Categories
Uncategorized

Strategi menyetel target & mencapainya lebih dari sekadar wishful thinking dan membuat resolusi kosong

Salah satu praktik yang biasa dilakukan orang utk menyambut tahun baru adalah membuat resolusi. Bisa saja itu resolusi yg terkait dengan body goals (jadi lebih langsing, lebih six-pack, lebih fit, dst.), family-oriented resolution (lebih menyediakan waktu berkualitas utk keluarga, utk pasangan dan utk anak terutama), studi-karir (studi lanjut ke luar negeri, atau, menuntaskan capaian studi gelar Sarjana, Magister atau Doktoral yg sudah waktunya; bisa juga, artikelnya tembus Scopus, dll), atau resolusi karir profesional terkait dengan kerja dan kinerja (mencapai target selling produk atau layanan tertentu; berjejaring lebih luas serta menambah mitra bisnis yg potensial, dst.). Sayangnya, praktik membuat resolusi itu acapkali kandas di tengah jalan padahal baru berjalan dua atau tiga bulan (bahkan kurang!).

Apa sebabnya dan bagaimana cara mengatasinya?

Mari kita simak paparan yang mengacu pada buku yang baru saja terbit dua bulan lalu ini!

[image source: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRua2nioh7xQxXkMd0I-7Nkso9SP15PV-7bFkKApv9mjX1oOAzz]


https://www.blinkist.com/en/reader/books/big-goals-en

Buku bertajuk Big Goals: The Science of Setting Them, Achieving Them, and Creating Your Best Life ditulis seorang ahli psikologi, penulis dan motivator, Caroline Adams Miller (lih. situs pribadinya di https://www.carolinemiller.com/) dan diterbitkan Wiley pertama kali pada 19 November 2024. Buku ini menjadi salah satu buku yang menawarkan jawaban canggih dan lengkap atas dua pertanyaan penting di atas. Betul bahwa tidak sedikit jumlahnya buku-buku self-help di luar sana yang mencoba memotivasi kita untuk mencapai tujuan(-tujuan) kita. Namun faktanya, sebagian besar buku-buku tersebut tidak lengkap dalam pendekatannya, atau hanya didasarkan pada ide-ide yang belum terbukti efektif melalui penelitian yang serius.

Sekarang kita butuh strategi yang efektif untuk mencapai tujuan hidup kita. Generasi milenial, juga Gen Z, banyak yang tumbuh di lingkungan yang meminimalkan persaingan dan melindungi mereka dari kegagalan, membuat mereka tidak siap menghadapi tantangan dan kemunduran dalam hidup yang tak terelakkan. Media sosial, dengan gambar-gambar kesempurnaan yang dikurasi, hanya menambah angka kecemasan dan depresi, terutama ketika orang dewasa muda menavigasi tekanan pekerjaan dan hubungan.

Sementara itu, wanita paruh baya sering kali bergumul dengan “penyakit putus asa” – dengan gejala seperti depresi dan kehilangan tujuan – dan hal ini juga disebabkan oleh kurangnya alat untuk menetapkan dan mengejar tujuan yang memuaskan. Untuk sebagian besar, wanita tidak dilibatkan dalam mencapai tujuan dalam lanskap profesional modern.

Kita perlu melihat gambaran yang lebih besar: Meskipun saran tradisional tentang mencapai tujuan, seperti membuat papan visi (vision board) atau menulis daftar (writing lists), dapat menginspirasi, tapi acapkali metode ini tidak sampai membahas ilmu pengetahuan yang lebih dalam tentang kesuksesan. Penelitian akademis umumnya menawarkan wawasan yang berharga tetapi sering kali terbatas pada aspek-aspek yang terisolasi dari penetapan tujuan, sehingga meninggalkan kesenjangan dalam penerapan praktis. Pada sisi penting lainnya, perempuan dan kelompok-kelompok yang kurang terwakili lainnya menghadapi hambatan tambahan, yang dibentuk oleh ekspektasi masyarakat dan bias di tempat kerja. Sudah jelas sekarang bahwa strategi yang lebih inklusif sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini dan membuka potensi individu yang beragam.

Sekaranglah saatnya untuk menata ulang kesuksesan. Dengan memadukan pelajaran dari masa lalu dengan penelitian mutakhir, Caroline Adams Miller menawarkan sebuah langkah kreatif yang dapat menciptakan masa depan penetapan tujuan yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan sangat manusiawi. Ini bukan hanya tentang mendaki lebih tinggi, tetapi tentang membangun jembatan yang mengangkat semua orang, menciptakan kehidupan dan tempat kerja yang penuh dengan tujuan dan kemungkinan.

Buku ini menawarkan langkah-langkah konkret untuk membangun visi baru tersebut di atas fondasi Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting Theory), sebuah metodologi yang memiliki dasar dalam ilmu perilaku manusia.

Teori Penetapan Tujuan: Kisah di balik munculnya
Kisah Teori Penetapan Tujuan, atau GST, dimulai dari psikolog Edwin Locke dan Gary Latham, yang penelitian terobosannya mengubah pemahaman kita tentang motivasi. Locke, yang memasuki dunia psikologi pada era behaviorisme, berpendapat bahwa pola pikir sama pentingnya dengan tindakan. Studinya mengungkapkan bahwa tujuan yang menantang dan jelas memberikan hasil yang lebih baik daripada tujuan yang tidak jelas atau mudah, dengan umpan balik yang berfungsi sebagai alat penting untuk perbaikan.

Sementara itu, Dr. Latham menerapkan prinsip-prinsip ini dalam situasi praktis, yang selanjutnya membuktikan bahwa tujuan yang ambisius dan terdefinisi dengan baik merupakan kunci untuk kinerja tinggi dan kebanggaan dalam pekerjaan seseorang. Bersama-sama, mereka membangun kerangka kerja berdasarkan kekhususan, tantangan, komitmen, dan umpan balik – prinsip-prinsip yang mendorong kesuksesan di berbagai bidang.

GST berkembang dengan kesederhanaan: membidik sesuatu yang berada di luar jangkauan dan mengambil langkah-langkah yang disengaja untuk mencapainya. Baik saat Anda menguasai resep baru atau mempersiapkan presentasi yang berisiko tinggi, tujuan yang jelas dan menantang akan membuat perbedaan.

Teori ini juga berkaitan erat dengan efikasi diri, yaitu keyakinan akan kemampuan seseorang untuk mengatasi tantangan. Penelitian telah menemukan bahwa kesuksesan sering kali tidak berasal dari mengejar kebahagiaan, tetapi dari menumbuhkannya terlebih dahulu. Dengan memupuk pola pikir “Saya pasti bisa!” – melalui kemenangan kecil, bimbingan, atau tetap tenang di bawah tekanan – individu dapat meningkatkan kreativitas dan komitmen mereka, sehingga membuka jalan menuju kesuksesan.

Namun, tujuan yang tidak direncanakan dengan baik dapat menyebabkan bencana, seperti yang diilustrasikan oleh kegagalan perusahaan terkenal seperti WeWork (https://www.cnbcindonesia.com/tech/20231107095046-37-486953/dulu-startup-rp-7316-triliun-ini-alasan-wework-bangkrut), Theranos (https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220526184934-37-342099/kisah-theranos-tipu-investor-bangkrut-dan-founder-dipidana), dan Enron (https://www.kompas.com/global/read/2021/12/02/160923670/kisah-kebangkrutan-enron-pada-2001-skandal-perusahaan-terbesar-as).

Kisah-kisah ini memiliki benang merah yang sama: janji-janji yang tinggi namun tidak dapat dipertanggungjawabkan, praktik-praktik yang tidak etis, dan penolakan terhadap tanda-tanda peringatan. Dampaknya lebih dari sekadar kerugian finansial, tidak hanya merusak kehidupan tetapi, dalam beberapa kasus, juga menelan korban jiwa. Kisah-kisah peringatan ini menggarisbawahi pentingnya transparansi, kerendahan hati, dan perencanaan strategis ketika mengejar tujuan yang ambisius.

Norma-norma masyarakat juga memengaruhi keberhasilan penetapan tujuan, terutama bagi perempuan. Wanita sering menghadapi standar ganda, di mana kualitas seperti kedermawanan atau ambisi dinilai secara berbeda dari pria. Umpan balik juga bisa lebih keras atau kurang konstruktif, sehingga menciptakan hambatan emosional tambahan. Ketidakadilan ini, baik secara terang-terangan maupun tidak, dapat melemahkan individu yang paling gigih sekalipun – yang semuanya menunjukkan bahwa kita membutuhkan pendekatan yang lebih bernuansa.

Pada bagian selanjutnya, kita akan melihat metode BRIDGE dari penulis, yang dibangun di atas GST dan menerapkannya ke dalam tindakan. BRIDGE adalah singkatan dari Brainstorming, Relationships, Investments, Decision-making, Grit, dan Excellence. Dengan menyelaraskan aspirasi dengan kenyataan, pendekatan BRIDGE memastikan bahwa tujuan tidak hanya menginspirasi tetapi juga dapat dicapai, memungkinkan keberhasilan yang dibangun di atas fondasi penelitian ilmiah dan sifat alamiah manusia.

Pertanyaan-pertanyaan yang terarah dan gugus relasi yang bermakna

Mari kita bahas lebih dalam mengenai metode BRIDGE dengan melihat dua bagian pertama, yaitu Brainstorming dan Relation. Brainstorming, dalam konteks ini, adalah mengajukan sejumlah pertanyaan penting kepada diri Anda sendiri dan menggunakan jawabannya untuk membangun kerangka kerja menuju kesuksesan.

Sama seperti cara organisasi mendefinisikan tujuan mereka, Anda dapat menambahkan fokus pada upaya Anda dengan membumikan aspirasi Anda pada sesuatu yang bermakna. Jadi, tanyakan pada diri Anda sendiri, “Apa tujuan saya?

Cara lain untuk memikirkannya adalah seperti konsep ikigai dalam bahasa Jepang, atau “untuk apa saya bangun.” Apa yang membuat Anda bersemangat di pagi hari? Apa yang bisa berfungsi sebagai bintang utara pribadi Anda?

Setelah tujuan teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah bermimpi besar. Bertanya, “Apa mimpinya?” akan membuka berbagai kemungkinan dan menumbuhkan pemikiran kreatif. Tidak seperti tekanan yang terkait dengan “tujuan”, bermimpi memungkinkan eksplorasi dan harapan yang terbuka.

Alat yang baik di sini adalah jurnal. Luangkan waktu tiga hari untuk merenungkan “diri Anda yang terbaik di masa depan” dan tuliskan apa yang terlintas dalam pikiran Anda. Dengan membayangkan hasil yang sempurna, Anda dapat menciptakan gambaran yang jelas tentang apa yang Anda inginkan dan menyelaraskan aspirasi Anda dengan langkah-langkah yang dapat ditindaklanjuti.

Ketika tujuan Anda mulai terfokus, sekarang adalah waktu yang tepat untuk bertanya: apakah tujuan Anda adalah tujuan kinerja – yang dapat Anda jabarkan ke dalam langkah-langkah yang dapat ditindaklanjuti – atau tujuan pembelajaran, yang membutuhkan identifikasi keterampilan dan pengetahuan yang perlu Anda peroleh?

Katakanlah Anda ingin menguasai tarian salsa. Rencana yang tidak jelas seperti “menonton video TikTok” tidak akan berhasil. Sebaliknya, menetapkan tujuan yang jelas dan menantang – seperti meneliti lima studio tari lokal dan memilih satu dalam waktu seminggu – jauh lebih efektif. Pikirkan tentang bagaimana Anda bisa membuat tenggat waktu dan metrik spesifik yang akan membantu mengukur pertumbuhan dan membuat Anda tetap berada di jalur yang benar.

Sekarang juga saatnya untuk berpikir jauh ke depan dan bertanya, “Apa yang bisa salah?” Membayangkan potensi krisis, seperti gangguan rantai pasokan atau pemadaman internet, memungkinkan Anda untuk membuat perencanaan darurat. Sesuaikan strategi Anda dengan konteks Anda. Hubungi orang-orang dan dapatkan saran dari mereka yang memiliki pengalaman serupa sehingga tujuan Anda realistis.

Hal ini membawa kita pada hubungan. Mengelilingi diri Anda dengan orang-orang yang positif dan suportif akan menciptakan fenomena yang dikenal sebagai efek heliotropik (lihat: https://positiveorgs.bus.umich.edu/news/finding-the-light-in-darkness-the-heliotropic-effect/), yang secara signifikan dapat meningkatkan peluang Anda untuk sukses. Orang yang tepat dapat menjadi “katalisator” dan “pemelihara”, yang mendorong dan memberi Anda energi. Sebaliknya, orang yang salah dapat menjadi “penghambat” dan “racun” yang menguras motivasi Anda. Mengidentifikasi dan memprioritaskan hubungan yang membangkitkan semangat adalah langkah penting untuk tetap fokus dan tangguh.

Ada alat visual yang disebut peta pikiran hubungan, yang dapat membantu memprioritaskan hubungan yang bermakna sambil menyingkirkan hal-hal negatif. Jadi, cobalah membuat sketsa peta pikiran dari semua orang yang Anda perlukan untuk mencapai tujuan Anda, mulai dari kolega hingga kolaborator. Latihan ini dapat membantu Anda memprioritaskan waktu dan memfokuskan energi Anda pada hubungan yang benar-benar bermakna.

Poin utama di sini adalah membangun lingkaran orang-orang yang tidak hanya mengejar impian mereka, tetapi juga siap untuk percaya pada impian Anda.

Dengan demikian, berdasarkan paparan di atas, kita semakin menyadari bahwa membuat resolusi yang bagus-bagus dengan tujuan atau capaian (goals) yang luhur mulia tidaklah cukup. Kita memerlukan metode yang tepat guna dan sudah teruji lewat aneka eksperimen dan observasi atas hasilnya. Metodologi BRIDGE memandu Anda melalui enam tahap utama untuk mencapai tujuan yang bermakna. Pertama, curah pendapat tentang tujuan Anda dengan merenungkan secara mendalam apa yang ingin Anda capai, memastikan tujuan tersebut selaras dengan nilai-nilai dan motivasi intrinsik Anda. Selanjutnya, pertimbangkan orang-orang yang dapat membantu Anda di sepanjang jalan dan bagaimana Anda dapat membangun jaringan yang mendukung sambil meminimalkan pengaruh negatif. Kemudian, saatnya untuk memikirkan strategi kreatif untuk mencapai tujuan Anda. Pertimbangkan investasi yang perlu Anda lakukan, seperti waktu, uang, atau energi, dan rencanakan potensi rintangan yang mungkin terjadi, dengan mengandalkan ketabahan untuk melewati tantangan. Tentukan keunggulan dengan jelas sehingga Anda dapat mengukur kemajuan dan mempertahankan motivasi. Terakhir, tentukan jadwal yang realistis untuk memandu perjalanan Anda dan melangkah maju dengan fokus dan percaya diri.

Setelah menyimak paparan di atas, saya mengajukan dua kritik untuk buku ini.

Pertama: standpoint yang kurang memberi ruang pada keragaman budaya dan konteks individual-dalam-komunitas lainnya.
Buku ini cenderung memberikan pendekatan universal terhadap penetapan tujuan, namun kurang membahas pentingnya konteks individual, sosial, dan budaya dalam pencapaian tujuan. Tidak semua pembaca memiliki akses yang sama terhadap sumber daya, dukungan, atau lingkungan yang mendukung keberhasilan mereka. Terlebih lagi, tekanan sosial dan ekspektasi budaya yang berbeda dapat memengaruhi bagaimana seseorang memandang dan mengejar tujuan mereka. Buku ini tampaknya lebih fokus pada audiens dari negara-negara Barat dengan sedikit adaptasi terhadap kebutuhan masyarakat global yang beragam. Caroline Miller berasal dari klas sosial ekonomi, juga ras dan etnis tertentu (white, middle-class, caucasian, global north) sehingga bukunya ini cenderung melakukan atau mengampanyekan reproduksi sosial tertentu yg abai dgn konteks geopolitik dan sosio-ekonomi yg khas: dlm hal ini, konteks kaum marjinal dan yang (terus) dimarjinalkan (misalnya: global south, refugees, society under authoritarian leader, etc.)

Kedua: pendekatan yang cukup kompleks dan sepertinya terlalu akademis untuk pembaca awam.
Meskipun buku ini menawarkan pendekatan yang berbasis penelitian dan sistematis, salah satu kelemahannya adalah kompleksitasnya yang mungkin sulit diakses oleh pembaca umum. Penggunaan teori seperti GST dan konsep-konsep ilmiah lainnya, meskipun menarik bagi kalangan akademis atau profesional, bisa menjadi hambatan bagi mereka yang tidak terbiasa dengan terminologi atau kerangka kerja yang rumit. Bahkan, metode BRIDGE yang diperkenalkan, meskipun sangat terstruktur, memerlukan investasi waktu dan energi yang signifikan untuk memahami dan mengaplikasikannya secara menyeluruh.

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *