Categories
Uncategorized

Mengulik Apps: “Receh” yang (semakin) Menandai Hidup Digital kita

Dalam APPIFIED: Culture in the Age of Apps, antologi tulisan yang disunting Jeremy Wade Morris dan Sarah Murray (2018), disampaikan bahwa diskursus tentang piranti lunak (software)—beberapa di antaranya: Snapchat, Whisper, Yik Yak, Electric Razor Simulator, Vibrator Secret for Women, IAmAMan, I am Important, Candy Crush, Spotify, Evernote, Uber, Boom Boom Soccer, Emoji Keyboard, Is It Vegan? Is It Dark Outside? Is It Tuesday? Is It Love? MapMyFitness, MapMyDogWalk, MyPill Birth Control Reminder and Menstrual Cycle Calendar Tracker, SmartMom, Waiting for Birth, Waiting for Birth Pro–Father’s Version, Baby Shaker, Gay-O-Meter Full Version, Tinder, Grindr, AgingBooth, Black People Mingle, iGun Pro–TheOriginal Gun Application—tidak dapat dilepaskan dari ketertanamannya dalam rutinitas, kontak, komunikasi dan terutama, orang-orang yang membuat, memainkan, menjual & membeli, serta menggunakannya.

Apps merupakan sub-sektor industri piranti lunak yang paling pesat perkembangannya dan bernilai ekonomis sangat tinggi. Para peneliti kajian media sah-sah saja menghamburkan seribu-satu teori untuk memahami bagaimana orang membuat dan memberi makna pada objek-objek budaya seperti film, lagu, video games dan acara/program TV, tapi keberadaan apps yang jumlahnya sedemikian banyak masih belum sungguh-sungguh dipelajari dan signifikansi budayanya belum cukup diakui (Morris dan Murray, 2018: 2).

Sebagian besar apps dibuat untuk membantu pengguna memecahkan masalah sehari-hari mereka: mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, mencatat rencana kegiatan harian sampai jadwal olahraga rutin. Receh? Tidak juga.

Apps berfungsi untuk, di antaranya, menghubungkan kita dengan teman lama (dan kenalan baru), berbagi ingatan bersama (dan mengidentifikasi informasi pribadi), menciptakan karya seni (dan juga sampah digital) serta membantu sebagai petunjuk arah (dan menandai tempat-tempat yang sudah pernah dikunjungi). Ini semua tidak bisa dikatakan “receh.”

Jadi, seberapa “serius” keberadaan apps untuk menandai diri dengan segala kompleksitasnya dalam ‘kehidupan digital’ ini?

Dalam konteks pertanyaan inilah Appified menjadi suatu kajian media baru yang membahas pengalaman interaksi dan komunikasi manusia dengan beragam apps dalam hidup digitalnya.

Apps yang dipahami sebagai “produk budaya sekaligus praktik berkomunikasi” semakin lama semakin intensif digunakan, dan karenanya, menjadi objek studi yang amat menarik, aktual dan relevan.

Rujukan:
Morris, J. W. dan Murray, S., Editor. (2018). APPIFIED: Culture in the Age of Apps. Ann Arbor: University of Michigan Press.

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *