Categories
Uncategorized

[re-post] [NapakTilas] Membaca Teks Hegel ttg Polisi dan Korporasi

Pandangan Hegel tentang “Polisi dan Korporasi” (par. 230 – 256)
Source of the text: https://www.marxists.org/reference/archive/hegel/works/pr/prcivils.htm (see the translated work of Grundlinien der Philosophie des Rechts)

Beberapa komentar dan catatan untuk bahan diskusi di Komunitas Hegel STF Driyarkara

Kamis, 5 Februari 2009, jam 17.00 WIB

oleh Hendar Putranto (c) 2009

Dalam presentasi sebelumnya, sudah dipaparkan tentang konsep Hegel mengenai sistem kebutuhan (the system of needs) dan sistem perundangan yang menunjang keberlakuan serta pelaksanaan keadilan (administration of justice), par. 182 – 229. Karena pembahasan tentang “Polisi dan Korporasi” termasuk ke dalam pembahasan tentang “Masyarakat Sipil” (disingkat MS), tepatnya bagian ketiga setelah sistem kebutuhan dan pelaksanaan ke- (per-) adilan, maka ada baiknya kita ulangi lagi beberapa pokok yang menjadi prinsip dari MS tersebut, yaitu:

1) MS adalah periode / tahapan dan bentuk kehidupan politis transisional, antara kehidupan berkeluarga dan Negara politis. Titik tolak antropologis dari MS adalah ‘orang yang konkret’ artinya seorang dewasa awal yang mengejar kebutuhan2nya, dan sekaligus berupaya merealisasikan kebutuhan2 keluarganya dalam dunia sosial yang juga berisi orang2 lain yg kurang lebih mempunyai tujuan serupa. Pemenuhan kebutuhan2 dan hasrat2 privat dari si lelaki dewasa awal ini tidak bisa terpenuhi jika tidak ada struktur yang menopang pemenuhan kebutuhan+hasrat yang sama secara simultan dari yang lainnya. Kata kunci di sini adalah: interdependensi antar subjek yang ditopang oleh suatu system dan struktur social yang memadai. Partikularitas kepentingan si subjek dalam arti ‘contingent arbitrariness and subjective caprice’ (#185) serta ‘the right of the subject to find its satisfaction in the action’ (#121) tidak bisa menjadi prinsip yang memadai dalam MS karena pemenuhan kepuasan dari tujuan2 yang partikular harus selalu dilakukan dalam upaya gabungan (kerjasama/aliansi) dengan orang lain dengan cara yang universal[1].

2) Dalam bagian “pelaksanaan keadilan”, titik tolak Hegel adalah pribadi yang memunyai hak-hak (bearer of rights); dan pribadi yg memunyai hak2 tersebut diakui dijamin keberadaannya (juga hak-haknya) dalam sebuah sistem hukum yang positif, dan pengakuan ini berlaku serta dikehendaki secara universal[2].

3) Hegel memandang penting ihwal pendidikan dan institusinya. Berbeda dari Rousseau yang melihat bahwa pendidikan tidak membuat manusia menjadi lebih manusia (bahkan mengorupsi kodrat manusia itu sendiri hingga manusia tidak lagi menjadi ‘polos’), sehingga harus ditempatkan di bawah kultivasi passion, Hegel melihat bahwa pendidikan haruslah menjadi bagian dari kebijakan pokok dalam MS, tidak hanya diserahkan pada keluarga saja. Alasannya adalah untuk menanamkan nilai2 universal dalam diri pribadi sehingga mereka tidak sekedar menjadi sosok pribadi yang digerakkan melulu oleh “the immediacy of desire as well as the subjective vanity of feeling and the arbitrariness of caprice” (#187) melainkan dapat menjadi reflective agent yang mampu mengarahkan daya upaya serta kehendak subjektif mereka menuju perwujudan kebebasan yang lebih besar dan luas lagi (di dalam MS dan berikutnya, negara).

Ada empat butir uraian dan penafsiran atas par 230 – 256 Phil. of Right yang mau saya sampaikan, yaitu:

Di paragraf paling awal dari bagian Polisi dan Korporasi (#230), Hegel mengatakan bahwa “dalam sistem hasrat, pemenuhan dan kebahagiaan setiap individu adalah suatu kemungkinan, dan kemungkinan ini dibuat menjadi nyata dalam system hasrat yang bersifat objektif.” Setelah itu Hegel melanjutkan bahwa realisasi hak yang terwujud dalam setiap individu partikular, sudah selalu menyertakan dua faktor berikut ini, yaitu (a) pribadi dan properti harus ‘dijamin’ (secured) dengan cara menghilangkan hal-hal penghambatnya, dan (b) kesejahteraan dan rasa aman tiap-tiap individu haruslah dipandang dan diaktualisasikan sebagai hak. Dua faktor yang disebut di atas itulah yang dibahas oleh Hegel dalam bagian (a) Polisi dan (b) Korporasi.

Berbicara tentang polisi, Hegel ‘mendefinisikan’ tugas polisi sebagai pencegah kejahatan dan pembawa tindak kejahatan ke hadapan pengadilan (#232). Namun, tugas itu hanya berlaku untuk hal-hal yang aksidental atau kasus per kasus saja. Hegel tidak menggeneralisasi tugas polisi menjadi detil-detil yang harus diindahkan, karena, menurutnya “tidak ada garis batas yang bisa ditetapkan … menyangkut hal mana yang dianggap berbahaya, mana yang tidak, mana yang mencurigakan, mana yang tidak, mana yang dilarang, mana yang cukup diawasi saja, dan seterusnya.” (#234). Karenanya, intervensi polisi dalam praktik dan tindak kehidupan sehari-hari warga (dalam MS) juga tidak bisa ditarik secara apriori. Mengingat sifat kontingensi dan sewenang-wenang dari intervensi tindakan polisi ini, tidak mengherankan kalau mereka lalu cenderung dipandang sebagai musuh masyarakat. Di par. 236, Hegel mengakui adanya kemungkinan konflik kepentingan antara produser dan konsumer sehingga haruslah untuk dibuat aturan (regulasi) yang standing above both sides and put into operation consciously… in order that (private interest) may be led back to the universal. Tugas polisi dan otoritas publik yang kompetenlah untuk membuat dan menegakkan regulasi semacam ini.

Apa saja hal-hal yang bisa menghambat rasa kedirian (personhood) dan sense of property seseorang? Harus dikatakan di sini bahwa kemiskinan adalah salah satunya. Mengapa seseorang menjadi miskin? Apakah itu karena kesalahannya sendiri (malas bekerja, tidak kompeten, dst) atau karena faktor-faktor eksternal yang berada di luar kendalinya? Posisi Hegel dalam hal ini tecermin di par. 241. Menurutnya, “Yang membuat seseorang menjadi miskin, bukan hanya dikarenakan kehendak sewenang-wenang saja / Willkür, namun juga sirkumstansi2 yang sifatnya aksidental, entah itu fisik maupun eksternal (#200).” Apa akibatnya bagi MS jika muncul kelas “orang miskin”[3]? Disparitas dan gap yang makin besar antara segelintir orang kaya dan segepok orang miskin bisa menurunkan standar kualitas kehidupan dari MS itu sendiri. Hegel mengatakan “Ketika sejumlah besar orang hidup di bawah standar kehidupan yang dianggap hakiki bagi warga masyarakat, dan kehilangan sense of right, rectitude, and honour yang berasal dari kemampuan untuk menunjang diri sendiri, maka akan muncullah kelas orang melarat, dan kekayaan akan terakumulasi secara tidak seimbang di tangan segelintir orang saja.” (#244) Apa solusi yang ditawarkan Hegel? Menurutnya, polisilah (sebagai otoritas publik yang mengurusi soal keadilan) yang harus mencarikan jalan keluar untuk menyembuhkan borok kemiskinan ini. Bagaimana caranya? Apakah menjadi sinterklas (act of charity) cukup? Hegel sendiri nampaknya ‘kebingungan’ mengatasi problem pelik kemiskinan dan orang melarat (rabble atau pauper class) ini (lih. #245). Di satu sisi, bisa saja kepada orang kaya atau lembaga-lembaga kaya dibebankan ‘kewajiban’ untuk menolong orang melarat secara langsung sehingga orang melarat “tidak usah bekerja apapun lagi untuk memenuhi kebutuhan dasariahnya”. Namun, di sisi lain, policy semacam ini justru akan bertabrakan dengan prinsip dasariah MS itu sendiri yaitu hormat dan martabat yang melekat pada person berdasarkan upaya mengejar dan merealisasikan kepentingan kehendak partikular masing-masing individu. Solusi lain yang ditawarkan Hegel untuk menyelesaikan problem kemiskinan adalah dengan melebarkan sayap-sayap perdagangan (trade) di luar batasan teritori dari MS. Di sinilah cikal bakal kolonisasi yang merupakan keniscayaan dari dialektika MS itu sendiri (the full-grown civic community finds itself impelled). (lih. #246 – 248). Di bagian tambahan par. 248, Hegel menjustifikasi kolonisasi dengan alasan sebagai berikut: “The civic society is forced to found colonies, owing to the increase of population, but more especially because production oversteps the needs of consumption, and the growing numbers cannot satisfy their needs by their work.” (cetak miring ditambahkan penulis). Hegel berbicara secara spesifik tentang korporasi di par. 250 – 256.

Ada beberapa sumbangan pemikirannya yang mau saya garis-bawahi di sini, yaitu (a) #255 yang berbunyi “sebagaimana keluarga adalah yang pertama, maka korporasi, yang tertanam dalam MS, menjadi akar penyusun atau basis yang kedua dari Negara.” ; (b) #253 yang berbunyi “Jika individu bukan anggota dari korporasi yang sah, dan tidak ada perkumpulan yang bisa menjadi korporasi kecuali ia sudah diotorisasi, maka ia tidak mempunyai kehormatan-klas / class-honour” ; (c) #252 yang berbunyi “di bawah pengawasan otoritas publik, korporasi mempunyai hak untuk menjaga kepentingan2nya yang sudah didefinisikan secara jelas, seturut kualifikasi2 objektif yang memang diperlukan untuk merekrut anggota baru, yang jumlahnya ditentukan oleh sistem umum, untuk menyediakan bagi para anggotanya hal-hal yang diperlukan agar tidak jatuh menjadi miskin / sewaktu-waktu kehilangan pekerjaan dan juga untuk menumbuhkan kapasitas yang dipandang perlu bagi setiap orang yang memang mau menjadi anggota korporasi tersebut.”

Tanggapan:
*) setelah membaca sendiri par. 230 – 256 dan komentar Dudley Knowles tentang bagian ini[4], saya menangkap kesan yang cukup meyakinkan bahwa posisi Hegel adalah posisi status-quo yang cenderung menjustifikasi adanya kemiskinan sebagai keniscayaan dari over-produksi dan kegagalan distribusi kekayaan yang timbul dalam MS maju. Tidak hanya itu, Hegel juga nampaknya terjebak dalam dilema yang sulit dipecahkan untuk mengatasi problem kemiskinan yang akut, baik dari segi dilema moral maupun dilema politis-ekonomis yang, sekiranya diambil solusi langsung untuk menyelesaikannya (misal: pembagian kekayaan dari orang kaya ke orang miskin), tidak bisa tidak akan melanggar prinsip dasar MS yaitu hormat (as a person) dan martabat (pengakuan dari yang lain) yang melekat dalam tindak kerja dan berkumpul atau berasosiasi (misal, dalam korporasi).

*) Jika solusi ke dalam dari problem kemiskinan tidak bisa dilakukan (tanpa melanggar prinsip dasariah dari MS itu sendiri), maka solusi keluar dari kemiskinan juga, jika dievaluasi dari perspektif kesadaran historis yang menyejarah (Gadamer), tidak juga nampak sebagai solusi yang memuaskan karena justru akan melahirkan problem-problem baru, yaitu ekspansi kapital dan kolonisasi daerah-daerah yang nota bene masih baru dan terbelakang, yang berujung pada hegemoni Barat atas ‘indigenous’ dan juga pengajegan pola-pola ‘westernisasi’ budaya.

*) Di bagian akhir dari tulisannya[5], secara reflektif Kenneth Westphal menanyakan seberapa jauh lembaga2 politik yang ada sekarang dapat menjamin dan mempromosikan kebebasan yang sejati dan otonomi politik sekaligus sampai batas mana lembaga2 tersebut dapat atau harus direformasi untuk bisa mengegolkan cita-cita ini. Pertanyaan reflektif dari Westphal tersebut, jika direformulasikan khusus untuk pembahasan bagian ini mungkin akan berbunyi sebagai berikut: “seberapa jauh lembaga polisi dan korporasi kontemporer dapat memainkan peranannya yang positif dan rasional sebagai lembaga intermediate yang menjembatani hasrat2 mengejar keuntungan sendiri dari individu sekaligus tekanan dari negara agar mereka menjadi lembaga yang bisa menjadi suri tauladan dalam hal ketaatan hukum dan imparsialitas”? Fakta-fakta menyedihkan seperti membiaknya korupsi, ngemplang pajak, polisi memalak warga, para CEO yang tak tahu diuntung dengan menghambur-hamburkan uang “penyelamatan dari terpaan krisis finansial” untuk senang-senang badaniah, tentu jauh dari model dan cita-cita “aktualisasi kebebasan” yang lebih penuh sebagaimana diidam-idamkan Hegel.

Catatan Kaki:
[1] Versi “Philosophy of Right” yang saya rujuk di sini adalah versi terjemahan S.W Dyde (Kitchener: Batoche Books, 2001). Lih. # 182 “The concrete person, who as particular is an end to himself, is a totality of wants and a mixture of necessity and caprice. As such he is one of the principles of the civic community. But the particular person is essentially connected with others. Hence each establishes and satisfies himself by means of others, and so must call in the assistance of the form of universality. This universality is the other principle of the civic community.” Bdk, # 186, di mana Hegel mengatakan bahwa “the principles of particularity and universality are independent, their unity is not an ethical identity. It does not exist as freedom, but as a necessity. That is to say the particular has to raise itself to the form of universality, and in it it has to seek and find its subsistence.”

[2] Lih. #209 “something universally acknowledged, known, and willed”

[3] Hegel menggunakan istilah Pöbel. Lihat uraian yang menarik dari Knowles tentang istilah ini dalam Knowles, Dudley, Hegel and the Philosophy of Right, London: Routledge, 2002, hlm. 289.

[4] Lih. Knowles, Dudley, Hegel and the Philosophy of Right, London: Routledge, 2002, hlm. 283 – 301

[5] Lih. Westphal, Kenneth, “The Basic context and structure of Hegel’s Philosophy of Right” dalam Beiser, Frederick C. (editor), The Cambridge Companion to Hegel, Cambridge: Cambridge University Press, 1993, hlm. 234 – 269

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *