Based on a book titled Right Kind of Wrong: The Science of Failing Well (Amy Edmondson, 2023)
(*) Amy C. Edmondson is the Novartis Professor of Leadership and Management at the Harvard Business School, where she has taught since 1996. She is the author of several influential books, including Teaming and The Fearless Organization. (lihat CV versi yg lebih lengkap di sini https://www.hbs.edu/faculty/Pages/profile.aspx?facId=6451)
Berdasarkan resume kecil dari buku ini
yang berbunyi sbb.: “Embracing failure as a learning opportunity requires a shift in mindset, but the benefits are well worth the effort. Every failure, no matter how small or seemingly insignificant, holds the potential for growth and improvement. By learning to view failures as stepping stones rather than stumbling blocks, you can unlock the full potential of your organization and achieve greater success than you ever thought possible (creating a culture) where psychological safety is key”
[tonton penjelasan yg menarik dari Prof. Amy berikut ini https://youtu.be/LhoLuui9gX8?si=1tRUe7aT5JgQENC8 : Building a psychologically safe workplace by Amy Edmondson, TEDx Talks, May 4, 2014]
Beberapa waktu terakhir ini, saya menyaksikan sejumlah kecil mahasiswa yg saya rekrut dan dorong untuk menjadi anggota komunitas FIKOM-YRC mengundurkan diri sebelum komunitas ini menjalankan program “resmi”-nya karena sejumlah alasan yg dua di antaranya adalah: (1) takut tidak bisa membagi waktu (dgn aneka kegiatan lain), dan (2) merasa tidak tertarik untuk menulis. Kedua motif alasan yang diajukan oleh rekan-rekan mahasiswa yang mengundurkan diri ini saya antisipasi dalam sapaan pagi di grup WA FIKOM-YRC supaya moril komunitas yg baru saja terbentuk tidak ikut terbawa suasana “ketakutan dan rasa tidak tertarik (to do something essential for this community)”.
Berikut sapaan pagi yg saya post di grup, yg isinya kira2 senada dgn topik “embracing failure as a learning opportunity” yg dibahas oleh Prof. Amy Edmondson dalam bukunya tersebut.
Persoalan pertama yg biasanya mendera sebuah organisasi atau komunitas yg baru berdiri adalah: apakah *ada visi atau idealisme* yang jelas dari founder komunitas, mau dibawa ke mana komunitas yg baru berdiri ini? _Corolarry_ dari persoalan pertama adalah siapa yg menghidupkan dan mengelola idealisme ini agar tetap menyemangati (menganimasi) komunitas yg baru didirikan? Adakah pembagian tugas yg oke di antara founder dgn anggota?
Persoalan kedua biasanya terkait dengan dana: apakah ada *sumber pendanaan yg cukup* utk menopang kelangsungan hidup komunitas ini? Jika ada, bgmn mesin revenue ini bekerja utk menopang idealisme pendirian komunitas, termasuk operasionalisasi kegiatan dan event yg diadakan komunitas ini.
Persoalan ketiga adalah kurangnya peluang *Mentoring dan Berjejaring.* Kurangnya program mentoring dan jejaring yang mapan dapat menghalangi anggota komunitas (atau sekurang2nya meredupkan semangat awal anggota komunitas) untuk mendapatkan bimbingan, dukungan, serta koneksi yg berharga guna mengembangkan idealisme dan mengasah kolaborasi internal ataupun eksternal (dengan komunitas lain yg sejenis).
Saya memahami bahwa jiwa (korsa) sebuah komunitas itu perlu dibentuk dari dua dorongan yg perlu seimbang: idealisme dari pendiri DAN animo atau kerelaan (_voluntary_) anggota untuk mencari dan menemukan dirinya dalam komunitas tsb., khususnya di sini saya bicara FIKOM-YRC.
Pada masa di mana atensi digelontorkan dan diperebutkan medsos dan seabreg2 kegiatan dalam kampus maupun di luar kampus, mudah dibayangkan dan dapat dipahami bahwa rekan2 sekalian mungkin merasa gundah dan bertanya2: cocokkah saya masuk ke FIKOM-YRC? Dapatkah saya bertahan sampai _proyek_ ini selesai di Juli tahun depan? Saya dapat berkontribusi apa utk komunitas ini? Apakah kontribusi saya dihargai dan suara saya didengarkan? dst dsb
Pencarian akan jati diri sbg mahasiswa dan bahkan sbg manusia, kadang dicari dan ditemukan pada suatu momen garis finish tertentu yg definitif, tapi kadang juga tidak begitu, apalagi jika prinsip yg dipegang adalah _hidup itu mengalir aja_. Jadi, pemaknaan dapat diletakkan pada _proses perjalanan pencariannya_ dan bisa juga pada saat _tujuan yg definitif sudah tercapai_ (sudah melewati garis finish).
Komunitas Peneliti Belia FIKOM (FIKOM-YRC) dibentuk dengan pertimbangan dasar bahwa setiap mahasiswa baru yg masuk ke kampus UMN perlu mendapatkan pendampingan yg memadai untuk mengenali budaya kampus (pendidikan tinggi), mengakrabi budaya tsb shg menjadi bagian dari identitasnya, serta bagaimana berperilaku yg wajar dan sehat sbg mahasiswa, sosok pencari dan penuntut ilmu.
Kami sebagai dosen pendamping komunitas ini tidak menawarkan sebuah tujuan definitif atau garis finish yg heboh penuh hingar-bingar dan selebrasi semprot sampanye😄. Tapi kami menawarkan pendampingan yg cukup intensif dalam proses perjalanan pencarian jati diri kalian, syukur2 _bentuk sementaranya_ dapat kalian temukan dalam kurun waktu setahun ke depan. Ini tawaran yg kami percaya tidak disediakan oleh medsos apapun namanya, juga tidak ditemukan dengan cara _scrolling_ layar hape kalian sampe kuku jari menghitam dan kulit jempol jadi kapalan (_callous_)🙃, bahkan mungkin (dan diharapkan serta diarahkan agar) pendampingan ini, karena sifat lintas generasinya (_intergenerational assistance_), dapat memperkaya dan memperdalam pengalaman hayati kalian sekaligus upaya memberi makna atas hidup yg sedang kalian jalani. ✌🏽️
Beberapa waktu lalu pernah sharing ke Ms. K seperti ini: jika saja dulu pas masuk program S1 ada komunitas _young researchers_ seperti ini, saya mau menukar waktu2 yg saya gunakan utk mencari2 _jati diri saya_ dlm aneka bentuk organisasi dan komunitas lainnya yg pernah saya jalani, yg tidak semuanya menghasilkan kontribusi yg signifikan utk mempertebal _self-understanding_ dan meningkatkan _self-awareness_ saya, utk masuk ke komunitas _Young Researchers_ (apapun penamaannya)
Semoga sapaan pagi di atas dan “payung konseptual”-nya yg ditemukan (salah satunya) dalam “Right Kind of Wrong” dapat mendorong, encourage, para mahasiswa baru (freshmen & freshwomen) yg baru saja mau mulai menapaki jalan menjadi pembelajar seumur hidup, perpetua discipulo.
Jangan takut ya nak, dek, gaess!
Kita melangkah bersama dalam komunitas peneliti belia ini!
Vamos!
Forza!
Come on!
Allez!