Belajar dari percikan wawasan dalam Enten – Eller (Either/Or) karya Søren Kierkegaard (1843)
What is really the distinctive characteristic of such speaking together is the vegetative flowering of conversation. The conversation keeps contact with the earth, has no actual subject; the accidental is the law of its movements-but daisy [Tusindfryd, thousand delights] is its name and the name of what it produces.
My Cordelia,
“My-Your”-those words, like parentheses, enclose the paltry content of my letters.
Have you noticed that the distance between its arms is becoming shorter?
0 my Cordelia!
It is nevertheless beautiful that the emptier the parenthesis becomes the more momentous it is.
Your JOHANNES
My Cordelia,
Is an embrace a struggle?
Your JOHANNES
(The Seducer’s Diary, I387)
Kutipan di atas merupakan penggalan kecil dialog imajiner antara Johannes dengan Cordelia (yang dimuat dalam Vol. 1 Enten – Eller).
Terlihat sekali betapa hidup dan berdenyut kalimat yang mengalir dari “mulut” Johannes, misalnya, penggunaan istilah vegetative flowering of conversation, aka, kalimat yang berbunga-bunga. Johannes menjalani hidup yang estetis, the pursuit of pleasure and pain avoidance.
Inilah gambaran Søren tentang corak hidup pada tahap pertama: Aesthetic life.
Selanjutnya, kita akan mengikuti paparan dan penjelasan resumial yang sudah dibuatkan Blinkist apps berikut ini:
https://www.blinkist.com/en/reader/books/either-slash-or-en?play=1
Sebuah Fragmen Kehidupan
Nama Søren Kierkegaard bisa jadi memunculkan bayangan sosok pemikir eksistensialis berjenggot yang murung dan gemar merenungi penderitaan hidup. Namun, di balik wajah melankolis pemikir Denmark ini, tersimpan pemikiran yang jenaka dan penuh semangat yang mendorong pembaca karyanya untuk menghadapi absurditas kehidupan dengan imajinasi dan bahkan tawa. Tulisan-tulisan Søren mengeksplorasi paradoks eksistensi secara sastrawi. Karya-karyanya seperti Enten – Eller bukan berbentuk traktat filosofis yang ketat melainkan surat-surat fiksi. Tujuannya: menerangi dilema yang dihadapi manusia, antara kesenangan dan kewajiban, keyakinan dan keraguan. Meskipun bijaksana, Søren meringankan bobot filosofis tulisannya dengan ironi dan humor.
Søren menantang pembaca karyanya untuk mau berpikir secara mendalam tentang bagaimana jalan pilihan untuk hidup, tetapi dengan mengedipkan mata dan tersenyum. Jadi, tidak perlu mengerutkan dahi dan memicingkan pandangan ketika membaca tulisan Søren. Mari bergabung dengan perjalanan yang mencerahkan dan menarik lewat tulisan Søren guna memasuki gua misteri besar dalam hidupmu. Berpikir secara intens tidak harus berarti berpikir suram. Biarkan Søren membuka pikiran sekaligus mencerahkan semangat Anda.
Pemikiran Søren dibentuk oleh kehilangan
Terlahir dari keluarga kaya di Kopenhagen pada 1813, Søren kehilangan enam dari tujuh saudaranya, serta kedua orangtuanya, di usia 25 tahun. Konfrontasi awal dan intens dengan kematian ini membentuk pandangannya secara mendalam. Søren tertarik pada introspeksi, teologi dan filsafat yang mendalam sejak awal, tetapi pengalaman kehilangannya mendominasi sudut pandangnya.
Dalam kesedihannya, ia mulai melihat kehidupan kelas menengah Kristen borjuis yang nyaman di sekelilingnya sebagai sebuah ilusi, yang mengalihkan perhatian orang dari makna kehidupan yang lebih dalam. Dia melihat dengan jelas bahwa kematian menanti semua orang, bahwa kematian bisa datang kapan saja. Mungkin rasa kefanaan yang membayangi inilah yang mendorongnya untuk terus berkarya. Terobsesi dengan kefanaan, Søren mengabdikan dirinya untuk menulis. Antara tahun 1843 dan 1855, ia menerbitkan lebih dari 20 buku yang mengartikulasikan filosofi dan kritiknya terhadap kehidupan modern. Di samping produksi filosofis yang sangat besar ini, dia adalah seorang penulis jurnal yang rajin dan kumpulan tulisan jurnal pribadinya ini memberikan wawasan yang cukup besar ke dalam penelusuran filosofisnya.
Karya utamanya yang pertama adalah Enten – Eller, yang terbit pada tahun 1843. Di sini Søren mengeksplorasi gagasan tentang estetika dan cara hidup yang etis dengan cara yang kreatif melalui kumpulan surat-surat fiksi. Hal ini diikuti setahun kemudian dengan karya penting Philosophical Fragments. Pada tahun 1846, terbit Concluding Unscientific Postscript yang mengembangkan gagasan eksistensialis tentang kebenaran dan subjektivitas. Karya-karya Søren memberi gambaran tentang keyakinan religius yang dangkal memungkinkan orang untuk menjalani kehidupan yang tidak otentik yang sesuai dengan norma-norma masyarakat. Pemenuhan yang sejati justru butuh upaya menghadapi kebenaran hidup yang sulit, kekacauan, penderitaan dan absurditas kondisi manusia, serta membuat pilihan radikal untuk hidup dengan semangat dan tujuan.
Søren menolak teologi dan filsafat yang abstrak. Dia menggunakan teknik sastra untuk menekankan sudut pandang subjektif dan membuat pembaca menghadapi ketidakpastian dalam kehidupan nyata. Fokusnya pada pilihan dan tanggung jawab individu dalam menemukan makna meletakkan dasar bagi eksistensialisme. Namun, Søren membawa kegelisahan eksistensial jauh melampaui para penerusnya. Dia melihat absurditas alam semesta yang acuh tak acuh dalam menghadapi keinginan manusia akan keteraturan dan tujuan. Baginya, hanya dengan menerima absurditas muncullah keyakinan religius yang otentik, sebuah keyakinan yang paradoks.
Ketika masih kecil, Søren menerima ajaran Injil yang sederhana dari ayahnya yang membuatnya menemukan kenyamanan, bukan dari ajaran atau praktik hidup gereja yang terorganisasi. Bagian selanjutnya akan mengeksplorasi beberapa tema utama dari kedua hal tersebut secara lebih mendalam. Dengan demikian, kita akan menguak gaya hidup estetis dan etis yang dipertentangkan oleh Søren, pandangannya mengenai pilihan dan kecemasan, warisan filosofis dari ide-idenya, serta gaungnya yang masih terus berlanjut hingga saat ini.
Estetika vs Etika : Salah satunya lebih baik, tapi kalau hanya satu ya tidak lengkap.
Enten – Eller mengeksplorasi dua gaya hidup yang berlawanan secara radikal, estetika dan etika. Søren melihat keduanya mewakili kecenderungan inti manusia yang selalu berada dalam ketegangan, tapi keduanya tidak lengkap jika berdiri sendiri. Baginya, ranah estetis menghargai hasrat individu, kreativitas, dan pengalaman subjektif. Sebaliknya, ranah etis berfokus pada kewajiban sosial, kode moral, dan tugas-tugas universal.
Bagi Søren , kedua ranah ini tidak dapat disatukan dalam satu filsafat. Mereka menimbulkan pilihan yang konstan atau tidak tentang bagaimana cara hidup. Søren mengilustrasikan pandangan dunia yang saling bertentangan ini melalui surat fiksi yang ditulis dari sudut pandang dua karakter. Mewakili kehidupan estetis adalah karakter yang disebut A, seorang pemuda tanpa nama yang hidup semata-mata untuk kesenangan, rayuan, dan hiburan tanpa memperhatikan konsekuensinya. Kehidupan etis diwujudkan dalam karakter Hakim Wilhelm, yang percaya pada kesederhanaan, kerja keras, dan pengorbanan diri untuk memenuhi tugas kewarganegaraan dan kekeluargaan. Wilhelm melihat sikap estetik yang mengutamakan kenikmatan sesaat sebagai kebangkrutan moral, yang mengarah pada keputusasaan.
Karya Søren yang tersusun dari surat-surat yang ditulis dengan suara tokoh-tokoh yang berlawanan menghidupkan konflik mereka dalam bentuk yang hidup dan dialogis. Karakter-karakter tersebut berbicara dengan kata-kata mereka sendiri, sehingga pembaca dapat secara langsung merasakan adanya kelindan filosofi yang saling bersaing, bukan hanya membaca deskripsi atau analisis. Surat-surat tersebut memungkinkan Søren untuk melukiskan potret psikologis yang hidup dan bernuansa dari dalam pandangan dunia estetika dan etika. Hasilnya adalah sebuah jendela ke dalam bagaimana setiap karakter berpikir, merasakan, dan menafsirkan makna dalam hidup sesuai dengan nilai dan prioritas masing-masing.
Dalam membangun dialektika ini, tujuan Søren bukanlah untuk mendukung moralitas atau hedonisme. Sebaliknya, ia berusaha untuk membuat pembaca menyelami ketegangan di antara kedua bidang ini dan berpikir secara mendalam tentang jenis kehidupan yang ingin mereka jalani. Pendekatan sastranya melibatkan imajinasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan inti dari filsafatnya.
Kecemasan (Angst) dan Makna
Jadi, estetika hedonis hidup untuk kesenangan dan menghindari refleksi atas pertanyaan-pertanyaan hidup yang lebih besar. Namun Søren percaya bahwa mengalihkan perhatian kita sendiri bukanlah jalan keluar dari kecemasan eksistensial. Sebaliknya, ia melihat kecemasan sebagai sesuatu yang intrinsik dengan kondisi manusia. Sebagai makhluk bebas, kita memiliki kemampuan untuk membuat pilihan yang membentuk masa depan kita dengan cara yang mendalam.
Namun, kebebasan ini juga berarti memikul tanggung jawab yang sangat besar untuk hidup kita. Ketika menghadapi persimpangan jalan yang sulit atau pertanyaan eksistensial tentang siapa diri kita dan bagaimana kita harus hidup, sebagian besar dari kita merasakan kecemasan yang mendalam. Menurut Søren , beban ketidakpastian dan potensi penyesalan yang muncul dari kebebasan manusia tak pelak lagi menghasilkan kecemasan. Kompleksitas pilihan hidup, ketidakmampuan untuk mengetahui dengan pasti apakah kita telah memilih dengan benar dan kemungkinan membuat keputusan yang berujung pada keputusasaan. Realitas ini memicu kecemasan dalam diri kita semua. Akan tetapi, Søren tidak melihat kecemasan ini sebagai sesuatu yang harus dihindari melalui pengalihan perhatian (distraksi) atau pencarian kesenangan, melainkan sebagai “kebebasan yang memuyengkan” (the dizziness of freedom; Lih. Cox, 2021; Lippitt & Evans, 2024; Pugliese, 2024).
Dalam hal ini, kecemasan adalah aspek fundamental dari apa artinya menjadi manusia. Kehadiran kecemasan sebenarnya merupakan ekspresi dari kebebasan dan kesadaran diri kita. Begitu kita menerimanya, kita dapat menggunakan kecemasan secara produktif untuk hidup dengan penuh gairah dan otentik, sepenuhnya sadar akan ketidakpastian dan kerapuhan hidup. Orang yang estetis melarikan diri dari kecemasan dengan mengejar impuls dan hiburan, menenggelamkan kecemasan mereka dalam kesenangan dan kesenangan. Kesenangan daging memang asyik dinikmati. Namun, penghindaran ini hanya mengarah pada kekosongan dan kehidupan yang setengah-setengah.
Sebaliknya, hakim yang beretika menghadapi kegelisahan hidup melalui pilihan dan komitmen yang bertanggung jawab. Dengan demikian, mereka menemukan makna yang lebih dalam. Meski demikian, bidang etika juga memiliki jebakan yang signifikan jika tidak didekati dengan hati-hati. Tunduk secara membabi buta pada tugas atau kewajiban sosial tanpa pertanyaan dan pemeriksaan yang lebih dalam dapat mengarah pada eksistensi yang tidak otentik dan hampa. Hanya dengan mematuhi aturan dan konvensi yang diturunkan oleh masyarakat atau figur otoritas juga menghalangi seseorang untuk mencapai jati diri yang sebenarnya. Jadi Søren percaya bahwa kehidupan yang dijalani secara murni sesuai dengan tuntutan etika yang tidak fleksibel yang berakar pada tradisi menjadi tidak memiliki gairah dan sukacita.
Hal ini pada gilirannya dapat menjebak individu dalam kewajiban dan keharusan eksternal daripada keaslian. Søren merasa bahwa eksistensi etis yang tidak reflektif membuat orang kehilangan kreativitas dan spontanitas yang membuat hidupnya jadi bermakna. Jati diri yang sejati membutuhkan keseimbangan yang tepat antara kebebasan dan tanggung jawab, yang merangkul prinsip-prinsip moral dan kewajiban yang memberikan struktur dan tujuan hidup, tetapi juga mempertahankan otonomi untuk mempertanyakan atau menyimpang dari norma-norma sosial ketika hasrat individu kita menuntutnya. Søren melihat proses pembentukan ranah etis secara aktif ini sebagai pusat dari kehidupan yang penuh keterlibatan dan kejujuran, dan kegelisahan adalah pengalaman menempa jalan kita sendiri.