Categories
Uncategorized

Fenomenologi tidak mengenal ada ini, ada itu, lalu habis perkara

Penjelasan yang sederhana tentang Fenomenologi sebagai Metode dan Epistemologi sebagaimana dipaparkan oleh Romo Thomas Hidya Tjaya, SJ dosen tetap di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (Jakarta) dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas EUREKA. Komunitas ini menghadirkan diskursus terkait pengembangan pemikiran kritis bagi publik Indonesia. Dibentuk 2018 dengan nama CCTD (Center for Critical Thinking Development) untuk mengkultivasi pemikiran kritis di lingkungan UKSW dan untuk masyarakat luas.

Videonya sendiri dapat diakses di sini:
https://youtu.be/sYqw0iuwTjA?si=SY3S_bXNnTcAvBbi

Berikut dua tangkapan layar yang menunjukkan momen ketika Romo Thomas menjelaskan secara cukup ekstensif dan intensif tentang Epistemologi dan Metodologi Fenomenologi.

[Spoiler alert] Blog ini hanya menyoroti pemaparan Romo Thomas dari menit ke-38 sampai menit ke-45 yang membahas apa bedanya cara berpikir, bertanya, dan menyatakan sesuatu secara Fenomenologis dengan cara berpikir, bertanya, dan menyatakan sesuatu secara Ontologis.

Menurut Romo Thomas, ada pergeseran fokus dalam Fenomenologi: dari dunia sebagaimana adanya (the world as it is) menuju dunia sebagaimana dialami (the world as experienced). Lewat kesadaranlah kita dapat mengalami dunia. Jadi yang ditekankan di sini adalah bahwa kita tidak mungkin mengalami dunia, tanpa kesadaran. Nah, pertanyaan mengenai dunia sebagaimana adanya itu tidak akan habis-habisnya kita bicarakan. Lantas, apa tidak lebih baik kita memusatkan perhatian pada hal ini, pada dunia sebagaimana dialami itu, bagaimana objek tertentu atau fenomena tertentu menampakkan diri pada kesadaran kita.

Jadi, Fenomenologi memusatkan perhatian pada hal ini maka analisisnya adalah tentang kesadaran manusia, tentang subjektivitas, tentang lebih pada diri kita dan dunia itu bagaimana dialaminya. Maka satu hal yang penting yang nanti jadi kesimpulannya adalah bahwa dalam fenomenologi itu, tidaklah penting apakah memang ada objek yang demikian, tapi yang lebih penting adalah bagaimana apapun itu namanya (objek, fenomen) itu menampakkan diri pada kesadaran kita.

Contoh konkretnya sebagai berikut: Ada seorang teman yang bercerita pada saya. Aduh, belakangan itu saya merasa ada yang membuntuti saya, gitu. Saya nggak nyaman, jadi ketakutan. Malam hari gak bisa tidur, dan seterusnya. Itu kayak ada hantu atau apa gitu. Kalau kita menjadi teman sharing orang itu dan kita itu lebih fokus pada realitas sebagaimana adanya, uh lebih fokus pada realitas sebagaimana adanya (ini pandangan ontologis ya begitu), kita akan mengatakan misalnya “Ah, hantu itu gak ada. Itu cuman halusinasi.”

Nah ini kita menjawab secara ontologis. Ini ada atau nggak ada. Sementara, kalau kita mau menjawab secara fenomenologis, kita tidak akan menjawab dengan cara itu. Kita tidak akan menjawab bahwa “hantu itu tidak ada.” Kita akan mencoba mengajak dia berpikir begini. “Sebetulnya, apa yang kamu persepsikan dengan itu? apa yang kamu rasakan? Apakah ada bayang-bayang, apakah ada rasa takut yang menyertai” seperti itu. Jadi kita semacam mengurung dulu apakah objek atau fenomena yang dirasa membuntuti orang ini ada atau tidak.

Jadi ini dua pendekatan yang berbeda, kita bisa menjawab secara ontologis dalam arti apakah ‘benda’ ini ada atau tidak, lalu seolah perkara beres begitu ya.

Nah, dalam fenomenologi, yang mempengaruhi kesadaran kita ada atau tidak, itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah bagaimana pengalaman itu (dialami, dirasakan, dipersepsikan). Karena itulah mengapa fenomenologi berkembang dalam (keilmuan) psikologi, yang namanya fenomenologi psikologis, begitu.

Dalam filsafat kan selalu ada kecenderungan kuat untuk menyatakan bahwa ini ada atau tidak ada, ini cara pandang ontologi, begitu. Apalagi kita juga secara alamiah memiliki kecenderungan untuk tidak mau buang-buang waktu membicarakan hal-hal yang umumnya dianggap tidak ada (seperti contoh ‘hantu’ di atas tadi). Itu halusinasi. Nah, (kalau cara bicaranya menggunakan sudut pandang ontologi) kita udah potong langsung di akarnya.

Nah, dalam fenomenologi, sikap dan cara ‘memotong’ seperti ini sangat tidak dianjurkan karena kita bicara soal fenomena yang menampakkan diri pada kesadaran.

Kalau kita kaitkan dengan misalnya hidup rohani, orang kan ‘senang’ bicara begini: apakah Tuhan ada atau tidak.

Mari kita lihat (pembuktiannya) lewat lima jalan Thomas Aquinas
[biasanya disebut sebagai Quinquae Viae. Lihat penjelasan singkatnya di sini https://www.oxfordreference.com/display/10.1093/oi/authority.20110803100359288 atau di sini https://home.csulb.edu/~cwallis/100/aquinas.html. Untuk penjelasan yang lebih ekstensif, pembaca dapat mendalami sendiri lewat artikel jurnal ini: “Aquinas’ Quinque Viae: Fools, Evil, and the Hiddenness of God” (Marcar, 2014) yang dapat diakses di sini https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/heyj.12137#]

lalu ada juga debat dan argumen yang lebih kontemporer yang berupaya membuktikan tidak adanya Tuhan, seperti ditulis Richard Dawkins dalam The God Delusion (2006) [lihat ringkasan dari buku ini yang ditulis oleh Niklas Göke pada 18 Oktober 2023 di https://fourminutebooks.com/the-god-delusion-summary/#:~:text=1%2DSentence%2DSummary%3A%20The,moral%2C%20and%20fulfilled%20without%20it ]

kalau dari cara berpikir Fenomenologi, pertanyaan tentang Tuhan ada atau tidak itu tidak terlalu penting. Kurung dululah! (epoché atau bracketing).

Lihatlah bagaimana pengalaman tentang Tuhan atau Tuhan yang menampakkan diri pada kesadaran kita, atau bagaimana kita sendiri mengalami Tuhan. Ini yang lebih penting. Jadi, dikurung dululah pertanyaan dan perdebatan soal Tuhan itu ada atau tidak, begitu. Karena, nah ini dari subjektivitas, masalahnya pada saat ini bukan soal Tuhan ada atau tidak tetapi soal bagaimana kalau Tuhan ada itu memengaruhi saya sebagaimana dialami. Mungkin contoh ini agak terlalu abstrak. Saya akan berikan contoh yang lebih konkrit.

Misalnya, ada orang lain, contoh: gurumu, yang bertanya “bapak ibu ada di rumah tidak?” atau “bagaimana kabar bapak ibumu sekarang?” Pertanyaan yang sebenarnya diajukan guru tersebut bukanlah apakah bapak ibu memang (secara fisik) ada di rumah atau tidak, atau dalam keadaan hidup (atau sudah meninggal), tapi soal bagaimana Bapak Ibu ini berpengaruh terhadap anak ini, atau persepsi (tentang) hubungan orangtua dengan itu, dan sebagainya, itu ya. Jadi kita kan sering melompat (dalam pengambilan kesimpulan dan membuat pernyataan), kalau sudah ada bapak ibu, maka pasti anaknya di-take care, sudah diurus dengan baik, sudah disayang.

Padahal, yang namanya eksistensi atau keberadaan, itu tidak serta merta berarti (hal ideal) inilah yang akan terjadi seperti bagaimana diharapkan (yang umumnya atau lazimnya) bahwa orangtua pasti ngurus anaknya, sayang pada anaknya. Teorinya begitu ya. Karena bisa saja anak-anak, dalam pengalamannya berelasi dengan orangtua, mereka bisa melihat bahwa figur orangtuanya itu sebagai orang yang mengancam. Begitu.

Jadi pertanyaan dalam fenomenologi bukan soal apa kabar bapak ibu di rumah tapi lebih ke “Bagaimana kamu mengalami bapak ibumu?” Di sini, “bapak ibumu sebagai fenomen.” Begitu ya. Jadi itu dulu contoh yang lebih konkret terkait cara bertanya Fenomenologi, dan yang (konkret) seperti ini diharapkan dapat lebih membantu orang untuk mengenali perbedaan (antara Fenomenologi dengan Ontologi).

Karena, kalau tidak begini, kata Husserl, orang akan dengan gampang selalu melompat ke pernyataan yang dianggap sudah ‘benar dengan sendirinya.’ Contohnya, ketika ada anak yang mengalami masalah (di sekolah berperilaku nakal dan melukai temannya, misalnya), lalu responnya, kan ada orangtua, bapak ibunya. Lalu selesai perkara. Tidak. Bukan seperti ini kalau pakai Fenomenologi.

Semoga pemaparan singkat di atas dapat membantu sidang pembaca untuk lebih mengenali Fenomenologi sebagai Metode berpikir, bertanya dan menyatakan sesuatu yang khas yang jelas sekali berbeda dengan cara berpikir, bertanya dan menyatakan sesuatu secara ontologis yang ‘kalau ada ini ada itu, sudah jelas, lalu habis perkara.’

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *