier di Prancis (Monier, seorang tukang kebun, mulai menggunakan jaring besi untuk memperkuat pot tanamannya), tetapi terobosan nyata terjadi pada tahun 1884 dengan batang baja penguat Ernest Ransome. Desain awal dari kiln rotary semen modern, di mana mineral divitrifikasi pada suhu hingga 1.500ºC, menandai kemajuan signifikan dalam produksi semen massal. Meskipun penting, produksi semen juga menyumbang emisi karbon yang signifikan. Oleh karena itu, pengembangan material alternatif dan praktik konstruksi yang berkelanjutan menjadi kunci keberlanjutan.

Dampak Lingkungan dan Tantangan Keberlanjutan
Smil menekankan bahwa produksi keempat bahan ini mengklaim sekitar 17% dari total pasokan energi primer dunia dan menyumbang sekitar 25% dari emisi CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Ia mencatat bahwa saat ini tidak ada alternatif komersial yang tersedia untuk menggantikan proses produksi yang ada. Meskipun ada banyak proposal dan teknik eksperimental untuk memproduksi bahan-bahan ini tanpa bergantung pada karbon fosil, tidak ada yang telah berhasil dikomersialkan.

Smil juga membahas tantangan dalam mencari solusi berkelanjutan untuk produksi bahan-bahan ini. Misalnya, dalam produksi amonia, penggunaan gas alam sebagai sumber hidrogen dan energi proses menjadi perhatian utama. Begitu juga dengan produksi baja, yang sangat bergantung pada batubara dan gas alam. Oleh karena itu, pencarian energi alternatif yang lebih ramah lingkungan menjadi sangat penting untuk masa depan berkelanjutan.

Amonia: Gas yang memberi makan pada dunia
Amonia, sebagai bahan yang paling penting, memiliki sejarah yang menarik. Smil menjelaskan bahwa penemuan sintesis amonia dari nitrogen dan hidrogen adalah hasil dari upaya ilmiah yang terfokus. Pada akhir abad ke-19, kebutuhan akan nitrogen untuk pertanian semakin mendesak, dan penemuan ini menjadi solusi untuk memastikan pasokan makanan yang cukup bagi populasi yang terus berkembang. Proses Haber-Bosch yang dikembangkan oleh Fritz Haber dan Carl Bosch memungkinkan produksi amonia secara massal, yang pada gilirannya mendukung revolusi hijau dan peningkatan hasil pertanian.

Plastik: Beragam, berguna, tapi bermasalah
Plastik, meskipun sangat berguna, juga menghadapi tantangan besar terkait polusi. Smil menjelaskan bahwa produksi plastik telah meningkat secara eksponensial sejak awal abad ke-20, dan saat ini plastik digunakan dalam berbagai aplikasi, mulai dari kemasan hingga komponen otomotif. Namun, masalah limbah plastik dan dampaknya terhadap lingkungan menjadi perhatian utama. Smil menekankan pentingnya penggunaan plastik yang bertanggung jawab dan pengembangan teknologi daur ulang yang lebih efisien untuk mengurangi dampak negatifnya.

Baja: Ada di mana-mana dan mudah didaur ulang
Baja adalah bahan yang sangat penting dalam infrastruktur modern. Smil menjelaskan bahwa baja memiliki berbagai jenis dan aplikasi, dari konstruksi bangunan hingga kendaraan. Proses produksi baja yang melibatkan penggunaan besi brik dan furnas oksigen dasar (BOF) memiliki dampak lingkungan yang signifikan, terutama dalam hal emisi karbon. Namun, baja juga memiliki keunggulan dalam hal daur ulang, yang memungkinkan pemanfaatan kembali material ini secara efisien.

Semen: Konstruksi modern tercipta berkat adanya semen
Semen adalah bahan yang sangat penting dalam konstruksi modern. Smil menjelaskan proses produksi semen dan bagaimana beton, yang merupakan campuran dari semen, agregat, dan air, digunakan dalam berbagai infrastruktur. Meskipun semen adalah bahan yang sangat penting, produksi semen juga menyumbang emisi karbon yang signifikan. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengurangi dampak lingkungan dari proses ini.

Bab tiga ini menyoroti peran krusial semen, baja, plastik, dan amonia sebagai fondasi peradaban modern. Keberadaan mereka yang ada di mana-mana dan dampaknya yang signifikan terhadap kehidupan manusia tidak dapat dipungkiri. Namun, ketergantungan kita pada bahan-bahan ini juga menimbulkan tantangan besar terkait keberlanjutan dan dampak lingkungan. Oleh karena itu, kita, sebagai individu dan masyarakat global, memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong inovasi dan menerapkan pengelolaan yang bijaksana dalam produksi dan penggunaan keempat bahan ini.

Hanya dengan tindakan kolektif yang berkelanjutan, yang melibatkan komitmen dari pemerintah, industri, dan individu, kita dapat memastikan kesejahteraan manusia dan kelestarian planet kita untuk generasi mendatang. Ini membutuhkan investasi dalam teknologi ramah lingkungan, promosi praktik konsumsi yang bertanggung jawab, dan dorongan untuk inovasi yang berkelanjutan. Kegagalan untuk bertindak akan berdampak serius pada masa depan kita. Kemajuan teknologi seperti kiln rotary semen modern dan batang baja penguat telah memungkinkan produksi massal bahan-bahan ini, namun kita harus secara aktif mencari dan menerapkan solusi yang lebih berkelanjutan untuk mengurangi dampak lingkungannya.

Berikut enam saran dari Smil untuk solusi berkelanjutan:
1) Pengembangan Teknologi Baru: Smil mendorong penelitian dan pengembangan teknologi baru yang dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dalam produksi semen dan baja. Ini termasuk eksplorasi metode alternatif yang lebih ramah lingkungan.
2) Penggunaan Energi Terbarukan: Mengintegrasikan sumber energi terbarukan dalam proses produksi untuk mengurangi emisi karbon. Misalnya, menggunakan energi matahari atau angin dalam proses pembuatan semen.
3) Daur Ulang dan Penggunaan Kembali: Meningkatkan praktik daur ulang untuk bahan-bahan ini, sehingga mengurangi kebutuhan untuk produksi baru. Smil menekankan pentingnya mendaur ulang baja dan menggunakan kembali material bangunan.
4) Efisiensi Sumber Daya: Menerapkan praktik efisiensi sumber daya dalam produksi, termasuk pengurangan limbah dan penggunaan bahan baku yang lebih efisien.
5) Kebijakan dan Regulasi: Mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang mendukung praktik berkelanjutan dalam industri bahan bangunan, termasuk insentif untuk perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi hijau.
6) Kesadaran dan Pendidikan: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya keberlanjutan dalam penggunaan bahan-bahan ini dan mendidik generasi mendatang tentang praktik yang lebih baik.

Dengan menerapkan enam solusi berkelanjutan ini, Smil percaya bahwa kita dapat mengurangi dampak lingkungan dari produksi semen dan baja, sekaligus memastikan bahwa kebutuhan masyarakat akan bahan-bahan ini tetap terpenuhi. Kesimpulan akhirnya, inilah langkah penting untuk mencapai kesejahteraan manusia dan kelestarian planet kita di masa depan.

Interpretasi Resume Karya Vaclav Smil dengan Pisau Analisis “Infraethics” dari Floridi (2017)

Dalam resume karya Vaclav Smil, terdapat penekanan pada empat fondasi material yang menjadi dasar konstruksi modern, yaitu semen, baja, plastik, dan amonia. Untuk memahami lebih dalam implikasi etis dari keberadaan keempat fondasi ini, saya akan menggunakan kerangka analisis dari Luciano Floridi dalam karyanya tentang infraethics, yang menekankan pentingnya infrastruktur moral dalam masyarakat.

1. Semen
Semen adalah bahan yang sangat penting dalam pembangunan infrastruktur modern. Dalam konteks infraethics, semen dapat dilihat sebagai fondasi fisik yang mendukung struktur sosial dan moral. Semen tidak hanya berfungsi sebagai bahan bangunan, tetapi juga sebagai simbol dari stabilitas dan ketahanan masyarakat. Floridi menekankan bahwa infrastruktur fisik, seperti semen, harus diimbangi dengan infrastruktur moral yang kuat untuk memastikan keberlangsungan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, produksi semen yang berkelanjutan dan bertanggung jawab menjadi sangat penting untuk mengurangi dampak lingkungan dan memastikan bahwa masyarakat dapat berkembang tanpa merusak planet.

2. Baja
Baja, sebagai bahan yang kuat dan serbaguna, memainkan peran kunci dalam berbagai aplikasi, mulai dari konstruksi gedung hingga transportasi. Dalam analisis Floridi, baja dapat dianggap sebagai unsur yang menghubungkan berbagai aspek kehidupan sosial. Baja tidak hanya memberikan kekuatan fisik, tetapi juga menciptakan jaringan yang menghubungkan individu dan komunitas. Floridi menekankan bahwa untuk memaksimalkan potensi baja, masyarakat harus mengembangkan norma-norma etis yang mendukung penggunaan dan daur ulang baja secara bertanggung jawab. Ini mencakup pengembangan teknologi yang lebih bersih dan efisien dalam produksi baja, serta kebijakan yang mendorong daur ulang.

3. Plastik
Plastik adalah bahan yang sangat serbaguna, tetapi juga menjadi sumber masalah lingkungan yang signifikan. Dalam konteks infraethics, plastik mencerminkan dualitas moral: di satu sisi, plastik memungkinkan inovasi dan kemudahan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi di sisi lain, penggunaannya yang berlebihan dapat menyebabkan polusi dan kerusakan lingkungan. Floridi menggarisbawahi pentingnya menciptakan infrastruktur moral yang mendukung penggunaan plastik yang berkelanjutan. Ini termasuk pengembangan alternatif yang ramah lingkungan dan kebijakan yang mendorong pengurangan limbah plastik. Masyarakat harus berperan aktif dalam mengubah cara mereka menggunakan plastik dan mencari solusi yang lebih berkelanjutan.

4. Amonia
Amonia, sebagai bahan utama dalam pupuk nitrogen, sangat penting untuk produksi pangan global. Dalam analisis Floridi, amonia dapat dilihat sebagai unsur yang mendukung keberlangsungan hidup manusia. Namun, produksi amonia yang bergantung pada bahan bakar fosil menimbulkan tantangan lingkungan yang serius. Floridi menekankan bahwa untuk memastikan keberlanjutan, masyarakat harus mencari cara untuk memproduksi amonia dengan cara yang lebih ramah lingkungan, seperti menggunakan energi terbarukan. Ini mencerminkan kebutuhan akan infrastruktur moral yang mendukung inovasi dan keberlanjutan dalam produksi pangan.

Dalam konteks analisis Floridi, empat fondasi material yang diuraikan Smil dalam bukunya tidak hanya berfungsi sebagai unsur jasmaniah-material dalam konstruksi modern, tetapi juga mencerminkan kebutuhan akan infrastruktur moral yang kuat. Masyarakat harus secara aktif mencari dan menerapkan solusi yang lebih berkelanjutan untuk mengurangi dampak lingkungan dari produksi dan penggunaan bahan-bahan ini. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai etis dalam pengelolaan sumber daya, kita dapat memastikan bahwa kemajuan teknologi dan material tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga mendukung kesejahteraan manusia dan kelestarian planet kita. Dengan demikian, interpretasi Floridian atas karya Smil menunjukkan bahwa keberhasilan masyarakat modern tidak hanya bergantung pada inovasi material, tetapi juga pada kemampuan kita untuk mengelola dan menggunakan bahan-bahan tersebut dengan cara yang etis dan berkelanjutan.

Rujukan pelengkap
Floridi, L. (2017). Infraethics–on the Conditions of Possibility of Morality. Philosophy and Technology, 30, 391–394. https://doi.org/10.1007/s13347-017-0291-1

Categories
Uncategorized

[book resume] Surfaces and Essences: Analogy as the Fuel and Fire of Thinking (2013)

Dalam salah satu bagian disertasi saya, tersebutlah pokok yang menyatakan bahwa pembentukan sikap alamiah, fenomenologis dan etis yang saya teliti terkait erat dengan kemampuan (partisipan) membuat analogi dan berpikir secara metaforis. Ternyata, jauh sebelum temuan penelitian saya ini, sudah ada ahli yang meneliti secara serius dan menuliskannya.

Berikut resume dari buku yang ditulis dengan sangat menarik yang membahas tentang analogi dan metafor tersebut.

Ringkasan Buku “Surfaces and Essences: Analogy as the Fuel and Fire of Thinking” karya Douglas Hofstadter dan Emmanuel Sander (Basic Books, 2013)


Image source: http://bit.ly/42aOJlE

Daftar isi dari buku tersebut:

Prologue Analogy as the Core of Cognition 3
Chapter 1 The Evocation of Words 33
Chapter 2 The Evocation of Phrases 85
Chapter 3 A Vast Ocean of Invisible Analogies 135
Chapter 4 Abstraction and Inter-category Sliding 185
Chapter 5 How Analogies Manipulate Us 257
Chapter 6 How We Manipulate Analogies 317
Chapter 7 NaĂŻve Analogies 385
Chapter 8 Analogies that Shook the World 437
Epilogue Katy and Anna Debate the Core of Cognition 503

Buku “Surfaces and Essences” karya Douglas Hofstadter dan Emmanuel Sander mengupas tuntas bagaimana otak manusia bekerja, khususnya dalam hal pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan penciptaan ide. Inti dari buku ini adalah bahwa semua proses berpikir manusia berakar pada analogi. Tanpa analogi, tidak ada konsep, dan tanpa konsep, tidak ada pemikiran. Analogi memungkinkan pikiran kita menghubungkan pengalaman masa lalu dengan yang baru, membentuk cara kita mengkategorikan, menginterpretasikan, dan berinteraksi dengan dunia.

Definisi dan Kompleksitas Kata

Buku ini memulai dengan menjelaskan kompleksitas kata-kata yang tampaknya sederhana. Misalnya, kata “band” memiliki banyak makna, mulai dari cincin pernikahan hingga kelompok musik. Begitu juga dengan kata “kursi,” yang bisa merujuk pada berbagai bentuk dan fungsi. Hal ini menunjukkan bahwa pikiran kita tidak menyimpan kata-kata secara terpisah, melainkan melalui koneksi dengan konsep-konsep lain. Proses ini dimulai sejak dini dalam kehidupan, di mana anak-anak belajar mengkategorikan dunia di sekitar mereka melalui analogi.

Kategori dan Fleksibilitas Konsep

Ketika kita belajar sebuah kata, kita sebenarnya sedang menciptakan kategori dalam pikiran kita. Kategori ini tidak kaku; mereka berkembang seiring dengan pengalaman baru. Misalnya, kata “pegolf” tidak hanya merujuk pada satu jenis orang atau gender. Pikiran kita membentuk kluster koneksi, di mana beberapa konsep terasa lebih sentral daripada yang lain. Fleksibilitas ini memungkinkan kita untuk terus belajar dan beradaptasi, yang pada gilirannya mendorong kreativitas dan pertumbuhan manusia.

Metafora dan Bahasa

Metafora, yang sering dianggap sebagai alat puitis, juga merupakan bentuk analogi yang mendasar dalam cara kita berpikir dan berkomunikasi. Kita sering berbicara tentang waktu dalam istilah “ruang,” kehidupan sebagai “perjalanan,” dan emosi sebagai “tinggi” dan “rendah.” Banyak metafora ini begitu umum sehingga kita tidak menyadari bahwa kita menggunakannya. Evolusi bahasa melalui metafora dan analogi adalah bagian dari proses berkelanjutan dalam memperhalus dunia konseptual kita.

Mengenali Pola dalam Bahasa

Bahasa diproses sebagai pola yang melibatkan analogi, bukan sebagai bagian-bagian individual. Setiap kata baru, istilah, atau frasa mencerminkan usaha kita untuk mengkategorikan dan menghubungkan makna. Idiom dan peribahasa berfungsi sebagai alat budaya yang membantu kita memahami situasi dengan cara yang analogis. Meskipun bahasa bervariasi di seluruh budaya, banyak idiom tidak dapat diterjemahkan secara langsung, menunjukkan betapa dalamnya hubungan antara bahasa dan analogi.

Kecerdasan dan Pertumbuhan Konseptual

Pertumbuhan dalam kemampuan kita untuk berpikir konseptual terkait erat dengan kecerdasan. Fenomena yang dikenal sebagai Flynn Effect menunjukkan bahwa skor IQ meningkat dari generasi ke generasi, bukan karena kita lebih pintar secara inheren, tetapi karena kita berdiri di atas pengetahuan budaya yang terakumulasi. Kemampuan kita untuk mengenali pola dan membuat analogi dengan cepat adalah inti dari kecerdasan.

Analogi dalam Kehidupan Sehari-hari

Banyak analogi yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari bersifat halus dan otomatis. Ketika kita merespons cerita seseorang dengan ungkapan “Saya juga!” kita membuat koneksi (antara cerita orang tersebut) dengan pengalaman kita sendiri. Kemampuan untuk membuat analogi kecil ini sangat penting untuk berpikir. Setiap pemikiran, besar atau kecil, bergantung pada analogi yang didasarkan pada kategori yang kita kenal.

Kreativitas dan Pemikiran Abstrak

Pemikiran kreatif juga dibentuk oleh analogi yang kita buat. Semakin abstrak kita dapat menghubungkan konsep, semakin menarik ide yang dapat kita hasilkan. Para ahli tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga keterampilan dalam menggunakan pengetahuan tersebut untuk membuat analogi yang menghubungkan kategori dan menerapkannya pada berbagai tingkat abstraksi.

Analogi yang Naif dan Pembelajaran

Salah satu kategori analogi yang menarik adalah analogi naif, yang sering muncul dalam konteks teknologi. Misalnya, ketika kita menggunakan istilah seperti “mengirim email” yang dihubungkan dengan “alamat pos,” kita menggunakan analogi untuk memahami konsep baru. Pembelajaran melalui analogi sangat mendalam, bahkan dalam bidang yang tampaknya logis seperti matematika dan sains.

Kesimpulan

Kesimpulan dari buku ini adalah bahwa analogi yang kompleks mendorong pemikiran kita, mulai dari pengenalan objek sehari-hari hingga penemuan ilmiah yang revolusioner. Kategori yang kita buat tidaklah tetap; mereka berubah berdasarkan konteks dan terhubung dengan cara yang tak terduga. Menjelajahi hubungan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia. Pada akhirnya, kecerdasan sangat bergantung pada seberapa cepat dan akurat kita memahami esensi sesuatu melalui analogi. Buku ini mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana kita berpikir dan belajar, serta pentingnya analogi dalam proses tersebut. Dengan memahami dan menerapkan konsep-konsep ini, kita dapat memperluas cara kita berinteraksi dengan dunia dan meningkatkan kemampuan berpikir kita.

Categories
Uncategorized

[film review] Santosh (2024): an uphill battle for gender justice in caste-based society

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/9/9a/Santosh_%282024_film%29.jpg

Film Santosh (2024) adalah sebuah karya yang menggugah, mengisahkan perjalanan seorang polisi bernama Santosh Saini yang berjuang untuk menegakkan keadilan di tengah sistem yang korup dan penuh tantangan. Dalam film ini, penonton diajak untuk menyelami konflik moral yang dihadapi oleh Santosh, serta dampak dari tindakan dan keputusan yang diambilnya dalam pencarian kebenaran.

Alur dan Plot
Cerita dimulai dengan pengenalan Santosh Saini, seorang polisi yang baru saja kehilangan suaminya, seorang polisi yang terbunuh dalam kerusuhan Hindu-Muslim di Nehrat. Kematian suaminya bukan hanya meninggalkan luka mendalam, tetapi juga memberikan Santosh kesempatan untuk mewarisi posisinya sebagai polisi melalui kebijakan “compassionate appointment” di India, yang memungkinkan pasangan yang ditinggalkan untuk mengambil alih pekerjaan pegawai pemerintah yang telah meninggal.

Ketika Santosh berusaha menyesuaikan diri dengan perannya yang baru, dia terlibat dalam kasus hilangnya seorang gadis muda bernama Devika, putri seorang pria Dalit. Ketika Santosh mencoba membantu ayah Devika, dia menyadari betapa korupnya sistem yang dia layani. Atas permintaan ayah Devika, Santosh berusaha untuk mengajukan laporan resmi, tetapi atasannya meremehkan situasi tersebut dan menyuruhnya untuk membawa surat pengaduan. Keesokan harinya, tubuh Devika ditemukan di sebuah sumur, yang memicu kemarahan dan protes dari komunitas Dalit.

Protes ini menjadi titik balik bagi Santosh, yang mulai menyadari bahwa dia tidak hanya berjuang untuk keadilan bagi Devika, tetapi juga melawan sistem yang menindas dan merendahkan masyarakat yang terpinggirkan. Alur cerita semakin menegangkan ketika Santosh harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk ancaman terhadap keselamatannya dan tekanan dari atasan yang lebih memilih untuk menutup-nutupi kasus tersebut demi kepentingan pribadi.

Puncak dari cerita ini terjadi ketika Santosh harus membuat keputusan sulit yang akan menentukan nasibnya dan keadilan bagi Devika. Dalam momen-momen ini, penonton dapat merasakan ketegangan dan dilema moral yang dihadapi oleh Santosh, yang mencerminkan realitas banyak individu yang berjuang untuk keadilan di dunia yang tidak adil.

Karakter
Karakter utama dalam film ini adalah Santosh Saini, yang diperankan dengan sangat baik oleh aktor utama. Santosh digambarkan sebagai sosok yang kuat, berani, dan penuh tekad. Dia memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugasnya sebagai polisi, tetapi juga menghadapi dilema moral yang membuatnya mempertanyakan metode dan pendekatannya dalam menegakkan keadilan.

Santosh Saini: Karakter ini adalah representasi dari perjuangan individu melawan sistem yang korup. Dia tidak hanya berjuang untuk mengungkap kebenaran tentang kematian Devika, tetapi juga berusaha untuk menjaga integritasnya di tengah tekanan yang ada. Santosh adalah simbol harapan bagi mereka yang merasa terpinggirkan dan tidak memiliki suara. Perjuangannya untuk keadilan menjadi lebih personal setelah kehilangan suaminya, yang menambah lapisan emosional pada karakternya.

Devika: Sebagai gadis muda yang menjadi korban, Devika mewakili suara yang terabaikan dan perjuangan untuk keadilan. Kematian Devika menjadi pemicu bagi Santosh untuk berjuang lebih keras dalam pencariannya akan kebenaran. Kehadirannya dalam cerita, meskipun terbatas, memberikan dampak yang besar dan menggugah kesadaran akan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Dalit.

Ayah Devika: Karakter ini mencerminkan kesedihan dan kemarahan yang dirasakan oleh komunitas Dalit. Dia berjuang untuk mendapatkan keadilan bagi putrinya dan menjadi simbol dari perjuangan masyarakat yang terpinggirkan. Protes yang dilakukan oleh ayah Devika dan komunitasnya menunjukkan kekuatan kolektif dalam menghadapi ketidakadilan.

Sharma: Atasan Santosh yang korup, yang mewakili sistem yang menindas. Karakter ini menciptakan ketegangan dalam cerita, karena dia berusaha untuk menghalangi Santosh dalam pencariannya. Sharma adalah simbol dari kekuasaan yang menyalahgunakan posisi untuk kepentingan pribadi.

Pesan Umum
Film Santosh menyampaikan pesan yang kuat tentang pentingnya keadilan dan integritas dalam menghadapi sistem yang korup. Melalui perjalanan Santosh, penonton diajak untuk merenungkan tantangan yang dihadapi oleh individu yang berjuang untuk kebenaran. Film ini menunjukkan bahwa meskipun ada banyak rintangan dan ancaman, keberanian untuk berdiri melawan ketidakadilan adalah langkah pertama menuju perubahan.

Pesan lain yang dapat diambil dari film ini adalah pentingnya solidaritas dan dukungan dari komunitas. Santosh tidak berjuang sendirian; dia didukung oleh rekan-rekannya dan masyarakat yang percaya pada keadilan. Ini menunjukkan bahwa perubahan sosial yang signifikan sering kali memerlukan kolaborasi dan dukungan dari banyak pihak.

Secara keseluruhan, Santosh adalah film yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan refleksi mendalam tentang isu-isu sosial yang relevan. Dengan alur yang menegangkan, karakter yang kuat, dan pesan yang menggugah, film ini berhasil menyampaikan pentingnya keadilan dan integritas dalam dunia yang sering kali tidak adil.

Semanticise symbolism in the film:

Simbolisasi Perjuangan Santosh Saini dalam Film Santosh (2024)

Film Santosh (2024) adalah sebuah narasi mendalam tentang perjuangan melawan ketidakadilan sistemik dan korupsi institusional yang mengakar kuat dalam masyarakat. Melalui karakter utamanya, Constable Santosh Saini, film ini mengeksplorasi bagaimana individu dapat menjadi korban maupun pelaku dalam sistem yang penuh manipulasi, kekerasan, dan hierarki sosial yang tidak adil. Dengan menggunakan simbolisme yang kaya, film ini berhasil menggambarkan perjalanan moral, emosional, serta spiritual Santosh dalam mencari keadilan di tengah dunia yang sering kali memadamkan suara-suara yang berani menentang status quo.

Ketidakadilan Sistemik dan Aktivisme Devika

Salah satu simbol utama dalam film ini adalah sumur yang ditemukan penuh dengan bangkai hewan—tempat jasad Devika, seorang remaja berusia 15 tahun, akhirnya ditemukan. Sumur tersebut bukan hanya tempat pembuangan fisik, tetapi juga metafora bagi marginasasi komunitas Dalit dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh elit berkuasa. Devika, yang kemungkinan besar merupakan aktivis lingkungan meskipun tidak secara eksplisit disebutkan, menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni sosial dan eksploitasi sumber daya alam. Keterlibatannya dalam mengungkap praktik ilegal ini membuatnya menjadi ancaman bagi mereka yang ingin mempertahankan kekuasaan mereka. Pembunuhan Devika oleh sepupu Prajdhana-ji dan teman-temannya mencerminkan bagaimana suara-suara kritis sering kali dibungkam demi menjaga stabilitas struktur dominan.

Devika sendiri merepresentasikan keberanian generasi muda yang peduli akan keadilan sosial dan lingkungan. Namun, kematian tragisnya juga menunjukkan betapa rapuhnya posisi mereka yang berusaha melawan sistem tanpa perlindungan atau kekuatan. Penemuan buku catatan atau barang-barang milik Devika oleh Santosh semakin memperkuat gagasan bahwa Devika sedang menyelidiki isu-isu penting seperti polusi dan diskriminasi kasta. Ia menjadi korban dari sistem yang tidak hanya merendahkan manusia tetapi juga merusak bumi.

Korupsi Institusional dalam Kepolisian

Sebagai anggota kepolisian, Santosh Saini berada pada posisi unik: dia adalah bagian dari lembaga yang seharusnya menegakkan hukum, tetapi malah terlibat dalam mekanisme korupsi yang mendukung elit berkuasa. Salah satu momen paling signifikan dalam film ini adalah interogasi brutal terhadap Saleem, seorang tersangka tak bersalah yang akhirnya meninggal karena bunuh diri setelah disiksa oleh Santosh. Tindakan ini, meskipun dilakukan dengan niat untuk memecahkan kasus Devika, mencerminkan bagaimana tekanan sistemik dapat memaksa bahkan orang baik melakukan hal-hal buruk. Siksaan terhadap Saleem menjadi simbol bagaimana kekerasan negara digunakan untuk melindungi kepentingan tertentu, sementara korban-korbannya dibiarkan tanpa suara.

Hubungan antara Santosh dan Senior Officer Sharma juga memperlihatkan kompleksitas korupsi institusional. Sharma, yang awalnya tampak sebagai mentor penyayang, ternyata memiliki agenda terselubung. Gestur “mencubit hidung” Santosh dan memberinya jimat kecil bisa diartikan sebagai bentuk kontrol halus atas kesetiaan Santosh kepada sistem. Jimat tersebut, yang akhirnya diberikan Santosh kepada seorang gadis kecil penjual biskuit di kereta api menuju Mumbai, melambangkan upaya Santosh untuk melepaskan diri dari jeratan korupsi itu. Dengan memberikan jimat tersebut, ia seolah-olah menolak warisan moral buruk yang diwariskan oleh institusi tempat ia bekerja.

Pencarian Keadilan dan Harapan Baru

Perjalanan Santosh mencapai puncaknya ketika ia memutuskan untuk meninggalkan kepolisian dan memulai hidup baru di Mumbai. Keputusan ini bukan sekadar langkah karier, tetapi simbol transformasi personal yang mendalam. Kota Mumbai, yang dikenal sebagai pusat dinamisme dan peluang, menjadi representasi harapan baru bagi Santosh—sebuah tempat di mana ia bisa mendefinisikan ulang identitasnya tanpa terikat pada masa lalu yang penuh dosa. Sebelum pergi, ia mengembalikan anting-anting Devika kepada keluarganya saat mereka tidur. Tindakan ini melambangkan usaha terakhirnya untuk memperbaiki kesalahan dan mengembalikan martabat kepada korban ketidakadilan.

Pengembalian anting-anting juga bisa dilihat sebagai permohonan ampunan atas tindakan-tindakan salah yang telah ia lakukan selama penyelidikan, termasuk penyiksaan terhadap Saleem. Meskipun Santosh berhasil membongkar kebenaran tentang pembunuhan Devika, cara ia mencapai tujuan tersebut meninggalkan bekas luka moral yang sulit disembuhkan. Dengan meninggalkan semua atribut lamanya, termasuk jimat dari Sharma, Santosh menandai babak baru dalam hidupnya: sebuah perjalanan menuju pembebasan diri dari belenggu sistem yang korup.

Kesimpulan

Film Santosh (2024) menggunakan simbolisme secara brilian untuk menggambarkan perjuangan melawan ketidakadilan sistemik dan korupsi institusional. Melalui karakter Santosh Saini, penonton diajak merenungkan dilema moral yang dihadapi individu ketika berada dalam sistem yang tidak adil. Dari sumur yang menjadi wadah kejahatan hingga jimat yang dilepaskan di kereta api, setiap unsur visual dalam film ini membawa makna mendalam tentang keadilan, pengorbanan, dan harapan. Pada akhirnya, cerita Santosh adalah tentang seorang wanita yang belajar untuk bertahan hidup dengan integritas, bahkan jika itu berarti meninggalkan segala sesuatu yang pernah ia kenal.

Categories
Uncategorized

Meningkatkan Kualitas Lulusan Program Doktor Ilmu Komunikasi di Indonesia melalui Aktivitas Membaca dengan Pendekatan Kognitif

Polemik sidang disertasi Bahlil Lahadalia sebagai kandidat doktor di Program S3 Sekolah Kajian Strategik dan Global (SKSG) UI pada 16 Oktober 2024, serta dugaan kecurangan akademik yang terungkap dari berbagai temuan, mencapai anti-klimaks dengan putusan Rektor UI pada 13 Maret 2025. Keputusan tersebut menyatakan bahwa Bahlil “belum dinyatakan lulus dan mendapatkan gelar doktor karena disertasinya perlu direvisi,” (lih. beritanya di https://nasional.kompas.com/read/2025/03/13/14432721/masih-revisi-disertasi-bahlil-belum-dinyatakan-lulus-dan-dapat-gelar-doktor?utm_source=Various&utm_medium=Referral&utm_campaign=Top_Desktop) tanpa mempertimbangkan secara mendalam aspek substansi dan etika akademik. Kasus ini sempat viral di media sosial dan percakapan publik, mencerminkan keprihatinan masyarakat terhadap mutu program doktoral UI. Meskipun UI mengusung moto Veritas (Kebenaran), Probitas (Kejujuran), dan Iustitia (Keadilan), integritas akademik dan kualitas lulusannya kerap dipertanyakan, terutama dalam kasus kontroversial seperti ini.

Dalam konteks ini, penting untuk mengevaluasi kembali pendekatan dalam pendidikan doktoral, khususnya di UI, serta kampus lain yang menawarkan program serupa, terutama dalam hal membaca dan memahami teks akademik. Membaca teks akademik bukan sekadar menyerap informasi, tetapi juga menganalisis, mengevaluasi, dan mengembangkan pemikiran kritis—kemampuan yang esensial untuk menghasilkan riset berkualitas. Esei ini akan menerapkan wawasan dari The Reading Mind: A Cognitive Approach to Understanding How the Mind Reads karya Daniel T. Willingham (John Wiley and Sons, 2017) guna meningkatkan kualitas program doktoral dan melahirkan lulusan yang lebih kompeten dalam bidang komunikasi.

Dalam buku The Reading Mind, Willingham menekankan pentingnya proses kognitif dalam membaca yang melampaui sekadar pengenalan simbol. Pemahaman ini sangat relevan bagi bidang Ilmu Komunikasi, terutama dalam konteks program doktoral di Universitas Indonesia dan universitas-universitas lain di Indonesia. Dengan menerapkan wawasan dari pembacaan karya Willingham (2017), penulis mengusulkan empat saran strategis guna meningkatkan kualitas program doktoral dan menghasilkan lulusan program studi doktoral yang lebih kompeten dalam bidang komunikasi.

Pertama, penting sekali mengupayakan agar para dosen dan mahasiswa meningkatkan kemampuan membaca teks secara kritis dan interpretatif. Program doktoral di Universitas Indonesia dan universitas lain sering kali melibatkan kandidat doktor (calon promovendus) untuk membaca teks-teks kompleks mengenai teori sosial, komunikasi, media, budaya, etika, serta literasi digital. Dengan memanfaatkan wawasan dari Willingham, program doktoral dapat menekankan strategi membaca aktif, terutama melatih mahasiswa untuk ‘mendengarkan’ suara internal dari teks—memperhatikan tekanan dan intonasi—dapat meningkatkan keterampilan interpretatif mereka, terutama ketika menganalisis karya-karya klasik yang kental bermuatan filosofis dan teoritis.

Sejumlah buku yang menjadi “bacaan wajib” dalam perkuliahan program doktoral Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia di antaranya adalah Cybernetics: Or Control and Communication in the Animal and the Machine (karya Norbert Wiener, 1948), The academic mind: social scientists in a time of crisis (karya Paul Lazarsfeld, 1958), Diffusion of Innovations (karya Everett M. Rogers, 1962), Understanding Media: The Extensions of Man (karya Marshall McLuhan, 1964), The Social Construction of Reality (karya Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, 1966), Symbolic Interactionism: Perspective and Method (karya Herbert Blumer, 1969), Outline of a Theory of Practice (karya Pierre Bourdieu, 1972), The Practice of Everyday Life (karya Michel de Certeau, 1980), Simulacra and Simulation (karya Jean Baudrillard, 1981), Gender Trouble (karya Judith Butler, 1990), The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture (karya Theodor Adorno, 1991), Communication Theories: perspectives, processes, and contexts (karya Katherine Miller, 2002), Media, Society, World: Social Theory and Digital Media Practice (karya Nick Couldry, 2012), The Handbook of Communication History (karya penyuntingan Peter Simonson, Janice Peck, Robert T Craig, dan John Jackson, 2013), Towards a Cultural Political Economy: Putting Culture in its Place in Political Economy (karya Ngai-Ling Sum dan Bob Jessop, 2015) dan Communication: A Post-Discipline (karya Silvio Waisbord, 2019).

Selain itu, program doktoral juga dapat mendorong kesadaran prosodik dalam penulisan akademik, artinya, mengajarkan mahasiswa untuk memperhatikan ritme dan penekanan dalam tulisan mereka sendiri agar dapat meningkatkan kejelasan dan daya persuasif argumen, sehingga komunikasi ilmiah menjadi lebih menarik.

Kedua, manajemen prodi perlu memperkuat haluan komunikasi yang etis dalam diskursus akademik. Karena disertasi salah seorang mahasiswa program doktoral UI Angk. 2019 berfokus pada pembahasan tentang etika komunikasi dalam produksi pengetahuan, wawasan dari Willingham langsung terhubung dengan tanggung jawab etis para akademisi untuk membaca dan menginterpretasikan teks dengan cermat. Dalam konteks Indonesia, yang acapkali diwarnai ketidakjujuran akademik dan salah tafsir kadang menjadi masalah, membudayakan kebiasaan membaca yang mendalam dan sarat nuansa dapat mengurangi kemungkinan salah representasi teori dan argumen dalam diskursus akademik. Selain itu, manajemen prodi juga perlu mendorong praktik sitasi yang etis dengan memastikan bahwa para akademisi terlibat dengan teks secara mendalam, bukan sekadar mengekstrak informasi dan “asal cuplik.”

Ketiga, meluweskan kemampuan beradaptasi mahasiswa dengan lanskap membaca digital. Para mahasiswa doktoral di Indonesia semakin banyak mengonsumsi penelitian melalui format digital, ketika membaca sekilas (cursory reading) sering menggantikan membaca mendalam (in-depth reading). Menerapkan perspektif Willingham, program doktoral dapat melatih mahasiswa untuk terlibat secara mendalam dengan teks, meskipun ada kecenderungan untuk membaca sekilas materi digital, seperti e-book. Selain itu, program doktoral juga dapat mengembangkan metode untuk meningkatkan pemahaman dalam membaca ilmiah secara daring, seperti bookmarking dan menginternalisasi argumen kunci dari kelindan teks yang dikaji, guna meningkatkan retensi dan pemahaman.

Keempat, secara berkelanjutan, program studi doktoral dapat menciptakan lingkungan akademik yang lebih menarik secara pedagogik dan menantang secara intelektual. Terinspirasi konsep “auditorium kecil di dalam tengkorak”, universitas dapat mengintegrasikan metode yang lebih performatif dan dialogis dalam kuliah-kuliah seminar. Mengambil metafor dari dunia kepujanggaan, seperti diungkapkan penyair Billy Collins (2013), puisi memiliki dua dimensi: meskipun biasanya dibaca dalam keheningan, mendengarkan penyair membacakan karyanya dapat menjadi pengalaman yang memperkaya ruang batin permenungan.
Collins mencatat bahwa saat menghadiri pembacaan puisi, ia sering kali memahami karya penyair dengan cara yang sama sekali berbeda, menemukan nuansa humor yang sebelumnya tidak ia sadari.

Dengan demikian, membaca puisi dengan suara keras memberikan satu pengalaman, tetapi saat membaca dalam keheningan, kita juga mendengar puisi itu dalam pikiran kita sendiri, seolah-olah ‘tengkorak kita berfungsi sebagai auditorium kecil’ yang menampung suara dan ritme kata-kata tersebut sekaligus mengamplifikasinya.

Implikasi dari saran keempat ini adalah manajemen program studi perlu menciptakan sistem pembelajaran yang mendorong mahasiswa untuk membaca dengan keras bagian-bagian kunci dalam kuliah seminar yang dapat mengungkap berbagai lapisan makna serta memperkaya diskusi akademik. Dengan pendekatan ini, mahasiswa akan terlibat dengan teks tidak hanya secara kognitif, tetapi juga emosional. Hal ini akan menciptakan suasana belajar yang lebih dinamis dan interaktif.

Kesimpulan
Menerapkan wawasan dari The Reading Mind (2017) dapat meningkatkan kualitas pemahaman para mahasiswa kandidat doktor dalam program doktor Ilmu Komunikasi di Indonesia, mendorong pembacaan yang lebih mendalam, keterlibatan etis dengan pengetahuan, dan komunikasi ilmiah yang lebih baik. Di Universitas Indonesia dan universitas lainnya, mengintegrasikan perspektif ilmu kognitif ini ke dalam pedagogi dapat meningkatkan rigoritas intelektual sekaligus keluwesan pemahaman para mahasiswa program doktoral sehingga selaras dengan bahkan melampaui standar akademik global (seperti QS rank dan Times Higher Education’s global Academic Reputation Survey). Dengan demikian, kita dapat menciptakan generasi akademisi yang tidak hanya terampil dalam theorizing, tetapi juga mampu menerapkan pengetahuan mereka secara etis dan efektif dalam praktik komunikasi.

Rujukan
Willingham , D. T. (2017). The Reading Mind: A Cognitive Approach to Understanding How the Mind Reads. John Wiley & Sons.
Lihat di https://books.google.co.id/books/about/The_Reading_Mind.html?id=dTN0DgAAQBAJ&redir_esc=y
dan resumenya di https://www.blinkist.com/en/app/books/the-reading-mind-en

Categories
Uncategorized

Mengenali dan mengakrabi Akal Imitasi (AI) sebagai “Superagency”

Ringkasan buku Superagency: What Could Possibly Go Right with Our AI Future karya Reid Hoffman & Greg Beato (Authors Equity, Januari 2025)

Cover buku:

Buku “Superagency: What Could Possibly Go Right with Our AI Future” menyoroti potensi besar kecerdasan buatan (AI) dalam memperluas kemampuan manusia dan meningkatkan kualitas hidup.

Berikut adalah ringkasan yang lebih mendalam dari buku tersebut:

1. Mendukung Kesehatan Mental untuk Jutaan Orang
AI memiliki potensi besar dalam menyediakan dukungan kesehatan mental yang personal dan terjangkau. Dengan AI, setiap orang dapat mengakses bantuan terapeutik yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka, seperti memiliki tutor pribadi yang sangat kompeten. Hal ini dapat mengurangi masalah kesehatan mental yang semakin meningkat, seperti tingginya angka bunuh diri dan kekurangan akses layanan kesehatan mental.

AI dapat menganalisis jutaan interaksi terapi untuk memahami pendekatan mana yang paling efektif untuk berbagai orang. Ini berbeda dengan aplikasi kesehatan mental saat ini yang sering kali terasa mekanik dan impersonal. Dengan AI, pengguna dapat menerima dukungan yang lebih nuansial dan kontekstual, sesuai dengan kebutuhan dan situasi mereka.

2. AI belajar dari teknologi mobil: Batas Kecepatan pada Kemajuan
Seperti teknologi lain sebelumnya, AI juga menghadapi kekhawatiran tentang dampaknya. Namun, sejarah mengajarkan kita bahwa inovasi yang terus menerus dan pengujian nyata lebih efektif daripada regulasi yang terlalu ketat. Contohnya, mobil yang awalnya dianggap berbahaya, tetapi melalui inovasi dan pengujian, mobil menjadi lebih aman dan memiliki dampak transformasi besar.

Pendekatan ini, yang disebut “inovasi tanpa izin,” memungkinkan teknologi baru untuk berkembang melalui iterasi cepat dan pengujian nyata. Ini memungkinkan kita untuk belajar dari kesalahan dan memperbaiki masalah dengan cepat. Dengan demikian, AI dapat menjadi lebih aman dan bermanfaat bagi masyarakat.

3. Regulasi sebagai perluasan kebebasan individu: Memandu Kemajuan dengan Pembatas
Regulasi yang baik bukanlah hal yang membatasi, tetapi justru dapat memperluas kebebasan individu. Seperti aturan lalu lintas yang membuat perjalanan lebih aman dan nyaman, regulasi AI juga dapat membuat teknologi ini lebih aman dan bermanfaat bagi semua orang. Contohnya, sistem pelacakan kontak yang transparan di Korea Selatan selama pandemi COVID-19 membuktikan bahwa AI dapat memperluas kebebasan individu dengan cara yang aman.

Regulasi seperti sertifikasi dan sistem keamanan baru dapat membantu mencegah penyalahgunaan AI dan membuat teknologi ini lebih dipercaya oleh masyarakat. Ini akan memungkinkan lebih banyak orang untuk mengadopsi AI dan memanfaatkan potensinya secara penuh.

4. AI membantu menavigasi informasi yang kompleks untuk keperluan masyarakat
AI dapat membantu kita menavigasi informasi yang kompleks, seperti GPS yang membantu kita menemukan jalan. AI dapat membuat informasi lebih mudah diakses dan dipahami oleh semua orang, terutama mereka yang sebelumnya tidak memiliki akses ke keahlian tertentu. Ini dapat mengubah cara kita belajar dan bekerja.

Contohnya, AI dapat membantu siswa dengan disleksia mengubah buku teks menjadi format audio yang lebih mudah dipahami. AI juga dapat membantu imigran baru memahami dokumen hukum dalam bahasa mereka sendiri. Dengan AI, informasi dapat disesuaikan dengan gaya belajar, latar belakang budaya, dan minat pribadi pengguna.

5. AI dapat membantu penguatan institusi demokrasi
AI juga dapat memperkuat institusi demokrasi dengan memperluas partisipasi warga. Contohnya, platform Polis di Taiwan membantu mengidentifikasi konsensus dalam debat publik dan membuat kebijakan yang didukung secara luas. [Lihat beritanya di sini https://www.nytimes.com/2019/10/15/opinion/taiwan-digital-democracy.html dan di sini: https://www.technologyreview.com/2018/08/21/240284/the-simple-but-ingenious-system-taiwan-uses-to-crowdsource-its-laws/] Hal ini menunjukkan bahwa AI dapat menjadi alat untuk memperkuat suara warga dalam pembuatan kebijakan.

Dengan AI, pemerintah dapat menyediakan layanan publik yang lebih efisien dan responsif. Contohnya, Korea Selatan sedang mengonsolidasikan ribuan layanan publik menjadi satu portal AI
[AI Basic Act: https://likms.assembly.go.kr/bill/billDetail.do?billId=PRC_R2V4H1W1T2K5M1O6E4Q9T0V7Q9S0U0; Lihat beritanya di sini: https://iapp.org/news/a/south-korea-s-ai-basic-act-puts-another-ai-governance-regulation-on-the-map
dan di sini: https://babl.ai/south-korea-unveils-unified-ai-act/] yang dapat memberi tahu warga tentang manfaat yang mereka dapatkan. Ini akan membuat interaksi antara pemerintah dan warga lebih lancar dan efisien.

6. Kesimpulan Akhir
AI bukanlah teknologi yang harus ditakuti, tetapi justru kesempatan besar untuk memperluas potensi manusia. Dengan mengelola risiko dan memanfaatkan potensinya, AI dapat membantu kita mencapai “superagency” – peningkatan dramatis kemampuan individu.

Buku “Superagency” mengajak pembaca untuk melihat dan mengakrabi Akal Imitasi sebagai peluang, bukan ancaman.

Dengan pendekatan inovasi yang hati-hati dan regulasi yang tepat, kita dapat menghadapi masa depan dengan kepercayaan diri dan optimisme.

Akal Imitasi dapat membantu kita menjadi lebih manusiawi, bukan hanya lebih maju secara teknologi.

Berdasarkan ringkasan buku “Superagency” yang dibuat tim Blinkist
https://www.blinkist.com/en/reader/books/superagency-en?play=1

yang kemudian disarikan lebih jauh oleh GenAI “Le Chat” berikut ini:
https://chat.mistral.ai/chat/1be6695f-a8fa-4339-b7ac-710100c47d35

Sebagian kecil (600 kata) versi terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dari Introduction “Superagency” yang dapat diakses di https://www.amazon.com/Superagency-Could-Possibly-Right-Future-ebook/dp/B0D886ZQHY?asin=B0D886ZQHY&revisionId=eb0f7f8d&format=1&depth=1 dilakukan oleh https://www.superai.id/?room_id=2tkY66Pgp6I9nMMsR9ywa9fe_xyz

Sebagian terjemahan tersebut saya reproduksikan di sini untuk keperluan pembaca membandingkan resume bukunya dengan “kelugasan” bagian Pengantar buku ini.

Tentu saja copyrights tetap melekat pada penulis buku ini (Reid Hoffman dan Greg Beato, 2025)

INTRODUCTION

Sepanjang sejarah, teknologi baru secara teratur memicu visi tentang dehumanisasi yang akan datang dan keruntuhan masyarakat. Mesin cetak, alat tenun bertenaga, telepon, kamera, dan mobil semua menghadapi skeptisisme yang signifikan dan kadang-kadang bahkan penolakan yang keras dalam perjalanan mereka untuk menjadi bagian penting dari kehidupan modern.

Para peramal bencana abad kelima belas berpendapat bahwa mesin cetak akan secara dramatis mengganggu stabilitas masyarakat dengan memungkinkan heresi dan informasi yang salah, serta merongrong otoritas para rohaniwan dan cendekiawan. Telepon digambarkan sebagai perangkat yang dapat menggantikan keintiman kunjungan langsung dan juga membuat teman-teman terlalu transparan satu sama lain. Pada dekade awal kebangkitan mobil, para kritikus mengklaim bahwa mobil menghancurkan kehidupan keluarga, dengan pria lajang memilih untuk menabung untuk Model T daripada menikah dan memiliki anak, dan pria yang sudah menikah memilih perceraian untuk melarikan diri dari tekanan konsumsi yang diciptakan oleh mobil.

Jenis doom dan gloom yang sama diterapkan pada otomatisasi di seluruh masyarakat pada tahun 1950-an, ketika mesin yang semakin canggih secara dramatis mempengaruhi pabrik dan gedung perkantoran, dengan semua orang mulai dari pembuat roti, pemotong daging, pekerja otomotif, hingga statistik dari Biro Sensus AS melihat jumlah mereka menyusut. Pada tahun 1961, majalah Time melaporkan bahwa para ahli tenaga kerja percaya bahwa tanpa intervensi dari kepentingan bisnis, serikat pekerja, dan pemerintah, otomatisasi akan terus meningkatkan jumlah “pengangguran permanen.” Pada pertengahan 1960-an, subkomite kongres secara teratur mengadakan sidang mengenai potensi ancaman komputer mainframe terhadap privasi, kehendak bebas, dan kapasitas warga biasa untuk menjalani kehidupan yang mereka pilih sendiri.

Saat ini, tingkat pengangguran di AS lebih rendah daripada pada tahun 1961. Rata-rata warga AS hidup di dunia di mana PC, internet, dan smartphone telah membawa era baru individualisme dan penentuan nasib sendiri, bukan kepatuhan otoriter yang menghancurkan atau akhir dari kemanusiaan. Namun, dengan munculnya dan evolusi berkelanjutan dari AI yang sangat mampu, bukan hanya ketakutan yang familiar tentang teknologi yang tetap ada; mereka semakin berkembang.

Bahkan di antara para pengembang AI, beberapa percaya bahwa kejadian AI superintelligent di masa depan dapat mewakili ancaman tingkat kepunahan bagi umat manusia. Yang lain menunjukkan bahwa, setidaknya, manusia yang bertindak dengan niat jahat akan dapat menggunakan AI untuk menciptakan kerusakan yang katastropik jauh sebelum mesin itu sendiri melancarkan perang sepihak melawan umat manusia. Kekhawatiran tambahan termasuk penggantian pekerjaan yang masif, ketidakberdayaan manusia total, dan dunia di mana sekelompok kecil elit teknologi menangkap manfaat apa pun, jika ada, yang dihasilkan oleh AI.

Peringatan kiamat kali ini berbeda, kata para pengamat ini, karena teknologi itu sendiri berbeda kali ini. AI sudah dapat mensimulasikan aspek-aspek inti dari kecerdasan manusia. Banyak peneliti percaya bahwa AI akan segera mencapai kapasitas untuk bertindak dengan otonomi yang lengkap dan sangat mampu, dengan cara yang tidak sejalan dengan nilai atau niat manusia.

Robot dan jenis sistem cerdas lainnya telah lama ada dalam novel fiksi ilmiah, buku komik, dan film sebagai doppelganger dan lawan gelap kita. Jadi, saat AI mutakhir saat ini berbicara seperti mahasiswa pascasarjana yang baik hati tetapi dingin dan rasional, adalah hal yang wajar untuk melihat pertanda HAL dari 2001: A Space Odyssey, atau Borg dari Star Trek, atau, dalam bentuk yang kurang sadar diri dan lebih mengancam, robot pembunuh tanpa henti dari The Terminator. Narasi-narasi ini telah membentuk visi terburuk kita tentang masa depan selama waktu yang sangat lama.

Tetapi apakah mereka adalah narasi yang tepat? Masa depan terkenal sulit untuk diprediksi dengan akurat—baik bagi para pesimis maupun optimis. Kita tidak mendapatkan pengangguran massal permanen yang diperkirakan oleh para ahli tenaga kerja pada awal 1960-an; juga kita tidak mendapatkan The Jetsons dan mobil terbangnya—setidaknya belum.

Sebanyak mungkin sulit untuk memprediksi masa depan dengan akurat, lebih sulit lagi untuk menghentikannya. Dunia terus berubah. Mencoba menghentikan sejarah dengan mengukuhkan status quo—melalui larangan, jeda, dan upaya lain untuk mengelola siapa yang boleh melakukan apa—tidak akan membantu kita sebagai manusia untuk menghadapi tantangan atau peluang yang dihadirkan oleh AI.

Categories
Uncategorized

Etika Siber dan Virtual dalam Terang Etika Informasi: Sebuah Pengantar

Dr. (Cand.) Hendar Putranto, M. Hum.

disampaikan dalam kuliah Etika Komunikasi Strategis sesi ke-10
untuk mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM), FIKOM-UMN, Batch 7
Selasa, 26 November 2024, 18.30-21.00 WIB
via Zoom meeting

Pendahuluan

Semester pertama di program Magister Ilmu Komunikasi FIKOM UMN tentu menjadi momen penting untuk mengejar nilai yang baik. “Mengejar nilai” merupakan salah satu tujuan dari sebuah pengalaman akademis yang lumrah terjadi dalam lingkungan pendidikan tinggi, tidak hanya di tingkat S1, tapi juga di level S2 maupun S3. Hal ini wajar dan memang layak untuk diupayakan. Sebagaimana teman-teman dahulu sudah pernah mengalami studi pada jenjang S1, semester pertama pada jenjang S2 juga biasanya menjadi saat dan kesempatan untuk memahami model soal ujian sekaligus beradaptasi dengan dosen pengampu dan sistem perkuliahan. Mari kita mulai materi ini dengan lebih interaktif. Jika ada pertanyaan, silakan langsung disampaikan tanpa menunggu hingga saya menyelesaikan presentasi.

Struktur Materi
Materi perkuliahan hari ini akan saya bagi menjadi beberapa salindia. Kita akan mulai dengan titik tolak analisis etika, dilanjutkan dengan definisi awal tentang etika siber dan etika sosial media. Selanjutnya, saya akan membahas klaster refleksi etis terkait SNS (social networking sites) dan tiga faktor pembeda. Paparan akan diakhiri dengan resume atau rangkuman.

Titik Tolak Analisis Etika
Analisis etika dapat dimulai dari berbagai sumber, seperti pengalaman pribadi, literature review, tradisi akademis, atau fakta empiris seperti berita dan data. Tidak ada satu titik berangkat yang tetap dan dianggap mutlak untuk memulai sebuah kajian etika. Sebagai contoh, pengalaman sehari-hari, seperti percakapan saya dengan penjual nasi uduk tadi pagi, itu pun dapat menjadi bahan analisis etika.

Pengalaman perjumpaan dan percakapan secara langsung (face to face interaction) dengan orang-orang sederhana dalam ordinary and everyday setting justru kaya akan nilai, pertukaran makna, serta dapat digunakan sebagai titik berangkat untuk memahami etika komunikasi. Termasuk juga perjumpaan dan interaksi kita dalam ruang-ruang yang termediasi secara digital seperti WhatsApp, Zoom & IG.

Titik Tolak Analisis Etika: Percakapan dengan Tukang Nasi Uduk
Analisis etika tidak selalu harus dimulai dari teori atau literatur yang kompleks. Seringkali, pengalaman sehari-hari yang sederhana dapat menjadi titik tolak yang kaya untuk memahami nilai-nilai etis. Salah satu contoh yang saya alami adalah percakapan dengan seorang tukang nasi uduk pagi itu. Saat itu, saya sedang mengantre untuk membeli nasi uduk sebagai sarapan sebelum mengantar istri ke tempat kerjanya. Ketika istri saya bertanya, “Pinten sedoyo?” (Berapa semuanya?) dalam bahasa Jawa halus, si tukang nasi uduk menjawab dengan bahasa Jawa yang kasar, “Tigang doso, Bu.” (Tiga ribu, Bu). Namun, yang menarik adalah kalimat penyertanya: “Maaf ya, Bu, bahasa Jawa saya kasar. Saya asli Solo, tapi lama tinggal di Padang.”

Percakapan singkat ini sedikit banyak membuka wawasan tentang identitas, budaya, dan cara berkomunikasi. Tukang nasi uduk tersebut, meskipun berasal dari Solo (yang dikenal dengan tuturan menggunakan bahasa Jawa halus), telah lama tinggal di Padang, Sumatera Barat, yang mungkin memengaruhi cara bicaranya. Hal ini menunjukkan bagaimana latar belakang budaya dan pengalaman hidup seseorang dapat membentuk cara mereka berinteraksi dan berkomunikasi.
Pengalaman ini tidak hanya sekadar cerita biasa, tetapi juga dapat menjadi bahan refleksi etis. Misalnya, bagaimana kita memahami “kesopanan” dalam komunikasi? Apakah bahasa kasar selalu tidak etis, atau ada konteks tertentu yang membuatnya dapat diterima? Bagaimana kita menghargai perbedaan budaya dalam berkomunikasi, terutama di ruang virtual yang seringkali menghilangkan semantisasi dari unsur dan nuansa nonverbal communication?

Pendekatan Literatur Review
Yang dimaksud dengan pendekatan literatur review dalam kajian etika adalah bahwa analisis etika dimulai dari teks atau bacaan. Salah satu kerangka macro-ethics dalam khazanah Etika (dunia) Barat yang relevan dibahas pada hari ini adalah information ethics, yang diusung oleh Luciano Floridi sejak 1996 sampai sekarang. Information ethics dianggap mampu memayungi dan memiliki daya heuristik untuk menjelaskan sub-kajian etika yang sifatnya lebih terapan (applied ethics) seperti cyber ethics, social media ethics, computer ethics, virtual ethics, bahkan sampai AI ethics.

Information ethics, demikian klaim Floridi (2013), mampu mentransformasi empat paradigma etika makro sebelumnya, seperti virtue ethics dari Aristoteles, deontologi dari Immanuel Kant, utilitarianisme dari JS Mill, dan kontraktualisme dari John Rawls.

Analisis singkat tentang Etika Informasi dari Floridi
Dalam Ethics of Information (2013), Floridi mengkritik empat paradigma etika makro (virtue ethics, konsekuensialisme, kontraktualisme, dan deontologi) yang dianggap tidak cukup menjelaskan masalah yang muncul di era internet. Menurutnya, information ethics lebih fundamental karena memandang “being” (ada) sebagai informasi. Dalam konteks pemahaman Floridi, informasi cenderung menuju entropi atau kekacauan, sesuai dengan hukum termodinamika kedua.

Floridi berargumen bahwa pada era digital, informasi menjadi entitas sentral yang mendefinisikan realitas (disebutnya sebagai Infosphere). Ia menekankan bahwa etika informasi tidak hanya tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan informasi, tetapi juga bagaimana informasi itu sendiri membentuk keberadaan (being) dan realitas. Pokok ini menjadi relevan ketika kita membahas etika ruang siber dan virtual, yang di dalamnya informasi dianggap sebagai inti dari semua interaksi.

Mengapa etika informasi penting untuk memahami etika siber dan virtual?
Ketika membahas etika siber dan virtual, juga etika media sosial, kita tidak dapat melepaskan diri dari peran informasi sebagai pondasi utamanya. Ruang siber dan virtual adalah ruang yang dibangun oleh aliran informasi, dan media sosial adalah platform yang memfasilitasi produksi, distribusi, serta konsumsi informasi. Floridi menawarkan perspektif bahwa etika informasi adalah kerangka yang tepat untuk memahami kompleksitas ini.

Ia menggarisbawahi pandangan yang menyatakan bahwa informasi tidak hanya bersifat netral, tetapi juga memiliki dampak moral. Misalnya, penyebaran informasi palsu (hoax) di media sosial tidak hanya merugikan individu, tetapi juga mengganggu tatanan sosial. Dengan memahami etika informasi, kita dapat mengidentifikasi bagaimana informasi digunakan, disalahgunakan, atau dimanipulasi dalam ruang siber dan virtual.

Diskusi dan Pertanyaan
Sampai di sini, apakah teman-teman sekalian sudah memahami landasan etis mengapa information ethics dipilih sebagai paradigma macro-ethics terkini untuk menjelaskan fenomena digitalitas? Mari kita lanjutkan dengan diskusi dan pertanyaan sebelum bertolak ke bagian berikutnya.