Resensi dengan judul Heneng, Hening, Hanung: Dari Dukkha Menuju Bahagia ini sudah pernah dimuat di blog Rumah Filsafat milik Reza Wattimena pada 3 November 2021, persisnya di sini:
Resensi direproduksi di blog ini untuk kepentingan memperluas akses pembaca tentang buku yang diresensi tersebut.
Terkait buku Urban Zen, dapat dibaca lebih mendetil di
dan
Melukis Cover Buku Terbaru: Urban Zen, Tawaran Kejernihan untuk Manusia Modern
Berikut book cover dari Urban Zen sebagaimana tergambarkan dalam flyer yang didesain oleh penerbit Karaniya:
juga saya sertakan satu dua foto yang langsung diambil dari halaman bukunya (bukti bahwa saya sudah baca lengkap bukunya..hehe)
Pengantar
Dalam gerak cepat pertumbuhan kota dan mobilitas akseleratif yang mewarnai dinamikanya, acapkali warga kota terengah-engah untuk mengimbangi. Saat motor dan mobil berhenti di perempatan lampu merah, atau di jalur antrian pom bensin, atau sekadar menunggu kedatangan moda transportasi publik, warga kota tetap menyibukkan dirinya dengan gawai sekadar meng-update berita, atau postingan viral di medsos mereka. Sebagian sosok urban mengambil peran sebagai commuter, yang terus meruangwaktu bolak-balik, tidak jarang dalam seruak sesak kemacetan di jalan tol (sebuah ironi!), manakala yang lainnya terjepit himpitan tubuh-tubuh keringatan di gerbong KRL Commuter Line atau TransJakarta. Serba semrawut, sumpek bertumpuk, dan riuh centang-perenang bukan pemandangan luar biasa di tengah dan pinggiran kota. Sesekali, selinap pikir dan selirih peluh tentang Ada dan Makna lamat-lamat menyapa: untuk apa ini semua? Senyampang tikungan kesadaran ini, Reza datang menawarkan suaka bernama Urban Zen. Ini bukan Fatamorgana, juga bukan Panacea, tapi “tawaran kejernihan untuk manusia modern.”
Tiga Pilar Pesona Urban Zen
Urban Zen memiliki tiga pilar pesona ini.
Pertama, topik pembahasannya sangat mengena dengan rentang dan relung pengalaman manusia modern yang serba sibuk menjalani hidup dalam kompleksitas yang akseleratif. Bahkan, sebagiannya sangatlah kekinian, seperti bagaimana move on (h. 40, dst), seputar Pornografi (h. 61-68), dan jenaka, seperti “Yoga bukan hanya jalan untuk tante seksi supaya makin seksi dan sehat” (h. 146), dan “Crazy Wisdom…jangan-jangan Jason Ranti adalah seorang Master Zen HAHAHAHA” (h. 184, 188).
Kedua, Urban Zen terartikulasikan dalam bahasa yang sederhana, tidak berbelit-belit dengan anak cucu kalimat. Ini memudahkan pembaca untuk mengunyah-ngunyahnya tanpa harus berkerut-kening dan sedikit-sedikit buka kamus. Begitu sederhana cara pembahasannya sehingga pembaca dapat membaca cukup 1-2 esei saja per hari sehingga pesannya lebih nancep. Bahasa yang sederhana dan mendalam ini bukan jenis Gerede (obrol-obrol ringan tanpa makna).
Ketiga, sebagai buku pertama tentang tema ini dalam bahasa Indonesia, cover Urban Zen terlihat menarik. Sejauh diketahui dari postingan Penerbit Karaniya di Medsos, mereka melibatkan audiens secara partisipatoris untuk mendesain covernya. Cover Urban Zen menyiratkan nuansa kabur (blur) orang yang sedang menyeberang jalan dengan latar lalu-lintas dan gedung-gedung pencakar langit. Sepertinya Reza mengibaratkan ikhtiar pencarian manusia ke dalam inti dirinya, “batin yang mampu menyentuh keabadian” (h. 20), yang tidak selalu gamblang. Terkadang samar, acap siwur, juga ngawur. Wujud samar ini juga sepertinya menandai postulat Reza bahwa Rasionalitas, Identitas Subjek, dan The Idea of Progress yang menjadi Trisula bendera penanda Modernitas tidaklah setegas dan sekokoh yang disangka, dipercayai, dan dijalani banyak orang.
Dari 28 esei yang dimuat dalam buku ini, minus Pengantar & Epilog, saya menemukan tiga tema kajian yang mendasar dalam pengalaman hidup manusia, yang dituliskan secara menarik, dan memiliki benang merah keterhubungan.
Pertama, tentang kebosanan dan kesepian (Esei ke- 5, Aku Ada, … maka Aku Bosan, h. 27-34). Kedua, tentang Duka, Trauma, Derita dan Kebencian (Esei ke-8, Ketika Duka Berkunjung, h. 48-53; Esei ke-9, Menyiasati Trauma dan Kebencian, h. 54-60; Esei ke-12, Karya dan Derita, h. 73-79; dan Esei ke-21, Trauma, Derita, dan Kebebasan, h. 124-129), dan Ketiga, tentang kematian dan kedukaan yang menyertainya (khususnya pada esei ke-24, Dekonstruksi Kematian, h. 148-158 dan esei ke-28, Senada dengan Duka, h. 175-179).
Ketiga tema ini merupakan bentuk-bentuk pengalaman eksistensial yang di satu dan lain waktu pernah menyergap setiap manusia di muka bumi ini, tidak terkecuali manusia modern. Dalam jelujur trajektoris Filsafat Barat, Reza seperti mengorkestrasi pendekatan Fenomenologi Edmund Husserl dan Martin Heidegger, Eksistensialisme Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre, Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur, dan Dekonstruksi Jacques Derrida. Impresif!
Berikut penafsiran saya sebagai pembaca terkait keterhubungan tiga tema kajian mendasar di atas.
Manusia dalam peziarahan hidupnya mau tidak mau berhadapan dengan retakan-retakan kecemasan eksistensial (Angst). Ia niscaya mengalami rasa sakit dunia (Weltschmerz, h. 166). Contohnya, ketika mengalami kebosanan, “kita berusaha membunuh waktu…hidup terasa hampa, semua nilai tampak sia-sia belaka … (dan) pelariannya pun beragam, mulai dari gaya hidup konsumtif, penggunaan narkoba, sampai bergabung dengan kelompok radikal” (h. 30-31). Keterjebakan manusia pada peristiwa yang melukai hidupnya dan menyinggung harga dirinya, akan mendatangkan duka dan derita. Jika ini terus-menerus berlangsung, manusia terperangkap dalam kebencian yang berlarut-larut, dus, traumatis. “Akar dari kebencian adalah trauma…trauma adalah jejak dari peristiwa masa lalu yang belum lenyap, sehingga membekas dan mempengaruhi sikap orang di masa kini” (h. 56-57).
“Berada bersama trauma,” demikian Reza berefleksi, “berarti orang tak hanyut di dalamnya, sekaligus tidak menolaknya sebagai musuh. Sikap ini menghasilkan ketenangan batin, sekaligus kejernihan…dengan sikap ini, trauma pun tidak berbuah menjadi sebentuk kecanduan atau kebencian yang merusak” (h. 59). Ketika ditarik lebih jauh, kematian menjadi puncak dari kengerian, horror vacui, ketakutan akan kekosongan, padahal “kekosongan adalah inti dari batin manusia” (h. 142).
Secara lebih khusus, Reza curhat mendalam dan membuka dirinya yang memroses rasa kehilangan orang-orang yang dicintainya, Nenek, Bapak dan Ibunya yang sudah meninggal dunia (h. 175-176). Refleksinya menyergah, “Pada akhirnya, kita semua harus belajar hidup senada dengan duka. Tak perlu membenci dan mengusirnya. Ia tak akan pergi. Jika diusir dengan paksa, ia justru akan semakin menyengat” (h. 178). Kematian orang yang dicintai, betapapun berat untuk diterima akal sehat, seyogyanya tidak melumpuhkan ziarah batin manusia modern.
Konstruksi dan Konstriksi
Saya menengarai tiga kekurangan dari buku ini.
Pertama soal teknis seperti typo [bsia (seharusnya: bisa, h. 42)], inkonsistensi antara tawaran dengan realisasi, seperti terlihat pada “empat sebab dari krisis empati” (ternyata yang tertulis ada lima, h. 85-86), dan ketiadaan Daftar Pustaka (siapakah: Burton, 2014, Fisher, 2014, dan Foreman, 2015?).
Kedua, sebagai sebuah buku populer ilmiah berupa kumpulan esei-esei yang ditulis dari 2018-2020, sebagian isi buku ini sifatnya redundant, mengulang-ulang pesan yang sama, dengan Reffrain: (kecanduan) uang, seks, jabatan, kelekatan, dll sebagai sumber derita, emosi dan pikiran cukup amati dan sadari saja jangan beri penilaian, ego adalah ilusi, Dharma adalah jalan pembebasan, perhatikan “pengalaman sadar” dari saat ke saat. Klaim yang diulang-ulang Reza dalam buku ini arahnya praktis, artinya: saran-saran yang dapat dilakukan dengan sederhana oleh sidang pembaca. Tapi lalu muncul pertanyaan: apakah jalan dan saran ini sudah terbukti efektif in large scale for a large number of people? Reza belum menampilkan survey & big data yang menunjukkan seberapa bahagia dan berhasil “terbebas dari dukkha” (h. 161) mereka yang pernah dan masih memilih menekuni jalan Urban Zen ini.
Ketiga, gagasan untuk mengubah ‘diri’ dengan cara “masuk ke dalam diri” memang “diajarkan & dicontohkan” Reza, tapi bagaimana diri yang sedang dalam proses ditemukan ini berhadapan dengan keseharian, rutinitas, formalitas, normativitas, dan aturan-aturan yang ada, itu yang belum diuraikan tahapan-tahapan modus operandinya. Tentu tidak semudah mengatakan “Langit biru. Pohon hijau. Semua sudah sempurna sebagaimana adanya” (Koan Zen, h. 168), bukan? Juga tidak mungkin sedikit-sedikit kesulitan hidup yang praktis dan nyata, seperti di-PHK, dibegal, difitnah, dikejar-kejar debt collector, ringkasnya: segenap gugus ikhtiar untuk “jatuh kemudian bangun lagi,” lalu di-brush off dengan mengatakan “coba lagi sampai seribu tahun lamanya” (h. 106-111).
Ajakan untuk masuk dan menemukan kebahagiaan di dalam diri “sebelum konsep ada” berpotensi menjadi pedang bermata dua bagi sidang pembaca yang belum siap disposisi batinnya. Tanpa bimbingan konstan dan kehadiran fisik yang antisipatif dari, katakanlah, seorang Pembimbing Rohani yang berpengalaman dan mumpuni, bagaimana jika ada partisipan yang justru menemukan onggokan sampah dan luapan trauma yang tidak tertanggungkan ketika mereka mencoba masuk ke dalam inti diri? Tidakkah ini justru membahayakan dirinya (misal: ia lalu memutuskan bunuh diri karena tidak sanggup melihat kemurnian batinnya dan mengalami kedamaian yang tersamarkan semak-semak dukkha dan trauma) karena tidak adanya pembimbing yang membantunya melakukan ‘pembedaan roh’ (discretio spirituum dalam Tradisi Latihan Rohani Ignasian)?
Beauty lies in details. Senar keindahan sebuah lagu terngiang dalam detil notasinya, bukan judul lagunya. Semoga generalisasi ajakan dan singularitas temuan “batin yang jernih, teduh, dan damai” “bahagia dari dalam, tanpa syarat” tidak memudarkan pesona keindahan yang ditemukan dalam kegigihan daya juang “pemaknaan” yang beragam bentuk, pola, moda, dan hasilnya.
Peresensi:
Hendar Putranto (Kandidat Doktor dalam bidang Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia; Alumnus Program Magister Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta; Dosen tetap Ilmu Komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara)