Sebuah catatan reflektif dari Chief Editor UltimaComm: Jurnal Ilmu Komunikasi
Menjadi chief editor jurnal ilmiah tidak sekadar berkutat dengan aspek teknis pengelolaan naskah, tetapi juga merupakan perjalanan kepemimpinan intelektual yang mendalam. Selama sembilan bulan mengawal UltimaComm: Jurnal Ilmu Komunikasi, saya menemukan bahwa tugas ini lebih dari sekadar menilai kelayakan tulisan. Saya telah mengawal nilai-nilai akademis, mendampingi transformasi paradigma berpikir, dan tanpa disadari, turut mewariskan standar yang akan membentuk lanskap keilmuan komunikasi di masa mendatang.
Berikut sembilan refleksi kritis yang saya petik dari kursi editorial sejak Agustus 2024:
1. Integritas ilmiah sebagai fondasi tak tergantikan
Dalam setiap keputusan editorial, integritas ilmiah harus menjadi kompas utama. Banyak naskah yang masuk dengan semangat tinggi namun kerangka berpikir yang kabur—penelitian tanpa pertanyaan riset yang jelas, metodologi yang rancu, atau literatur yang sekadar deretan kutipan tanpa sintesis bermakna. Integritas intelektual mengharuskan kita memberikan umpan balik yang jujur, kritik yang konstruktif, dan keputusan editorial yang tidak terpengaruh oleh sentimen personal. Standar ilmiah bukanlah sesuatu yang dapat dikompromikan.
2. Transformasi dari deskripsi ke analisis kritis
Tantangan terbesar dalam proses editorial adalah mendorong pergeseran paradigma penulisan—dari sekadar deskriptif menjadi analitis, dari narasi laporan menjadi pengembangan argumentasi, dari penggunaan terminologi kompleks menjadi kerangka logis yang koheren. Tulisan ilmiah yang bermutu tidak hanya menjawab “apa yang terjadi” tetapi juga mengeksplorasi “mengapa ini signifikan, dan bagaimana membuktikannya.” Pergeseran ini bukan hanya soal teknis penulisan, melainkan transformasi epistemologis yang fundamental.
3. Kritik sebagai bentuk kepedulian akademis
Surat penolakan naskah dapat menjadi momen pembelajaran yang berharga, dan proses revisi bisa menjadi ruang transformasi intelektual. Itulah mengapa setiap umpan balik yang saya berikan selalu disertai dengan contoh konkret, rekomendasi sumber, dan terkadang bahkan reformulasi paragraf. Kritik yang diberikan dengan seksama merupakan bentuk perhatian akademis—kritik yang bertujuan menyelamatkan, bukan menjatuhkan. Dalam ekosistem akademik, kritik yang konstruktif adalah katalis pertumbuhan intelektual.
4. Kejelasan epistemologis dan upaya menjaga marwah jurnal
Menjaga batas-batas epistemologis bukanlah tindakan eksklusi, melainkan komitmen terhadap koherensi keilmuan. Tidak jarang saya menerima naskah yang—meskipun menarik—lebih tepat diterbitkan di jurnal pendidikan, teknologi, atau kebijakan publik. Membiarkan naskah-naskah tersebut lolos seleksi awal merupakan bentuk “penyimpangan epistemik” yang dapat mengaburkan identitas jurnal. Editor harus berani berdiri pada posisi yang tidak selalu populer: menolak naskah yang tidak sesuai dengan ruang lingkup jurnal, sembari tetap membuka dialog konstruktif dengan para penulis naskah (authors).
5. Memimpin diskursus dan bukan menghakimi
Memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyanggah penilaian awal bukan merupakan tanda keraguan, melainkan pengejawantahan prinsip keterbukaan akademis. Peran editor bukanlah mengetahui segalanya, tetapi menjadi fasilitator diskusi yang adil, terbuka, dan berbasis argumen. Justru dalam proses dialogis inilah kita dapat mengembangkan perspektif yang lebih fleksibel dan komprehensif.
6. Etika komunikasi menjadi jantung dari proses editorial
Etika komunikasi merupakan aspek yang tidak selalu diartikulasikan secara eksplisit, namun harus dipraktikkan secara konsisten—berbicara kepada penulis dengan empati dan menghormati upaya mereka. Bahkan ketika suatu naskah jauh dari standar publikasi, cara menyampaikan penolakan dapat menentukan apakah penulis tersebut akan tumbuh atau justru berhenti berkarya. Di sinilah nilai-nilai komunikasi etis memainkan peran sentral dalam proses editorial.
7. Melawan stagnasi penulisan akademik
Gaya penulisan akademik di Indonesia masih sering terjebak dalam pola presentasi: terminologi kompleks, kalimat abstrak, namun miskin argumentasi substansial. Fenomena ini merupakan warisan yang perlu direkonstruksi melalui catatan editorial yang tegas namun solutif. Menulis ilmiah bukan tentang “terlihat intelektual” melainkan tentang “menyampaikan pemikiran secara mendalam dan dapat dipahami.”
8. Menolak naskah sebagai bentuk tanggung jawab akademis
Keputusan menolak naskah merupakan manifestasi tertinggi dari tanggung jawab editorial—bukan karena tidak ada harapan, melainkan karena belum ada kecukupan kualitas. Menunda penolakan terhadap naskah yang belum memenuhi standar akademik adalah bentuk disorientasi intelektual. Penolakan yang disampaikan dengan tepat justru dapat membuka jalan bagi pengembangan kualitas karya ilmiah di masa mendatang.
9. Kolaborasi tim Editorial sebagai ekosistem akademis penjaga mutu
Kesuksesan proses editorial tidak pernah menjadi upaya soliter. Tim editorial yang solid adalah fondasi penting dalam menjaga standar keilmuan. Setiap editor memiliki keahlian dan perspektif unik yang berfungsi sebagai garda terdepan dalam proses penyaringan epistemik (gate-keeping) dan peningkatan kualitas naskah (epistemic enhancement). Mendelegasikan kepercayaan kepada tim editorial bukan sekadar strategi manajemen; ini adalah pengakuan bahwa ekosistem pengetahuan yang sehat membutuhkan keragaman sudut pandang dan keahlian. Sebagai chief editor, saya belajar bahwa keputusan terbaik sering muncul dari diskusi kolektif yang menggabungkan berbagai kekuatan analitis para editor dalam menilai kelayakan dan potensi sebuah naskah. Kolaborasi tim editorial yang efektif menciptakan lingkungan di mana standar akademik tidak sekadar dipertahankan, tetapi terus ditingkatkan melalui dialog kritis yang berkelanjutan.
Epilog: Membangun warisan intelektual melalui praksis Editorial
Warisan seorang editor bukanlah sekadar edisi terbitan yang terkelola dengan baik atau sistem OJS yang tertib. Warisan sejati terletak pada standar berpikir yang ditanamkan, cara memberikan umpan balik yang bermakna, dan komitmen untuk mengembangkan disiplin ilmu komunikasi sebagai bidang keilmuan yang rigorous dan progresif. Ilmu yang berkelanjutan adalah ilmu yang dipertaruhkan dengan kesungguhan—dalam setiap revisi, komentar, dan keputusan editorial yang kita ambil hari ini.
Semoga refleksi ini dapat menjadi kaca benggala bagi rekan-rekan sekalian yang mau memercayakan naskah-naskahnya untuk diproses dan akhirnya dimuat di UltimaComm: Jurnal Ilmu Komunikasi!
Tabik!
Hendar Putranto