Pembacaan Nietzschean Beyond Good and Evil dari film La Bête (2023) karya sutradara Bertrand Bonello
Bagian 01 dari 02
Saya menonton film ini secara legal (berbayar) di apps KlikFilm:
https://klikfilm.com/v4/watch/49-5719
Setelah tuntas menontonnya, saya bertanya-tanya, apa makna simbolisme dalam film The Beast (bahasa Prancis: La Bête) — sebuah film drama romantis fiksi imiah tahun 2023 yang disutradarai dan ditulis oleh Bertrand Bonello?
Yang saya maksud dengan simbolisme di sini di antaranya ialah: merpati, api dan banjir, boneka-boneka, lagu Evergreen & Klub dansa, juga masa depan yang dikuasai AI (2044) dan upaya pemurnian DNA manusia untuk mengenyahkan perasaannya dan membuatnya fit for the job & e-nvironment?
Dalam The Beast (2023), simbolisme berperan penting untuk mengeksplorasi tema-tema eksistensial seperti cinta, ketakutan, dampak teknologi pada eksistensi manusia, serta kesepian yang akut.
1. Merpati
Merpati sering kali melambangkan kedamaian, kebebasan, juga kerentanan. Dalam The Beast, merpati mewakili kerapuhan emosi manusia atau hilangnya kepolosan dalam dunia yang didominasi teknologi dan ketakutan. Kehadirannya juga dapat mengisyaratkan kerinduan karakter akan kesederhanaan serta keterhubungannya dengan alam di tengah-tengah realitas distopia.
2. Kebakaran dan Banjir
Api dan air (banjir) adalah simbol klasik dari kehancuran dan pembaruan. Dalam The Beast, keduanya dapat mewakil sifat siklus penderitaan manusia dan keniscayaan akan perubahan. Api dapat melambangkan gairah, kehancuran, atau pemurnian; sementara banjir dapat menandakan emosi yang meluap-uap, kekacauan, atau kekuatan pembersihan. Secara jukstaposisi, keduanya mencerminkan dilema batin yang dihadapi tokoh utama, yaitu Gabrielle Monnier (diperankan oleh aktris berbakat, Léa Seydoux).
3. Boneka
Boneka acapkali melambangkan kepolosan, kendali, atau hal yang tidak biasa (uncanny). Dalam The Beast, keberadaan boneka (baik dalam setting di Paris, 1910 maupun di tahun 2044) mewakili artifisialitas emosi manusia dalam dunia yang digerakkan oleh teknologi atau lunturnya keaslian. Boneka-boneka juga dapat mencerminkan upaya Gabrielle untuk mempertahankan kemurnian kodratiah atau hal yang manusiawi dalam lingkungan yang semakin tidak manusiawi (artifisial). Pada Paris 1910, hidup yang aristokratik; pada masa depan 2044, dunia yang semakin dikendalikan Akal Imitasi.
4. Lagu Evergreen & keberadaan Klub
Lagu evergreen melambangkan keabadian, nostalgia, serta kegigihan emosi khas manusia seperti cinta dan kerinduan. Klub, sebagai latar, mewakil pelarian, hedonisme, atau ruang yang di dalamnya para karakter menghadapi ketakutan dan keinginan mereka. Secara bersama, lagu dan klub (yang berbeda-beda setting tahun/dekade) menyoroti adanya ketegangan antara masa lalu dan masa depan, juga perjuangan Gabrielle untuk menemukan makna di dunia yang fana.
5. Akal Imitasi (AI)
AI dalam The Beast bisa jadi melambangkan dehumanisasi masyarakat, hilangnya individualitas, dan dilema etis atas kemajuan teknologi. Hal ini juga dapat mewakili ketakutan para karakter (khususnya Gabrielle) untuk digantikan atau dikendalikan mesin, serta garis batas yang mengabur antara emosi manusia (alamiah) dan emosi buatan (artifisial).
6. Pemurnian
Pemurnian melambangkan keinginan para karakter untuk membersihkan diri mereka dari rasa takut, rasa
bersalah, atau pengaruh teknologi yang merusak. Pemurnian juga dapat mencerminkan tema yang lebih luas tentang pembaharuan masyarakat atau spiritual (renewal), yang menunjukkan kebutuhan dasariah untuk kembali ke kondisi yang lebih fitriah, otentik, dan manusiawi.
Secara keseluruhan, simbol-simbol ini berpadu menciptakan narasi berlapis yang mengeksplorasi persimpangan antara kemanusiaan, teknologi, dan emosi di masa depan yang distopian. Bonello sepertinya menggunakan simbol-simbol di atas untuk menyelami jiwa para karakter dan memberikan catatan kritis pada pembacaannya atas dunia yang semakin didominasi oleh kecerdasan buatan dan ketidakpastian eksistensial.
Akan tetapi, [spoiler alert], mengapa Gabrielle Monnier gagal melewati tes pemurnian dan merupakan bagian dari 0,7% kegagalan mesin (AI). Apa arti dari kegagalan ini? Apakah “emosi manusia sejatinya terlalu kuat untuk dihapus dan digantikan dengan kontrol dan algoritma”?
Kegagalan Gabrielle Monnier lolos dari tes pemurnian emosi dalam The Beast menjadi momen penting yang memiliki bobot simbolis yang signifikan. Ketidakmampuannya untuk “dimurnikan” dan masuknya Gabrielle ke dalam tingkat kegagalan 0,7% dapat ditafsirkan sebagai representasi gagasan bahwa emosi terlalu kuat untuk dihapus dan digantikan oleh kontrol dan algoritma.
Berikut penafsirannya:
1. Kemenangan Emosi Manusia Atas Kontrol Buatan
Kegagalan Gabrielle lulus tes “pemurnian” menunjukkan bahwa emosinya, khususnya cinta, ketakutan, dan
kerentanannya, jauh tertanam kuat untuk dapat dihapus atau ditekan proses pemurnian yang dijalankan teknologi Akal Imitasi. Hal ini dapat melambangkan ketahanan emosi si karakter serta kegigihannya untuk tidak dikomodifikasi, dikontrol, atau digantikan sistem buatan. Pokok ini sekaligus menggarisbawahi gagasan bahwa ada aspek-aspek kemanusiaan (seperti cinta, hasrat, dan ketakutan eksistensial) yang tidak dapat sepenuhnya dikuantifikasi atau dihilangkan, tidak peduli betapa canggihnya teknologi yang digunakan.
2. Tingkat Kegagalan 0,7% sebagai Simbol Resistensi
Tingkat kegagalan 0,7% mungkin mewakili sebagian kecil manusia yang menolak untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat yang digerakkan teknologi Akal Imitasi. Mereka, termasuk Gabrielle, melambangkan ketidaksempurnaan dan kerumitan yang justru menjadi ciri khas manusia. Kegagalan mereka untuk “dimurnikan” bukanlah sebuah kekurangan, melainkan bukti kemanusiaan mereka. Hal ini sepertinya menunjukkan bahwa dalam dunia yang didominasi oleh algoritma dan kontrol AI pun akan selalu ada orang-orang yang menolak dan mempertahankan kedalaman emosi mereka. 🙁
3. Emosi merupakan Kekuatan yang Menantang
Emosi Gabrielle yang kuat, terendam dalam ingatan akan cinta, ketakutan, dan kerinduan, dapat dilihat sebagai bentuk pemberontakannya terhadap dunia yang dingin, logis, dan hampir sepenuhnya terkendali—adegan dalam film yang diwakili proses pemurnian. Kegagalannya untuk lulus ujian “pemurnian” (tidak seperti Louis yang pada akhirnya berhasil), mau menunjukkan pemaknaan bahwa emosi bukanlah kelemahan kodratiah tapi justru kekuatan yang menantang sekaligus menentang penghapusan. Manusia dengan segala kekayaan dan kedalaman emosinya ternyata tidak dapat direduksi menjadi agregat data berkat jalannya algoritma AI.
4. Dampak dari Pemurnian
Kegagalan Gabrielle menimbulkan pertanyaan tentang dampak pemurnian. Apa artinya kehilangan emosi, ingatan, atau kemanusiaan seseorang demi mengejar keamanan, kendali, atau kesempurnaan?
Ketidakmampuannya untuk lulus ujian menunjukkan bahwa proses pemurnian harus dibayar dengan harga yang terlalu mahal yaitu kehilangan hal-hal unik yang membuat kita menjadi manusia yang sesungguhnya. Bonello dalam The Beast mau mengkritik gagasan bahwa upaya menekan emosi bahkan menghapuskannya bukanlah tujuan yang realistis untuk dikejar dan diwujudkan dalam masyarakat yang semakin tergantung pada atau dikendalikan akal imitasi.
5. Kritik terhadap Utopianisme Teknologi
Film ini pada akhirnya mengkritik gagasan utopis kecanggihan teknologi yang di dalamnya kekurangan manusia mau dihapuskan/diberantas seperti rumput liar di taman yang asri. The Beast menunjukkan bahwa dunia yang dikelola AI tidak memiliki hal-hal yang memberi makna insaniah pada kehidupan: cinta, gairah, ketakutan, dan kerentanan. Perlawanan Gabrielle terhadap pemurnian menjadi simbol harapan sekaligus mengingatkan kita bahwa ketidaksempurnaan manusia (dalam tangis dan kerinduan yang tidak kunjung terpenuhi; cinta yang berbalas; kesepian yang terobati, dll.) justru menjadi potensi kekuatannya.
Singkatnya, kegagalan Gabrielle Monnier untuk lulus tes pemurnian mewakili sifat emosi manusia yang tak tergoyahkan dan ketahanannya untuk dihapus atau dikendalikan oleh teknologi. Emosi adalah bagian yang esensial dan tidak dapat direduksi dari arti menjadi manusia (Damasio, 1994; Griffiths, 2004; Nussbaum, 2004; Prinz, 2004; Solomon, 1993; Lewis, Haviland-Jones, & Barrett, 2008; Johnson, 2009; Scarantino, 2018), dan upaya untuk menekan atau menggantinya dengan algoritma dan kontrol rasio apalagi Akal Imitasi, pada akhirnya akan gagal, setidaknya untuk beberapa orang.
Kegagalan ini bukanlah kekalahan untuk diratapi, melainkan kemenangan yang layak dibanggakan: sebuah pengingat akan kekuatan cinta, rasa takut, dan semangat menjadi manusia yang utuh dalam kerapuhannya, menyatu dalam kepingannya, dan tak lekang oleh waktu.
Berikut ditampilkan kutipan dari sejumlah review atas film ini serta tautan untuk mengaksesnya:
The Beast (La Bête, 2023) might be a parable for humanity’s fear of growing irrelevance in an increasingly automated and emotionless world, it might be the inherent fear of being alone. It might be something else entirely. Across The Beast’s 145-minute runtime Bonello digs into the looming ubiquity of AI, the horror (and sadness) of incel culture and the importance of emotion (and music!) while also serving up a lacerating satire of modernity and the direction society is heading (Tom Davidson, 2024)
It’s the fear of love, but it’s okay for me if everyone sees the beast where they want to see it. It’s just the idea of the catastrophe, of something that is stronger than you and will destroy everything (interview with Bonello, echoing Henry James’ novella, The Beast in the Jungle, 1903). Lihat: https://aframe.oscars.org/
Film Reviews on The Beast