Categories
Uncategorized

Empat Faktor Yang Membatalkan Pemiskinan dalam Industri Budaya: Sebuah Tanggapan

Menurut Armando (2020), ada “Empat Faktor Yang Membatalkan Pemiskinan dalam Industri Budaya.” Empat faktor tersebut saling terkait-menopang dan terdiri dari:

1. Faktor kekuatan Pemodal (terutama mereka, para pemilik studio film majors di USA, yang sebagian besarnya merupakan para pedagang keturunan Yahudi)
2. Faktor kekuatan Sutradara sebagai kreator (sehingga dari tangan mereka lahirlah karya-karya artistik yang sebagian melandaskan diri pada karya-karya sastra bermutu yang membahas isu-isu sosial. Para sutradara, atau biasa disebut The Intellectuals ini tidak ‘tunduk’ pada selera pasar dan resep film yang standardized dengan pesan yang homogen. Contohnya adalah film-film besutan sutradara Elia Kazan, Frank Capra, Stanley Kubrick, Oliver Stone, Martin Scorsese, dll.)
3. Faktor Taste Culture sebagai diversifikasi selera berbasis kelas sosio-ekonomi (yang merupakan inti dari kritik Gans terhadap gagasan Adorno tentang Industri Budaya)
4. Faktor kekuatan Teknologi (logika Long Tail, industri film berbasis Digital, layanan Streaming seperti Netflix, dst.)
Armando (2020, menit 34, detik 10) mengatakan bahwa “kombinasi dari berbagai faktor di atas itu menyebabkan kondisi industri perfilman (dan juga industri budaya lainnya) di AS tidak se-gloomy seperti yang dibayangkan Adorno.” Lantas, pertanyaan Armando (2020, menit 34, detik 25): “Apakah hal serupa bisa terjadi di Indonesia?” menarik dan mendesak untuk dijawab.

Berikut tanggapan singkat saya untuk poin faktor nomor 1 dan 2 di atas. Untuk poin faktor no. 1, jika di Hollywood kekuatan pemodal diwakili/direpresentasikan oleh para pedagang Yahudi, maka di dalam industri perfilman Indonesia kekuatan pemodal ini didominasi siapa? Keturunan Tionghoa (Barker, 2010), juga India (Raam Punjabi, dkk). Untuk poin faktor No. 2: kekuatan sutradara asli Indonesia yang membuat film-film dengan tidak ‘melulu’ mengikuti logika pasar itu dieksemplifikasikan siapa saja? Data yang berhasil dihimpun dari sejumlah sumber menunjukkan bahwa pertama-tama, tentu saja nama Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail, tokoh sineas kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat (dengan film-film seperti Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Djogja (1951), Dosa Tak Berampun (1951), Lewat Djam Malam (1954), Tiga Dara (1956), Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962)), kemudian Sjumandjaja (Lewat Tengah Malam, Pengantin Remadja, Flambojan, Si Doel Anak Betawi Si Mamad, Pinangan, Laila Majenun, Yang Muda Yang Bercinta, dst.), lalu Misbach Jusa Biran [Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1966)], Nya’ Abbas Acub, Asrul Sani, Teguh Karya, MT Risyaf [(Naga Bonar, 1986)], Chaerul Umam dan N. Riantiarno. Merekalah sosok sutradara yang bukan hanya menghasilkan karya-karya film artistik (estetis), yang berhasil menuai penghargaan piala Citra dalam ajang FFI, misalnya, tetapi juga karena sebagian besar film yang mereka ciptakan mendapat respon pasar yang positif (dalam arti ditonton banyak pemirsa) serta lolos dari gunting sensor Badan Sensor Film (BSF).

Saya juga mau menambahkan empat faktor penting yang menurut hemat saya perlu dimasukkan sebagai konsideran tambahan dari “Pembatal Pemiskinan dalam Industri Budaya.”

Pertama, peran pemerintah sebagai regulator industri perfilman (dan secara lebih luas lagi: Industri Budaya, Media dan Informasi). Perlu dibedakan antara peran pemerintah USA yang cenderung lebih liberal tapi tetap fair mendukung tumbuh-kembangnya industri film dengan pemerintah Indonesia, terutama pemerintah era Orde Baru yang cenderung lebih otoriter membatasi kebebasan berekspresi para sineas. Contoh film Si Mamad (1973) yang awalnya berjudul Matinya Seorang Pagawai Negeri, film Nyoman dan Presiden (1989), yang akhirnya bersalin judul menjadi Nyoman Cinta Merah Putih, dan film genre komedi yang awalnya berjudul Kiri Kanan OK (1989) pun terpaksa mengubah judulnya menjadi Kanan Kiri OK.

Kedua, analisis ekonomi-politik terhadap industri perfilman menunjukkan adanya logika luwes kapitalisme berbasis industri budaya yang tidak hanya terbatas spasio-temporal pada Hollywood (USA) tapi juga sudah berkembang di dan diikuti negara-negara lain. Penelitian Crane (2014) menunjukkan bahwa wajah pasar film global merupakan situs strategis untuk memeriksa pengaruh global dari budaya media Amerika (USA). Industri film merupakan bagian dari budaya media yang lebih besar (bdk. Wasko, 2005). Untuk menghasilkan analisis sosiologis yang berbasis data empiris yang kredibel, Crane menggunakan database yang dikompilasi lembaga bernama the European Audiovisual Observatory . Data menunjukkan bahwa pasar film global terdiri dari 34 negara yang memproduksi lebih dari 25 film per tahunnya, yang dikategorikan menjadi empat kriteria: Super Producers (empat negara), Major Producers (tujuh negara), Medium Producers (11 negara), dan Minor Producers (12 negara). Dari sejumlah daftar top 10 films yang ada di 34 negara ini, tampak bahwa film-film Amerika mendominasi, kemudian baru diikuti film-film produksi lokal. Meskipun ada sejumlah kebijakan budaya nasional yang diambil terkait dengan kebijakan perfilman, yang berkontribusi pada majunya industri film nasional (masing-masing negara), namun hal ini belum mampu membendung (mengimbangi) dominasi film-film produksi USA. Kebutuhan Hollywood agar filmnya sukses diterima (ditonton) di banyak negara (jadi, increasing revenues) telah mengubah resep box office global yang pada gilirannya mendorong sejumlah perubahan dalam konten film Hollywood menjadi lebih deculturized dan transnational, sebuah tren yang juga diikuti konten film produksi negara lain yang masuk daftar 34 negara produsen >25 film per tahun.

Ketiga, jika salah satu tolok ukur suksesnya industri film adalah pemasukan (revenue, profit), kita tentu perlu memberi perhatian pada seberapa berpengaruh faktor lingkungan finansial ekonomi berskala nasional, regional dan global terhadap sukses tidaknya (flop) suatu film. Dalam buku yang ditulis De Vany (2014), dimunculkan pertanyaan berikut: Bagaimana sebaiknya para investor dan pembuat film berbisnis dalam lingkungan yang sedemikian penuh dengan ketidakpastian dan dinamika yang rumit yang dapat berujung pada sukses dan/atau kegagalan yang ekstrem? De Vany menjawab pertanyaan ini dengan menunjukkan bukti bahwa distribusi keuntungan dengan menggunakan hukum Pareto menggambarkan bukan hanya “revenue distributions, but profit distributions as well.” Selain itu, De Vany menyingkapkan fakta penelitian yang menarik tentang nilai finansial dari bintang film. Meskipun kehadiran seorang bintang film tidak selalu menjamin kesuksesan finansial sebuah film, tetapi kehadirannya dapat menjadi tiang pancang (prop) pada “the lower end of revenues and shift mass from the lower tail to the upper tail of the profit probability distribution” (De Vany dalam Chisholm, 2005, h. 235-236).

Keempat, kekuatan pemodal itu tidak seragam satu-wajah, artinya hanya terbatas pada satu golongan (etnis) pedagang tertentu, atau klas sosio-ekonomis tertentu saja, melainkan aglomerasi atau usaha patungan dari berbagai sumber pendanaan, bahkan, lintas negara. Ada peneliti yang menyebutnya dengan istilah Co-financing arrangements (Hofmann, 2013) . Tulisan Barker (2018) menyoroti aspek ini secara lebih mendetil.
Menurutnya, “Baik Marlina dan Aruna juga menandai tumbuhnya bentuk kolaborasi antarnegara yang bertujuan memasarkan film Indonesia ke luar negeri. Marlina adalah film yang diproduksi melibatkan banyak negara termasuk AstroShaw (Malaysia), HOOQ (Singapore), Purin Pictures (Thailand) dan Shasha & Co Production (France). Sementara itu, Aruna adalah film keenam yang diproduksi oleh perusahaan Korea Selatan, CJ Entertainment. Investasi tahap pertama CJ Entertainment di industri film nasional muncul dalam bentuk hibah sebesar US$10.000 yang diberikan kepada Joko Anwar untuk memproduksi A Copy of My Mind pada 2015. Lalu pada 2017, film horor Pengabdi Setan diproduksi oleh CJ bekerja sama dengan rumah produksi lokal Rapi Film. Melalui kerja sama tersebut, Pengabdi Setan yang tergolong sukses telah didistribusikan ke 40 negara.”

Bibliografi
Armando, A. (2020). Empat Faktor Yang Membatalkan Pemiskinan dalam Industri Budaya. Materi Kuliah PJJ Seminar Industri Budaya yang disampaikan pada Senin, 20 April 2020.
Barker, T. (2010). Historical Inheritance and Film Nasional in Post-Reformasi Indonesian Cinema. Asian Cinema, 21(2), 7-24. DOI: https://doi.org/10.1386/ac.21.2.7_1
Barker, T. (2018). “Mengukur potensi perfilman Indonesia setelah FFI 2018.” The Conversation. Diakses pada 22 April 2020, dari https://theconversation.com/mengukur-potensi-perfilman-indonesia-setelah-ffi-2018-108676
Chisholm, D. C. (2005). Book Review. Arthur De Vany: 2004, Hollywood Economics: How Extreme Uncertainty Shapes the Film Industry, Routledge, London, 448 pp., ISBN 0415312612. Journal of Cultural Economics, 29, 233–237.
Crane, D. (2014). Cultural globalization and the dominance of the American film industry: cultural policies, national film industries, and transnational film. International Journal of Cultural Policy, 20(4), 365-382. https://doi.org/10.1080/10286632.2013.832233
De Vany, A. (2004). Hollywood Economics: How Extreme Uncertainty Shapes the Film Industry, London: Routledge.
Hofmann, K. H. (2013). Co-Financing Hollywood Film Productions with Outside Investors: An Economic Analysis of Principal Agent Relationships in the U.S. Motion Picture Industry. Springer.
Wasko, J. (2005). Critiquing Hollywood: The Political Economy of Motion Pictures. Dalam C. Moul (Ed.), A Concise Handbook of Movie Industry Economics (h. 5-31). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9780511614422.002

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *