Sebagian ahli bahasa, komunikasi dan arkeologi (Fisher, 1984; Niles, 2010; Gezgin, 2020) berpandangan bahwa manusia adalah makhluk penutur cerita (homo narrans). Sejarawan Yuval Noah Harari juga berpandangan hal yang sama dalam karyanya Homo Sapiens: A Brief History of Humankind (2011) dan Nexus: A Brief History of Information Networks from the Stone Age to AI (2024). Tidak jarang, si makhluk penutur cerita mengubah cara pandang dunia tentang sebuah permasalahan yang genting, a crisis.
Salah satu di antara makhluk penutur cerita yang mengubah dunia adalah Rachel Carson dengan bukunya, The Silent Spring (1962).
[source image: https://m.media-amazon.com/images/I/81Yza7XmfjL._AC_UF1000,1000_QL80_.jpg]
Buku ini merupakan karya penting dalam sejarah gerakan lingkungan hidup yang memicu perubahan signifikan bagi kebijakan lingkungan berskala nasional, baik di AS maupun di belahan bumi lainnya. Secara lebih khusus, Carson membahas tentang dampak negatif pestisida dan bahan kimia terhadap lingkungan hidup, yang meliputi: 1) penggunaan DDT dan pestisida lainnya yang berlebihan, 2) Dampak DDT pada ekosistem, termasuk kematian burung dan hewan lain, 3) Risiko kesehatan manusia yang memburuk karena terpapar bahan kimia berbahaya (DDT), dan 4) Ketergantungan pada pertanian intensif dan dampaknya yang merugikan lingkungan.
Dalam postingan di blog ini, saya tidak akan mengupas lebih dalam tentang buku tersebut, tapi menggunakan tiga halaman pertama buku tersebut sebagai batu loncatan berimajinasi, terutama saat mengunjungi Vila Hejo Kiarapayung, Panggarangan, Bayah, Lebak Selatan, salah satu daerah 3T di provinsi Banten. Imajinasi ini kemudian saya artikulasikan sebagai kata sambutan, merespon permintaan tim JAHERA dari MBKM Humanity Project sebagai mitra kolaborator GMLS serta atas perkenan Abah Anis dan Teh Resti (sebagai tuan rumah) untuk membuka acara workshop yang diadakan di sana.
Berikut tiga halaman dari buku The Silent Spring karya Rachel Carson yang menjadi inspirasi saya utk menuliskan kata sambutan.
Inilah kata sambutannya:
Pernah ada sebuah kota kecil di penghujung Banten Selatan, yang di dalamnya semua noktah kehidupan tampak sehirup selaras dengan lingkungannya.
Kota itu terletak di tepi samudra Hindia yang debur ombaknya menggelegar menghantam batu-batu karang dan terpercik hantari perdu-perdu hutan yang merimbun, pun ditingkahi sepadan lahan pertanian yang mencorak lereng bukit kebun senyampang musim hujan, pelangkah tanah becek coklat pekat, melanskap ladang yang pernah hijau kini agak menguning.
Di musim pancaroba yang entah season berapa, kiara payung (Filicium decipiens) dan picung (Pangium edule) bukan luruh meranggas tapi menyerap dan menahan air kehidupan yang jadi oase bagi jiwa-jiwa haus ketempelan koyo mental health dan perban skibidi.
Bukan dedaunan maple dan birch yang menyangga kota itu, tapi barisan kelapa, rambutan, karet, dan bambu membentuk kobaran warna yang menyala abangku dan melirih sedih adikku.
Sekawanan anjing kampung, cuon alpinus javanicus, bukan golden retriever apalagi Chihuahua berhihi-haha menggonggong di tepi perbukitan dan maung diam-diam menyeberangi ladang, disahuti tonggeret yang tampak setengah hati mencabar emosi duh resiliensi.
Wajah alam tersamar hadir malu-malu kucing, bayangannya ternampak setengah tersembunyi dalam halimun pagi di penghujung November yang menggelincir sepi menghambur masuk pelataran Desember kini.
Di sepanjang jalan, kokoleceran Vatica bantamensis, bungur Lagerstroemia speciosa dan daun teh-tehan Acalypha siamensis bersemagut-pagut dengan bunga-bunga liar Euphorbia helioscopia. Kesemuanya memanjakan mata para pelancong yang terhentak derap goncangan jalan menuju Hutan Dungus Ki Haji.
Di sana, asat penanda bencana tidak lagi bersemenda tapi sudah mengalir laksana strima eling lan waspada warga kampung Naga Jaya yang sudah lelah ditempa hidup yang begitu-begitu saja, jalan rusak amboy siksanya tapi ya mau gimana.
Adalah Bayah harus dikumbah bawa serumpun tanda tanya: haruskah dinda menghiba, gegiat merana, dan lamunan terpana?
Semoga kota bungsu bukan menjadi balada kutuk yang menari-nari bak kelinci nggrigiti campuran daun lobak, kelor dan sawi, tanpa sadari hidupnya sedang menuju henti.
Gallus lafayetii, owa Jawa, surili, fauna wewarni tidak sendiri;
Boomers, Millenials dan Z juga nyaris mati berdiri, kala Megathrust mendekat …. perlahan tapi pasti.
Teruntuk GMLS,
Ex-machina Humana.
Ex-bencana, Kanaya.
Ex-sulaya, Santosa.
Video credit goes to mas Irul (Khairul Syafuddin, M. A.), dosen SC UMN dan Kordinator Humanity Project SC UMN periode Gasal, 2024-2025.