Categories
Uncategorized

Refleksi Personal atas Sesi 04 Perkuliahan Metode Penelitian Kualitatif: FENOMENOLOGI

Pada kesempatan kali ini, saya akan merefleksikan Sesi 04 perkuliahan Metopelkul, yang berlangsung secara on-site pada Kamis, 29 Februari 2024.

Refleksi diawali dengan membeberkan tiga Pre-teaching quotes berikut ini:

[Pertama]
Memasuki minggu (sesi) kajian metode Fenomenologi dalam Riset Ilmu Komunikasi, saya merasa tertantang sekaligus terhibur. Tertantang pada level personal sekaligus profesional karena metode Fenomenologi saya gunakan dalam penelitian disertasi saya sehingga muncul rasa kedekatan (intimate familiarity) ketika mengajarkan metode ini kepada para mahasiswa, secara langsung (on-site) maupun secara tidak langsung (termediasi surel). Terhibur karena saya merasa setidaknya ada legasi intelektual yang ikut mewarnai kehadiran saya dalam pengajaran di SC-UMN pada semester ini.

Selain itu, saya juga terhibur karena bertunasnya harapan bahwa metode fenomenologi akan terus berlanjut digunakan sebagai salah satu metode alternatif ‘yang kuat dan menyejarah dalam penelitian Komunikasi’ (lih. Sturgess, 2018), pada jenjang Sarjana (S1).

[Kedua]
Tidak banyak pemikir sosial yang menganalisis secara cermat dan historis hubungan antara Fenomenologi dengan Teori-teori Sosial. Salah satu pemikir sosial yang memikirkan dan menuliskan soal ini adalah Harvie Ferguson, Profesor Sosiologi dari Universitas Glasgow. Baginya, Fenomenologi merupakan sebuah aliran berpikir yang lahir dari rahim modernitas Eropa pasca-Pencerahan, khususnya post-Hegelian modernity, yang memuliakan pengalaman langsung dan kesadaran sebagai stream of consciousness, di atas sistem atau kategori berpikir (German rationalism and idealism), atau pengalaman observasional (British empiricism).

Ada dua kesimpulan awal yang ditarik Ferguson dari telaahnya tentang asal-usul Fenomenologi, yang bertolak dari pemikiran René Descartes, yaitu (a) modernity simply means the sovereignty of experience (ini merupakan cara Husserl membaca radikalitas metode Descartes yang menolak sumber-sumber otoritas pengetahuan tradisional, termasuk Gereja dan para filsuf Abad Pertengahan), dan (b) Dualisme antara subjek dan objek, termasuk di dalamnya penemuan subjektivitas, merupakan pondasi berpikir modern yang memuncak dalam Fenomenologi.

Berbeda dari Husserl yang sibuk untuk kembali pada eksistensi primordial kesadaran (murni), yang terbebas dari noda-noda pengandaian dan pembentukan sejarah atasnya, Alfred Schutz justru memandang “dunia sosial sebagai kenyataan yang sepenuhnya ditafsirkan.” Fenomenologi Schutz tidak bertolak dari penarikan diri (withdrawal) atau pengurungan asumsi-asumsi (epoché), tapi justru “complicit affirmation of social life as a paramount reality: `The world of everyday life is…man’s fundamental and paramount reality” (Schutz & Luckmann, 1973, h. 3).

Dari eksplikasi teoritis singkat di atas, pembelajar pemula Fenomenologi dapat melihat bahwa tidak ada rumusan tunggal tentang apa itu Fenomenologi, kapan persisnya ia dimulai (sebagai sebuah aliran atau moda berpikir), dan konsep-konsep sentral seperti apa yang keberlakuannya dianggap ajeg dan berterima, contohnya, epoché.

Rujukan: Ferguson, H. (2001). Phenomenology and social theory. Dalam Ritzer, G. & Smart, B. (eds.) Handbook of Social Theory (h. 232-248). London: Sage.

[Ketiga]
Doing phenomenology tidak dapat dilepaskan dari keterampilan peneliti untuk ‘menyingkapkan yang sulit untuk dikatakan’ dengan ‘menggunakan dan dalam bahasa.’ Bagi Sheets-Johnstone (2017, h. 6), hal yang memungkinkan semua kajian fenomenologi berlangsung dan berkembang sudah selalu terkait dengan bahasa, yaitu bagaimana membuat yang terasa akrab, dekat dan sehari-hari, menjadi ‘asing’ (making the familiar strange), sekaligus bagaimana menghadapi tantangan pengalaman berbahasa (languaging experience).

Dalam penulisan fenomenologis, relatif jarang terjadi peneliti secara cepat mampu mendeskripsikan fenomena (yang tampak atau hadir) menggunakan kata-kata. Ia harus membiarkan pengalaman berbahasanya ‘melantur dari gudang perbendaharaan kosakata yang klisé’ lalu terdampar di pelataran bahasa yang poetic agar ia dapat ‘menangkap fenomena yang membetot perhatiannya secara descriptively exacting ways.’

Rujukan: Sheets-Johnstone, M. (2017). In Praise of Phenomenology. Phenomenology & Practice, 11(1), 5-17.

Post-teaching quotes (based on class activity-reflection)

[Pertama]
Berdasarkan presentasi kelompok tentang metode Interpretative Phenomenological Analysis (IPA), terlihat bahwa penguasaan kelompok atas materi review artikel jurnal kurang terfokus pada bagian Metodologi (hanya muncul pada slides no. 6-7 dan 15 pada draf dan itu pun masih kurang elaboratif). Penjelasan kelompok justru ‘terbawa’ (carried away) pada topik atau konten yang diangkat tim penulis artikel pertama maupun kedua, padahal substansi materi yang diangkat penulis artikel 1 & 2 lebih condong pada ‘deskripsi psikologis’ (psychological states), misalnya: rasa sakit yang bersifat non bio-medis & eksperiensial: the meaning of pain, painting pain & unhomelikeness; alih-alih pola komunikasi, atau pertukaran makna simbolis.

[Kedua]
Berdasarkan presentasi kelompok tentang metode Fenomenologi Praktik terlihat bahwa kelompok belum cukup dalam menggali faktor-faktor kekuatan dan kelemahan dari metode Fenomenologi Praktik ketika digunakan untuk meneliti masalah-masalah “Komunikasi.” Baru dalam sesi tanya jawab hal ini diangkat oleh dosen dan dipikirkan (kemudian dijawab) oleh anggota kelompok. Kelompok belum melakukan refleksi: what it means to do phenomenology.

Artikel jurnal internasional [bertajuk Conducting phenomenological research: Rationalising the methods and rigour of the Phenomenology of Practice karya Errasti-Ibarrondo, dkk., 2018] yang menjadi salah satu rujukan utama tinjauan kelompok, bersifat method discussion. Artinya, tim penulis artikel ini membahas sejumlah cara yang mungkin untuk menerapkan metode Fenomenologi Praktik van Manen dalam beragam kemungkinan topik, setting, pengalaman, dan disiplin/sub-disiplin keilmuan sosial.

Sebagaimana ditegaskan Errasti-Ibarrondo, dkk. pada bagian kesimpulan tulisan mereka, “dilihat dari sudut pandang Vanmanian, ‘penelitian’ dalam fenomenologi berarti ‘melakukan refleksi’ dan berefleksi artinya ‘menulis’ […] riset yang didasarkan pada metode fenomenologi hermeneutik pada dasarnya adalah suatu kegiatan menulis. Riset dan penulisan adalah aspek-aspek dari proses yang satu dan sama” (van Manen, 2015, h. 7; 2014, h. 389).

[Ketiga]
Pada hari Jumat, 1 Maret 2024, pukul 13.30-15.30 WIB, Hendar membagikan refleksinya tentang “penelitian Komunikasi yang menggunakan Metode Fenomenologi: IPA dan Praktik” kepada empat orang mahasiswa SC & Jurnalistik yang sedang mengambil & mengerjakan Skripsi. Ini sebuah pengalaman outside-classroom on-site focused sharing session yang menarik dan baru bagiku. Ada beberapa pokok insight yang kubagikan pada mereka ketika mereka (mau) menggunakan metode Fenomenologi dalam penelitian ilmu Komunikasi:

a) The interconnectedness of lives’ dimensions: bahwa personal lives dan professional lives itu, meskipun berbeda (distinct), tapi tidak dapat dipisahkan ketika peneliti mau menggali pengalaman hayati para Narasumber untuk topik penelitian apapun, selama penelitian Komunikasi tersebut masih masuk dalam ‘kategori’ human communication (bukan CMC atau HCI, misalnya).

b) Focus on lived experiences of the informants/participants: Dengan segala lapis dan keragaman konteks identitas mereka, pengalaman hayati calon Narsum perlu diberi perhatian yang lebih besar ketika peneliti merumuskan pertanyaan penelitian dan pertanyaan wawancara. Contohnya, alih-alih bertanya seperti ini: “Apa pendapat Narasumber tentang masalah lingkungan, dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut?” >>> perlu dirumuskan ulang menjadi, misalnya, “Apakah Anda pernah punya pengalaman membuang sampah?” Penggaliannya: “Apakah sampah yang Anda buang itu sampah rumah tangga?” Lalu, pertanyaan susulannya: “Jika itu sampah rumah tangga, apakah Anda memilah-milahnya terlebih dulu sebelum dibuang ke kotak sampah (dalam rumah & luar rumah)?”

c) Establish rapport: Peneliti tidak perlu ragu dan malu untuk melakukan profiling calon Narasumber terlebih dulu, khususnya profiling identitas dan aktivitas mereka (pada situs-situs yang datanya dapat diakses, alias tidak di-protect) yang dianggap relevan dengan topik yang mau diteliti, apalagi kalau mereka public figures yang cukup terkenal/luas diliput media. Profiling awal dari calon Narasumber ini dapat menjadi jembatan komunikasi sederhana yang memudahkan dan memuluskan relasi peneliti dengan Narsum mengingat ada rongak (gap) pengalaman, usia, status sosial, dll. yang memisahkan peneliti dengan Narsum. Rongak ini perlu segera dijembatani. Kalau tidak, hasilnya awkward conversation atau jawaban yang diperoleh cenderung ‘normatif’ saja.

Categories
Uncategorized

Refleksi Personal atas Sesi 03 Perkuliahan Metode Penelitian Kualitatif: Ethnography

Sesi 03 perkuliahan Metopelkul berlangsung secara on-site pada Kamis, 22 Februari 2024, pukul 11.00 – 13.45 WIB, di ruang D0805.

Pre-teaching quotes:

1) Semakin jauh dan dalam memasuki ‘rimba belantara’ Metode Penelitian Kualitatif (dengan beragam variannya), semakin saya disadarkan untuk mengecek kembali tiga aspek berikut: (a) kesiapan mental (disposition); (b) necessary tools to bring and use along the exploration; dan (c) exit strategy kalau sampai stuck di tengah jalan. Aspek yang pertama berurusan dengan uji mental dan ketangguhannya, sementara aspek kedua dan ketiga lebih berurusan dengan research design(s): seberapa solid dan komplit.

Seorang teman baik saya yang baru saja menyelesaikan Studi Doktoralnya pada STF Driyarkara tahun 2023 lalu dan sering diundang menjadi penguji ahli untuk memeriksa laporan riset para peneliti keilmuan sosial dan kajian feminis di kampus tempat saya mengambil studi Doktoral sekarang (Universitas Indonesia), sebut saja namanya mbak RI-01 [tapi dia gak nyaleg lho ya!], chat saya dan mengatakan bahwa “saya melihat penyakit-penyakit ini di kalangan akademisi kita: pertama, fenomena direduksi jadi kasus; kedua, mereka pada umumnya tidak bisa membedakan pendekatan holistik, eklektik dan totality; ketiga, semua analisis sosial direduksi menjadi analisis kebijakan sehingga yang dipentingkan dan diberi prioritas untuk digolkan adalah rekomendasi teknokratis, dan bukan ditarik ke akarnya yaitu filsafat ilmu.”

Saran ‘praktis’ darinya adalah untuk memahami desain riset kualitatif dalam rumpun ilmu-ilmu sosial secara mumpuni, seorang peneliti wajib membaca dan memahami Filsafat Ilmu (Philosophy of Knowledge), khususnya filsafat ilmu-ilmu sosial (philosophy of social sciences). Metode penelitian ilmu sosial yang begitu beragam itu perlu dirujukkan pada Filsafat Ilmu yang mendasarinya agar si peneliti tidak mudah terombang-ambing gelombang lautan keragaman entitas pendekatan atau varian metode yang ujung-ujungnya dapat menghasilkan bongkah keraguan yang akut bahkan disorientasi.

Kabar baiknya, ya, [monologue starts] sebaiknya memang jangan pernah berhenti berharap dan berikhtiar untuk masalah sepelik ini [monologue ends], saya sudah mengumpulkan (tepatnya: mengunduh) delapan belas (ya, 18!) buku-buku yang membahas tentang filsafat ilmu-ilmu sosial yang terbit sejak 1995-1996, yaitu Philosophical Foundations of the Social Sciences: Analyzing Controversies in Social Research (Harold Kincaid, 1995) dan An Introduction To The Philosophy Of Social Research (Malcolm William, 1996) sampai yang baru saja terbit tahun lalu (2023), yaitu Philosophy of Social Science: Philosophical Foundations of Social Thought, 3E. (Ted Benton & Ian Craib, 2023), Perspectivism: A Contribution to the Philosophy of the Social Sciences (Kenneth Smith, 2023) dan Philosophy of Social Science A Contemporary Introduction, 2nd Ed. (Mark Risjord, 2023).

Semoga buku-buku yang sudah saya unduh ini (tapi dibaca lho ya, jangan cuman terpapar the thrill of book downloading aja!), dapat membantu saya untuk menjelajahi keluasan dan kedalaman akar-akar dari keragaman metode kualitatif yang ada dan digunakan sekarang, menemukan signposts yang bermakna untuk diterjemahkan menjadi practical insights and guidelines bagi para mahasiswa di kelas yang saya ajar semester ini, serta tentu saja menjadi constructive inputs untuk revisi Bab Kerangka Teori Disertasi yang sedang coba saya rumuskan ‘secara baru’ pada bulan Februari dan Maret 2024 ini. Gitu ya!

2) Salah satu isu yang mengemuka dalam perkembangan metode Etnografi dalam Riset Kualitatif adalah bagaimana mengakomodasi munculnya atau mentasnya “Yang Virtual / Yang Digital” berkat adanya infrastruktur teknologi baru (abad XXI) bernama Internet. Sejumlah ahli menyebut perkembangan dalam metode Etnografi terbaru ini dengan beragam sebutan, di antaranya virtual ethnography (Christine Hine, 2000), Netnography (Robert V. Kozinets, 2010), ethnography and virtual worlds (Tom Boellstorff, 2012), dan digital ethnography (John Postill, Jo Tacchi, Heather Horst, Tania Lewis, Larissa Hjorth, & Sarah Pink, 2015).

Sosiolog kontemporer bernama Peter Forberg & Kristen Schilt (2023) mengajukan definisi yang khas tentang pendekatan ‘etnografi digital’ dengan cara membandingkannya dengan ‘etnografi analog,’ sbb.: “Digital ethnographic approaches could include participant observation in virtual or online communities, as well as interactions that bridge on- and offline worlds, such as hack-a-thons, esports tournaments, or workplace information systems…we see value in considering digital ethnography as a distinct mode of ethnographic research that could be used alongside or in lieu of ethnography conducted solely in physical, in-person settings—what we will call “analog ethnography.” Digital ethnography also offered hope of faster and more efficient data collection for researchers worried about the slower tempo of in-person research.

Uniknya, alih-alih memuji kekhasan Etnografi analog/tradisional yang penelitinya memang menginvestasikan waktu secara khusus dan extended untuk tahap pengumpulan data (misalnya, dengan immersion, live-in, dll.) sehingga mereka mendapatkan deskripsi yang kaya dan mendalam (thick description) tentang perilaku ethnos atau kelompok sosial/budaya yang diamati, etnografi digital justru memberikan tekanan pada pengumpulan data yang lebih cepat dan efisien bagi etnografer yang mengambil pendekatan ini (dan yang risau dengan tempo lambat dari penelitian in-person). Pertanyaan kritisnya di sini: Apakah ‘pengumpulan data dalam waktu yang lebih cepat’ akan menjadi trend & hallmark dari etnografi masa depan yang meneliti lebih banyak kelompok sosial/budaya yang pola-pola komunikasi dan gugus interaksi intra- dan inter- anggotanya semakin terhubung lewat internet (mediatized)?

Rujukan:
Forberg, P., & Schilt, K. (2023). What is ethnographic about digital ethnography? A sociological perspective. Frontiers in sociology, 8, 1156776. https://doi.org/10.3389/fsoc.2023.1156776

3) Being listened to, appreciated and understood is a sure “path” [μέθοδος: μετά + ὁδός (in pursuit of a method, system, a way, or manner of doing, saying, etc.)] to strive for excellence and to understand how things work out the way they are.

Bonus:
bagan yang disusun Blaikie (2010, h. 33) ini sangat baik (lengkap dan solid) untuk memahami prosedur serta bagan alir dari desain riset kualitatif sejak hulu sampai ke hilir tanpa harus terjebak menjadi HILIRISASI!

Categories
Uncategorized

Refleksi Personal atas Sesi 02 Perkuliahan Metode Penelitian Kualitatif: CASE STUDY

Pertemuan 02 [seharusnya berlangsung pada Kamis, 8 Februari 2024, tapi karena ada libur nasional memperingati Isra Miraj, maka pelaksanaannya menjadi KP atau Kelas Pengganti. Sampai hari ini, 16 Feb 2024, belum kunjung tercapai kesepakatan dengan kelas dan dengan sistem my.umn.ac.id terkait jadwal KP Week 2 ini. Pengajuan awal KP oleh dosen pengampu pada Jumat, 16 Feb 2024 pukul 11-14 ditolak oleh sistem karena clash dengan 20% lebih jadwal mahasiswa yang enrolled di kelas yang saya ampu.]

Pre-teaching quotes

1) Saya merasa ada baiknya sebelum mulai mengajar atau bertindak sebagai dosen pengampu mata kuliah yang sama sekali baru, seperti Metopelkul atau MPK 2 ini, saya belajar dari dosen-dosen senior yang pernah mengampu mata kuliah ini pada semester-semester sebelumnya. Satu jam sebelum masuk kelas pada pertemuan pertama kemarin, saya bertanya pada seorang dosen senior pengampu mata kuliah ini, permasalahan-permasalahan apa yang biasa dijumpai oleh para dosen pengampu kelas Metopelkul terkait mahasiswa. Menurut beliau, ada 3 masalah utama yang biasanya dijumpai oleh dosen pengampu Matkul Metopelkul ini, yaitu a) Mahasiswa kurang membaca rujukan yang diberikan/disarankan dosen. Kalaupun membaca, mereka kurang cermat dan tidak tuntas membaca rujukannya; b) Mahasiswa cenderung tidak dapat merumuskan masalah penelitian Komunikasi secara akurat. Data, Fakta, dan Fenomena cukup sering disamakan dengan ‘masalah.’ Kemudian, itu yang dipakai sebagai ‘Rumusan Masalah Penelitian;’ dan c) Mahasiswa biasanya mengalami kebingungan ‘mau ngapain’ dengan metode penelitian kuali tertentu yang sudah mereka pilih (misalnya: Fenomenologi). Artinya, terjadi kebingungan ganda mulai dari bingung ‘merumuskan masalah’ dan bingung mau apa dengan ‘alat’ (metode) ini untuk ‘memecahkan’ masalah itu.

2) Salah satu definisi tentang Riset Kualitatif yang cukup ekstensif dan bernas yang pernah saya baca dan saya amini ‘kebenarannya’ adalah sbb.: “Qualitative research is a situated activity that locates the observer in the world. Qualitative research consists of a set of interpretive, material practices that make the world visible. These practices transform the world. They turn the world into a series of representations, including field notes, interviews, conversations, photographs, recordings, and memos to the self. At this level, qualitative research involves an interpretive, naturalistic approach to the world. This means that qualitative researchers study things in their natural settings, attempting to make sense of or interpret phenomena in terms of the meanings people bring to them” (Denzin dan Lincoln, 2017, h. 43; bold & italic ditambahkan oleh Hendar Putranto untuk memberi penekanan). >>>

Rujukan: Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (Eds.). (2017). The sage handbook of qualitative research. (5th ed.). London: Sage Publications.

Yang saya sukai dari kutipan ini dan bagaimana kutipan ini cocok dengan pandangan saya sendiri selaku seorang periset kualitatif adalah tekanan yang diberikan Denzin dan Lincoln pada ‘pendekatan interpretif dan alamiah terhadap dunia…yang di dalamnya orang-orang memberikan makna atas fenomena’ berkenaan dengan riset kualitatif. Tanpa bermaksud mengecilkan peran dan pentingnya aneka pendekatan yang ada dan berkembang dalam Riset Kualitatif, tekanan yang diberikan Denzin dan Lincoln dalam kutipan di atas seperti membawa saya kembali pada fokus metode penelitian yang saya gunakan dalam disertasi saya, yaitu Fenomenologi Praktik, yang terinspirasi dan menggabungkan secara kreatif pendekatan Fenomenologi Husserl (yang lebih deskriptif dan transendental) dengan Fenomenologi Heidegger (yang lebih reflektif/interpretif dan ontologis). Hal ini tersurat dalam judul buku yang ditulis oleh Max van Manen, salah seorang tokoh besar yang berjasa mengembangkan metode Fenomenologi Praktik, yaitu Phenomenology of Practice: Meaning-Giving Methods in Phenomenological Research and Writing (terbitan pertama oleh Left Coast Press, 2014; Terbitan berikutnya, penerbitnya sudah ganti jadi Routledge, 2016. Edisi kedua diterbitkan oleh Routledge, 2023).

Seperti ditegaskan van Manen (2023) dalam Preface edisi kedua bukunya, “Fenomenologi itu bukan sekadar perspektif filosofis, tapi juga sumber dari upaya mempertanyakan makna hidup sebagaimana kita jalani serta kodrat dari tanggungjawab untuk mengambil tindakan dan putusan personal…tidak ada yang lebih berarti daripada pencarian akan makna, misteri makna, asal-usul makna dan bagaimana makna bisa sampai muncul, sekaligus makna tanggungjawab kita pada Liyan dan pada dunia organik, material dan teknologis yang di dalamnya kita bermukim. Fenomenologi tidak lain daripada takjub, kata-kata, dan dunia.”

3) Tegangan menghidupi nilai-nilai sentral yang personal dalam dunia nilai pedagogik yang serba plural: antara Otonomi, being assertive, dan keterbukaan untuk berdialog. Pokok ini dipicu oleh kesulitan yang saya alami untuk mengajukan KP kelas Metopelkul Week 2 (karena ada libur nasional yang jatuh bertepatan dengan hari perkuliahan). Sebagai dosen lama yang sudah 4,5 tahun tidak mengajar (dalam arti mengampu kelas), saya terkaget-kaget karena sistemnya sudah berubah. Kalau tadinya pengajuan KP merupakan hak prerogatif dosen, mahasiswa tinggal ngikut, sekarang situasinya sudah berubah. Ada artificial moral agents dalam arti sistem teknologis yang terlibat di dalam pengajuan dan penentuan jadwal KP, yaitu my.umn.ac.id., khususnya Class Meeting Reschedule Application Form, yang salah satu klausulnya (1 dari 6) berbunyi sbb.: The number of students whose timetable clashed due to the rescheduling cannot exceed 20% of the class capacity.

Walhasil, karena ada aturan ‘baru’ ini, paradigma multi stakeholder (dalam pengertian Dodds, 2015)
[Lihat: https://www.sciencedirect.com/topics/social-sciences/multi-stakeholders “Multi-stakeholder means the stakeholders who are working together to find a collective solution for a certain problems, including governments, regional groups, local authorities, non-governmental actors, international institutions and private sector partners (Dodds, 2015).”]

jadi berbunyi lebih kencang karena pencarian ‘solusi kolektif atas masalah bersama’ kini bukan hanya meletak di tangan (kendali) (*) dosen pengampu kelas, tapi juga (**) mahasiswa yang terdaftar sebagai peserta kelas dan
(***) ketersediaan ruangan KP yang dikawal atau difasilitasi oleh sistem teknologis.

Refleksinya adalah bahwa kesediaan dan keterbukaan saya sebagai dosen pengampu kelas untuk berdialog terus-menerus dengan orang (mahasiswa peserta kelas) dan dengan benda/sistem teknologis menjadi sebuah prasyarat ‘performativitas’ (get things done as targeted) dalam lingkungan pendidikan yang semakin bercorak tekno-sains.

Post-teaching quotes (based on class activity-reflection)

1) Robert E. Stake, salah seorang tokoh penggagas dan pengegas pendekatan studi kasus dalam riset kualitatif, khususnya dalam rumpun keilmuan Pendidikan dan Evaluasi Kurikulum, pernah menuliskan kalimat (claim) yang layak untuk terus diingat dan dijadikan kredo bagi para peminat dan penggiat studi kasus, sbb.: “case studies will often be the preferred method of research because they may be epistemologically in harmony with the reader’s experience and thus to that person a natural basis for generalization…our methods of studying human affairs need to capitalize upon the natural powers of people to experience and understand (Stake, 1978, h. 5)”
Rujukan: Stake, Robert E. (1978). The Case Study Method in Social Inquiry. Educational Researcher, 7(2), 5-8. http://www.jstor.org/stable/1174340.

Meskipun kutipan di atas sudah “berumur” 46 tahun per tahun ini (2024), tapi kebenarannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Apalagi, dalam kutipan ini, Stake memberikan tempat sentral bagi ‘pengalaman dan pemahaman’ sebagai basis alamiah bagi seseorang, termasuk di sini peneliti (researcher, scientist), untuk melakukan generalisasi atas ‘temuan’-nya. Mengapa? Secara epistemologis, studi kasus cenderung nyambung dan selaras dengan (in harmony with) pengalaman pembaca. Tidak mengherankan kalau studi kasus pernah dan masih akan terus menjadi salah satu pendekatan favorit untuk melakukan riset kualitatif (all-time favorites).

2) Methods, matters! Manners, matters too!

Hal yang tidak capek-capeknya saya serukan kepada teman-teman muda Gen Z ini, baik dalam berkorespondensi (lewat surel terutama), berinteraksi interpersonal secara termediasi (lewat WhatsApp), maupun pada saat menyampaikan presentasi kelompok. Keberadaan aneka tugas dan sejumlah panduan instruksional pengerjaannya hendaknya tidak mem-baal-kan kehalusan budi (sensitivity) para (calon) peneliti belia untuk tetap mempertahankan kesantunan dalam bertutur kata, bertanya, dan menyampaikan gagasan. Jangan sampai baru mau mulai melakukan penelitian, karena salah ucap dan kurang santun dalam sapaan (misalnya, impersonalistik dalam tonasi atau terlalu straight-forward, sok kenal sok akrab), eh sudah langsung ditolak sama Narasumber potensial karena mereka merasa kurang nyaman dengan approach yang ditunjukkan si (calon) peneliti belia.

3) Dalam skema penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen inti dari penelitian, bukan perkakas atau alat-alat yang dibawanya. Justru karena itulah keluwesan (flexibility) dan kemampuan beradaptasi (adaptability) dengan pelbagai konteks yang berbeda-beda yang menaungi situ dan locus penelitiannya menjadi karakteristik utama dari seorang peneliti kualitatif.

Terlebih dalam pendekatan studi kasus, terutama yang berhaluan konstruktivis seperti yang diajukan dan dikembangkan Robert E. Stake sejak akhir tahun 1970-an, kemampuan peneliti untuk beradaptasi dengan luwes dan be a good team player (dalam suatu tim kolaborasi peneliti) sudah merupakan kodrat yang perlu dipeluk dengan gembira dan dijalani dengan penuh komitmen.

Categories
Uncategorized

Refleksi personal atas Sesi 01 Pengajaran MatKul Metode Penelitian Kualitatif

Refleksi Personal atas Sesi 01 Perkuliahan
[Kamis, 1 Februari 2024]

Pre-teaching quotes

1) Jika paradigma adalah suatu cara untuk melihat permasalahan (realitas), maka metode merupakan cara yang spesifik untuk mendekati masalah (realitas) tersebut.
2) Ketika saya (kami) memahami metode sebagai ‘jalan untuk mendekati masalah,’ maka terlihat ada banyak jalan masuk dan tentu saja ada banyak jalan keluar dari masalah yang didekati tersebut. Jadi, ada banyak jalan menuju “ROMA.”
3) Orang yang memahami mengapa-nya sesuatu (terjadi), hampir selalu dapat menemukan dan memikul aneka ‘bagaimana’ yang menyertai pemahaman tertentu atas mengapa-nya sesuatu (terjadi) tersebut.

Catatan pelengkap dari tiga kutipan di atas:
1) Paradigm comes from Greek παράδειγμα (paradeigma); “pattern, example, sample”; from the verb παραδείκνυμι (paradeiknumi); “exhibit, represent, expose”; and that from παρά (para); “beside, beyond”; and δείκνυμι (deiknumi); “to show, to point out”.
Method (Ancient Greek: μέθοδος, methodos, from μετά/meta “in pursuit or quest of” + ὁδός/hodos “a method, system; a way or manner” of doing, saying, etc.), literally means a pursuit of knowledge, investigation, mode of prosecuting such inquiry, or system.
problem (n.); late 14c., probleme, “a difficult question proposed for discussion or solution; a riddle; a scientific topic for investigation,” from Old French problème (14c.) and directly from Latin problema, from Greek problēma “a task, that which is proposed, a question;” also “anything projecting, headland, promontory; fence, barrier;” also “a problem in geometry,” literally “thing put forward,” from proballein “propose,” from pro “forward” (from PIE root *per- (1) “forward”) + ballein “to throw” (from PIE root *gwele- “to throw, reach”).
3) bandingkan dengan aforisme yang disampaikan filsuf Friedrich Nietzsche dalam bukunya, Die Götzen-Dämmerung (Twilight of the Idols): “He who has a why to live for can bear almost any how.” [Hat man sein warum? des Lebens, so verträgt man sich fast mit jedem wie? >> << He who has a Why? in life can tolerate almost any How? dari Maxims and Arrows, 12], sebagaimana diterjemahkan oleh pemikir eksistensial, Viktor Frankl, dalam adikaryanya, Man’s Search For Meaning (1946). Lihat: https://en.wikiquote.org/wiki/Friedrich_Nietzsche

Post-teaching quotes (based on class activity-reflection)

1. Mencoba kembali masuk dalam lived experience of teaching in the classroom. It feels good, a little bit awkward at first, but then I got the vibe and run smooth alias omon-omon jadi lancaaar. Kontrak perkuliahan memang ada yang bersifat umum (nomothetic) tapi ada juga yang bersifat khusus (idiographic) dan keberlakuannya hanya ada di kelas yang kuampu saja, khususnya dalam hal penggunaan gawai selama berada di dalam kelas dan mengikuti perkuliahan. Bukan hanya “With great power there must also come great responsibility” (Spiderman) tapi “Openness & becoming-in-dialogue is a strength, not a weakness.”

2. Bertolak dari pertanyaan mahasiswa di kelas (CA)
Berasumsi (unwarranted assumptions) itu tidak baik-baik saja dalam kerangka menjadi pembelajar metode riset kualitatif. Lebih baik kita menunda berasumsi apriori dan lebih mendahulukan sikap “nanti saya cek lagi betul tidaknya (kejadian/fenomena itu).” Keberanian untuk menunda penilaian dan putusan berdasarkan data yang belum cukup dan temuan yang masih sumir adalah sebuah sikap moral moderasi yang amat dianjurkan untuk diadopsi para novice researchers.

3. Bagaimana membedakan paradigma dengan metode dapat diibaratkan seperti (a) pegang tumbler dengan etched name di baliknya, dan (b) menyentuh dan/atau menaiki gajah. We can never arrive at the WHOLE of Reality. What we get is just a glimpse, partial view of reality. Padahal ini untuk objek ‘penelitian berbasis pengindraan empiris’ yang amat terbatas, yang menempati ruang-waktu tertentu dan terbatas. Apalagi untuk ‘objek-objek penelitian berbasis di luar pengindraan empiris’ yang lebih makro dan kompleks, seperti, persepsi akan korupsi, indeks demokrasi, keadilan gender, diskriminasi ras, integritas moral, well-being, tingkat kebahagiaan masyarakat, dsb.

Categories
Uncategorized

rujukan bacaan utk mendalami metode Fenomenologi dalam Riset Komunikasi

Recommended readings on Phenomenology as Research Methods for Communication Scholarship & Social Sciences

Berikut disampaikan daftar rujukan artikel jurnal dan lema Ensiklopedi tentang Metode Penelitian Kualitatif (Qualitative Research Methods) yang membahas pendekatan Fenomenologi dalam Riset Komunikasi, Media, dan Ilmu-ilmu Sosial, sejak 1975-2023

A Phenomenology Collective. (2020). Cultivating Activism in the Academy: A Deleuzoguattarian Exploration of Phenomenological Projects. Qualitative Inquiry, 26(5), p514. DOI: 10.1177/1077800419836692

Alsaigh, R., & Coyne, I. (2021). Doing a Hermeneutic Phenomenology Research Underpinned by Gadamer’s Philosophy: A Framework to Facilitate Data Analysis. International Journal of Qualitative Methods, 20. https://doi.org/10.1177/16094069211047820

Arnett, R. C. (2017). Phenomenology. Dalam Matthes, J., Davis, C. S. & Potter, R. F. (Tim Penyunting). The International Encyclopedia of Communication Research Methods. John Wiley & Sons, Inc. DOI: 10.1002/9781118901731.iecrm0186

Burns, M., Bally, J., Burles, M., Holtslander, L., & Peacock, S. (2022). Constructivist Grounded Theory or Interpretive Phenomenology? Methodological Choices Within Specific Study Contexts. International Journal of Qualitative Methods, 21. https://doi.org/10.1177/16094069221077758

Cudjoe, E. (2023). Making Sense of Husserlian Phenomenological Philosophy in Empirical Research. International Journal of Qualitative Methods, 22. https://doi.org/10.1177/16094069231171099

Dahlberg, H., & Dahlberg, K. (2020). Open and Reflective Lifeworld Research: A Third Way. Qualitative Inquiry, 26(5), 458-464. https://doi.org/10.1177/1077800419836696

Emiliussen, J., Engelsen, S., Christiansen, R. & Klausen, S. H. (2021). We are all in it!: Phenomenological Qualitative Research and Embeddedness. International Journal of Qualitative Methods, 20. DOI: https://doi.org/10.1177/1609406921995304

Finlay, L. (2012) ‘Writing the Pain’: Engaging First-Person Phenomenological Accounts. Indo-Pacific Journal of Phenomenology, 12:sup2, 1-9. DOI: 10.2989/IPJP.2012.12.1.5.1113

Finlay, L. (2013). Unfolding the Phenomenological Research Process: Iterative Stages of “Seeing Afresh”. Journal of Humanistic Psychology, 53(2), 172-201. https://doi.org/10.1177/0022167812453877

Fish, S. L. & Dorris, J. M. (1975). Phenomenology and communication research. Journal of Applied Communication Research, 3(1), 9-26. DOI: 10.1080/00909887509360206

Frechette, J., Bitzas, V., Aubry, M., Kilpatrick, K., & Lavoie-Tremblay, M. (2020). Capturing Lived Experience: Methodological Considerations for Interpretive Phenomenological Inquiry. International Journal of Qualitative Methods, 19. https://doi.org/10.1177/1609406920907254

Giorgi, A. (2012). The Descriptive Phenomenological Psychological Method. Journal of Phenomenological Psychology, 43, 3–12. DOI: 10.1163/156916212X632934

Groenewald, T. (2004). A Phenomenological Research Design Illustrated. International Journal of Qualitative Methods, 3(1), 42-55. DOI: 10.1177/160940690400300104

Halling, S. (2012). Teaching Phenomenology through Highlighting Experience, Indo-Pacific Journal of Phenomenology, 12:sup3, 1-6. DOI: 10.2989/IPJP.2012.12.3.5.1113

Haynes, W. L. (1988). Of that which we cannot write: Some notes on the phenomenology of media. Quarterly Journal of Speech, 74(1), 71-101. DOI: 10.1080/00335638809383829

Holroyd, C. (2001). Phenomenological Research Method, Design and Procedure: A Phenomenological Investigation of the Phenomenon of Being-in-Community as Experienced by Two Individuals Who Have Participated in a Community Building Workshop. Indo-Pacific Journal of Phenomenology, 1(1), 1-10. DOI: 10.1080/20797222.2001.11433859

Kirova, A. & Emme, M. (2006). Using Photography as a Means of Phenomenological Seeing: “Doing Phenomenology” with Immigrant Children. Indo-Pacific Journal of Phenomenology, 6:sup1, 1-12. DOI: 10.1080/20797222.2006.11433934

Koro-Ljungberg, M. (2020). Hoping to Reimagine the Craft of Phenomenologies (Without Leaving the Past Behind). Qualitative Inquiry, 26(5), 551-553. https://doi.org/10.1177/1077800419836699

Lanigan, R. L. (1994). Capta versus data: Method and evidence in Communicology. Human Studies, 17(1), Phenomenology in Communication Research, 109-130. DOI: https://doi.org/10.1007/BF01322769

Langsdorf, L. (1994). Why phenomenology in communication research? Human Studies, 17(1), Phenomenology in Communication Research, 1-8. DOI: https://doi.org/10.1007/BF01322763

Laverty, S. M. (2003). Hermeneutic Phenomenology and Phenomenology: A Comparison of Historical and Methodological Considerations. International Journal of Qualitative Methods, 2(3), 21-35. https://doi.org/10.1177/160940690300200303

Schrag, C. O. & Ramsey, R. E. (1994). Method and Phenomenological Research: Humility and Commitment in Interpretation. Human Studies, 17(1), Phenomenology in Communication Research, 131-137. DOI: https://doi.org/10.1007/BF01322770

Stewart, J. (1981). Philosophy of qualitative inquiry: Hermeneutic phenomenology and communication research. Quarterly Journal of Speech, 67(1), 109-121. DOI: https://doi.org/10.1080/00335638109383555

Stilwell, P., & Harman, K. (2021). Phenomenological Research Needs to be Renewed: Time to Integrate Enactivism as a Flexible Resource. International Journal of Qualitative Methods, 20. https://doi.org/10.1177/1609406921995299

Sturgess, J. N. (2018). In defense of phenomenological approaches to communication studies: an intellectual history. Review of Communication, 18(1), 1-18. DOI: 10.1080/15358593.2017.1405065

Suddick, K. M., Cross, V., Vuoskoski, P., Galvin, K. T., & Stew, G. (2020). The Work of Hermeneutic Phenomenology. International Journal of Qualitative Methods, 19. https://doi.org/10.1177/1609406920947600

Traudt, P. J., Anderson, J. A. & Meyer, T. P. (1987). Phenomenology, empiricism, and media experience. Critical Studies in Mass Communication, 4(3), 302-310. DOI: 10.1080/15295038709360138

Vagle, M. D., Thiel, J. J. & Hofsess, B. A. (2019). A Prelude—Unsettling Traditions: Reimagining the Craft of Phenomenological and Hermeneutic Inquiry. Qualitative Inquiry, 26(5), 427-431. DOI: https://doi.org/10.1177/1077800419829791

van Manen, M. (2019). Uniqueness and Novelty in Phenomenological Inquiry. Qualitative Inquiry, 26(5), 486–490. DOI: https://doi.org/10.1177/1077800419829788

Walsh, R. (2012). On Evidence and Argument in Phenomenological Research. Indo-Pacific Journal of Phenomenology, 12:sup2, 1-7. DOI: 10.2989/IPJP.2012.12.1.3.1111

Wertz, M. S., Nosek, M., McNiesh, S. & Marlow, E. (2011). The composite first person narrative: Texture, structure, and meaning in writing phenomenological descriptions. International Journal of Qualitative Studies on Health and Well-being, 6:2. DOI: 10.3402/qhw.v6i2.5882

Categories
Uncategorized

Adakah Sosiologi tanpa Masyarakat dan Komunikasi tanpa Communicare?

Sebuah pembacaan sederhana atas tulisan sosiolog Alain Touraine bertajuk Sociologie sans société yang dimuat dalam buku Les Sciences Sociales en Mutation yang disunting oleh Michel Wieviorka, dibantu oleh Aude Marie Debarle dan Jocelyne Ohana (Auxerre, Perancis: Éditions Sciences Humaines, 2007)

Cara mengutip karya Touraine ini (versi APA):
Touraine, A. (2007). Sociologie sans société. Dalam Michel Wieviorka (dir.), Aude Debarle dan Jocelyne Ohana (coll.). Les sciences sociales en mutation (h. 25-36). Auxerre, Perancis: Editions Sciences Humaines.

RESUME (Hendar):
Menghilangnya aktor sosial di balik mentasnya sistem yang rasional. Aktor direduksi hanya pada pelaksanaan aneka peran dan fungsi dari sistem pengorganisasian. Inilah buah-buah kajian sosiologi yang ‘jatuh dari pohon’ filsafat Pencerahan. Kita tidak boleh menyerah begitu saja pada tarikan objektivikasi ilmu dan berhenti ternganga akan depersonalisasi manusia oleh kerja, industri, dan sistem kapitalisme (klasik maupun lanjut), tapi harus maju terus dan berani untuk kembali merumuskan subjek dalam studi ilmu-ilmu sosial.

Berikut paparan Touraine yang saya kutip dan menjadi landasan untuk terumuskannya RESUME di atas.

The philosophy of the Enlightenment gave a large place to the subject, but this was located above all the social and cultural affiliations of the real actors; the social sciences therefore did not have their own space in this intellectual world dominated by philosophy and the sciences.

On the contrary, industrial society and the expansion of capitalism brought to the fore social relations and especially work relations, but these relations were conceived as forms of domination or revolt which called for a study of functioning and crises of the capitalist system rather than the behavior of the actors, even if they are class actors. Sociology could not then be distinguished from economic and social history. The same observation applies to colonial relations and, even at least until a certain period, to male-female relations.

Wherever the triumphant image of the rational individual can no longer be maintained, the actors disappear behind the rules and crises of the systems. The sociology that formed during this period was therefore the study of systems rather than that of actors and often even considered that sociological knowledge was supposed to make actors invisible, reduced to roles and functions. The very idea of a social actor was foreign to most sociologists.

At the end of the 19th century, an intellectual upheaval was added to this historical situation which rejected, even more radically, any reference to a rational actor and even sought to eliminate any recourse to the idea of a subject. Those who created contemporary thought, Marx, Nietzsche and Freud, fought against analyzes based on subjectivity.

The 20th century pushed the elimination of actors to the limit; it was the century of anonymity, that of war victims and deportees, that of industrial armies and performance halls.

How can we talk about actors in mass societies? Closer to us, the second half of the 20th century was dominated in certain countries, including France, by the penetration of the structuralist approach in Marxism as in other thoughts of domination and in historical studies which gave priority to long movements of economic history.

The place of the actors

We must first put an end to the lively and omnipresent discourse which criticizes the idea of the subject by rejecting its abstract humanism, in the name of the realities of work, power and war. Because who is the sociologist who refers to such a starting point? Many do not use the notion of subject, but those who do never refer to the philosophy of the Enlightenment as such, since they define their approach in relation to a social situation.

It is more important to criticize sociology itself. Its most general approach is to seek where and how (actors) are reintroduced into the social apparatuses which seek power and the war of ideas and collective movements which appeal to actors who, in one form or another, fight for an autonomous existence, in and against the so-called modern and rationalist society. The most moderate sociologists, who are not the least active, study reforms which limit public and private powers; the most imaginative detect the formation of new actors and movements that transform rules and institutions.

Understand the meaning

Much of the work of the social sciences consists of describing and understanding the construction of what is a field of action and a network of communication. But such a construction would not be possible if there was not first a separation of the objective realities of science or technology, and the orientations of the subjects, whose interdependence must then be rediscovered. These last words clearly define the distance that separates the new groups from the old social systems. These were defined by the functionality of each behavior and the coherence of social norms. Today we live in relationships of both differentiation and interdependence between rationalization and the construction of the subject.

We are leaving classical sociology to enter a representation of social life where “philosophy” and “spirituality”, to use Foucault’s words one last time, are neither separable nor unifiable. A large part of social behavior is controlled by technical and economic organization, but many behaviors also have non-social foundations. The idea of the subject thus redefined, therefore very far from the distant universalism of the Enlightenment, is at the center of this “search for the self”, a new form of “care of the self” which acts on individuals to give them the capacity, in addition to that of to seek the truth, to recognize oneself as those who, in seeking this truth, seek themselves.

In conclusion, I will limit myself to proposing a definition of the current object of our studies. We studied civilizations, societies, modes of production and social movements. We are being led today towards a new central objective: understanding the meaning of behavior (le sens des conduites). Our main concern, in a society whose representation of itself is dominated by cultural rather than political and economic categories, is to understand the meaning for the actors of their situation and their actions, which means that we must evaluate and define these situations and actions in terms of their effects on the construction of themselves. It is no longer the situation that gives meaning to our behavior, it is no longer even our action that transforms our situation; it is the construction of ourselves as subjects which guides the judgment we make on our situation and our behavior.

[Ce n’est plus la situation qui donne sens à nos conduites, ce n’est même plus notre action qui transforme notre situation ; c’est la construction de nous-mêmes comme sujets qui guide le jugement que nous portons sur notre situation et sur nos conduites.]

Yang perlu digarisbawahi di sini berdasarkan paragraf kesimpulan yang dinyatakan Touraine di atas adalah:

Yang perlu dilakukan oleh Sosiologi (dan ilmu-ilmu sosial lainnya) adalah memahami makna yang diberikan aktor/subjek terhadap situasi yang melingkupi mereka serta gugus tindakan mereka dalam terma/kerangka kerja evaluatif ‘efek atau dampaknya terhadap pembentukan diri mereka.’ Jadi, bukan lagi situasi yang memberikan makna pada perilaku kita; juga bukan lagi tindakan yang mendorong terjadinya transformasi atas situasi, melainkan konstruksi diri kita sebagai subjeklah yang memandu penilaian yang kita buat atas situasi dan perilaku kita.

Karenanya, sebagai penutup dari artikel pendek pada blog ini, cukuplah disampaikan di sini serangkaian postulat sederhana yang masih perlu diteruskan penggaliannya:

Sociology without socius/society; Anthropology without άνθρωπος; Psychology without ψυχή; dan Communication without communicare.

Categories
Uncategorized

Fenomenologi tidak mengenal ada ini, ada itu, lalu habis perkara

Penjelasan yang sederhana tentang Fenomenologi sebagai Metode dan Epistemologi sebagaimana dipaparkan oleh Romo Thomas Hidya Tjaya, SJ dosen tetap di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (Jakarta) dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas EUREKA. Komunitas ini menghadirkan diskursus terkait pengembangan pemikiran kritis bagi publik Indonesia. Dibentuk 2018 dengan nama CCTD (Center for Critical Thinking Development) untuk mengkultivasi pemikiran kritis di lingkungan UKSW dan untuk masyarakat luas.

Videonya sendiri dapat diakses di sini:
https://youtu.be/sYqw0iuwTjA?si=SY3S_bXNnTcAvBbi

Berikut dua tangkapan layar yang menunjukkan momen ketika Romo Thomas menjelaskan secara cukup ekstensif dan intensif tentang Epistemologi dan Metodologi Fenomenologi.

[Spoiler alert] Blog ini hanya menyoroti pemaparan Romo Thomas dari menit ke-38 sampai menit ke-45 yang membahas apa bedanya cara berpikir, bertanya, dan menyatakan sesuatu secara Fenomenologis dengan cara berpikir, bertanya, dan menyatakan sesuatu secara Ontologis.

Menurut Romo Thomas, ada pergeseran fokus dalam Fenomenologi: dari dunia sebagaimana adanya (the world as it is) menuju dunia sebagaimana dialami (the world as experienced). Lewat kesadaranlah kita dapat mengalami dunia. Jadi yang ditekankan di sini adalah bahwa kita tidak mungkin mengalami dunia, tanpa kesadaran. Nah, pertanyaan mengenai dunia sebagaimana adanya itu tidak akan habis-habisnya kita bicarakan. Lantas, apa tidak lebih baik kita memusatkan perhatian pada hal ini, pada dunia sebagaimana dialami itu, bagaimana objek tertentu atau fenomena tertentu menampakkan diri pada kesadaran kita.

Jadi, Fenomenologi memusatkan perhatian pada hal ini maka analisisnya adalah tentang kesadaran manusia, tentang subjektivitas, tentang lebih pada diri kita dan dunia itu bagaimana dialaminya. Maka satu hal yang penting yang nanti jadi kesimpulannya adalah bahwa dalam fenomenologi itu, tidaklah penting apakah memang ada objek yang demikian, tapi yang lebih penting adalah bagaimana apapun itu namanya (objek, fenomen) itu menampakkan diri pada kesadaran kita.

Contoh konkretnya sebagai berikut: Ada seorang teman yang bercerita pada saya. Aduh, belakangan itu saya merasa ada yang membuntuti saya, gitu. Saya nggak nyaman, jadi ketakutan. Malam hari gak bisa tidur, dan seterusnya. Itu kayak ada hantu atau apa gitu. Kalau kita menjadi teman sharing orang itu dan kita itu lebih fokus pada realitas sebagaimana adanya, uh lebih fokus pada realitas sebagaimana adanya (ini pandangan ontologis ya begitu), kita akan mengatakan misalnya “Ah, hantu itu gak ada. Itu cuman halusinasi.”

Nah ini kita menjawab secara ontologis. Ini ada atau nggak ada. Sementara, kalau kita mau menjawab secara fenomenologis, kita tidak akan menjawab dengan cara itu. Kita tidak akan menjawab bahwa “hantu itu tidak ada.” Kita akan mencoba mengajak dia berpikir begini. “Sebetulnya, apa yang kamu persepsikan dengan itu? apa yang kamu rasakan? Apakah ada bayang-bayang, apakah ada rasa takut yang menyertai” seperti itu. Jadi kita semacam mengurung dulu apakah objek atau fenomena yang dirasa membuntuti orang ini ada atau tidak.

Jadi ini dua pendekatan yang berbeda, kita bisa menjawab secara ontologis dalam arti apakah ‘benda’ ini ada atau tidak, lalu seolah perkara beres begitu ya.

Nah, dalam fenomenologi, yang mempengaruhi kesadaran kita ada atau tidak, itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah bagaimana pengalaman itu (dialami, dirasakan, dipersepsikan). Karena itulah mengapa fenomenologi berkembang dalam (keilmuan) psikologi, yang namanya fenomenologi psikologis, begitu.

Dalam filsafat kan selalu ada kecenderungan kuat untuk menyatakan bahwa ini ada atau tidak ada, ini cara pandang ontologi, begitu. Apalagi kita juga secara alamiah memiliki kecenderungan untuk tidak mau buang-buang waktu membicarakan hal-hal yang umumnya dianggap tidak ada (seperti contoh ‘hantu’ di atas tadi). Itu halusinasi. Nah, (kalau cara bicaranya menggunakan sudut pandang ontologi) kita udah potong langsung di akarnya.

Nah, dalam fenomenologi, sikap dan cara ‘memotong’ seperti ini sangat tidak dianjurkan karena kita bicara soal fenomena yang menampakkan diri pada kesadaran.

Kalau kita kaitkan dengan misalnya hidup rohani, orang kan ‘senang’ bicara begini: apakah Tuhan ada atau tidak.

Mari kita lihat (pembuktiannya) lewat lima jalan Thomas Aquinas
[biasanya disebut sebagai Quinquae Viae. Lihat penjelasan singkatnya di sini https://www.oxfordreference.com/display/10.1093/oi/authority.20110803100359288 atau di sini https://home.csulb.edu/~cwallis/100/aquinas.html. Untuk penjelasan yang lebih ekstensif, pembaca dapat mendalami sendiri lewat artikel jurnal ini: “Aquinas’ Quinque Viae: Fools, Evil, and the Hiddenness of God” (Marcar, 2014) yang dapat diakses di sini https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/heyj.12137#]

lalu ada juga debat dan argumen yang lebih kontemporer yang berupaya membuktikan tidak adanya Tuhan, seperti ditulis Richard Dawkins dalam The God Delusion (2006) [lihat ringkasan dari buku ini yang ditulis oleh Niklas Göke pada 18 Oktober 2023 di https://fourminutebooks.com/the-god-delusion-summary/#:~:text=1%2DSentence%2DSummary%3A%20The,moral%2C%20and%20fulfilled%20without%20it ]

kalau dari cara berpikir Fenomenologi, pertanyaan tentang Tuhan ada atau tidak itu tidak terlalu penting. Kurung dululah! (epoché atau bracketing).

Lihatlah bagaimana pengalaman tentang Tuhan atau Tuhan yang menampakkan diri pada kesadaran kita, atau bagaimana kita sendiri mengalami Tuhan. Ini yang lebih penting. Jadi, dikurung dululah pertanyaan dan perdebatan soal Tuhan itu ada atau tidak, begitu. Karena, nah ini dari subjektivitas, masalahnya pada saat ini bukan soal Tuhan ada atau tidak tetapi soal bagaimana kalau Tuhan ada itu memengaruhi saya sebagaimana dialami. Mungkin contoh ini agak terlalu abstrak. Saya akan berikan contoh yang lebih konkrit.

Misalnya, ada orang lain, contoh: gurumu, yang bertanya “bapak ibu ada di rumah tidak?” atau “bagaimana kabar bapak ibumu sekarang?” Pertanyaan yang sebenarnya diajukan guru tersebut bukanlah apakah bapak ibu memang (secara fisik) ada di rumah atau tidak, atau dalam keadaan hidup (atau sudah meninggal), tapi soal bagaimana Bapak Ibu ini berpengaruh terhadap anak ini, atau persepsi (tentang) hubungan orangtua dengan itu, dan sebagainya, itu ya. Jadi kita kan sering melompat (dalam pengambilan kesimpulan dan membuat pernyataan), kalau sudah ada bapak ibu, maka pasti anaknya di-take care, sudah diurus dengan baik, sudah disayang.

Padahal, yang namanya eksistensi atau keberadaan, itu tidak serta merta berarti (hal ideal) inilah yang akan terjadi seperti bagaimana diharapkan (yang umumnya atau lazimnya) bahwa orangtua pasti ngurus anaknya, sayang pada anaknya. Teorinya begitu ya. Karena bisa saja anak-anak, dalam pengalamannya berelasi dengan orangtua, mereka bisa melihat bahwa figur orangtuanya itu sebagai orang yang mengancam. Begitu.

Jadi pertanyaan dalam fenomenologi bukan soal apa kabar bapak ibu di rumah tapi lebih ke “Bagaimana kamu mengalami bapak ibumu?” Di sini, “bapak ibumu sebagai fenomen.” Begitu ya. Jadi itu dulu contoh yang lebih konkret terkait cara bertanya Fenomenologi, dan yang (konkret) seperti ini diharapkan dapat lebih membantu orang untuk mengenali perbedaan (antara Fenomenologi dengan Ontologi).

Karena, kalau tidak begini, kata Husserl, orang akan dengan gampang selalu melompat ke pernyataan yang dianggap sudah ‘benar dengan sendirinya.’ Contohnya, ketika ada anak yang mengalami masalah (di sekolah berperilaku nakal dan melukai temannya, misalnya), lalu responnya, kan ada orangtua, bapak ibunya. Lalu selesai perkara. Tidak. Bukan seperti ini kalau pakai Fenomenologi.

Semoga pemaparan singkat di atas dapat membantu sidang pembaca untuk lebih mengenali Fenomenologi sebagai Metode berpikir, bertanya dan menyatakan sesuatu yang khas yang jelas sekali berbeda dengan cara berpikir, bertanya dan menyatakan sesuatu secara ontologis yang ‘kalau ada ini ada itu, sudah jelas, lalu habis perkara.’

Categories
Uncategorized

Article-Reviewing as An Invitation to Open Dialogue with Other

A critical review of Dialogic Editing in Academic and Professional Writing: Engaging the Trace of the Other
Edited by Üçok-Sayrak, Fritz & Majocha (Routledge, 2023)

(to be continued)

Categories
Uncategorized

Lima Pondasi bagi terbangunnya Teori Komunikasi

Resume bacaan dan tanggapan kritis atas monograf Theories of Human Communication, Twelfth Edition , karya Tim Penulis: Stephen W. Littlejohn, Karen A. Foss, John G. Oetzel.
Penerbit: Waveland Press, Inc.
Tahun terbitan: 2021
Informasi tentang buku ini dapat diakses di https://waveland.com/browse.php?t=270

Berikut coret-coretannya,

menyusul 3 poin tanggapan kritis berikut ini.
Pertama: evolution atau devolution?
Kedua: emergentism atau reductionism?
Ketiga: gugus makna ditimba dari relasi atau dari informasi?

Categories
Uncategorized

adakah Pengantar Ilmu Komunikasi yang ‘sederhana’?

Salah satu tantangan menjadi seorang Doktor dalam disiplin keilmuan tertentu adalah MAMPU menyederhanakan persoalan-persoalan yang rumit, juga problematika yang kompleks dalam disiplin keilmuan yang dipelajari, menjadi “sesuatu” yang lebih SIMPLE untuk dipahami pembaca awam.

Hal ini berulang-ulang disampaikan oleh para dosen saya dalam kuliah-kuliah pengantar Ilmu Komunikasi yang saya tempuh pada 3 semester pertama perkuliahan tatap muka (2019-2021) dan kemudian ditegaskan lagi oleh para pembimbing (Tim Promotor) maupun tim penguji dari laporan hasil penelitian disertasi yang sudah saya pertahankan pada Jumat, 30 November 2023 yang lalu.

Saking seringnya “adagium” ini saya dengar, tidak jarang saya lalu menerima ‘kebenaran’ yang dikandung dalam pernyataan ini secara begitu saja, taken-for-granted.

Maksudnya, saya tidak lagi ‘mencari tahu lebih jauh’ (menggali) apa yang sesungguhnya dimaksud dengan “merumuskan persoalan yang COMPLEX menjadi SIMPLE” atau ‘menyederhanakan hasil temuan penelitian sehingga jadi lebih mudah dipahami pembaca awam’ di dalam disiplin keilmuan yang sekarang sedang saya tekuni, yaitu Communication Science.

Dalam masa pencarian akan pengertian yang sederhana dan less complex tentang keilmuan Komunikasi, ‘kebetulan’ saya menemukan buku In Search of a Simple Introduction to Communication (Penerbit Springer, 2016) yang ditulis oleh Nimrod Bar-Am, seorang ahli Komunikasi dari Sapir Academic College, School of Communication, Israel.

Ketika pertama kali membaca ToC buku tersebut—yang terdiri dari 3 bagian, yaitu Bagian I: Getting Acquainted (4 bab); Bagian II: Toward a Philosophy of Communication (11 bab) dan Bagian III Toward the Simple Introduction to Communication (3 bab)—juga paragraf-paragraf awal dari bab I buku tersebut (h. 1-2), saya terhenyak. Kok begini ya bahasanya? Terasa sederhana tapi menyimpan daya laten kerumitan; terasa to the point tapi kok sepertinya “ngawang-awang.” Saya merasa terusik untuk menuliskan kesan-kesan tersebut di blog ini.

Kesan pribadi tersebut menjadi semakin dikuatkan setelah saya membaca resensi panjang dan mendalam untuk buku ini yang dituliskan Dr. Itay Shani dari Departmen Filsafat, Kyung Hee University, Seoul, Korea Selatan bertajuk “A Far from Simple Introduction to Communication” (free access at https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0048393116677705).

Anehnya, resensi atas buku In Search of (2016) justru memberi kesan bahwa buku ini jauh dari ‘sederhana’ artinya ada yang tidak selaras antara janji yang tercantum dalam judul buku yang diresensi, yaitu “Simple Introduction to Communication” dengan realisasinya (ketika sudah dibaca). How come?

Sebagai seorang penekun keilmuan Komunikasi yang tumbuh dari dan berkembang pemikirannya dalam tradisi Filsafat mazhab Jembatan Serong, saya terpesona dengan tesis yang diajukan Nimrod Bar-Am dlm buku ini, yang secara sederhana dapat dirumuskan dengan ringkas sebagai berikut:
“dorongan paling dasar untuk berkomunikasi adalah kemampuan untuk mengarahkan atau ‘orientasi diri’ pada lingkungan dan memiliki semangat untuk berbagi lingkungan.”

Persisnya, dituliskan oleh Bar-Am (2016: 1-2) sebagai berikut: “this wondrous ability—to orient ourselves in the environment—is the most basic phenomenon that communication researchers seek to understand (and) how this orientation successfully occurs is the vital element of the many varied attempts to understand communication in the conventional sense of this term—that is, our ability to share narratives and challenges with individuals who are similar to us biologically, culturally, biographically and so on. To use terms that we will gradually come to apply here in a highly specific sense, my claim is that communication scholars study the ability of various systems to share environments.”

Membaca kata-kata di atas, saya jadi keinget masa-masa OMB (Orientasi Mahasiswa Baru) yang pernah saya ikuti doeloe di STF Driyarkara (tahun 2000), dan ketika dipercaya menjadi Ketua Pelaksana OMB di UMN (2009). Masa OMB merupakan masa singkat (biasanya dalam kurun 3-5 hari) untuk mengorientasi diri di dalam sebuah lingkungan baru yang dimasuki. ‘Lingkungan’ di sini bukan hanya dimengerti secara fisik/jasmaniah dan teritorial/geografis , tapi juga lingkungan dalam arti ‘kebiasaan, praktik, dan manifestasi2 mentalitas yang dianggap normal berlaku serta dapat diterima secara sosial.’

Kembali ke buku, pertanyaan dasar yang diajukan Bar-Am dalam bukunya adalah sbb.:
“Is there a theoretical basis distinctive of communication studies as such?”
Atau, jika dirumuskan secara lebih ontologis, pertanyaan tersebut berbunyi sbb.:
“Is there a (non-trivial) common denominator to all communication phenomena, and, if so, could it serve as the ground for a conceptually unified field of study?”

(to be continued)