Menurut Vivien Burr dalam An Introduction to Social Constructionism (1995), selama periode 1980-1995 muncul sejumlah pendekatan alternatif untuk mempelajari manusia sebagai makhluk sosial. Ada yang menyebut pendekatan ini dengan istilah ‘psikologi kritis’, ‘analisis wacana’, ‘dekonstruksi’ dan ‘pasca-strukturalisme.’ Kesamaan dari sejumlah pendekatan dengan label yang bervariasi ini adalah payung teoritis bernama konstruksionisme sosial (KonSos).
Secara sederhana, KonSos dipahami sebagai “sebuah orientasi teoritis yang mewadahi semua pendekatan baru untuk mempelajari manusia sbg makhluk sosial, yang menawarkan alternatif radikal juga kritis dalam bidang psikologi dan psikologi sosial, sebagaimana dalam bidang2 ilmu lainnya di bawah payung besar ilmu2 Sosial-Humaniora.” (a theoretical orientation which to a greater or lesser degree underpins all of these newer approaches, which are currently offering radical and critical alternatives in psychology and social psychology, as well as in other disciplines in the social sciences and humanities).
Hibberd (2005) menggarisbawahi pengertian Burr tentang KonSos ini. Menurutnya, “KonSos memberikan tekanan pada karakter historisitas, kontekstualitas, dan sosio-linguistik dari semua hal yang melibatkan kegiatan manusia…dengan mengambil posisi bahwa semua fakta psiko-sosial itu dikonstruksi, artinya, dibentuk oleh tindakan2 manusia, misalnya: lewat sejumlah kegiatan sosio-linguistik seperti negosiasi dan retorika. Proses-proses sosial ini dipercaya memproduksi fakta dari sains sosial, dan, pada gilirannya, kesemua fakta ini dianggap fakta dari proses2 sosial dan lingkungan sosial.”
Burr menggunakan istilah ‘social constructionism’ alih-alih ‘constructivism’ dalam bukunya karena ia mengikuti rekomendasi Gergen (1985): konstruktivisme cukup sering merujuk ke teori perseptual dari Jean Piaget [Tokoh besar Ilmu Psikologi yang mengusulkan Teori Perkembangan Kognitif]. Hal ini dapat membingungkan jika tidak dibuat & digunakan istilah yang berbeda. Burr juga lebih menerapkan pendekatan KonSos ini untuk bidang ilmu Psikologi Sosial, meskipun diakuinya bahwa KonSos itu pendekatan yang multidisipliner, yang perkembangannya dipengaruhi kajian filsafat, sosiologi, dan linguistik. Burr mendefinisikan pendekatan KonSos dengan menggunakan model ‘kemiripan sebagai satu keluarga’ (family resemblance), dikarenakan tidak ada satu pun fitur yang sama dan ajeg untuk mengidentifikasi posisi KonSos.
Burr menjabarkan lima tipologi kemiripan keluarga dari pendekatan KonSos (mengikuti Gergen, 1985):
1. A critical stance towards taken-for-granted knowledge, termasuk positivisme dan empirisme dari sains tradisional, yang bertumpu pada asumsi bahwa kodrat dunia itu dapat diketahui dengan pengamatan; yang ada/nyata itu hasil dari persepsi kita. Contoh: apa yang membedakan musik pop dengan musik klasik? Dangdut dengan metal? Gender: lelaki dan perempuan? dst
2. Historical and cultural specificity, artinya, pengetahuan dan pembedaan kita tentang musik klasik dan pop, gender lelaki dan perempuan, dst tadi, tergantung pada waktu dan tempat, kapan dan di bagian mana dari dunia ini kita hidup dan bermukim. Contoh: gagasan tentang kanak-kanak (childhood) benar-benar sudah mengalami pergeseran dalam beberapa abad terakhir ini.
3. Knowledge is sustained by social processes: pengetahuan dan kebenaran merupakan hasil konstruksi banyak orang dalam interaksi sosial sehari-hari di antara mereka
4. Knowledge and social action go together: dengan keragaman pemahaman yang diusung pendekatan ini, maka ada numerous possible ‘social constructions’ of the world. Setiap konstruksi pengetahuan yang berbeda akan membawa atau menyertakan gugus tindakan atau perilaku yang berbeda pula. Contoh: ALKOHOLISME dulu dilihat sebagai kejahatan maka pelakunya perlu dihukum (dipenjara). Tapi, seiring perubahan waktu dan pemahaman orang, Alkoholisme sekarang lebih dilihat sebagai gejala kecanduan, suatu simtom penyakit, maka pelakunya (yang lalu dilihat sebagai korban) perlu diobati atau direhabilitasi.
5. Ringkasnya, dibandingkan pendekatan psikologi tradisional, KonSos menawarkan lima gugus semangat berikut ini: a) Anti-esensialisme, b) Anti-realisme, c) Pengetahuan itu tumbuh dan meletak secara spesifik dalam ruang waktu dan tradisi budaya yang berbeda, d) Memberi perhatian besar pada bahasa (sebagai pra-kondisi dari berpikir dan juga sebuah bentuk tindakan sosial), dan e) Elaborasi konseptual yang berfokus pada proses interaksi, apa yang orang lakukan bersama-sama, juga pada praktik sosial yang ada. Penjelasan atas pola perilaku tidak ditemukan dalam jiwa si individu atau dalam struktur2 sosial, tapi lebih pada proses interaktif antar orang yang berlangsung secara rutin.
Dilihat secara Epistemologis, akar dari pendekatan KonSos terletak dalam bingkai besar Epistemologi Pascamodern karena KonSos tertarik menggali kisah2 pribadi meskipun tetap menyadari bahwa kisah2 dominan dalam masyarakat yang lebih luas dapat jadi mendominasi pengalaman2 individu tsb. Selain itu, KonSos berbagi kepercayaan dengan pendekatan konstruktivis bahwa ada lebih dari satu realitas atau lebih dari satu penjelasan tentang realitas yang eksis. Meski demikian, KonSos berpegangan pada premis pascamodern bahwa semua penjelasan tentang realitas itu tidak sama nilainya (validitasnya) (Lih. Bab 3, Epistemologi dari Konstruksionisme Sosial, h. 71 dst).
Ada sejumlah tokoh yang dirujuk Burr sebagai pionir dalam pengembangan pendekatan KonSos. Di antaranya Gergen dan Gergen (1984, 1986), Sarbin (1986) dan Shotter (1993a, 1993b). Gergen dan Sarbin menaruh perhatian khusus pada bagaimana orang berupaya menjelaskan diri mereka sebagai hasil konstruksi ‘cerita atau kisah’, sementara Shotter lebih berfokus pada proses konstruksi antar-pribadi yang dinamis yang disebutnya dengan istilah ‘joint action’ (Shotter, 1993a, 1993b).
ISU2 YANG DIGULATI PARA PENGGIAT KONSOS (Burr, 1995, h. 10-11)
Pada bab 1, Burr menanggapi penolakan terhadap esensialisme dan pertanyaan awam tentang cara-cara memahami manusia dengan menggunakan sarana (menjawab) yaitu ide ‘kepribadian’. Mempertanyakan cara2 psikologi tradisional memahami manusia berarti membuka ruang untuk penjelasan alternatif, yaitu KonSos. Jika esensialisme ditolak, lantas bagaimana kita dapat menjelaskan perilaku dan pengalaman manusia? Para penggiat KonSos mengalihkan perhatiannya pada isu bahasa. Ini pembahasan Burr pada bab 2, bahwa bahasa berperan penting dalam (mengatur) cara kita berpikir dan melihat diri sendiri sebagai ‘pribadi.’ Burr lalu melanjutkan telusur soal bahasa ini pada bab 3 ketika ia membahas gagasan tentang ‘wacana’ (bentuk jamak) dan perannya dalam mengkonstruksi kehidupan sosial. Wacana yg berbeda mengkonstruksi fenomena sosial yang berbeda pula dan membuka ruang kemungkinan yang beragam untuk tindakan manusia. Pertanyaan kritisnya lalu: mengapa sejumlah wacana (sebagai ‘cara merepresentasikan dunia’) tampaknya mendapatkan label ‘kebenaran’ atau ‘masuk akal’? Pertanyaan ini mengangkat isu soal relasi kekuasaan, karena sejumlah cara merepresentasikan dunia tampaknya memiliki dampak yang represif atau membatasi sejumlah kelompok dalam masyarakat. Jadi, pada bab 4 dibahas hubungan antara wacana dan kekuasaan serta masalah2 yang muncul dari hubungan ini bagi KonSos.
Persoalannya, jika KonSos melupakan ide ‘kebenaran’ & realitas yang dapat secara langsung ‘ditangkap’ manusia, bagaimana membenarkan pernyataan bahwa sejumlah orang dalam suatu masyarakat itu ‘benar2’ ditindas? Tidakkah ‘penindasan’ sebuah wacana saja, suatu cara lain melihat dunia? Rongak antara realitas dan pemahaman orang biasa sehari2 dan tempat/letak mereka di dalamnya seringkali dibincang dalam istilah ‘ideologi.’ Gagasan tentang ‘status realitas dan peranan yg mungkin dari konsep ideologi dalam KonSos’ merupakan pokok bahasan bab 5. Tidak sedikit orang percaya bahwa tujuan akhir dari sains sosial adalah, atau seharusnya, mendorong perubahan sosial. Dalam kerangka pikir KonSos, kemungkinan2 perubahan sosial seperti apa? Dapatkah seorang individu membuat perubahan (dalam masyarakat) atau si individu tersebut harus terlebih dulu mengubah struktur masyarakat? Sebuah model menjawab pertanyaan ini tergantung pada bagaimana Anda mengkonsepkan hubungan antara individu dengan masyarakat, yang merupakan gagasan sentral bab 6. Juga dibhas gagasan ‘individu’ seperti apa yang masih tersisa? Apakah individu masih memiliki ‘agensi’? Pertanyaan2 ini dimasuki KonSos karena pandangan psikologi tradisional tidak lagi memadai untuk menjelaskan konsep kedirian atau ‘subjektivitas’. Pada bab 7, 8 dan 9, Burr melihat tiga konsep diri (pribadi) yang berbeda2 dalam pendekatan KonSos. Akhirnya, para peneliti sains sosial harus bertanya seperti apa mempraktikkan sains sosial dalam kerangka KonSos? Pada bab 10, Burr melihat bahwa teori memberikan input (atau should inform) praktik riset dan juga memberikan contoh2 jenis riset yang sudah pernah dipraktekkan dalam kerangka KonSos (misalnya, analisis wacana), juga panduan praktis bagaimana melakukan Analisis Wacana.
Contoh Riset Aplikatif yang menggunakan Pendekatan KonSos: Isu Seksualitas
Klostermann dan Forstadt (2016) menggunakan pendekatan KonSos untuk mengeksplorasi konstruksi sosial dari isu seksualitas. Telaahnya dimulai dari Abad Pertengahan yang memandang ekspresi seksualitas melulu dari kacamata agama (Katolik Roma & Protestan) sehingga muncullah label ‘hasrat seksual’ sebagai “dosa kedagingan.” Pada Abad ke-20, terjadi pergeseran cara pandang (KonSos) terhadap isu seksualitas, dari yang tadinya didominasi agama & moralitas menjadi deskripsi seksualitas yang lebih empiris-ilmiah. Seksualitas misalnya dipahami sebagai “kekuatan alamiah yang berseberangan dengan peradaban, budaya, atau masyarakat.” Selama 1960-an, paradigma ilmiah yang berlaku belum berhasil secara penuh mendeskripsikan aspek2 seksualitas sehingga hal ini justru memicu sejumlah pakar riset sosial dan para aktivis gay dan lesbian untuk mengoreksi arah paradigma seksual. Hasilnya, selama 1970-an dan 1980-an, muncul dan berkembang perspektif tentang seksualitas sebagai konstruksi sosial, budaya dan historis (Plummer 1984; Parker 2009). Secara khusus, seorang ahli isu seksualitas mengatakan bahwa seksualitas itu dipahami “bukan sebagai hasil dari perilaku manusia yang irreversible, namun produk dari kelindan proses sosial, budaya dan historis.” (Parker 2009). Perspektif baru tentang seksualitas semacam ini berfokus pada pengalaman antarpribadi yang mendefinisikan makna seksual dan pengintegrasian dari makna ini pada keseluruhan kolektif masyarakat. Salah satu akibatnya adalah bahwa “memahami perilaku individu tidak lebih penting daripada memahami konteks interaksi seksual manusia” (Parker 2009). Lebih jauh lagi, Parker menunjukkan dua hal penting berikut ini: “Pertama, kategori2 seksualitas seperti homoseksualitas, prostitusi, maskulinitas, dan femininitas bisa jadi bervariasi dalam sejumlah setting sosial dan budaya yang berbeda-beda dan tidak semuanya masuk (cocok) dalam kategori yang didesain alam berpikir dan praktik Sains Barat, dan kedua, pengertian tentang lelaki, perempuan maskulin atau feminin, dalam konteks sosio-budaya yang berbeda bisa jadi amat bervariasi dan identitas gender tidak bisa direduksi begitu saja pada dikotomi biologis yang (selama ini kerap dianggap) mendasarinya” (Parker, 2009).
Pertanyaan pendalaman sekaligus aplikasi pendekatan KonSos untuk peristiwa aktual, relevan, dan sehari2:
Berilah contoh penggunaan pendekatan KonSos dalam riset Ilmu Komunikasi untuk ‘melihat’ (menganalisis) kasus global Wabah Penyakit Covid-19 pada tahun 2020 ini!
Bibliography
Burr, V. (1995). An Introduction to Social Constructionism. London dan New York: Routledge.
Hibberd, F. J. (2005). Unfolding Social Constructionism. Springer.
Klostermann, K. dan Forstadt, D. (2016). Dalam Naples, N. A., Editor. The Wiley Blackwell Encyclopedia of Gender and Sexuality Studies, Edisi Pertama. John Wiley & Sons, Ltd. DOI: 10.1002/9781118663219.wbegss567
Parker, R. G. (2009). Sexuality, Culture and Society: Shifting Paradigms in Sexuality Research. Culture, Health & Sexuality, Vol. 11(3), pp. 251–266. DOI: 10.1080/13691050701606941