Dalam bukunya Psychoanalisis & Religion [Fromm, E. ([1950] 1978). Psychoanalysis and Religion. New Haven & London: Yale University Press.], seorang psikolog terkemuka sekaligus filsuf sosial abad ke-20 bernama Erich Fromm mengatakan bahwa yang menjadi persoalan pelik pada zaman ini adalah kekacauan dan kebingungan spiritual yang menjurus pada keadaan kegilaan tertentu, semacam schizophrenia, di mana kontak dengan realitas batin sudah lenyap dan pikiran diceraikan dari perasaan. Kita mengajari anak-anak kita tentang kebahagiaan hidup dan prinsip-prinsip keutamaan, tapi mereka dijejali oleh beraneka macam imaji kekerasan dan omong kosong yang bertaburan di media cetak, radio dan televisi. Orang lalu bertanya-tanya, apakah segala macam kebingungan ini dapat dicari solusinya? Ada yang mengatakan bahwa kembali ke ajaran agama tradisional dapat menjadi pegangan yang pasti, penjamin rasa aman, di tengah badai kebingungan ini. Namun, benarkah demikian?
Persoalannya bukanlah pada apakah manusia itu beragama atau tidak beragama, tetapi pada jenis atau level apakah keberagamaannya itu. Pada level yang rendah atau yang tinggi. Yang dimaksud dengan level yang rendah di sini adalah ‘religiusitas yang melekat pada objek pujaan’ (idolatry), yang cenderung destruktif dan narsis (narcisistic). Sementara, religiusitas pada level tinggi terjadi ketika manusia mampu mengatasi sekedar kebutuhan ragawinya, tidak mengalami gangguan kejiwaan (neurosis) ketika melakukan laku-praktik penghayatan ajaran agamanya, dan gigih mengembangkan kemampuannya untuk mencintai (bdk. Vacek, E. V. (1982). Scheler’s Phenomenology of Love. The Journal of Religion, 62(2), 156-177. https://www.jstor.org/stable/1203179 ]). Definisi yang diajukan Fromm membuat kita semakin sadar bahwa agama adalah suatu sistem berpikir dan bertindak yang dihayati oleh sekelompok manusia dan yang memberi pada individu-individu dalam kelompok tersebut sebuah kerangka orientasi dan objek devosi. Pemahaman akan agama seperti ini mengandaikan bahwa manusia memang mempunyai kebutuhan dasariah akan sebuah kerangka atau bingkai yang dapat memberi kepadanya orientasi hidup sekaligus menyediakan objek devosi, dan kerangka ini diterima bukan melulu dalam pengertian secara kognitif, namun juga afektif (perasaan dan kehendak).
Dalam perkembangan pemikirannya, Fromm membedakan dua jenis agama yaitu agama otoriter dan agama humanistik. Dalam agama otoriter, Tuhan adalah simbol dari kekuasaan dan kekuatan. Tuhan agung karena Ia mempunyai kekuatan super, dan juga karena, paralel dengan itu, manusia tidak berdaya. Agama otoriter ini bisa saja mempunyai kerangka teologis (seperti ditemukan dalam sejumlah denominasi Kristen), namun bisa juga sekuler (seperti NAZISME dan kepatuhan terhadap Der Führer). Dalam agama otoriter, ada pandangan yang implisit bahwa manusia dikendalikan oleh kekuasaan yang lebih tinggi di luar dirinya, kekuasaan yang tidak kelihatan. Kekuasaan ini “berhak meminta atau memaksa” manusia untuk tunduk, patuh, hormat dan memujanya. Kurangnya rasa hormat dan kepatuhan terhadap kekuasaan ini akan menimbulkan dosa. Dalam model agama otoriter, manusia dipandang sebagai makhluk yang tak berdaya dan pribadinya tidaklah signifikan. Kepasrahan dan kepatuhan terhadap otoritas kekuasaan ini berarti manusia menyerahkan sebagian kebebasan dan integritasnya sebagai individu agar ia tidak merasa kesepian, rapuh dan tak berdaya, melainkan merasa aman dan terlindung.
Sementara itu, agama humanistik mempunyai ciri-ciri yang bertolak belakang dengan agama otoriter. Agama humanistik berpusat pada manusia dan kekuatannya. Manusia harus mengembangkan kemampuan akal budinya agar dapat memahami dirinya sendiri, relasinya dengan sesamanya dan letaknya dalam tatanan semesta. Manusia harus mengenali kebenaran, baik yang terkait dengan keterbatasannya maupun dengan segala potensinya. Kemampuannya untuk mencintai manusia lain pun harus berkembang pula, seiring sejalan dengan kemampuannya mencintai dirinya sendiri dan pengalaman solidaritas dengan setiap insan yang lain.
Dalam kerangka agama humanistik, pengalaman religius adalah pengalaman kebersatuan dengan semua unsur di alam ini. Keutamaannya adalah realisasi diri, dan bukan kepatuhan. Atmosfir yang kuat terasa dalam diri para penghayat agama kemanusiaan adalah sukacita dan pembebasan, sementara dalam agama otoriter rasa sedih dan rasa bersalah. Fromm menegaskan keyakinan ini dengan mengatakan bahwa “Inasmuch as humanistic religions are theistic, God is a symbol of man’s own powers which he tries to realize in his life, and is not a symbol of force and domination, having power over man” (Fromm, 1978: 37).
Ancaman terhadap sensus religiosus manusia bukan berasal dari kemajuan dan pencapaian sains, namun terletak pada praktek hidup sehari-hari yang didominasi oleh pengejaran uang dan keuntungan ekonomis. Dengan menjadikan uang dan pengejaran keuntungan (ekonomis) sebagai pusat hidupnya, manusia cenderung berhenti untuk mencari dalam dirinya sendiri tujuan hidup yang lebih tinggi. Manusia menghamba dan menjadikan dirinya sebagai alat (bahkan ‘budak’!) untuk melayani mesin-mesin ekonomi yang dibuat oleh tangannya sendiri. Dia terobsesi pada efisiensi dan sukses yang sebagian besarnya ‘diukur’ secara materiil, alih-alih kebahagiaan dan pertumbuhan serta pemeliharaan jiwanya. Dalam perspektif Fromm, orientasi yang mengancam sikap hidup religius manusia pada zaman sekarang disebutnya ‘the marketing orientation’ (Fromm, 1978: 100).
Selain itu, ancaman yang juga bisa meninabobokan kesadaran menuju religiusitas yang sejati adalah pengidolaan sesuatu (idolatry). Esensi dari idolatry adalah ‘penuhanan benda-benda’ (deification of things). Artinya, sesuatu yang parsial dijadikan sesembahan dan kepadanya manusia berserah atau memasrahkan diri dan hidupnya. Idolatry ini bisa terwujud ke dalam beraneka macam bentuk seperti uang, negara, bangsa, partai politik, kekuasaan, jabatan, ketenaran, sains, opini majalah, olahraga, kesehatan, ilmu pengetahuan, kecantikan, karya seni, dll.
Dalam artikelnya “Existential Insecurity and New Religiosity: An Essay on Some Religion-Making Characteristics of Modernity” [van Harskamp, A. (2008). Existential Insecurity and New Religiosity: An Essay on Some Religion-Making Characteristics of Modernity. Social Compass, 55(1), 9-19. https://doi.org/10.1177/0037768607086494], Anton van Harskamp bertanya mengapa ada cukup banyak religiusitas baru yang muncul dalam masyarakat modern? Satu jawaban yang mungkin masuk akal adalah karena agama atau religiusitas menawarkan cara-cara atau instrumen dalam menghadapi ketidakpastian dan kekurangnyamanan eksistensial menyangkut diri. Kita bisa berasumsi bahwa dalam masyarakat atau budaya yang lebih memberikan prioritas pada individu (budaya yang individualis), fakta sosial dan kultural yang sifatnya kolektif seperti kematian, kebosanan hidup yang mendalam (ennui), kejahatan, dan waktu, membuat individu merasa tertekan dan tak berdaya untuk menjawab, memahami, apalagi mengatasinya. Lewat religiusitaslah, salah satunya, individu merasa menemukan ‘sampan penyelamat’ untuk sampai ke pantai yang menjanjikan rasa aman dan kebahagiaan.
Dengan demikian, dari beberapa pokok pemikiran di atas, kita bisa menyimpulkan sebagai berikut: Jika didekati secara psikologis, fenomena agama (religion) dan religiusitas (religiosity) bukanlah fenomena yang asing dalam sejarah hidup manusia. Manusia mengembangkan cara-cara yang khas untuk memperoleh religiusitas yang sejati—yang dibedakan dari religiusitas yang palsu atau tiruan. Otentisitas religiusitas menjadi tolok ukur dari kebermaknaan hidup seseorang. Religiusitas yang sejati, demikian Fromm, tidak bisa tidak harus mengindahkan dimensi kemanusiaan (baca: agama humanistik), yang menawarkan kebebasan dan sukacita yang besar dalam laku-praktik penghayatan agamanya sekaligus realisasi diri dan potensi-potensi para pengikutnya, bukan hanya tunduk pasrah bongkokan. Para pemuka agama yang mengemas agama hanya sebagai barang dagangan dan warta ketakutan serta dengan gampangnya menabuh genderang perang terhadap agama lain yang berbeda darinya, menampilkan agama sebagai objek ketakutan dan kengerian. Inilah agama dengan ciri otoriter yang tinggi, yang jelas tidak menunjukkan atau mengarahkan para penganutnya pada hakikat religiusitas yang sejati.
Religiusitas yang sejati seyogianya menawarkan kepastian, atau kompas, panduan dan orientasi, di tengah lautan kebingungan spiritual dan badai keterombang-ambingan dalam hidup ini (van Harskamp, 2008). Karenanya, religiusitas yang sejati sudah selalu meletak dalam tarikan antara dua hal yang terkadang bisa saling bertolak-belakang, yaitu di satu sisi ia harus menghargai kemajemukan ekspresi keberagamaan namun di sisi lain ia juga wajib menawarkan pegangan, arah dan kepastian hidup.
Pertanyaan evaluatif yang layak kita renungkan: Sudahkah kita, yang mengaku sebagai para penghayat agama ini, berayun dalam ketegangan itu dengan nyaman dan mantap?