Ketika membaca buku Thinking with Theory in Qualitative Research, Second edition karya Alecia Y. Jackson & Lisa A. Mazzei (Penerbit ROUTLEDGE, 2023), saya lumayan terhenyak pada bagaimana Jackson dan Mazzei berusaha untuk mendedah makna “relasi kekuasaan” dengan menggunakan cara “Arkeologis Kuasa/Pengetahuan” dari Michel Foucault.
Pada hal. 58, misalnya, tersebutlah nama Cassandra, yang berupaya untuk “memberikan makna” (make sense) pada pengalaman akan gugus relasi kekuasaan yang melingkupi dirinya, para murid dan koleganya, sejauh terkait aktivitas pengajaran dan bimbingan yang ia lakukan.
Menurut Cassandra, “saya kurang tahu persis apakah relasi kuasa yang terjadi pada diri saya itu karena saya seorang berkulit hitam atau karena saya seorang perempuan, atau karena keduanya…ada sejumlah kajian Feminis, khususnya Black feminist, yang menyebut hal ini sebagai pukulan ganda, double whammy, jadi, pada kasus yang saya alami, saya tidak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi … Seringkali saya bertanya-tanya apakah hal yang sama mereka lakukan juga pada kolega2 saya (yang tidak semuanya berkulit hitam dan perempuan)”
Kalau Anda mau menggunakan cara Foucault untuk memeriksa dan menganalisis pernyataan di atas, lupakan makna inheren yang terkandung di dalam praktik. Kita lihat bahwa Cassandra saja bingung untuk menemukan makna atau menyebutkan penyebab dari peristiwa yang dialaminya: kita tidak pernah tahu apa yang menjadi intensi seseorang/sekelompok orang, dan intensi justru melampaui praktik para subjek dalam hal dampaknya, effects. Meskipun praktik pengajaran dan bimbingan itu dapat direncanakan dan dikordinasikan dengan tujuan dan capaian spesifik tertentu (misalnya, sebagaimana tercantum dalam RPKPS, dst.) dampak keseluruhan dari praktik pengajaran dan bimbingan jelas-jelas melampaui intensi apapun dari subjek yang mengalami.
Dengan kata lain, jika kita mengadopsi “Arkeologi Kuasa/Pengetahuan” dari Foucault utk memeriksa dan menarik pemaknaan dari kasus di atas, akan terlihat ada kelindan triadik antara
(1) ketiadaan subjek rasional yang bertanggungjawab penuh atau memegang kendali atas praktik yang ‘sudah kadung’ terjadi;
(2) letak rasionaltias dari praktik yang ada ditemukan dalam gugus relasi yang di dalamnya praktik2 tersebut tertanam, inscribed ;
(3) Karenanya, signifikansi dari praktik tidak meletak pada nilai kebenaran inheren yang ada pada praktik tersebut melainkan pada cara-cara yang di dalamnya praktik tersebut mendisrupsi atau mempertahankan gugus relasi kekuasaan sekaligus memajukan pengetahuan.
Menganalisis gugus praktik pengajaran, bimbingan, penelitian, penulisan hasil penelitian, diseminasi hasil penelitian dalam bentuk tulisan ilmiah (artikel) format jurnal dan aspek-aspek aktivitas profesional lainnya dari dosen dengan menggunakan lensa ‘Arkeologis Kuasa/Pengetahuan’ semakin memperjelas keberadaan jejaring kekuasaan yang memampukan sejumlah praktik tertentu (dan menegasi atau menghambat terjadinya praktik lainnya) sekaligus menjamin signifikansinya. Gampangnya, praktik pengajaran berbasis RPKPS (sebagai salah satu bentuk outcome-based education) cenderung memampukan dan menghargai input pemberian dan penilaian tugas (assesment) secara prosedural dan taat-azas alih-alih ‘pemberian tugas secara spontan dan penilaian karena kasihan’
Dari penjelasaan di atas, semakin terlihat juga bagaimana praktik-praktik material dan budaya tertentu merupakan penafsiran responsif atas situasi dan konteks yang dekat . Artinya, penafsiran pelaku atas situasi yang dihadapi bukan hanya pembacaan pasif untuk mengakomodasi unsur-unsur statis tapi sekaligus pembacaan dinamis yang bertujuan untuk mendisrupsi, kontestasi, dan memaknai kembali situasi status quo. Dengan kata lain, cara membaca secara ‘arkeologis kuasa/pengetahuan’ dari Foucault memampukan subjek penghayat sekaligus penafsir untuk melampaui ‘makna esensial yang tersembunyi di balik sebuah peristiwa/kejadian/pengalaman yang spesifik’ karena praktik material dan budaya yang di dalamnya subjek terlibat sudah selalu mengandaikan keberadaan cakrawala penafsiran yang tidak bebas-nilai. Pembacaan arkeologis kuasa/pengetahuan sudah selalu melibatkan adanya penafsiran atas gugus penafsiran, hal yang ditemukan dalam signifikansi praktik-praktik budaya.