Categories
Uncategorized

Dilema Moral Menjadi Admin (banyak) grup WhatsApp

Bertolak dari pengalaman menjadi administrator dari sejumlah grup WhatsApp, baik yang sifatnya Umum dan Inklusif (seperti grup WA Serikat Dosen Indonesia, Ikatan Alumni Driyarkara, Masyarakat Filsafat Indonesia, Karyawan dan Dosen di tempat saya bekerja, Lingkungan, RW di kompleks perumahan saya, dll.) maupun yang khusus terbatas (seperti grup WA Hibah Internal 2022 & Hibah PDUPT 2018-2020, 2020-2022; Grup WA PAWR; Grup WA Angkatan 2019 S3 UI; Grup WA Perkumpulan/Ormas tertentu) dengan jumlah anggota berkisar dari hanya 3 orang saja sampai yg jumlah anggotanya lebih dari 200 orang, berikut refleksi singkat dan abstrak yang pernah saya posting di status WA saya sendiri pada minggu lalu:

Saya mengacu pengertian dilema moral sebagai berikut: Menurut Terrance McConnell (2018) dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy edisi musim Gugur 2018 [https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/moral-dilemmas/] yang dimaksud dengan dilema moral adalah “hal-ihwal kejadian atau peristiwa yang melibatkan adanya konflik di antara sejumlah prasyarat moral” [“Moral dilemmas, at the very least, involve conflicts between moral requirements.”] Fitur krusial dari adanya dilema moral tersebut sebagai berikut: 1) si agen moral diminta/disyaratkan untuk melakukan salah satu dari dua (atau lebih) tindakan; 2) pada dasarnya, si agen moral mampu melakukan masing2 tindakan yang diminta tersebut; 3) tapi si agen moral tidak dapat melakukan kedua-duanya (atau semuanya) sekaligus. Si agen moral ini dengan demikian seperti “dikutuk untuk mengalami gagal moral” (“condemned to moral failure”), tidak peduli apapun yang ia pilih untuk lakukan, ia akan melakukannya secara keliru/salah (atau gagal melakukan hal yang semestinya ia lakukan). Agar suatu peristiwa menjadi dilema moral yang sejati (genuine), maka tidak hanya ia harus berupa tarikan konfliktual, tapi juga bahwa “tidak ada satupun dari opsi konfliktual yang tersedia itu saling menindih” (“neither of the conflicting requirements is overridden”) mengacu ke pandangan Sinnott-Armstrong (1988).

Situasinya seperti ini:
Ketika menjadi “hanya” anggota dari banyak grup WA (ada lebih dari 50 grup WA yg saya ikuti di 3 nomor hape saya), peran dan partisipasi saya untuk posting/sharing info relatif terbatas dan tidak mengikat, apalagi memaksa (misalnya, dengan sanksi kalau tidak posting/sharing), tetapi ketika saya menjadi seorang admin (atau bagian dari Tim Admin Grup WA), maka di situ muncul peran “tambahan dan melekat” saya utk melakukan moderasi postingan.

Biasanya postingan2 yg dianggap “bermasalah” di sejumlah besar grup WA yg saya ikuti adalah:
1) Jualan (unsolicited ads)
2) bermuatan rasis/diskriminatif
3) isinya bersifat menghina/merendahkan orang/kelompok lain, atau bermuatan hoax (unverified information)
4) yg diposting tidak nyambung dgn tujuan eksistensi grup tersebut dibuat (misalnya, di sebuah grup Filsafat, eh ada yg posting secara berkala renungan2 pribadi yg bernada dakwah atau sekedar curhat pribadi yg tidak memuat referensi filosofis yg memadai)

Inilah maksud dari postingan “refleksi singkat dan abstrak” yg saya muat di atas.

Semoga mencerahkan,

tabik!

Hendar

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *